Sepatu Tua di Bawah Langit Jakarta: Perjalanan Penuh Perjuangan Mencari Pekerjaan di Kota Besar

Posted on

Pernah merasa lelah dan frustasi saat mencari pekerjaan, apalagi di kota besar yang penuh persaingan? Nah, cerita “Sepatu Tua di Bawah Langit Jakarta” ini bakal bikin kamu merasa lebih memahami arti perjuangan dalam mencari pekerjaan.

Dari kesulitan sehari-hari hingga harapan yang tipis, perjalanan Arghendra menggambarkan betapa kerasnya hidup di Jakarta, kota yang penuh tantangan. Yuk, simak cerita ini yang bukan hanya menginspirasi, tapi juga bisa memberi motivasi buat kamu yang lagi berjuang menemukan pekerjaan impian. Kamu nggak sendirian!

Sepatu Tua di Bawah Langit Jakarta

Map Plastik dan Jaket Lusuh

Hujan belum sepenuhnya pergi dari langit Jakarta. Di ujung sore yang muram, aroma aspal basah bercampur debu membuat udara semakin pengap, seperti perasaan yang sudah terlalu sering diajak kecewa. Di bawah atap halte tua di dekat persimpangan Setiabudi, seorang pria berdiri sendiri, menggenggam map plastik bening seolah isinya adalah barang paling berharga di dunia.

Arghendra Satya. Nama yang dulunya sering tertera dalam laporan mingguan pabrik, kini hanya menjadi kepala surat lamaran kerja yang lusuh karena terlalu sering dicetak ulang.

Map plastik itu sudah dipakai sejak tiga bulan lalu, saat dia masih yakin bisa mendapat kerja hanya dengan pengalaman panjang dan niat baik. Tapi waktu berjalan, dan kepercayaan diri perlahan luntur, seperti tinta pada kertas CV-nya yang mulai pudar terkena rembesan hujan.

Angin sore meniupkan sisa gerimis yang menempel di pinggiran atap halte. Jaket hijau tuanya menyerap air dan mulai terasa berat di pundak. Di bawah, sepatunya—sepatu yang dulu dipakai presentasi di depan investor perusahaan motor Jepang—kini berlubang di bagian tumit. Tapi ia tetap berdiri, menunggu bus menuju daerah Sudirman. Ada janji wawancara di sana, dan seperti biasa, ia datang satu jam lebih awal.

Bus kota datang dengan suara knalpot tua. Penumpang berdesakan, dan ketika Arghendra naik, tak ada satupun mata yang peduli siapa dia. Di dalam, ia berdiri sambil menjaga agar map plastiknya tidak terlipat, tak peduli lututnya gemetar karena berdiri terlalu lama.

Gedung tempat wawancara menjulang seperti raksasa dari baja. Di dalam lobi yang dingin dan mewah, aroma kopi mahal menyambut siapa pun yang masuk. Arghendra berdiri canggung di depan meja resepsionis, menunggu giliran dipanggil. Di kursi tunggu, lima orang pelamar lain sudah duduk lebih dulu. Semuanya muda, segar, dengan sepatu mengilap dan pakaian bebas kusut.

Salah satu dari mereka, pria berambut cepak dengan jas biru dongker, melirik Arghendra dan membuka percakapan.

“Mas juga ikut interview staff logistik, ya?”

Arghendra mengangguk. “Iya, dapet infonya dari portal lowongan kemarin.”

“Oh, aku juga. Tapi katanya sih yang dicari orang yang kuat kerja lapangan. Kamu udah pernah pegang logistik sebelumnya?”

“Iya, kurang lebih sepuluh tahun. Dulu di pabrik perakitan,” jawabnya, mencoba tersenyum.

“Wah, lama juga ya. Tapi… ya, saingannya berat juga sih. Aku sendiri baru lulus dua tahun lalu, tapi sempat magang di warehouse e-commerce. Sekarang semua perusahaan nyari yang ngerti teknologi,” katanya sambil membuka laptop kecilnya dan mengetik sesuatu.

Percakapan berhenti di situ. Arghendra kembali menatap lantai. Tangannya meremas map plastik itu tanpa sadar. Di luar gedung, langit makin gelap.

Ketika akhirnya namanya dipanggil, ia masuk ke ruangan berlampu putih terang. Seorang wanita dengan kacamata bulat duduk di belakang meja. Ia membuka lembar CV Arghendra dan membaca sekilas.

“Pak Arghendra, pengalaman Bapak cukup panjang ya. Tapi saya lihat Bapak terakhir bekerja tahun… 2022?”

“Iya, saya kena PHK waktu pandemi.”

“Selama tiga tahun terakhir, Bapak belum bekerja tetap?”

“Belum. Sempat bantu-bantu teman buka bengkel, terus jualan online juga. Tapi kalau pekerjaan tetap, belum dapat.”

HRD itu mengangguk pelan. Tatapannya netral, tapi tak bisa menyembunyikan ragu.

“Kami memang sedang butuh staff logistik, tapi saat ini sistem kami sudah full digital. Bapak pernah pakai software seperti ERP atau warehouse automation?”

“Sempat belajar sedikit, tapi belum pernah pegang langsung sistem itu.”

“Baik. Kami akan pertimbangkan dan kabari melalui email, ya.”

Kalimat penutup itu terdengar seperti pintu yang perlahan ditutup dari balik kaca. Tidak membanting, tapi cukup untuk membuat hati terasa kedinginan.

Di luar gedung, sore telah berubah menjadi malam. Lampu-lampu jalan menyala redup. Arghendra duduk di halte yang sama tempat ia turun tadi. Ia membuka mapnya dan memeriksa CV yang lain. Masih ada dua belas lembar di dalam, siap dikirim ke tempat lain besok.

Seorang anak laki-laki lewat membawa kantong plastik besar berisi minuman botol kosong. Ia berhenti dan menatap Arghendra, lalu bertanya polos, “Om, nunggu jemputan?”

Arghendra tersenyum tipis. “Nggak. Nunggu hidup berubah.”

Anak itu tertawa kecil dan berjalan pergi.

Di pangkuan Arghendra, map plastik itu kembali tergenggam erat. Sementara dari langit, gerimis turun lagi, pelan-pelan, seperti air mata yang enggan jatuh terlalu cepat.

Dan malam itu, di bawah langit Jakarta yang berat, seorang pria dengan sepatu tua duduk diam, masih percaya bahwa esok akan tetap ia kejar—meski harus dengan kaki yang lelah dan hati yang makin rapuh.

Wawancara yang Tak Pernah Kembali

Tiga hari berlalu sejak wawancara itu. Arghendra masih membuka email setiap pagi dengan harapan kosong yang lama-lama mulai terasa akrab. Kotak masuknya sepi. Hanya berisi promo belanja online, notifikasi undangan webinar gratis, dan balasan otomatis dari lowongan lain yang bahkan belum sempat ia ingat isinya.

Pagi ini, ia duduk di emperan warung kopi dekat kontrakan, menyesap kopi hitam seharga dua ribu yang terlalu manis, sambil membolak-balik halaman koran bekas yang dijual kiloan. Bukan karena ingin baca berita, tapi di halaman belakang, kadang-kadang masih ada iklan lowongan yang dicetak kecil. Ia tahu peluangnya tipis, tapi hari ini tak ada yang lebih realistis dari harapan tipis.

Dari seberang jalan, Pak Darmawan, pemilik kontrakan, melambaikan tangan. “Mas Arghen, maaf ya, bulan ini kayaknya saya mesti nagih lebih awal. Soalnya listrik udah nunggak juga.”

Arghendra tersenyum dan mengangguk. “Iya, Pak. Saya usahain dulu minggu ini ya.”

Pak Darmawan tidak menjawab. Tapi raut wajahnya cukup menjelaskan: ini bukan pertama kalinya janji seperti itu diucapkan oleh penghuni petak kecilnya.

Siang itu, Arghendra berangkat ke wilayah Kalideres. Ada panggilan wawancara dari sebuah perusahaan pengemasan makanan yang ia lamar seminggu lalu. Tak ada email, hanya SMS pendek berisi alamat dan waktu. Ia sempat ragu, tapi tetap berangkat. Pekerjaan adalah pekerjaan, tak peduli seperti apa bentuknya.

Perjalanan memakan dua jam lebih, dengan satu kali naik KRL dan lanjut angkot yang ngetem terlalu lama. Saat sampai di lokasi, matanya langsung menangkap kerumunan puluhan orang berdiri di depan gerbang pabrik tua dengan cat dinding mengelupas. Semuanya tampak seperti pelamar juga. Ada yang membawa map, ada yang hanya menenteng fotokopi KTP.

Seseorang berteriak dari dekat pintu gerbang. “Yang mau daftar, langsung antri, kasih berkas ke meja pos satpam!”

Arghendra ikut mengantri. Di belakangnya, dua pemuda bercakap pelan.

“Kamu daftar juga?” tanya yang satu, suaranya serak.

“Iya. Katanya sih ini buat operator produksi. Tapi belum jelas juga, gaji sama lembur gimana.”

“Yang penting dapet kerja dulu deh. Udah lima bulan nganggur.”

“Enam,” jawab pemuda itu lirih. “Aku enam bulan.”

Arghendra menunduk. Di tangannya, map plastik itu mulai sobek di salah satu sudut. Ia menekuknya pelan agar tak terlepas. Saat tiba gilirannya, satpam menatapnya sekilas, mengambil berkas tanpa banyak tanya, lalu meletakkannya di atas tumpukan map lain yang bahkan tak diberi nama.

“Nanti tunggu aja kabar ya, Pak. Panggilannya acak. Bisa minggu ini, bisa bulan depan,” kata satpam itu sebelum kembali melayani pelamar berikutnya.

“Memangnya prosesnya gimana, Pak? Ada tes atau langsung interview?” tanya Arghendra, masih mencoba bertahan dengan sopan.

“Kurang tahu juga, Pak. Saya cuma dititipin jaga.”

Dan begitulah berakhirnya hari itu. Tak ada wawancara. Tak ada nama dipanggil. Hanya barisan orang-orang yang satu per satu pergi tanpa kepastian, membawa pulang rasa canggung yang sama: sudah datang sejauh ini, tapi hanya jadi angka dalam tumpukan map.

Sore menjelang malam. Arghendra pulang dengan tubuh pegal, dompet yang makin tipis, dan pikiran yang tak kunjung terang. Di perempatan lampu merah, ia melihat seorang bapak tua menjajakan koran sore yang hampir tak laku. Bapak itu memanggil pelan ke arah mobil-mobil yang lewat, tapi hanya dapat tatapan kosong dari balik kaca hitam.

Tiba-tiba, dari seberang jalan, suara motor berhenti di dekat trotoar. Seorang pria turun dan menghampiri Arghendra. Ia mengenakan kaos hitam dengan logo ojek online.

“Mas Arghen?”

Arghendra terkejut. “Iya?”

“Wah, aku Rizky! Temen lama di pabrik dulu, inget nggak? Yang bagian QC!”

Arghendra sempat mengerutkan dahi sebelum akhirnya senyumnya muncul perlahan. “Wah iya, Rizky. Lama banget nggak ketemu.”

Mereka duduk di trotoar sambil ngobrol. Rizky bercerita soal pekerjaannya sekarang sebagai driver ojek online, kadang ambil freelance antar barang, kadang bantu-bantu orang di gudang. Tak tetap, tapi cukup buat makan.

“Kamu masih nyari kerjaan ya?” tanya Rizky, matanya jujur dan tanpa rasa kasihan.

“Iya. Tapi makin ke sini makin… entahlah. Kadang kayak ngelamar tuh cuma formalitas aja. Diomongin kabar, tapi nggak pernah balik.”

Rizky mengangguk. “Aku juga sempat ngalamin. Kadang ngerasa, usaha kita tuh nggak keliatan sama siapa-siapa.”

Hening sebentar.

“Tapi kamu tetep nyoba, kan?”

“Iya. Karena kalau aku berhenti nyoba… aku nggak punya apapun lagi.”

Rizky tertawa kecil, menepuk bahunya. “Itu jawaban paling jujur yang pernah aku denger, Gen.”

Sebelum berpisah, Rizky sempat menawarkan kontak seseorang yang mungkin butuh tenaga buat bantu di gudang kecil. Tak besar, gaji harian, kerja fisik. Tapi Arghendra mencatat nomornya. Dalam keadaan seperti ini, tiap tawaran adalah sinar yang tak boleh disia-siakan.

Malam kembali turun. Arghendra masuk ke kontrakan, meletakkan map plastik di atas meja kayu kecil. Ia menatap sobekan di ujungnya, lalu menarik selotip bening dan menambalnya pelan-pelan. Seolah sedang memperbaiki harapan yang koyak, walau tahu bisa sobek lagi kapan saja.

Tak ada email yang masuk malam itu. Tak ada panggilan. Tapi di lantai bawah, suara ibu-ibu menanak nasi terdengar jelas, bercampur tawa anak kecil yang bermain. Hidup terus bergerak, meski lambat. Dan Arghendra masih di dalamnya, menunggu gilirannya datang.

Besok pagi, dia akan bangun lagi. Melamar lagi. Mencoba lagi.

Karena kadang, kemenangan bukan tentang siapa yang sampai duluan. Tapi siapa yang cukup gila untuk tetap berjalan, meski tahu jalannya panjang dan sunyi.

Wawancara yang Tak Pernah Kembali

Tiga hari berlalu sejak wawancara itu. Arghendra masih membuka email setiap pagi dengan harapan kosong yang lama-lama mulai terasa akrab. Kotak masuknya sepi. Hanya berisi promo belanja online, notifikasi undangan webinar gratis, dan balasan otomatis dari lowongan lain yang bahkan belum sempat ia ingat isinya.

Pagi ini, ia duduk di emperan warung kopi dekat kontrakan, menyesap kopi hitam seharga dua ribu yang terlalu manis, sambil membolak-balik halaman koran bekas yang dijual kiloan. Bukan karena ingin baca berita, tapi di halaman belakang, kadang-kadang masih ada iklan lowongan yang dicetak kecil. Ia tahu peluangnya tipis, tapi hari ini tak ada yang lebih realistis dari harapan tipis.

Dari seberang jalan, Pak Darmawan, pemilik kontrakan, melambaikan tangan. “Mas Arghen, maaf ya, bulan ini kayaknya saya mesti nagih lebih awal. Soalnya listrik udah nunggak juga.”

Arghendra tersenyum dan mengangguk. “Iya, Pak. Saya usahain dulu minggu ini ya.”

Pak Darmawan tidak menjawab. Tapi raut wajahnya cukup menjelaskan: ini bukan pertama kalinya janji seperti itu diucapkan oleh penghuni petak kecilnya.

Siang itu, Arghendra berangkat ke wilayah Kalideres. Ada panggilan wawancara dari sebuah perusahaan pengemasan makanan yang ia lamar seminggu lalu. Tak ada email, hanya SMS pendek berisi alamat dan waktu. Ia sempat ragu, tapi tetap berangkat. Pekerjaan adalah pekerjaan, tak peduli seperti apa bentuknya.

Perjalanan memakan dua jam lebih, dengan satu kali naik KRL dan lanjut angkot yang ngetem terlalu lama. Saat sampai di lokasi, matanya langsung menangkap kerumunan puluhan orang berdiri di depan gerbang pabrik tua dengan cat dinding mengelupas. Semuanya tampak seperti pelamar juga. Ada yang membawa map, ada yang hanya menenteng fotokopi KTP.

Seseorang berteriak dari dekat pintu gerbang. “Yang mau daftar, langsung antri, kasih berkas ke meja pos satpam!”

Arghendra ikut mengantri. Di belakangnya, dua pemuda bercakap pelan.

“Kamu daftar juga?” tanya yang satu, suaranya serak.

“Iya. Katanya sih ini buat operator produksi. Tapi belum jelas juga, gaji sama lembur gimana.”

“Yang penting dapet kerja dulu deh. Udah lima bulan nganggur.”

“Enam,” jawab pemuda itu lirih. “Aku enam bulan.”

Arghendra menunduk. Di tangannya, map plastik itu mulai sobek di salah satu sudut. Ia menekuknya pelan agar tak terlepas. Saat tiba gilirannya, satpam menatapnya sekilas, mengambil berkas tanpa banyak tanya, lalu meletakkannya di atas tumpukan map lain yang bahkan tak diberi nama.

“Nanti tunggu aja kabar ya, Pak. Panggilannya acak. Bisa minggu ini, bisa bulan depan,” kata satpam itu sebelum kembali melayani pelamar berikutnya.

“Memangnya prosesnya gimana, Pak? Ada tes atau langsung interview?” tanya Arghendra, masih mencoba bertahan dengan sopan.

“Kurang tahu juga, Pak. Saya cuma dititipin jaga.”

Dan begitulah berakhirnya hari itu. Tak ada wawancara. Tak ada nama dipanggil. Hanya barisan orang-orang yang satu per satu pergi tanpa kepastian, membawa pulang rasa canggung yang sama: sudah datang sejauh ini, tapi hanya jadi angka dalam tumpukan map.

Sore menjelang malam. Arghendra pulang dengan tubuh pegal, dompet yang makin tipis, dan pikiran yang tak kunjung terang. Di perempatan lampu merah, ia melihat seorang bapak tua menjajakan koran sore yang hampir tak laku. Bapak itu memanggil pelan ke arah mobil-mobil yang lewat, tapi hanya dapat tatapan kosong dari balik kaca hitam.

Tiba-tiba, dari seberang jalan, suara motor berhenti di dekat trotoar. Seorang pria turun dan menghampiri Arghendra. Ia mengenakan kaos hitam dengan logo ojek online.

“Mas Arghen?”

Arghendra terkejut. “Iya?”

“Wah, aku Rizky! Temen lama di pabrik dulu, inget nggak? Yang bagian QC!”

Arghendra sempat mengerutkan dahi sebelum akhirnya senyumnya muncul perlahan. “Wah iya, Rizky. Lama banget nggak ketemu.”

Mereka duduk di trotoar sambil ngobrol. Rizky bercerita soal pekerjaannya sekarang sebagai driver ojek online, kadang ambil freelance antar barang, kadang bantu-bantu orang di gudang. Tak tetap, tapi cukup buat makan.

“Kamu masih nyari kerjaan ya?” tanya Rizky, matanya jujur dan tanpa rasa kasihan.

“Iya. Tapi makin ke sini makin… entahlah. Kadang kayak ngelamar tuh cuma formalitas aja. Diomongin kabar, tapi nggak pernah balik.”

Rizky mengangguk. “Aku juga sempat ngalamin. Kadang ngerasa, usaha kita tuh nggak keliatan sama siapa-siapa.”

Hening sebentar.

“Tapi kamu tetep nyoba, kan?”

“Iya. Karena kalau aku berhenti nyoba… aku nggak punya apapun lagi.”

Rizky tertawa kecil, menepuk bahunya. “Itu jawaban paling jujur yang pernah aku denger, Gen.”

Sebelum berpisah, Rizky sempat menawarkan kontak seseorang yang mungkin butuh tenaga buat bantu di gudang kecil. Tak besar, gaji harian, kerja fisik. Tapi Arghendra mencatat nomornya. Dalam keadaan seperti ini, tiap tawaran adalah sinar yang tak boleh disia-siakan.

Malam kembali turun. Arghendra masuk ke kontrakan, meletakkan map plastik di atas meja kayu kecil. Ia menatap sobekan di ujungnya, lalu menarik selotip bening dan menambalnya pelan-pelan. Seolah sedang memperbaiki harapan yang koyak, walau tahu bisa sobek lagi kapan saja.

Tak ada email yang masuk malam itu. Tak ada panggilan. Tapi di lantai bawah, suara ibu-ibu menanak nasi terdengar jelas, bercampur tawa anak kecil yang bermain. Hidup terus bergerak, meski lambat. Dan Arghendra masih di dalamnya, menunggu gilirannya datang.

Besok pagi, dia akan bangun lagi. Melamar lagi. Mencoba lagi.

Karena kadang, kemenangan bukan tentang siapa yang sampai duluan. Tapi siapa yang cukup gila untuk tetap berjalan, meski tahu jalannya panjang dan sunyi.

Sepatu Tua, Keringat Baru

Malam itu, langit Jakarta tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti mengirimkan hujan. Gerimis yang jatuh perlahan seperti menghapus jejak-jejak langkah Arghendra di trotoar. Ia berjalan dengan sepatu yang sudah semakin usang, kakinya terasa berat dan lelah, namun langkahnya terus maju. Waktu seolah menekan dirinya lebih keras setiap hari, namun ia masih saja berjalan, meski tanpa tahu seberapa jauh lagi jalan itu akan membentang.

Setelah beberapa minggu bekerja di gudang, Arghendra mulai merasa ada sedikit perubahan—meski tak banyak. Pekerjaan yang kasar, fisik, dan tanpa jaminan pasti itu memang menguras tubuhnya, namun ia mulai belajar untuk bertahan. Seperti sepatu tuanya yang masih dipakainya, meski sudah berlubang, ia terus berjalan, mencari arah yang kadang terasa samar.

Malam itu, setelah berjam-jam memindahkan tumpukan kardus, ia duduk di pinggir jalan. Udara malam yang dingin mulai menyusup ke dalam jaket lusuhnya. Arghendra memandang ke luar, melihat orang-orang berlalu-lalang dengan tujuan yang berbeda, sementara dirinya, seperti biasa, tak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Ia kembali membuka ponselnya, memeriksa satu-satunya pesan yang masuk dari Rizky, temannya yang dulu bekerja bersama di pabrik.

“Bro, ada kabar dari temanku. Dia butuh staff buat bagian logistik di kantor pengiriman barang, mungkin kamu bisa coba. Gaji lumayan, mungkin bisa bantu kamu buat istirahat sedikit dari kerja fisik.”

Pesan itu membuat jantung Arghendra berdegup lebih cepat. Sebuah peluang. Mungkin ini kesempatan yang ia tunggu-tunggu. Dalam hidup yang serba tak pasti ini, harapan sekecil apapun adalah sesuatu yang harus diperjuangkan.

Esok pagi, Arghendra bangun lebih awal dari biasanya. Setelah berhari-hari terperangkap dalam rutinitas yang tak pernah memberinya waktu untuk berpikir panjang, hari ini ia merasa ada secercah harapan yang kembali menyala. Ia siap untuk mencoba lagi.

Berbekal pakaian yang sedikit lebih rapi, ia menuju ke kantor pengiriman barang yang disebutkan dalam pesan Rizky. Terkadang, kesempatan datang tidak pada saat yang tepat, tetapi ia tahu, kesempatan harus selalu disambut meski dalam keadaan lelah dan rapuh. Jalan menuju kantor itu ternyata tidak jauh, cukup dengan naik angkot dan berjalan beberapa blok. Saat ia tiba, suasana di sekitar kantor itu terasa lebih segar—lebih teratur. Gedung itu lebih baru, lebih profesional dibandingkan gudang tempatnya bekerja selama ini.

Di dalam kantor, suasana jauh lebih nyaman. Beberapa orang sudah duduk di meja masing-masing, mengetik di komputer dengan cepat, sementara lainnya sibuk dengan percakapan ringan. Di depan meja resepsionis, seorang wanita muda yang sedang tersenyum menyambutnya.

“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan ramah.

Arghendra mengangguk dan menyampaikan niatnya untuk melamar pekerjaan yang dibuka. Wanita itu memberi formulir dan meminta Arghendra mengisi beberapa data diri. Seperti biasa, jantungnya berdebar ketika ia menuliskan nama dan pengalaman kerjanya.

Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian kemeja rapi datang menghampiri. “Mas Arghendra, ya? Saya Raka, saya yang akan mewawancarai kamu hari ini.”

Mereka melangkah masuk ke ruang wawancara yang sederhana. Raka duduk di seberang meja dan mulai memeriksa berkas-berkas yang dibawa Arghendra. Arghendra mencoba mengatur napas, menenangkan diri meskipun hatinya berdegup kencang.

“Dari pengalaman yang Bapak tulis, sepertinya banyak pengalaman di logistik ya?” tanya Raka sambil tersenyum. “Tapi kenapa baru sekarang melamar pekerjaan di sini?”

“Karena saya baru menemukan kesempatan seperti ini, Pak,” jawab Arghendra dengan hati-hati. “Bekerja di logistik memang keras, tapi saya yakin ini pekerjaan yang sesuai dengan pengalaman saya.”

Raka mengangguk, lalu menatapnya serius. “Kami sedang mencari seseorang yang bisa bekerja keras, bisa beradaptasi dengan sistem baru yang kami terapkan. Pekerjaan di sini memang tidak mudah, Mas, tapi kami juga tidak main-main soal gaji. Kami hargai kerja keras.”

Arghendra merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu. Terkadang, hanya mendengar seseorang mengakui kerasnya usaha adalah hal yang menyentuh hati. Ia merasa tidak sendirian dalam perjuangannya.

Setelah wawancara selesai, Raka memberikan Arghendra kartu nama dan berkata, “Kami akan kabari secepatnya, Mas. Kalau lolos, kami akan menghubungi untuk tes lanjutan.”

Arghendra keluar dari kantor itu dengan langkah yang lebih ringan. Di luar, langit sudah mulai gelap, dan lampu-lampu jalanan mulai menyala. Ia memutuskan untuk berjalan kaki kembali menuju halte bus. Langkahnya tidak lagi berat, meski sepatunya tetap sama—sepatu tua yang sudah banyak menanggung beban. Tapi hari ini, sepatu itu terasa sedikit lebih ringan. Ada harapan, meskipun tipis, namun itu cukup untuk mendorongnya berjalan.

Beberapa hari kemudian, Arghendra menerima email dari kantor pengiriman barang tersebut. Hatinya berdebar-debar saat membuka pesan itu. Ternyata, ia diterima untuk tahap tes lanjutan. Kali ini, pekerjaan yang lebih terstruktur, dengan lingkungan yang lebih nyaman, dengan gaji yang lebih pasti.

Saat ia kembali ke kontrakan malam itu, ia duduk di meja kayu kecilnya. Di atas meja itu, map plastik yang sudah sobek di ujungnya tergeletak, tetapi tidak lagi ia pedulikan. Ia memandang ke luar jendela, melihat gedung-gedung Jakarta yang terlihat jauh lebih dekat. Hujan sudah berhenti, dan ada sedikit ruang untuk udara segar.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arghendra merasa sedikit lebih yakin. Ini mungkin bukan akhir dari perjalanan panjangnya, tetapi ini adalah titik awal baru. Sepatu tuanya mungkin sudah rusak, tetapi kaki yang ada di dalamnya masih cukup kuat untuk terus berjalan. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan sampai ke tempat yang lebih baik.

Tamat.

Cerita “Sepatu Tua di Bawah Langit Jakarta” menunjukkan bahwa setiap langkah, meski kecil dan penuh tantangan, tetap membawa kita lebih dekat ke tujuan. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, semangat untuk terus berjuang, meski dengan sepatu tua yang mulai usang, adalah kunci untuk bertahan.

Jadi, jangan pernah menyerah, karena setiap usaha pasti akan membuahkan hasil. Semoga kisah Arghendra bisa jadi pengingat bahwa harapan selalu ada, bahkan di tengah kesulitan. Jika kamu sedang berjuang mencari pekerjaan, ingatlah, perjalananmu baru saja dimulai. Terus semangat dan jangan berhenti berusaha!

Leave a Reply