Seni dan Kebhinekaan: Membangun Harmoni dalam Perbedaan

Posted on

Hai, kamu pernah ngerasa kayak hidup di dunia yang penuh warna? Ya, itu yang dirasain Mariko dan Arun! Di tengah perbedaan yang kadang bikin pusing, mereka malah nemuin keindahan yang bikin hati berbunga-bunga. Siap-siap buat ikutan petualangan seru mereka, di mana seni dan kebhinekaan jadi jembatan yang menghubungkan kita semua!

 

Seni dan Kebhinekaan

Pertemuan Tak Terduga

Di sudut kota yang tak pernah sepi, terdapat sebuah kafe kecil bernama “Kaleidoskop.” Kafe ini terkenal dengan suasananya yang hangat, aroma kopi yang menggoda, dan mural warna-warni yang menghiasi dindingnya. Di sinilah kehidupan yang beragam bertemu, dan di sinilah cerita kita dimulai.

Hari itu, Mariko, seorang seniman tato dengan gaya yang mencolok, duduk sendirian di meja pojok. Rambutnya yang panjang tergerai indah, dan tangannya yang penuh dengan tinta menunjukkan betapa seriusnya dia dalam dunia seni. Di depannya, sebuah sketsa tergeletak, menggambarkan bunga-bunga dari berbagai budaya: sakura, mawar, dan melati. Dia berusaha menangkap keindahan dalam kebhinekaan, tapi ada sesuatu yang mengganggu konsentrasinya.

Sementara itu, Arun, seorang musisi jalanan dengan biola kesayangannya, baru saja menyelesaikan penampilannya di dekat kafe. Suara biolanya yang lembut dan penuh perasaan memikat perhatian banyak orang, termasuk Mariko. Saat dia menghampiri kafe, Arun merasakan aroma kopi yang menggugah selera. Dengan langkah santai, dia masuk dan langsung terpesona oleh suasana kafe yang ceria.

“Eh, kamu di sini sendiri?” tanya Arun saat melihat Mariko duduk dengan tatapan serius.

Mariko menoleh, terkejut melihat orang yang baru saja selesai bermain biola. “Oh, iya. Lagi nyoba menyelesaikan sketsa,” jawabnya, sedikit ragu. “Kamu siapa?”

“Gue Arun,” katanya dengan senyuman lebar. “Baru selesai main di luar. Lu seniman ya? Gimana bisa bikin gambar-gambar ini?” Dia melirik sketsa di meja Mariko.

“Gue Mariko. Iya, seniman tato,” jawabnya sambil sedikit menggaruk kepala. “Tato ini adalah tentang keragaman. Makanya ada banyak bunga.”

Arun mengamati sketsa itu lebih dekat. “Keren banget! Bunga sakura itu dari Jepang, kan?” tanyanya, terlihat antusias.

“Iya, dan ini melati dari Indonesia,” jawab Mariko, merasa senang karena ada yang mengapresiasi karyanya. “Gue pengen orang-orang lihat betapa indahnya hidup dalam kebhinekaan.”

“Wah, itu bagus! Gue juga suka ngeliat perbedaan. Dari musik yang gue mainin aja, bisa dibilang itu juga bagian dari kebhinekaan,” Arun menimpali, lalu menambahkan, “Kita bisa saling menginspirasi, nih!”

Mariko tersenyum, merasa ada koneksi yang kuat. “Iya, setuju. Gimana kalau kita kerja bareng? Mungkin kamu bisa jadi model untuk tatoku?” tawar Mariko, mengusulkan ide yang muncul tiba-tiba.

“Model? Kenapa enggak! Gue pasti mau!” Arun menjawab dengan semangat. “Tapi, ya, lu harus janjikan satu hal. Kita harus nyelipin unsur musik dalam tatonya, ya.”

Mariko tertawa. “Deal! Gue bisa gambarin nada-nada dari lagu yang kamu mainkan.”

Setelah obrolan itu, keduanya mulai berteman. Mereka menghabiskan waktu bersama di kafe, saling bertukar cerita tentang latar belakang mereka. Mariko bercerita tentang bagaimana dia dibesarkan di Indonesia meskipun punya keturunan Jepang. “Kadang, orang-orang suka bingung sama identitas gue,” ujarnya. “Tapi, bagi gue, itu justru yang bikin hidup jadi menarik.”

Arun mengangguk. “Gue juga ngerasa gitu. Keluarga gue baru pindah dari India, dan kadang orang-orang gak paham budaya kita. Tapi, ya, gue percaya kalau setiap budaya punya keindahan sendiri.”

Hari demi hari, kedekatan mereka semakin erat. Mereka mulai menghabiskan waktu di berbagai festival, menikmati keanekaragaman yang ditawarkan kota itu. Mariko mengajak Arun ke festival makanan di mana aroma masakan dari berbagai daerah memenuhi udara. Di sana, mereka mencicipi berbagai hidangan, dari sushi hingga samosa.

“Gue paling suka samosa! Keren banget rasanya,” kata Arun dengan mata berbinar. “Tapi, sushi ini juga enak. Seru, ya, bisa merasakan semua ini bareng.”

Mariko tersenyum. “Iya, kita bisa merayakan kebhinekaan lewat makanan juga. Setiap gigitan ini kayak perjalanan ke tempat yang berbeda.”

Mereka juga sering menghabiskan waktu di taman, Arun mengajak Mariko mendengarkan lagu-lagu tradisional sambil bermain biola. Suara biola Arun memecah keheningan taman, dan Mariko terbuai dengan melodi yang indah. Suatu saat, Arun menggoda Mariko, “Eh, jadi, kapan kita bikin proyek seni ini, ya?”

“Bentar lagi. Gue udah siap dengan semua desainnya. Kita tinggal atur waktu dan tempat,” jawab Mariko.

Sambil berjalan pulang setelah hari yang penuh warna, Mariko dan Arun merasa seolah mereka telah menemukan satu sama lain di dunia yang luas ini. Setiap langkah mereka membawa harapan baru untuk menciptakan sesuatu yang lebih besar bersama—sebuah karya seni yang menggambarkan keindahan hidup dalam kebhinekaan.

Namun, kisah mereka baru saja dimulai, dan di kafe Kaleidoskop, dunia menunggu untuk diwarnai dengan cerita-cerita baru yang indah.

 

Melodi Persatuan

Kedekatan Mariko dan Arun semakin tumbuh seiring waktu. Setiap akhir pekan, mereka menghabiskan waktu di kafe Kaleidoskop, merencanakan proyek seni yang semakin matang. Dalam satu kesempatan, mereka memutuskan untuk mengadakan pertunjukan kecil yang menggabungkan seni tato dan musik, sebuah kolaborasi unik yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Di suatu pagi yang cerah, Mariko duduk di depan laptopnya, mencoba merancang poster untuk acara yang mereka rencanakan. “Kita harus punya tema yang menarik, Arun. Gimana kalau ‘Melodi Kehidupan’?” usulnya, sambil menunjukkan desain yang sudah dia buat.

Arun mengerutkan keningnya, berpikir sejenak. “Bagus, tapi kita juga perlu menambahkan elemen interaktif. Gimana kalau pengunjung bisa memilih desain tato kecil yang akan kita lukis di tempat?” sarannya, yang membuat Mariko terkesan.

“Wah, itu ide yang brilian! Kita bisa buat stasiun lukis di luar kafe. Pengunjung bisa merasakan seni tato tanpa harus berkomitmen,” Mariko menjawab, penuh semangat. “Tapi kita perlu alat dan cat khusus, ya.”

“Gue bisa cari sponsor dari teman-teman musisi yang biasa main di sini. Mereka pasti mau bantu,” Arun menambahkan, wajahnya berseri-seri. “Kita bisa buat acara ini jadi lebih besar.”

Mereka lalu menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, merancang flyer, menghubungi teman-teman, dan menyebarkan berita tentang acara tersebut. Suasana penuh semangat dan kreativitas menyelimuti mereka. Dalam setiap detik kebersamaan, mereka semakin menyadari betapa indahnya hidup dalam kebhinekaan.

Beberapa hari sebelum acara, mereka berdua pergi ke pasar seni untuk mencari bahan-bahan yang dibutuhkan. Dengan langkah bersemangat, mereka menjelajahi setiap sudut toko, membandingkan cat dan alat lukis. Di tengah pencarian mereka, Mariko berhenti di depan sebuah toko kecil yang menjual pernak-pernik etnik.

“Arun, lihat ini!” serunya, sambil menunjukkan gelang-gelang berwarna-warni. “Ini bisa jadi tambahan menarik untuk acara kita.”

Arun mendekat dan mengamati gelang-gelang itu. “Keren! Kita bisa menjualnya sebagai merchandise. Setiap gelang punya cerita sendiri, sama seperti kita,” ujarnya.

“Bener banget! Gue suka ide itu. Ini bukan hanya tentang seni, tapi juga merayakan keragaman dan cerita di balik setiap benda,” Mariko menambahkan.

Sambil menjelajahi toko, mereka saling bercerita tentang harapan dan impian. Arun menceritakan keinginannya untuk mengadakan konser amal yang mengedukasi tentang keberagaman budaya. “Gue pengen setiap orang bisa merasa terhubung, kayak kita sekarang ini,” ujarnya, sambil tersenyum.

“Gue setuju! Kita bisa jadi jembatan untuk mempersatukan orang-orang yang berbeda,” Mariko menjawab. “Kalau kita bisa melakukan ini dengan seni dan musik, itu sudah lebih dari cukup.”

Setelah membeli berbagai perlengkapan, mereka melanjutkan perjalanan ke taman kota, tempat di mana acara mereka akan dilaksanakan. Di sana, mereka membayangkan panggung kecil yang dikelilingi oleh seni mural yang merepresentasikan keberagaman.

“Bayangkan, Arun! Di sini kita bisa menggambar mural besar dengan partisipasi pengunjung,” kata Mariko, wajahnya bersinar penuh antusias.

Arun mengangguk, “Iya! Kita bisa meminta pengunjung menambahkan warna atau elemen ke mural tersebut. Ini akan jadi karya kolektif yang menggambarkan kebhinekaan.”

Hari-H acara pun tiba, dan kafe Kaleidoskop telah berubah menjadi pusat perayaan. Pengunjung mulai berdatangan, penuh semangat dan antusias. Mariko dan Arun berdiri di depan panggung kecil, saling memberi semangat satu sama lain.

“Gue deg-degan, Mariko,” Arun mengaku sambil merapikan biolanya. “Gimana kalau mereka tidak suka?”

“Tenang, Arun. Mereka datang ke sini karena penasaran dengan apa yang kita tawarkan. Yang penting, kita harus nikmatin momen ini,” jawab Mariko dengan percaya diri.

Saat acara dimulai, Arun mengangkat biolanya dan memainkan melodi yang memikat. Suara biolanya mengalun lembut, membangkitkan semangat pengunjung. Mariko kemudian mengundang orang-orang untuk datang ke stasiun lukis. “Siapa yang mau coba merasakan seni tato sementara?” teriaknya dengan ceria.

Beberapa pengunjung mendekat, penasaran dengan tawaran Mariko. Mereka mulai menggambar desain kecil di tangan mereka dengan cat sementara. Mariko melihat senyum di wajah mereka, dan hatinya bergetar bangga.

Di tengah pertunjukan, Mariko melirik Arun yang masih memainkan biola. Ia terpesona dengan kemampuannya. Setiap nada yang keluar dari biola Arun membawa pesan dan cerita, seolah-olah melukis keindahan dalam setiap melodi.

“Ayo, semua! Kita akan membuat mural bersama!” seru Mariko, mengajak pengunjung untuk ikut serta. Dia membawa mereka ke dinding kosong yang telah disiapkan.

Satu per satu, pengunjung mulai menambahkan sentuhan warna dan desain mereka sendiri. Dari lukisan bunga hingga simbol-simbol kebudayaan, dinding itu perlahan-lahan dipenuhi dengan ekspresi kreativitas yang bervariasi. Mariko merasa bangga melihat bagaimana setiap orang memberi warna yang berbeda.

Saat malam tiba, panggung kecil dipenuhi oleh orang-orang yang berkumpul untuk menikmati pertunjukan. Arun berdiri di tengah panggung, memainkan melodi yang menggetarkan hati. Suara biolanya membangkitkan semangat dan menggugah emosi.

Mariko berdiri di samping panggung, melihat kerumunan yang menikmati acara. Ia menyadari bahwa mereka telah menciptakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kolaborasi seni. Mereka telah menjalin hubungan antarmanusia, merayakan keindahan hidup dalam kebhinekaan yang mengikat.

Di malam itu, saat bintang-bintang bersinar di langit, Mariko dan Arun merasakan momen berharga ini. Mereka tidak hanya menciptakan seni, tetapi juga mengukir kenangan indah dalam hati setiap orang yang hadir. Pertemuan tak terduga mereka di kafe Kaleidoskop telah menjadi bagian dari kaleidoskop kehidupan yang penuh warna.

Kisah mereka masih panjang, dan semangat untuk melanjutkan perjalanan bersama baru saja dimulai.

 

Jejak Harmoni

Setelah kesuksesan acara “Melodi Kehidupan,” Mariko dan Arun merasakan aliran energi kreatif yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Keduanya bersemangat untuk melanjutkan kolaborasi mereka dan menjelajahi lebih dalam tentang keberagaman budaya di sekitar mereka.

Suatu pagi yang cerah, Mariko mengajak Arun untuk berjalan-jalan di pasar seni lokal. “Gimana kalau kita cari inspirasi baru untuk proyek berikutnya? Banyak sekali artis lokal yang punya cerita unik,” ucapnya penuh semangat.

“Setuju! Gue sudah denger tentang seniman ukir yang terkenal di sini. Dia bisa bikin karya dari kayu dengan detail yang luar biasa. Kita bisa minta dia untuk jadi bagian dari proyek kita,” Arun menjawab, wajahnya berseri-seri.

Mereka menyusuri jalan setapak di pasar yang ramai, dikelilingi oleh deretan kios yang menjajakan berbagai produk seni dan kerajinan. Aroma rempah dan suara riuh dari para penjual menambah keseruan suasana. Mariko dan Arun menjelajahi setiap sudut, berhenti di depan kios yang menjual patung-patung kayu yang dipahat dengan indah.

“Lihat ini!” seru Mariko, menunjuk pada sebuah patung berbentuk burung yang terbang. “Ini pasti punya makna yang dalam.”

Arun mengangguk setuju, lalu mendekati penjual. “Pak, boleh tahu cerita di balik patung ini?” tanyanya.

Penjual itu tersenyum. “Burung ini melambangkan kebebasan dan keberanian. Dalam budaya kami, burung yang terbang tinggi berarti mencapai cita-cita meski banyak rintangan,” ujarnya dengan semangat.

Mariko dan Arun saling pandang, merasakan koneksi dengan cerita tersebut. “Kita harus memasukkan tema kebebasan ini dalam proyek kita selanjutnya,” Mariko berkomentar.

Setelah mengobrol dengan beberapa seniman di pasar, mereka mendapatkan ide untuk mengadakan pameran seni yang menggabungkan ukiran kayu dan lukisan, dengan tema “Harmoni dalam Kebebasan.” Mereka ingin memperlihatkan bagaimana seni bisa menjadi jembatan untuk saling memahami budaya yang berbeda.

“Saya bisa menghubungi seniman ukir yang kita temui tadi,” saran Arun. “Kita bisa ajak mereka untuk berkolaborasi dalam pameran ini.”

“Ya, dan kita bisa melibatkan komunitas lokal untuk ikut serta dalam pameran ini. Kita bisa buat workshop bagi anak-anak untuk menggambar atau membuat kerajinan tangan,” balas Mariko dengan penuh semangat.

Saat mereka berbincang, Arun menyadari bahwa ada satu hal yang belum mereka eksplorasi: kisah di balik setiap karya seni. “Mariko, gimana kalau kita menambahkan elemen narasi? Setiap karya bisa punya cerita, dan kita bisa meminta setiap seniman menceritakan makna di balik karya mereka saat pameran,” ucap Arun.

“Wah, itu ide yang cemerlang! Kita bisa buat buku kecil untuk melengkapi pameran dan memberikan wawasan lebih kepada pengunjung,” Mariko menjawab, wajahnya bersinar.

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan perencanaan yang penuh semangat. Mereka menghubungi berbagai seniman lokal, menjelaskan konsep pameran mereka, dan mendapatkan sambutan hangat dari banyak pihak. Seniman-seniman itu merasa antusias dan bangga bisa berkontribusi dalam sebuah proyek yang merayakan keberagaman.

Saat pameran hari H tiba, suasana di lokasi berlangsung meriah. Dinding-dinding dipenuhi karya seni yang menakjubkan, dan aroma makanan khas dari berbagai daerah menggoda selera. Mariko dan Arun merasa bangga melihat hasil kerja keras mereka terwujud.

Pengunjung mulai berdatangan, dan suasana semakin hidup. Mariko berdiri di samping Arun, menatap kerumunan yang antusias mengagumi setiap karya. “Gila, banyak banget orang yang datang!” Mariko terkejut, wajahnya berseri-seri.

Arun tersenyum lebar. “Iya, dan yang lebih keren, mereka semua ingin tahu tentang kisah di balik setiap karya.”

Saat pameran berlangsung, mereka mengundang setiap seniman untuk berbagi cerita di depan pengunjung. Satu per satu, seniman itu menjelaskan inspirasi di balik karya mereka, bagaimana kebudayaan mereka membentuk seni yang mereka ciptakan, dan makna mendalam yang terkandung di dalamnya. Suara riuh tepuk tangan dan sorakan menghangatkan suasana, membangun rasa saling menghargai di antara semua yang hadir.

Di tengah kesibukan itu, Mariko melihat seorang anak kecil berdiri di depan salah satu karya yang dipamerkan. Matanya bersinar penuh rasa ingin tahu. Dia tampak terpaku pada ukiran kayu berbentuk pohon besar yang dipahat oleh seorang seniman lansia.

“Arun, lihat itu!” Mariko menunjuk anak tersebut. “Dia terlihat sangat terpesona!”

Arun mengamati anak itu dengan senyuman. “Dia pasti merasakan keindahan dari karya itu. Makanya, kita perlu terus memperkenalkan seni kepada anak-anak,” ujarnya.

Setelah acara berakhir, Mariko dan Arun duduk bersama sambil menatap pemandangan malam yang indah. Lampu-lampu berkelap-kelip di sekeliling mereka menciptakan suasana hangat dan nyaman.

“Gue senang banget bisa ngerayain keberagaman seperti ini, Arun. Rasanya seperti semua orang bersatu dalam satu tujuan,” Mariko mengungkapkan perasaannya.

“Dan semua itu berawal dari pertemuan kita di kafe. Siapa sangka, ya?” Arun menjawab dengan nada penuh syukur.

“Yup, setiap langkah kecil kita membawa dampak yang besar. Kita harus terus berjuang untuk merayakan keindahan dalam kebhinekaan,” Mariko menyimpulkan.

Saat malam semakin larut, mereka berjanji untuk terus berkarya dan berkontribusi, meyakini bahwa setiap seni yang mereka ciptakan akan selalu menggambarkan harmoni dan keindahan hidup dalam kebhinekaan.

Kisah mereka belum berakhir. Petualangan baru akan segera dimulai, menanti untuk dijelajahi.

 

Menyemai Harapan

Pameran seni yang berlangsung sukses menjadi langkah awal bagi Mariko dan Arun untuk memperluas pengaruh mereka dalam mengedukasi masyarakat tentang keberagaman. Setiap seniman yang terlibat merasa bangga dan terinspirasi, dan banyak dari mereka yang mendekati Mariko dan Arun setelah acara untuk berbagi ide baru.

“Gue nggak pernah nyangka bisa se-impact ini, ya!” ucap Arun, sambil mengemasi barang-barang pameran yang tersisa. “Gue merasa kayak ada energi baru yang mengalir di antara kita semua.”

Mariko tersenyum lebar. “Iya, rasanya kita baru mulai, Arun. Kita bisa membuat lebih banyak acara kayak gini. Mungkin festival seni tahunan yang bisa mengajak lebih banyak orang!”

“Gue suka ide itu! Kita bisa melibatkan sekolah-sekolah, jadi anak-anak bisa belajar dan berinteraksi langsung dengan seni,” jawab Arun dengan semangat.

Di tengah perbincangan mereka, Mariko mendapat pesan dari salah satu seniman ukir yang berpartisipasi dalam pameran. Dia ingin berbagi hasil karya baru yang terinspirasi dari acara tersebut. “Lihat deh, Arun! Dia ngajakin kita untuk lihat ukiran terbarunya yang akan dipamerkan di festival seni yang diadakan bulan depan,” Mariko menunjukkan pesan tersebut.

“Wah, kita harus dateng! Dan mungkin kita bisa berkolaborasi untuk menyelenggarakan workshop di sana,” saran Arun.

Tanpa berlama-lama, mereka mulai merencanakan keikutsertaan dalam festival tersebut. Mereka ingin menciptakan ruang bagi para seniman untuk menunjukkan bakat dan memperkenalkan karya mereka kepada masyarakat yang lebih luas. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menghubungi berbagai komunitas seni, sekolah, dan organisasi lokal.

Hari festival pun tiba. Mariko dan Arun tiba lebih awal untuk menyiapkan stan mereka. Suasana festival terasa meriah dengan musik, makanan, dan keramaian orang-orang dari berbagai latar belakang yang datang untuk merayakan seni dan budaya.

“Gue excited banget! Ini bakal jadi kesempatan yang luar biasa,” seru Mariko.

“Bener banget. Kita harus pastikan setiap orang bisa merasakan keindahan dari kebhinekaan,” Arun menambahkan.

Seiring festival berlangsung, pengunjung mulai berkumpul di stan mereka. Mariko dan Arun mempresentasikan berbagai karya seni, serta mengajak anak-anak untuk berpartisipasi dalam workshop menggambar dan melukis. Mereka menjelaskan bahwa seni bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga sebagai sarana untuk memahami dan menghargai budaya lain.

Di tengah workshop, mereka melihat anak-anak yang awalnya ragu-ragu mulai menggambar dengan ceria. Melihat keceriaan anak-anak tersebut membuat hati mereka berdua bergetar. “Melihat mereka seperti ini bikin semua usaha kita terasa sepadan,” ucap Mariko, matanya berbinar.

“Ya, ini adalah langkah kecil, tapi bisa berdampak besar. Kita harus terus mempromosikan seni dan keberagaman,” jawab Arun sambil tersenyum.

Ketika festival berlanjut, para seniman mulai berbagi cerita tentang inspirasi di balik karya mereka. Dalam satu momen, seorang seniman muda dari komunitas lokal mempersembahkan karya yang menggambarkan persahabatan antara dua anak dari latar belakang yang berbeda.

“Ini cerita gue dan sahabat gue. Walaupun kita berasal dari budaya yang berbeda, kita selalu saling mendukung dan belajar satu sama lain,” ungkapnya dengan penuh semangat.

Mariko dan Arun saling berpandangan, menyadari bahwa kisah ini sejalan dengan tujuan mereka untuk mempromosikan keharmonisan. “Itu dia, Arun! Setiap seni bisa menghubungkan kita,” Mariko berbisik.

Saat festival berakhir, Mariko dan Arun berdiri di tengah kerumunan yang bertepuk tangan, merayakan keberhasilan hari itu. Mereka merasa bangga bisa berkontribusi dalam mempertemukan orang-orang dan merayakan kebhinekaan.

Dengan senyum lebar, Mariko berbalik kepada Arun. “Gue merasa ini baru permulaan. Kita harus terus melangkah dan membuat lebih banyak ruang bagi seni dan budaya.”

“Setuju! Dan kita akan terus menyemai harapan, satu karya seni pada satu waktu,” jawab Arun, sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Mariko.

Ketika mereka melangkah pergi dari festival, keduanya tahu bahwa perjalanan ini akan membawa mereka pada lebih banyak petualangan dan pengalaman. Keberagaman bukan hanya tentang perbedaan, tetapi juga tentang kekuatan yang bisa menyatukan.

Mereka berjanji untuk terus berkarya, berinovasi, dan menjalin hubungan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Dan dengan semangat baru, mereka siap menghadapi setiap tantangan yang akan datang, dengan harapan dan cinta untuk keindahan hidup dalam kebhinekaan.

 

Jadi, gitu deh! Mariko dan Arun berhasil nunjukin kalau hidup dalam kebhinekaan itu bukan cuma seru, tapi juga penuh makna. Mereka buktikan, dengan seni dan cinta, perbedaan bisa jadi kekuatan yang bikin kita lebih dekat. Yuk, terus rayakan setiap warna yang ada dalam hidup kita! Siapa tahu, perjalanan kita juga bisa jadi inspirasi buat orang lain, kan?

Leave a Reply