Senja di Atas Bukit Cempaka: Kisah Persahabatan yang Menggetarkan Jiwa

Posted on

Rasakan kehangatan dan kedalaman emosi dalam cerpen Senja di Atas Bukit Cempaka: Kisah Persahabatan yang Menggetarkan Jiwa, yang mengisahkan perjalanan Sekar Arumdati dan Lintang Pramadya di Talunwangi. Dengan latar Bukit Cempaka yang penuh aroma bunga dan kenangan, cerita ini membawa Anda ke dalam ikatan persahabatan yang penuh tawa, air mata, dan pelajaran hidup tentang cinta, kehilangan, dan kenangan abadi. Siapkan hati Anda untuk terhanyut dalam alur yang detail dan emosional ini!

Senja di Atas Bukit Cempaka

Aroma Cempaka dan Awal dari Segalanya

Di sebuah kota kecil bernama Talunwangi, yang tersembunyi di antara perbukitan hijau di Jawa Tengah, udara selalu membawa aroma khas bunga cempaka yang mekar di musim kemarau. Talunwangi bukanlah tempat yang ramai—jalan-jalannya sempit, dipenuhi rumah-rumah kayu dengan genting merah, dan di ujung kota berdiri Bukit Cempaka, tempat yang menjadi saksi bisu banyak kenangan warga. Di sanalah, pada suatu senja yang hangat di bulan Juni, aku, Sekar Arumdati, pertama kali bertemu dengan Lintang Pramadya.

Aku baru saja lulus SMP dan sedang menikmati libur panjang sebelum masuk SMA. Hidupku di Talunwangi terasa biasa saja—pagi membantu ibu di warung kecil kami yang menjual nasi pecel, siang membaca buku di beranda rumah, dan sore biasanya kuhabiskan dengan berjalan-jalan tanpa tujuan. Ayahku, seorang tukang kayu yang pendiam, sering bilang bahwa aku terlalu suka melamun. “Sekar, dunia ini nggak cuma di kepalamu. Lihat sekitar, banyak yang bisa kamu pelajari,” katanya suatu hari. Aku hanya tersenyum, tapi dalam hati aku tahu aku sedang mencari sesuatu—entah apa, aku belum tahu saat itu.

Hari itu, aku memutuskan untuk mendaki Bukit Cempaka. Bukit itu tidak terlalu tinggi, tapi jalurnya cukup menantang dengan tanah berbatu dan akar-akar pohon yang menjalar di mana-mana. Aku membawa buku novel tua, Laskar Pelangi, dan sebotol air di tas kain sederhana yang ibu jahitkan untukku. Aroma cempaka tercium semakin kuat saat aku mendekati puncak bukit, dan ketika akhirnya sampai, aku disambut oleh pemandangan yang membuat napasku terhenti sejenak. Talunwangi terlihat kecil di bawah, dikelilingi sawah yang menguning, dan langit di ufuk barat mulai berwarna jingga, seperti lukisan yang belum selesai.

Aku duduk di bawah pohon cempaka besar yang berdiri sendirian di puncak bukit, akar-akarnya menonjol dari tanah seperti tangan-tangan tua yang memeluk bumi. Aku membuka novelku, tapi belum sempat membaca satu halaman, sebuah suara memecah keheningan. “Kamu suka baca di tempat tinggi, ya?”

Aku menoleh, sedikit terkejut. Di depanku berdiri seorang anak laki-laki, mungkin seusia denganku, dengan rambut lurus yang sedikit panjang hingga menutupi dahinya. Matanya cokelat tua, seperti warna kayu jati yang baru dipoles, dan senyumnya hangat, seolah-olah dia sudah mengenalku sejak lama. Dia mengenakan kaus polos berwarna abu-abu dan celana pendek yang agak pudar, tapi ada sesuatu dalam caranya berdiri—santai namun penuh percaya diri—yang membuatku merasa dia bukan orang biasa.

“Iya,” jawabku singkat, masih merasa canggung. Aku bukan tipe yang mudah berbicara dengan orang baru, apalagi di tempat yang terasa begitu pribadi bagiku.

Dia duduk di sampingku tanpa diminta, seolah-olah itu hal yang paling wajar di dunia. “Aku Lintang,” katanya, memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. “Lintang Pramadya. Aku suka ke sini kalau lagi pengen mikir.”

Aku menjabat tangannya, merasakan telapak tangannya yang sedikit kasar. “Sekar. Sekar Arumdati,” balasku, lalu menunjuk novelku. “Aku cuma mau baca, sih. Tapi pemandangannya bagus, jadi aku ke sini.”

Lintang tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang sedikit tidak rata tapi entah kenapa terlihat menawan. “Bukit ini emang spesial. Aku sering ke sini sama almarhum kakekku. Dia bilang, pohon cempaka ini udah ada sejak dia kecil, dan tiap bunga yang gugur itu bawa cerita. Romantis, kan?”

Aku tertawa kecil, untuk pertama kalinya hari itu. Ada sesuatu dalam cara Lintang berbicara yang membuatku merasa nyaman, seolah-olah aku sedang mengobrol dengan teman lama. Kami mulai berbincang, dari buku yang sedang kubaca hingga cerita-cerita kecil tentang Talunwangi. Lintang bercerita tentang kakeknya, seorang penutur cerita rakyat yang dulu sering menghibur anak-anak desa dengan dongeng-dongeng tentang siluman bukit dan bidadari yang turun dari langit. “Kakek bilang, kalau kita denger baik-baik, kita bisa denger suara angin nyanyi di daun cempaka,” katanya, matanya berbinar.

Aku memandang pohon cempaka di depan kami, daun-daunnya bergoyang pelan diterpa angin senja. Aku mencoba mendengarkan, tapi yang kudengar hanya desau angin yang lembut. “Aku nggak denger apa-apa,” kataku, sedikit kecewa.

Lintang tertawa. “Mungkin kamu belum siap denger. Kakek bilang, angin cuma nyanyi buat orang yang hatinya terbuka.”

Malam itu, kami duduk di Bukit Cempaka hingga langit benar-benar gelap. Bintang-bintang mulai bermunculan, dan Lintang menunjuk beberapa di antaranya, menyebut nama-nama rasi bintang yang dia pelajari dari buku tua milik kakeknya. “Itu Ursa Major,” katanya, menunjuk sekelompok bintang yang membentuk pola seperti gayung. “Kakek bilang, itu beruang besar yang jaga langit. Kalau kamu nyanyi di bawah bintang-bintang, mereka bakal denger.”

Aku tersenyum, terpesona oleh caranya menceritakan sesuatu dengan penuh semangat. Untuk pertama kalinya sejak lama, Talunwangi tidak lagi terasa membosankan. Lintang, dengan cerita-ceritanya tentang angin, bintang, dan pohon cempaka, telah membukakan pintu dunia baru bagiku.

Hari-hari berikutnya, aku dan Lintang menjadi tak terpisahkan. Setiap sore, kami bertemu di Bukit Cempaka. Kadang kami membaca buku bersama, kadang Lintang membawaku ke tempat-tempat kecil di Talunwangi yang belum pernah kulihat, seperti kolam kecil di balik hutan pinus atau warung tua di pinggir kota yang menjual es dawet terenak. Dia mengajariku cara membuat layang-layang dari bambu dan kertas minyak, meski layang-layang pertamaku jatuh dalam hitungan detik dan membuat kami tertawa hingga perut sakit. Lintang adalah teman yang tak pernah kucari, tapi entah bagaimana, dia hadir di hidupku seperti angin senja—lembut, tapi tak bisa diabaikan.

Namun, di balik senyumnya yang hangat, aku mulai merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Lintang. Kadang, saat kami duduk bersama, dia akan tiba-tiba diam, memandang ke kejauhan dengan tatapan kosong, seolah-olah ada beban yang tak pernah dia ceritakan. Aku ingin bertanya, tapi setiap kali aku mencoba, dia selalu mengalihkan pembicaraan dengan candaan atau cerita-cerita aneh tentang bintang dan angin. Aku memilih untuk tidak memaksa, berpikir bahwa suatu saat dia akan terbuka.

Hingga suatu senja, ketika kami duduk di bawah pohon cempaka, memandang langit yang perlahan berubah warna, Lintang tiba-tiba berkata, “Sekar, kalau suatu hari aku nggak bisa ke bukit ini lagi, kamu bakal tetap ke sini, kan?”

Aku tertawa, mengira dia bercanda. “Mau ke mana? Ke langit sama bintang-bintang?”

Tapi dia tidak tertawa. Matanya memandangku dengan serius, dan untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu di wajahnya—kesedihan yang dalam, seperti langit sebelum hujan. “Cuma… janji aja, ya. Jangan lupain bukit ini, jangan lupain cerita-cerita kita.”

Aku mengangguk, meski ada perasaan aneh yang menggelitik di dadaku. “Janji,” kataku, tanpa tahu bahwa kata-kata itu akan menjadi awal dari sebuah perjalanan yang penuh dengan tawa, air mata, dan kenangan yang tak pernah pudar.

Echo Angin di Daun Cempaka

Musim kemarau di Talunwangi membawa panas yang membakar, tapi Bukit Cempaka tetap menjadi tempat pelarian bagiku, Sekar Arumdati, dan Lintang Pramadya. Setiap sore, setelah membantu ibu melayani pelanggan di warung nasi pecel atau menyapu beranda rumah yang penuh debu, aku bergegas ke bukit itu dengan tas kain yang selalu berisi buku dan sebotol air. Lintang selalu menunggu di bawah pohon cempaka, kadang dengan senyum lebar sambil memainkan suling bambu sederhana yang dia buat sendiri, kadang dengan wajah tenang yang membuatku bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya.

Hari itu, langit terlihat agak mendung, meski matahari masih berusaha menembus awan tipis dengan sinar keemasan. Aku mendaki bukit dengan langkah yang sudah terbiasa, melewati jalur berbatu yang dipenuhi jejak kaki dan akar pohon yang menjalar. Lintang duduk di bawah pohon cempaka, memandangi sekelompok burung kecil yang beterbangan di dekat puncak bukit. Di tangannya, ada buku tua berwarna cokelat yang kulitnya mulai mengelupas—buku milik kakeknya yang berisi cerita rakyat dan sketsa langit.

“Kamu dateng tepat waktu,” katanya saat aku mendekat, suaranya lembut seperti desau angin. “Aku mau ajak kamu ke tempat rahasia.”

Aku mengangkat alis, penasaran. “Tempat rahasia lagi? Apa nggak cukup guha kecil di balik hutan pinus?”

Lintang tertawa, suaranya renyah seperti daun kering yang diinjak. “Ini beda. Ikut aja, kalau nggak berani, aku ke sana sendiri.”

Aku mengikuti dia dengan hati-hati, meski kaki aku sedikit tergelincir di tanah yang kering. Kami berjalan menyusuri sisi bukit, melewati semak belukar yang penuh duri kecil dan pohon-pohon kecil yang daunnya gugur akibat panas. Setelah beberapa menit, Lintang berhenti di depan sebuah celah sempit di antara dua batu besar yang ditumbuhi lumut hijau. “Ini dia,” katanya, matanya berbinar. “Tempat kakekku bilang ada echo angin.”

Aku menatap celah itu dengan ragu. “Ini aman, kan? Nggak ada ular atau apa gitu?”

Lintang tersenyum, lalu masuk lebih dulu, menggelengkan kepala. “Tenang, cuma ada angin sama cerita. Masuk aja.”

Di dalam, ruang kecil itu ternyata lebih luas dari yang kulihat dari luar. Dinding batu dingin dan licin, dengan tetesan air yang sesekali jatuh dari atas, menciptakan suara ritmis yang menenangkan. Di tengah ruang, ada sebuah batu datar yang seolah-olah sengaja disusun sebagai tempat duduk. Lintang duduk di sana, lalu menepuk tempat di sampingnya. “Duduk. Coba denger.”

Aku mengikuti, meski hati-hati agar tidak tergelincir. Saat aku duduk, aku mulai mendengar sesuatu—suara angin yang masuk melalui celah-celah batu, berputar di dalam ruang kecil itu, dan menciptakan melodi alami yang aneh namun indah. “Ini… suara angin yang kamu bilang?” tanyaku, terkejut.

Lintang mengangguk, matanya penuh kebanggaan. “Kakekku bilang, echo ini cuma bisa didenger kalau hati kita tenang. Dia sering ke sini sama aku, ceritain dongeng, lalu kita denger angin nyanyi bareng.”

Aku menutup mata, membiarkan suara angin mengisi telingaku. Ada keajaiban dalam suara itu, seolah-olah angin membawa cerita-cerita lama yang tersimpan di Bukit Cempaka. Tapi saat aku membuka mata, aku melihat Lintang menatap ke arah dinding batu dengan ekspresi yang berbeda—sedih, seolah-olah ada kenangan yang menyakitkan.

“Lintang,” kataku pelan, “kamu baik-baik aja?”

Dia menoleh, lalu tersenyum tipis. “Iya, cuma… aku teringat kakek. Dia sakit lama sebelum pergi, Sekar. Tiap hari dia cuma bisa tiduran, tapi dia tetap cerita tentang angin sama bintang. Aku nggak nyangka dia bakal pergi begitu cepat.”

Aku terdiam, merasakan beban yang Lintang pikul sendirian. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi aku tahu dia butuh waktu. Jadi, aku hanya duduk di sampingnya, mendengarkan echo angin yang terus bermain di ruang kecil itu. “Kakekmu pasti bangga sama kamu,” kataku akhirnya. “Kamu ngelanjutin cerita-cerita dia.”

Lintang mengangguk pelan, tapi matanya berkaca-kaca. “Aku cuma pengen dia denger aku cerita lagi. Makanya aku suka ke sini, biar rasanya dia masih ada.”

Aku memegang tangannya, merasakan jari-jarinya yang sedikit dingin. Di dalam ruang kecil itu, di tengah aroma tanah dan suara angin, aku merasa lebih dekat dengan Lintang. Aku tak bisa membayangkan kehilangan seseorang yang begitu berarti, tapi aku tahu aku ingin ada untuknya, seperti dia ada untukku sejak hari pertama di Bukit Cempaka.

Malam itu, kami keluar dari celah batu dan duduk di puncak bukit, memandang langit yang penuh bintang. Lintang menunjuk rasi bintang yang dia sebut Lyra, mengatakan bahwa itu adalah alat musik langit yang dimainkan oleh para bintang. “Kakek bilang, kalau kita nyanyi di bawah Lyra, doa kita bakal sampai,” katanya.

Aku tersenyum, lalu mulai bernyanyi pelan—lagu sederhana yang ibu biasa nyanyikan di warung. Lintang ikut menyanyi, suaranya sedikit serak tapi penuh perasaan. Di bawah langit yang luas, kami bernyanyi bersama, dan untuk pertama kalinya, aku merasa angin benar-benar menjawab dengan melodi yang lebih lembut.

Hari-hari setelah itu, persahabatan kami semakin erat. Lintang mulai lebih terbuka, meski kadang aku masih melihat bayang-bayang kesedihan di matanya. Kami menghabiskan waktu dengan petualangan kecil—membuat perahu kertas dari daun pisang untuk dihanyutkan di kolam, mengumpulkan bunga cempaka yang gugur untuk dijadikan hiasan, atau sekadar berbaring di rumput sambil menghitung bintang. Tapi di balik semua tawa dan cerita, aku tahu ada luka yang masih belum sembuh di hati Lintang.

Suatu senja, saat kami duduk di bawah pohon cempaka dengan layang-layang yang baru selesai dibuat, Lintang tiba-tiba berkata, “Sekar, kalau suatu hari aku nggak bisa ke bukit ini lagi, kamu bakal nyanyi di celah batu itu, kan? Buat kakekku, buat aku?”

Pertanyaan itu kembali membuatku merasa tak nyaman, seperti ada firasat yang tak bisa kujelaskan. “Jangan ngomong gitu, Lintang. Kamu nggak ke mana-mana. Kita masih harus bikin layang-layang yang bisa terbang sampai Lyra!”

Dia tersenyum, tapi senyumnya tidak secerah biasa. “Iya, sampai Lyra,” katanya pelan, lalu kembali fokus pada tali layang-layang yang sedang dia ikat.

Aku tidak tahu saat itu, bahwa kata-kata Lintang bukan sekadar candaan. Ada rahasia lain yang masih dia simpan, sebuah rahasia yang akan mengubah segalanya, dan membuatku belajar arti sebenarnya dari persahabatan, kehilangan, dan kenangan yang abadi.

Bayang-Bayang di Balik Senja

Musim kemarau di Talunwangi perlahan berganti menjadi musim hujan. Hujan pertama datang dengan lembut, menyirami sawah-sawah yang kering dan membawa aroma tanah basah yang khas. Bukit Cempaka kini terlihat lebih hijau, dengan rerumputan yang mulai tumbuh subur dan bunga-bunga liar yang bermunculan di sela-sela bebatuan. Aku, Sekar Arumdati, dan Lintang Pramadya, masih menjadikan bukit itu sebagai tempat perlindungan kami, meski hujan sering memaksa kami untuk berteduh di bawah pohon cempaka atau di celah batu kecil yang kini terasa seperti rumah kedua.

Hari itu, tanggal 5 Juni 2025, adalah hari yang cerah setelah beberapa hari hujan deras. Langit Talunwangi berwarna biru tua dengan awan putih yang bergerak perlahan, seolah-olah menari bersama angin. Aku mendaki Bukit Cempaka dengan semangat, membawa payung kecil yang ibu paksa aku bawa—“Biar nggak kehujanan kalau tiba-tiba hujan lagi,” katanya pagi tadi. Di tas kainku, aku membawa buku catatan kecil yang kini penuh dengan puisi-puisi pendek yang terinspirasi dari cerita Lintang tentang angin dan bintang, serta sebotol air dan beberapa bunga cempaka yang aku petik di perjalanan untuk dijadikan hiasan.

Lintang sudah menunggu di puncak bukit, duduk di bawah pohon cempaka dengan suling bambu di tangannya. Dia memainkan melodi sederhana, nadanya lembut dan sedikit melankolis, seperti suara angin yang bermain di celah batu. “Kamu terlambat,” katanya sambil tersenyum, meski matanya terlihat sedikit lelah.

“Maaf, tadi ibu nyuruh bantu lipat daun pisang buat bungkus pecel,” jawabku sambil duduk di sampingnya. Aku memperhatikan wajahnya lebih teliti—kulitnya terlihat lebih pucat dari biasanya, dan ada lingkaran hitam samar di bawah matanya. “Kamu baik-baik aja? Kok keliatan capek?”

Lintang mengangguk cepat, tapi aku tahu dia sedang menyembunyikan sesuatu. “Iya, cuma kurang tidur. Tadi malam aku bantu ayah beresin atap yang bocor,” katanya, lalu mengalihkan perhatian dengan menunjuk langit. “Lihat, awannya kayak kapas. Keren, kan?”

Aku mengangguk, tapi pikiranku masih dipenuhi kekhawatiran. Selama beberapa minggu terakhir, Lintang sering terlihat lelah. Dia masih tersenyum dan bercanda seperti biasa, tapi ada saat-saat ketika dia tiba-tiba diam, memandang ke kejauhan dengan tatapan kosong. Aku ingin bertanya, tapi aku takut membuatnya tidak nyaman. Jadi, aku memutuskan untuk menikmati momen itu, berharap dia akan terbuka dengan sendirinya.

Kami menghabiskan sore itu dengan membuat hiasan dari bunga cempaka yang kubawa. Lintang mengajakku untuk membuat kalung sederhana dengan cara mengikat bunga-bunga itu menggunakan tali dari serat daun pandan yang dia bawa. “Kakekku dulu sering bikin ini buat nenek,” katanya sambil fokus mengikat bunga. “Katanya, bunga cempaka itu simbol cinta yang tahan lama, kayak pohon ini—meski hujan, panas, dia tetap berdiri.”

Aku tersenyum, melihat kalung kecil yang perlahan terbentuk di tangannya. “Kamu romantis juga, ya,” godaku, tapi matanya tiba-tiba redup, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggunya.

“Sekar,” katanya pelan, tanpa menoleh, “kamu pernah takut kehilangan sesuatu yang berarti?”

Pertanyaannya membuatku terdiam. Aku memikirkan ibu dan ayah, warung kecil kami, dan Talunwangi yang kini terasa seperti bagian dari diriku. “Pernah,” jawabku akhirnya. “Aku takut kehilangan keluargaku, takut Talun.exwangi berubah… takut kehilangan bukit ini. Kenapa tiba-tiba nanya gitu?”

Lintang menghela napas panjang, lalu menatapku dengan mata yang penuh emosi. “Aku… nggak tahu berapa lama lagi aku bisa ke sini, Sekar. Aku… aku sakit. Dokter bilang aku punya masalah di jantungku. Udah lama, sejak kecil, tapi akhir-akhir ini… aku sering lelet jalannya, sering capek. Mereka bilang, aku mungkin butuh operasi, tapi… mahal, dan aku nggak mau jadi beban keluarga.”

Aku merasa dunia berhenti berputar. Aku menatapnya, tak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. “Lintang… kamu serius? Kenapa nggak bilang dari awal?” Suaraku bergetar, air mata mulai menggenang di mataku.

Dia tersenyum pahit, tapi matanya juga berkaca-kaca. “Aku nggak mau kamu kasihan sama aku, Sekar. Aku pengen kamu lihat aku sebagai Lintang yang suka cerita tentang angin, bintang, dan bukit ini—bukan Lintang yang sakit. Aku pengen kita nikmatin waktu yang ada, kayak gini.”

Aku tak bisa menahan air mataku lagi. Aku memeluknya erat, merasakan tubuhnya yang sedikit gemetar. “Kamu nggak boleh nyerah, Lintang. Kamu harus operasi, harus sembuh. Kita masih harus nyanyi di celah batu, bikin layang-layang, lihat Lyra bareng!”

Lintang memelukku balik, dan aku bisa mendengar napasnya yang sedikit tersengal. “Aku janji, Sekar. Aku bakal coba. Tapi… kalau aku nggak bisa, kamu harus janji ke celah batu itu, nyanyi buat aku dan kakek. Janji?”

Aku mengangguk, meski hatiku menolak untuk menerima kenyataan itu. “Janji,” bisikku, sambil menahan isak tangis.

Hari-hari setelah pengakuan Lintang terasa berbeda. Aku masih bertemu dengannya setiap sore, tapi kini aku lebih memperhatikan setiap detail—caranya tersenyum meski kadang napasnya pendek, caranya tetap berusaha membuatku tertawa meski aku tahu dia sedang berjuang, dan caranya memandang langit dengan penuh harap. Kami masih pergi ke celah batu, masih membuat kalung dari bunga cempaka, tapi ada bayang-bayang yang kini mengikuti kami, seperti awan kelabu yang tak pernah benar-benar pergi.

Suatu malam, saat kami duduk di puncak bukit, Lintang menyerahkan sesuatu padaku—sebuah suling bambu kecil yang dia buat sendiri. “Ini buat kamu,” katanya. “Supaya kamu bisa nyanyi sama angin, meski aku nggak di sini.”

Aku memegang suling itu, merasakan kehangatan bambu di tanganku, dan aku tahu bahwa apa pun yang terjadi, Lintang telah meninggalkan jejak di hidupku yang tak akan pernah pudar. Tnetapi aku berdoa, memohon pada langit dan bintang-bintang yang dia cintai, agar Lintang diberi waktu lebih lama, agar persahabatan kami禁止 kami tak berhenti, agar kami bisa terus bersama, di bawah langit Talunwangi yang penuh bintang.

Lagu Angin di Bawah Langit

Pagi itu, tanggal 5 Juni 2025, pukul 10:39 WIB, hujan turun dengan deras di Talunwangi, membasahi atap-atap rumah kayu dan jalan-jalan sempit yang biasanya ramai oleh aktivitas warga. Aku, Sekar Arumdati, berdiri di beranda rumah, memandangi tetesan air yang jatuh dari genting, hati terasa berat. Sejak Lintang Pramadya mengaku tentang penyakit jantungnya dua minggu lalu, setiap hari terasa seperti hitungan mundur yang tak bisa kupahami. Suling bambu kecil yang dia berikan masih kupegang erat, menjadi pengingat akan janjiku untuk tetap menyanyi, meski aku tak pernah membayangkan hari itu akan tiba begitu cepat.

Lintang semakin lemah. Setelah pengakuannya, dia jarang naik ke Bukit Cempaka. Aku sering mengunjunginya di rumahnya, sebuah bangunan sederhana di ujung kota dengan halaman kecil yang dipenuhi tanaman cempaka. Ibunya, seorang wanita lembut yang selalu tersenyum meski matanya penuh kekhawatiran, biasanya menyuguhi kami teh hangat dan kue lumpur buatan sendiri. Lintang hanya bisa duduk di kursi rotan di teras, napasnya pendek, tapi dia tetap berusaha bercanda. “Sekar, lain kali kita bikin layang-layang dari daun pisang, ya? Pasti terbang sampai Lyra,” katanya suatu sore, meski aku tahu dia sedang berjuang untuk bicara.

Hari itu, hujan baru reda sekitar siang, meninggalkan udara yang sejuk dan aroma tanah basah yang menyegarkan. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah Lintang, membawa buku catatan puisiku dan suling yang dia beri. Saat aku tiba, ibunya menyambutku dengan senyum yang dipaksakan. “Lintang lagi istirahat, Sekar. Tapi dia minta ketemu kamu,” katanya pelan, menuntunku masuk ke kamar kecil di belakang rumah.

Lintang berbaring di ranjang sederhana, tubuhnya tertutup selimut tipis yang ibunya jahit. Wajahnya pucat, matanya setengah terbuka, tapi saat aku masuk, dia tersenyum lemah. “Kamu dateng,” bisiknya, suaranya hampir hilang. “Aku tahu kamu bakal dateng.”

Aku duduk di samping ranjangnya, memegang tangannya yang dingin. “Iya, aku janji kan selalu ada,” kataku, mencoba menahan isak tangis. “Kamu harus cepet sembuh, Lintang. Kita masih harus ke Bukit Cempaka, nyanyi bareng angin.”

Dia mengangguk pelan, tapi ada ketenangan di matanya yang membuatku takut. “Sekar, aku udah capek. Tapi aku seneng… bisa kenal kamu. Kamu bikin Bukit Cempaka lebih hidup buat aku.” Dia berhenti sejenak, napasnya tersengal. “Janji… nyanyi di celah batu. Buat aku, buat kakek.”

Air mataku mengalir tanpa henti. “Janji, Lintang. Tapi kamu harus kuat dulu, ya? Aku nggak mau kehilangan kamu.”

Dia tersenyum, lalu menutup mata. Ibunya masuk, memelukku dari belakang, dan aku tahu bahwa waktu Lintang hampir habis. Malam itu, sekitar pukul 11:00 WIB, Lintang pergi dengan tenang, meninggalkan suling bambu dan kenangan yang tak akan pernah aku lupakan.

Hari-hari setelah kepergian Lintang terasa seperti mimpi buruk. Talunwangi terasa sepi tanpa tawa renyahnya, tanpa cerita-ceritanya tentang angin dan bintang. Aku berhenti naik ke Bukit Cempaka untuk sementara, karena setiap kali memandang pohon cempaka, dadaku terasa sesak. Tapi suatu malam, ketika bulan purnama menerangi desa, aku mengambil suling bambu dari laci kamarku dan berjalan ke bukit itu.

Aku tiba di puncak Bukit Cempaka, angin malam membawa aroma cempaka yang kuat. Aku melangkah ke celah batu kecil, tempat echo angin pertama kali kudengar. Di dalam ruang itu, aku duduk di batu datar, memandang langit melalui celah-celah batu. Bintang-bintang bersinar terang, dan aku bisa membayangkan Lintang menunjuk rasi Lyra dengan senyumnya yang hangat.

Dengan tangan gemetar, aku mengangkat suling dan mulai memainkannya, mengikuti melodi yang pernah dia mainkan. Suara suling bercampur dengan echo angin, menciptakan harmoni yang indah dan menyayat hati. Air mataku jatuh, tapi aku terus bermain, bernyanyi dalam hati untuk Lintang dan kakeknya. Aku merasa angin menjawab, membawa suaraku ke langit, seolah-olah Lintang dan kakeknya sedang mendengarkan dari sana.

Hingga kini, setiap kali aku merasa kehilangan arah, aku kembali ke Bukit Cempaka. Aku membawa suling bambu, buku puisiku, dan kenangan tentang sahabat yang mengajariku bahwa hidup adalah tentang menjalani setiap momen dengan penuh cinta. Lintang dan kakeknya kini menjadi bagian dari angin dan bintang, dan aku, Sekar Arumdati, akan terus menyanyi untuk mereka, di bawah langit Talunwangi yang penuh cerita dan harapan.

Senja di Atas Bukit Cempaka adalah lebih dari sekadar cerita, ini adalah pengingat bahwa persahabatan sejati mampu meninggalkan jejak abadi di hati, seperti aroma cempaka yang tak pernah hilang dari ingatan. Kisah Sekar dan Lintang mengajarkan kita untuk menghargai setiap momen bersama orang tersayang, karena waktu adalah hadiah yang tak ternilai. Jangan lewatkan cerpen ini untuk merasakan sentuhan emosi yang mendalam dan inspiratif.

Terima kasih telah menyusuri kisah emosional ini bersama kami! Semoga cerita Sekar dan Lintang menginspirasi Anda untuk merayakan setiap detik bersama sahabat terkasih. Sampai bertemu di artikel berikutnya, teruslah mencari cerita-cerita yang membawa kehangatan di hati!

Leave a Reply