Semangkuk Perpisahan: Kenangan Terakhir di Meja Makan

Posted on

Hai sobat! Udah siap belum nih untuk dibawa dalam perjalanan emosional dengan cerpen “Semangkuk Perpisahan: Cerita Haru Tentang Anak SMA yang Berjuang Meraih Mimpi.” Cerita ini mengisahkan Surya, seorang anak SMA yang harus meninggalkan rumah dan keluarga tercinta demi mengejar impiannya.

Dalam perjalanan barunya, Surya menghadapi berbagai tantangan dan rindu yang mendalam. Namun, cinta dan dukungan keluarga serta persahabatan menjadi sumber kekuatan yang tak tergantikan. Temukan bagaimana Surya mengatasi kesulitan, meraih prestasi, dan menemukan harapan baru di tengah segala rintangan. Yuk, baca selengkapnya dan siapkan tisu, karena cerpen ini dijamin akan menyentuh hati kamu!

 

Kenangan Terakhir di Meja Makan

Hujan di Malam Perpisahan

Hujan turun deras, memukul-mukul atap rumah dengan irama yang monoton namun menenangkan. Di balik jendela, aku memandangi butiran air yang mengalir turun, menciptakan pola acak yang tak pernah sama. Suara hujan biasanya memberikan ketenangan, namun malam ini, ia hanya menambah perasaan gundah di hatiku.

Namaku Surya. Aku seorang remaja yang biasa dilihat sebagai anak yang selalu ceria dan penuh semangat. Di sekolah, aku memiliki banyak teman, dan setiap sudut sekolah menyimpan cerita-cerita penuh tawa dan canda. Tapi di rumah, aku hanyalah seorang anak yang harus menghadapi kenyataan bahwa malam ini adalah malam terakhirku di sini, sebelum aku harus pindah ke kota lain untuk melanjutkan sekolah dengan beasiswa yang kudapatkan.

Di ruang makan, ayah dan ibu telah menyiapkan makan malam. Semangkuk sup ayam hangat—masakan favoritku—terhidang di atas meja. Aku duduk di kursiku, menatap mangkuk itu tanpa selera makan. Biasanya, aroma sup ayam buatan ibu selalu berhasil membuatku bersemangat, tapi malam ini, rasanya ada yang berbeda.

“Ayo, makanlah, Surya,” kata ibu dengan suara lembut namun terdengar bergetar. Aku bisa melihat kesedihan yang tak mampu ia sembunyikan di matanya yang mulai berkaca-kaca.

Aku mengambil sendok dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Bu,” kataku pelan. Aku menyeruput sedikit sup itu, mencoba menikmati rasa yang sebenarnya sangat kurindukan. Setiap suapan membawa ingatan-ingatan masa lalu—ketika aku masih kecil, saat-saat di mana kami sekeluarga tertawa bersama di meja makan ini.

Ayah duduk di ujung meja, mencoba terlihat tegar meskipun aku tahu hatinya juga berat. “Surya, ini adalah langkah besar buat kamu. Kami sangat bangga dengan apa yang kamu capai,” katanya.

Aku menunduk, menatap sup di mangkukku. “Aku tahu, Yah. Tapi rasanya sulit meninggalkan semuanya di sini.”

Ibu meletakkan tangannya di atas tanganku, memberikan kehangatan yang selalu membuatku merasa aman. “Kamu akan baik-baik saja di sana. Ingat, kita selalu ada di sini untukmu,” katanya dengan senyum yang dipaksakan. Aku bisa merasakan betapa beratnya perpisahan ini bagi mereka, sama seperti yang kurasakan.

Hujan di luar semakin deras, seakan ikut merasakan kesedihan yang melanda malam itu. Setiap tetesan hujan seolah menggambarkan setiap tetes air mata yang coba kami tahan. Aku menyeruput lagi supku, mencoba mengingat setiap detail rasanya, berharap bisa menyimpannya dalam ingatan untuk waktu yang lama.

Suasana meja makan yang biasanya penuh tawa kini dipenuhi keheningan yang menyayat hati. Setiap detik yang berlalu terasa begitu lambat, seperti mencoba memberi kami lebih banyak waktu bersama. Tapi aku tahu, waktu tidak akan berhenti. Aku harus pergi, mengejar mimpi dan masa depanku, meskipun itu berarti meninggalkan semua yang kucintai di belakang.

Setelah beberapa saat, aku menyelesaikan makananku. Mangkuk sup itu kini kosong, sama seperti hatiku yang terasa hampa. Aku berdiri, memandang kedua orang tuaku dengan mata yang basah. “Aku akan merindukan kalian,” kataku, suaraku bergetar.

Ibu berdiri dan memelukku erat, seolah tak ingin melepasku. “Kami juga akan sangat merindukanmu, Nak. Jaga dirimu baik-baik di sana.”

Ayah mengikuti, memeluk kami berdua. “Kamu selalu bisa kembali ke sini, Surya. Rumah ini akan selalu menjadi tempatmu,” katanya dengan suara tegas namun penuh emosi.

Aku mengangguk, mencoba menahan air mata yang akhirnya jatuh juga. Dengan berat hati, aku melepas pelukan mereka dan melangkah menuju pintu. Hujan di luar masih deras, tapi aku tahu aku harus melangkah keluar dan menghadapi dunia baru yang menantiku.

Sambil menembus derasnya hujan, aku berjalan menuju terminal, meninggalkan rumah yang penuh kenangan. Setiap langkah terasa berat, namun aku tahu ini adalah bagian dari perjalananku menuju masa depan yang lebih baik. Di tengah kegelapan malam dan derasnya hujan, aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu kembali, meskipun jarak dan waktu memisahkan kami. Karena aku tahu, di meja makan sederhana itu, selalu ada tempat untukku, tempat yang penuh dengan cinta dan kenangan yang takkan pernah hilang.

 

Kenangan di Setiap Suapan

Pagi itu, aku terbangun dengan mata yang masih bengkak akibat menangis semalam. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah tirai kamarku, memberikan kehangatan yang terasa aneh di tengah perasaanku yang dingin. Aku menatap langit-langit kamar, mencoba meresapi kenyataan bahwa ini adalah hari pertamaku jauh dari rumah, jauh dari orang tua yang selalu mendukungku, dan jauh dari teman-teman yang selalu ada di sisiku.

Aku mencoba bangkit dan menyiapkan diriku untuk hari pertama di sekolah baru. Kota ini terasa begitu asing, penuh dengan wajah-wajah baru yang belum kukenal. Aku merapikan seragamku dan berusaha terlihat percaya diri, meskipun dalam hati ada rasa takut yang menggerogoti. Sebelum berangkat, aku menyempatkan diri untuk melihat foto keluarga yang kubawa. Senyum di wajah ayah dan ibu mengingatkanku bahwa aku harus kuat, demi mereka.

Di sekolah, suasananya begitu berbeda. Gedung-gedung tinggi dengan lorong-lorong panjang yang dipenuhi siswa-siswi yang tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Aku mencoba menyesuaikan diri, meskipun setiap langkah terasa seperti ujian berat. Ruang kelas baru dengan teman-teman baru membuatku merasa terasing. Aku, Surya yang selalu ceria dan penuh semangat, kini merasa kecil dan tak berdaya di tengah keramaian.

Saat istirahat tiba, aku mencari tempat duduk di kantin. Di sudut kantin, aku menemukan sebuah meja kosong dan duduk di sana, mengeluarkan bekal yang kubawa. Sup ayam. Bekal yang dikirimkan ibu dari rumah. Aromanya yang familiar membuat mataku berkaca-kaca. Setiap sendok yang kuambil mengingatkanku pada malam perpisahan itu, pada kehangatan yang kini terasa jauh.

Aku menyeruput sup ayam itu perlahan, merasakan kelezatannya yang tak pernah berubah. Setiap suapan membawa kenangan tentang rumah, tentang tawa dan canda di meja makan bersama ayah dan ibu. Aku teringat saat-saat di mana kami berkumpul di meja makan, membicarakan hal-hal sepele namun begitu berarti. Saat itu, aku merasa semua akan selalu seperti itu, penuh kebahagiaan dan kehangatan.

Di tengah lamunanku, seorang siswa menghampiriku. “Hai, kamu murid baru, ya? Boleh duduk di sini?” tanyanya dengan senyum ramah.

Aku mengangguk, mencoba tersenyum. “Iya, silakan.”

Dia duduk di seberangku dan memperkenalkan dirinya. “Namaku Dimas. Kamu?”

“Surya,” jawabku singkat.

Kami mulai berbincang, meskipun hatiku masih terasa berat. Dimas mencoba membuatku merasa nyaman, bercerita tentang sekolah ini dan orang-orang di dalamnya. Aku berusaha terlibat dalam pembicaraan, meskipun pikiranku masih melayang ke rumah. Perlahan, obrolan dengan Dimas sedikit mengurangi kesepianku.

Hari-hari berikutnya, Dimas selalu menemani saat istirahat, dan kami mulai berteman. Kehadirannya memberiku sedikit rasa nyaman di sekolah baru ini. Namun, setiap kali aku makan siang dengan bekal sup ayam buatan ibu, kenangan-kenangan itu kembali menghampiriku. Aku merasa seperti ada dua dunia yang berbeda—dunia di rumah dengan semua kehangatannya dan dunia di sini yang penuh tantangan baru.

Suatu hari, saat aku pulang sekolah, aku menerima telepon dari ibu. Suaranya yang lembut namun tegar selalu memberiku semangat. “Bagaimana harimu, Nak?” tanyanya.

Aku mencoba terdengar ceria. “Baik, Bu. Aku mulai beradaptasi di sini.”

Ibu tertawa pelan. “Bagus, Surya. Ingat, kami selalu mendukungmu dari sini. Jaga kesehatanmu dan jangan lupa makan.”

Aku terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku selalu makan bekal dari ibu. Sup ayamnya tetap enak.”

Ibu terdiam, seolah menahan perasaan. “Aku senang mendengarnya, Nak. Jangan lupa, kami selalu ada di sini untukmu.”

Percakapan itu memberiku kekuatan baru. Meskipun berat, aku harus terus maju. Setiap kali aku merasa lelah atau rindu, aku ingat bahwa ada orang-orang yang selalu mendukungku, meskipun dari kejauhan.

Hari-hari di sekolah baru terus berlalu, dan aku mulai menemukan ritme kehidupanku di sini. Meskipun rasa rindu itu tak pernah hilang, aku belajar untuk menjadikannya sebagai sumber kekuatan. Setiap suapan sup ayam buatan ibu mengingatkanku bahwa aku tidak sendiri, bahwa ada cinta dan dukungan yang selalu menyertaiku, meskipun dari jarak yang jauh.

Perjuanganku di sekolah baru ini tidaklah mudah. Ada banyak tantangan dan rintangan yang harus kuhadapi. Namun, setiap kali aku merasa terpuruk, aku selalu ingat akan semangkuk sup ayam itu, akan kenangan-kenangan di meja makan bersama keluarga. Kenangan itu memberiku kekuatan untuk terus berjuang, untuk tidak menyerah, dan untuk selalu ingat dari mana aku berasal.

Di tengah segala kesulitan, aku menemukan bahwa kekuatan sejati tidak hanya datang dari diri sendiri, tetapi juga dari cinta dan dukungan orang-orang terdekat. Dan dengan setiap langkah yang kuambil, aku semakin yakin bahwa aku bisa melewati semua ini, dengan kenangan di setiap suapan sup ayam buatan ibu sebagai pengingat bahwa aku selalu punya tempat untuk kembali.

 

Nasihat dan Air Mata

Waktu berlalu dengan cepat, dan hari-hariku di sekolah baru mulai terasa lebih akrab. Dimas, yang selalu berada di sisiku, telah menjadi teman terbaik yang bisa kumiliki. Meskipun begitu, ada saat-saat di mana rasa rindu akan rumah dan keluarga begitu mendalam, terutama saat malam tiba, ketika kesunyian menyelimuti kamar asramaku.

Suatu sore, setelah pulang sekolah, aku duduk di tepi tempat tidurku sambil menatap foto keluarga yang selalu kubawa. Di foto itu, aku melihat ayah dan ibu tersenyum bahagia, memelukku dengan penuh kasih. Rasanya baru kemarin aku berada di rumah, merasakan kehangatan pelukan mereka dan mendengar nasihat-nasihat bijak dari ayah.

Aku merindukan nasihat-nasihat itu, terutama saat menghadapi kesulitan di sekolah. Pelajaran yang semakin sulit dan tekanan untuk berprestasi sering kali membuatku merasa terbebani. Suatu malam, saat aku merasa sangat tertekan, aku memutuskan untuk menelepon ayah.

“Ayah, aku merasa sulit sekali di sini,” kataku dengan suara bergetar. “Pelajaran semakin berat dan aku merasa tidak mampu.”

Ayah terdiam sejenak di seberang telepon, sebelum akhirnya menjawab dengan suara tenang. “Surya, hidup ini memang penuh dengan tantangan. Tapi ingat, setiap tantangan adalah kesempatan untuk belajar dan tumbuh. Kamu sudah jauh melangkah, dan aku tahu kamu mampu menghadapinya.”

“Ayah, aku merasa sendirian. Rindu rumah,” kataku, mencoba menahan air mata.

Ayah menghela napas panjang. “Surya, rindu itu wajar. Tapi ingat, di mana pun kamu berada, kamu selalu membawa cinta dan dukungan dari kami. Setiap langkah yang kamu ambil adalah untuk masa depanmu. Kami percaya padamu.”

Nasihat ayah selalu membuatku merasa lebih baik, meskipun air mata tak bisa kuhentikan. “Terima kasih, Ayah. Aku akan berusaha lebih keras.”

Setelah menutup telepon, aku merasa sedikit lega. Namun, malam itu, rasa rindu semakin kuat. Aku duduk di meja belajar, mencoba fokus pada buku-buku pelajaran, tetapi pikiranku terus melayang. Aku mengambil foto keluarga dan meletakkannya di meja, seolah mencari kekuatan dari senyuman mereka.

Hari-hari berikutnya, aku terus berjuang dengan pelajaran yang semakin sulit. Setiap kali merasa lelah atau putus asa, aku selalu ingat kata-kata ayah. “Setiap tantangan adalah kesempatan untuk belajar dan tumbuh.” Aku berusaha lebih keras, menghabiskan waktu di perpustakaan, belajar dengan teman-teman, dan meminta bantuan guru saat merasa kesulitan.

Dimas selalu ada di sisiku, memberikan semangat dan membantu ketika aku merasa kesulitan. Suatu hari, dia melihatku termenung di kantin, menatap bekal sup ayam yang selalu kubawa.

“Surya, kenapa kamu kelihatan sedih?” tanyanya dengan wajah prihatin.

Aku menghela napas, mencoba tersenyum. “Hanya merasa rindu rumah, Dimas. Dan pelajaran semakin sulit.”

Dimas menepuk bahuku. “Aku paham. Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Kami semua di sini untuk mendukungmu. Kamu pasti bisa menghadapinya.”

Kata-kata Dimas memberiku semangat baru. Aku terus berjuang, meskipun kadang merasa hampir menyerah. Setiap malam, sebelum tidur, aku selalu menelepon ayah atau ibu, mendengar suara mereka yang menenangkan hatiku. Mereka selalu memberikan nasihat dan dukungan, membuatku merasa lebih kuat.

Pada suatu malam, setelah menerima hasil ujian yang buruk, aku merasa sangat terpuruk. Aku menutup diri di kamar, menangis dalam kesendirian. Aku merasa gagal, merasa tidak mampu memenuhi harapan semua orang. Saat itu, aku kembali menelepon ayah, berharap mendapat kekuatan dari suaranya.

“Ayah, aku gagal dalam ujian. Aku merasa tidak akan mampu.” kataku dengan suara yang tersedu-sedu.

Ayah mendengarkan dengan sabar sebelum akhirnya berkata, “Surya, kegagalan adalah bagian dari perjalanan. Jangan biarkan satu kegagalan menghentikanmu. Belajar dari kesalahanmu dan bangkitlah. Kami selalu bangga padamu, apapun hasilnya.”

Nasihat ayah mengalir dalam hatiku seperti balsam penyembuh luka. “Terima kasih, Ayah. Aku akan mencoba lagi.”

Setelah percakapan itu, aku merasa sedikit lebih kuat. Aku tahu bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Dengan tekad baru, aku mulai memperbaiki kesalahan-kesalahanku, belajar lebih giat, dan meminta bantuan ketika perlu. Setiap kali merasa putus asa, aku selalu mengingat kata-kata ayah, bahwa kegagalan bukanlah akhir, melainkan pelajaran berharga.

Waktu terus berjalan, dan perlahan-lahan aku mulai melihat hasil dari perjuanganku. Nilai-nilaiku mulai membaik, dan aku merasa lebih percaya diri. Meskipun rasa rindu akan rumah selalu ada, aku belajar untuk menjadikannya sebagai sumber kekuatan. Setiap suapan sup ayam buatan ibu mengingatkanku akan cinta dan dukungan yang selalu menyertaiku, meskipun dari jarak yang jauh.

Perjuangan ini tidaklah mudah, namun setiap nasihat dan dukungan dari ayah dan ibu memberiku kekuatan untuk terus maju. Di tengah segala kesulitan, aku menemukan bahwa cinta dan dukungan keluarga adalah fondasi yang tak tergoyahkan, memberikan kekuatan untuk menghadapi segala tantangan.

Dengan setiap langkah yang kuambil, aku semakin yakin bahwa aku bisa melewati semua ini. Setiap nasihat yang kudengar dari ayah dan ibu, setiap air mata yang jatuh, semuanya adalah bagian dari perjalanan ini. Dan aku tahu, di ujung perjalanan ini, ada kehangatan dan cinta yang menantiku di rumah, bersama ayah dan ibu yang selalu bangga padaku.

 

Langkah Menuju Harapan Baru

Tahun ajaran baru akhirnya tiba, dan aku telah melewati banyak tantangan. Nilai-nilaiku membaik, dan aku mulai merasa lebih percaya diri. Namun, meski sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di sekolah baru ini, rasa rindu akan rumah selalu menghantui. Setiap kali aku membuka bekal sup ayam buatan ibu, kenangan tentang rumah dan keluarga selalu menyeruak, membawa perasaan hangat namun juga sedih.

Di hari pertama tahun ajaran baru, aku kembali duduk di sudut kantin, mengeluarkan bekal yang ibu kirimkan dari rumah. Aroma sup ayam itu selalu membawa kedamaian, meskipun hatiku masih merindukan kehangatan meja makan di rumah. Sambil menyeruput sup, aku teringat pada malam perpisahan itu, pada nasihat dan air mata yang mengiringi kepergianku.

Dimas, yang selalu setia berada di sisiku, duduk di seberangku. “Bagaimana liburanmu, Surya?” tanyanya sambil tersenyum.

“Liburanku baik. Aku pulang ke rumah dan menghabiskan waktu bersama keluarga,” jawabku dengan senyum yang sama.

Dimas mengangguk. “Pasti menyenangkan bisa pulang dan berkumpul dengan mereka.”

“Benar sekali. Aku merasa sangat bahagia bisa bersama mereka,” jawabku.

Namun, di balik kebahagiaan itu, aku juga menyadari bahwa tanggung jawab dan harapan yang mereka gantungkan padaku semakin besar. Setiap kali ayah dan ibu menatapku dengan bangga, aku merasakan beban untuk tidak mengecewakan mereka.

Di kelas, aku semakin fokus dan berusaha keras untuk berprestasi. Pelajaran-pelajaran semakin sulit, namun aku tidak menyerah. Aku ingat setiap nasihat ayah yang mengatakan bahwa setiap tantangan adalah kesempatan untuk belajar dan tumbuh. Dengan semangat itu, aku terus maju, mengatasi setiap rintangan yang menghadang.

Suatu hari, setelah pulang dari sekolah, aku menerima surat dari rumah. Surat itu ditulis oleh ibu, dengan tulisan tangan yang rapi dan penuh kasih. Dalam surat itu, ibu menceritakan tentang kehidupan di rumah, tentang ayah yang selalu bangga menceritakan prestasiku kepada tetangga, dan tentang ibu yang selalu berdoa untuk kesuksesanku.

“Surya, Nak, kami selalu merindukanmu. Tetapi kami tahu bahwa kamu sedang berjuang untuk masa depanmu. Jangan pernah merasa sendiri, karena di setiap langkah yang kamu ambil, doa dan cinta kami selalu menyertaimu. Ingatlah bahwa rumah ini akan selalu menjadi tempatmu untuk kembali. Kami sangat bangga padamu, dan kami yakin kamu akan mencapai semua impianmu.”

Membaca surat itu, air mataku mengalir tanpa bisa ditahan. Rasa rindu semakin dalam, namun juga memberiku kekuatan baru. Aku menyadari bahwa perjuanganku bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk mereka yang selalu mendukungku dengan cinta dan doa.

Hari-hari berikutnya, aku semakin bersemangat dalam belajar. Aku bergabung dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler, mencoba mengeksplorasi minat dan bakatku. Setiap kali merasa lelah atau putus asa, aku selalu mengingat surat ibu dan nasihat ayah. Aku tahu bahwa mereka percaya padaku, dan aku tidak boleh mengecewakan mereka.

Di tengah perjuanganku, ada satu momen yang tidak pernah kulupakan. Saat itu, sekolah mengadakan lomba karya ilmiah, dan aku memutuskan untuk ikut serta. Aku menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, mencari referensi, dan menyusun laporan ilmiah dengan tekun. Dimas dan teman-teman lain juga memberikan dukungan penuh, membantu setiap kali aku memerlukan bantuan.

Hari perlombaan tiba, dan aku merasa gugup. Aku berdiri di depan dewan juri, mempresentasikan hasil karyaku. Suara gemetar dan tangan yang berkeringat tidak menghalangiku untuk memberikan yang terbaik. Aku ingat nasihat ayah, bahwa kegagalan bukanlah akhir melainkan pelajaran. Dengan keyakinan itu, aku menyelesaikan presentasiku.

Setelah beberapa hari menunggu, hasil lomba diumumkan. Namaku disebut sebagai salah satu pemenang. Rasa bahagia dan bangga bercampur aduk dalam hatiku. Aku langsung menelepon ayah dan ibu, memberitahukan kabar gembira ini.

“Ayah, Ibu, aku menang lomba karya ilmiah!” kataku dengan suara bergetar.

Di seberang telepon, aku bisa mendengar suara bahagia mereka. “Kami sangat bangga padamu, Surya. Teruslah berjuang dan raih semua impianmu,” kata ayah dengan suara penuh haru.

Kemenangan itu bukan hanya milikku, tetapi juga milik mereka yang selalu mendukungku. Aku belajar bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang prestasi, tetapi juga tentang cinta dan dukungan yang selalu menyertai. Setiap langkah yang kuambil, meskipun penuh dengan tantangan, selalu ada harapan baru yang menanti di ujung perjalanan.

Di tengah segala kesulitan dan perjuangan, aku menemukan kekuatan dalam cinta keluarga. Setiap suapan sup ayam buatan ibu, setiap nasihat bijak dari ayah, dan setiap dukungan dari teman-teman, semuanya membentuk fondasi yang kuat dalam diriku. Dengan harapan baru, aku melangkah maju, siap menghadapi segala tantangan yang akan datang.

Aku tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, dan banyak rintangan yang harus dihadapi. Namun, dengan cinta dan dukungan yang selalu menyertai, aku yakin bisa mengatasi semua itu. Setiap langkah adalah langkah menuju harapan baru, menuju masa depan yang lebih cerah. Dan di ujung perjalanan ini, aku tahu bahwa ada rumah yang selalu menantiku dengan cinta dan kehangatan.

 

jadi, gimana nih menurut kalian kisah kali ini, seru nggak? Itulah sebuah kisah Surya dalam “Semangkuk Perpisahan: Cerita Haru Tentang Anak SMA yang Berjuang Meraih Mimpi.” Perjalanan penuh emosi ini menunjukkan betapa kuatnya cinta dan dukungan keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan. Semoga cerita ini bisa menginspirasi kamu untuk tidak pernah menyerah dalam mengejar impian, walaupun harus berpisah dari orang-orang tercinta. Terima kasih sudah membaca, jangan lupa bagikan artikel ini ke teman-temanmu yang juga butuh semangat! Selalu ingat, di balik setiap perjuangan, ada harapan baru yang menanti.

Leave a Reply