Senandung Diam-Diam: Kisah Pengagum Rahasia yang Bikin Baper dan Berdebar

Posted on

Pernah nggak sih kamu diam-diam mengagumi seseorang, tapi nggak berani ngungkapin perasaan? Atau mungkin kamu pernah jadi ‘korban’ perhatian rahasia dari seseorang yang nggak kamu sadari?

Nah, di cerpen Senandung Diam-Diam, kamu bakal dibawa ke dalam kisah manis dan penuh debar seorang pengagum rahasia yang mencintai dalam diam. Cerita ini nggak cuma bikin baper, tapi juga nunjukin gimana perasaan bisa tersampaikan tanpa harus diucapkan langsung. Yuk, simak kisah lengkapnya dan rasakan sensasi jatuh cinta dalam diam yang bikin hati meleleh!

Senandung Diam-Diam

Bisikan di Sudut Kelas

Di sudut kelas, dekat jendela yang sering terbuka, Alindra duduk dengan tenang, membiarkan angin sore memainkan ujung rambutnya yang diikat rendah. Tangannya sibuk mencoret-coret sesuatu di sudut buku catatannya, bukan materi pelajaran, melainkan baris-baris kecil yang hanya bisa dia mengerti.

Dua baris kursi di depannya, Raksa sedang berbicara dengan teman-temannya. Dia tidak berisik seperti anak-anak lain, tapi setiap kali dia tertawa, ada nada yang khas—sedikit serak, sedikit renyah, dan entah bagaimana, selalu berhasil membuat Alindra tersenyum kecil di balik bukunya.

“Raksa, tugas matematikamu udah selesai?” tanya Bayu, salah satu teman dekatnya.

Raksa menggeleng sambil menggaruk belakang kepalanya. “Belum. Aku liat soalnya aja udah pusing.”

“Wah, biasa. Nanti palingan nyontek jawabanku,” sela Naya sambil tertawa kecil.

Alindra diam-diam mendengarkan percakapan itu, membiarkan suaranya tenggelam dalam riuh rendah suasana kelas. Dia bukannya ingin ikut campur, tapi caranya mengamati Raksa sudah menjadi kebiasaan yang sulit dia hentikan.

Saat bel istirahat berbunyi, hampir semua murid berhamburan keluar. Raksa tidak langsung pergi. Dia mengeluarkan sebatang cokelat dari tasnya, membuka bungkusnya dengan satu tangan, lalu menggigitnya pelan.

Alindra pura-pura menunduk, berpura-pura sibuk membaca, padahal matanya diam-diam mencuri pandang.

“Aku udah sering lihat kamu makan cokelat,” celetuk Naya sambil duduk di meja Raksa. “Nggak takut sakit gigi?”

Raksa hanya nyengir. “Nggak, soalnya manisnya pas.”

Alindra tersenyum tipis. Anehnya, dia menyetujui kata-kata itu, meski dia tidak tahu kenapa.

Saat Raksa dan teman-temannya akhirnya keluar kelas, Alindra menghela napas lega. Dia menyentuh halaman terakhir buku catatannya, di mana sebuah puisi kecil telah dia tulis pagi ini sebelum pelajaran dimulai.

“Aku tidak butuh banyak kata, cukup melihatmu ada di sana sudah cukup. Dunia ini terasa lebih baik setiap kali kau tersenyum.”

Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang boleh tahu.

Tapi di dalam dadanya, perasaan itu tumbuh pelan-pelan, seperti bunga liar yang menolak layu meski tak pernah disiram.

Surat Tanpa Nama

Langit mulai meredup saat lonceng pulang berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar kelas dengan wajah lega, seakan terbebas dari jeratan angka dan teori. Alindra tetap duduk di kursinya, menunggu kelas sepi sebelum beranjak.

Di tangannya, selembar kertas kecil yang tadi ia sobek dari buku catatannya terasa begitu ringan sekaligus berat. Tinta biru di atasnya masih segar, kata-kata yang ia tulis berulang kali sebelum akhirnya merasa cukup.

“Pernahkah kau sadar bahwa ada seseorang yang selalu memperhatikanmu dari jauh? Bukan karena dia ingin mengganggumu, tapi karena dunia terasa sedikit lebih baik setiap kali kau ada di sana.”

Jantungnya berdebar tak karuan. Ini bukan pertama kalinya dia menulis sesuatu tentang Raksa, tapi ini pertama kalinya dia benar-benar berniat untuk mengirimkannya.

Dia melirik ke arah loker-loker yang berjajar rapi di koridor. Raksa selalu meletakkan barangnya di loker nomor 17, loker yang selalu didekatinya setiap pagi dan sore sebelum pulang.

Dengan langkah pelan, Alindra menyusuri lorong kosong itu. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Jari-jarinya sedikit gemetar saat dia menyelipkan kertas itu di celah loker Raksa.

Secepat mungkin, dia berbalik dan berjalan pergi, menahan diri untuk tidak melihat ke belakang.


Keesokan harinya, kelas lebih ramai dari biasanya. Suara obrolan berseliweran, tawa-tawa kecil terdengar dari sudut ke sudut. Tapi ada satu suara yang langsung menarik perhatian Alindra.

“Ada yang masukin surat ke lokermu?” tanya Bayu sambil tertawa kecil. “Wah, penggemar rahasia nih!”

Alindra menegang. Tangannya langsung mencengkeram bukunya lebih erat.

Raksa duduk dengan ekspresi sedikit bingung, menatap kertas kecil di tangannya. “Nggak ada nama.”

“Coba lihat isinya,” kata Naya penasaran, ikut mendekat.

Raksa membuka lipatan kertas itu, matanya menyusuri tulisan di dalamnya. Seketika kelas terasa lebih sunyi, seolah semua orang ikut menunggu reaksinya.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Raksa hanya tersenyum tipis, lalu melipat kembali kertas itu dan memasukkannya ke dalam sakunya.

“Terus?” Bayu mengangkat alis. “Nggak penasaran siapa yang nulis?”

Raksa mengangkat bahu santai. “Nggak usah buru-buru. Kalau dia mau ngasih tahu, nanti juga aku bakal tahu.”

Alindra menunduk dalam-dalam, berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai memanas.

Raksa tidak membuang surat itu.

Dia menyimpannya.

Dan entah kenapa, hal itu membuat dada Alindra terasa hangat.

Tanda-Tanda yang Halus

Hari-hari berlalu sejak surat itu sampai ke tangan Raksa, tapi Alindra masih belum bisa melupakan caranya melipat kertas itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam saku.

Sejak hari itu, sesuatu mulai terasa berbeda.

Raksa masih menjadi dirinya yang biasa—tertawa dengan Bayu, berbagi camilan dengan Naya, mengeluh soal tugas yang menumpuk. Tapi ada momen-momen kecil yang membuat Alindra bertanya-tanya.

Misalnya, saat Raksa tiba-tiba menoleh ke belakang di tengah pelajaran, pandangannya sekilas menyapu sudut tempat Alindra duduk sebelum kembali fokus ke bukunya.

Atau ketika mereka berpapasan di koridor, Raksa selalu memperlambat langkahnya, seakan berharap sesuatu terjadi—meskipun Alindra hanya menunduk dan berjalan lebih cepat.

Dan yang paling aneh adalah ketika Raksa mulai membawa buku catatan kecil ke mana-mana. Bukan buku pelajaran, tapi sesuatu yang terlihat lebih pribadi. Sesekali, Alindra melihatnya menulis sesuatu di sana, dengan ekspresi yang sedikit lebih serius daripada biasanya.

Hari itu, saat jam istirahat, Alindra memilih tetap di kelas. Dia duduk diam, mencoba membaca, meskipun pikirannya terus mengembara.

Suara langkah mendekat.

“Kenapa sendirian?”

Alindra hampir tersentak. Raksa berdiri di dekat mejanya, satu tangan menyelipkan buku catatan kecilnya ke dalam saku.

“Aku… lagi nggak lapar,” jawab Alindra cepat, berharap suaranya terdengar biasa saja.

Raksa mengangguk kecil, lalu menarik kursi di depannya dan duduk tanpa diundang. “Boleh nanya sesuatu?”

Alindra menelan ludah. “Apa?”

Raksa mengeluarkan kertas yang sudah agak kusut dari saku celananya. Surat itu.

“Aku penasaran sama yang nulis ini,” katanya pelan. “Tapi aku nggak mau maksa. Aku cuma… pengen bilang kalau aku suka isinya.”

Alindra tidak berani mengangkat wajahnya. Dia merasa jantungnya berdetak terlalu keras.

Raksa tersenyum kecil. “Aku nggak tahu siapa yang nulis, tapi rasanya aku ngerti apa yang dia maksud.”

Alindra menggigit bibirnya, berusaha menyembunyikan senyum yang hampir muncul.

Raksa bersandar di kursinya, menatap ke luar jendela. “Lucu, ya? Kadang ada hal-hal yang kita rasain tapi kita nggak tahu gimana cara ngomonginnya.”

Alindra mengangguk pelan, meskipun Raksa tidak sedang melihatnya.

“Aku penasaran, sih…” Raksa menoleh kembali ke arahnya, menatap langsung ke matanya untuk pertama kalinya. “Menurut kamu, kalau ada seseorang yang memperhatikan kamu dari jauh… apa itu hal yang bagus atau malah aneh?”

Alindra terdiam.

Dia tahu, Raksa sedang mencari sesuatu dalam jawabannya.

Tapi dia tidak bisa memberitahunya. Belum.

Jadi, dia hanya tersenyum kecil dan menjawab pelan, “Mungkin… itu tergantung siapa orangnya.”

Raksa tertawa kecil, seolah puas dengan jawaban itu.

Lalu bel berbunyi, dan seakan tidak ada apa-apa, dia bangkit dari kursinya. “Oke. Aku duluan, ya.”

Alindra menatap punggungnya saat dia berjalan kembali ke mejanya, sambil menahan debar di dadanya yang tak kunjung reda.

Sebuah Balasan yang Tak Terduga

Alindra mengira semuanya akan kembali seperti semula setelah percakapannya dengan Raksa. Bahwa Raksa akan melupakan surat itu, dan dia bisa terus mengagumi dari jauh tanpa ketahuan.

Tapi ternyata tidak.

Hari demi hari, Raksa semakin sering mencuri pandang ke arahnya. Tidak mencurigakan, tapi cukup untuk membuat Alindra merasa waspada.

Lalu, ada kebiasaan baru yang muncul.

Raksa mulai menyelipkan sesuatu di sela-sela bukunya saat pelajaran berlangsung—coretan kecil, potongan lirik lagu, atau bahkan sekadar kalimat acak yang entah kenapa terasa seperti pesan tersembunyi.

“Kadang sesuatu terasa dekat, tapi kita tetap nggak bisa menyentuhnya.”

“Ada hal-hal yang lebih enak dirasain aja, tanpa harus dicari tahu jawabannya.”

“Kalau aku tahu siapa yang nulis surat itu, kira-kira dia bakal ngomong jujur?”

Alindra membaca setiap catatan itu dengan hati berdebar. Raksa tidak menanyakannya secara langsung, tapi dia tahu Raksa mulai mendekati jawabannya.

Sampai suatu sore, saat hampir semua murid sudah pulang, Alindra membuka loker miliknya dan menemukan sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana.

Sepotong kertas kecil.

Tangannya gemetar saat mengambilnya.

“Terima kasih, siapa pun kamu. Dunia ini memang terasa lebih baik saat tahu ada seseorang yang diam-diam memperhatikan.”

Alindra menutup mulutnya, menahan napas. Kata-kata itu terasa familiar.

Bukan hanya karena Raksa pernah mengatakannya, tapi karena… dia tahu ini bukan sekadar balasan.

Ini adalah jawaban.

Saat dia menoleh ke belakang, Raksa berdiri beberapa meter darinya, bersandar santai di loker dengan tangan di saku.

Dia tidak mengatakan apa-apa.

Dia hanya tersenyum—senyum kecil yang seolah mengatakan bahwa dia sudah tahu. Bahwa dia sudah lama tahu.

Dan untuk pertama kalinya, Alindra membalas senyum itu tanpa harus menyembunyikannya lagi.

Cinta dalam diam memang penuh tanda tanya, tapi justru di situlah letak keindahannya—mencintai tanpa menuntut, mengagumi tanpa harus memiliki.

Senandung Diam-Diam bukan sekadar cerita tentang pengagum rahasia, tapi juga tentang keberanian kecil yang bisa mengubah segalanya. Jadi, apakah kamu lebih memilih tetap diam atau akhirnya mengungkapkan perasaanmu? Apa pun jawabannya, satu hal yang pasti—setiap perasaan layak untuk dirasakan, sekecil apa pun itu.

Leave a Reply