Selalu Ada Harapan: Perjuangan dan Keajaiban Bersama Tuhan

Posted on

Pernah ngerasa hidup udah nggak ada harapan lagi? Waktu semuanya gelap, tapi kamu nggak bisa berhenti berharap? Ini cerita tentang gimana keajaiban kecil datang di saat-saat terberat. Nggak ada yang instan, tapi selama kita percaya, selalu ada jalan. Siap-siap terharu sama kisah perjuangan yang bikin kamu yakin, Tuhan tuh nggak pernah ninggalin kita, meski di titik terendah sekalipun.

 

Selalu Ada Harapan

Pertemuan Tak Terduga

Matahari sore mulai tenggelam perlahan di ufuk barat, meninggalkan jejak-jejak keemasan yang memantul di permukaan sungai. Di tepi sungai itulah aku, Suriya, menghabiskan sebagian besar waktuku. Tempat ini seperti pelarian dari dunia nyata yang serba rumit dan penuh tekanan. Hari-hariku belakangan ini begitu kosong, seperti lukisan yang hanya memiliki satu warna kelabu.

Aku duduk di atas bangku kayu usang yang selalu menjadi tempatku melukis. Sejujurnya, aku sudah jarang menyentuh kuas dan cat air. Semenjak ibu meninggal, aku merasa seperti kehilangan arah. Bahkan, melukis yang dulu jadi pelarianku dari segala masalah, kini terasa tidak ada gunanya lagi.

Sambil menatap kanvas kosong di depanku, pikiranku melayang. Aku teringat senyum ibu, suaranya yang lembut, dan kata-katanya yang selalu memotivasi. Dulu, setiap kali aku merasa jatuh, ibu selalu ada di sana, menguatkanku. Sekarang? Kosong. Seperti sungai yang alirannya terhenti.

“Apa yang kau lihat di sana?”

Aku terlonjak mendengar suara itu. Suara yang dalam, tapi lembut. Aku menoleh dan melihat seorang pria tua duduk tak jauh dariku, mengenakan jubah putih yang tampak kontras dengan lingkungannya yang mulai redup. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara keingintahuan dan kedamaian. Aku tidak ingat kapan pria itu muncul, dan jujur, aku tidak ingat pernah melihatnya di tempat ini sebelumnya.

“Aku… hanya merenung,” jawabku pelan. Aku bahkan tidak yakin kenapa aku harus menjawab pria asing ini. Namun, ada sesuatu dari tatapannya yang membuatku tidak bisa mengabaikannya.

Pria itu tersenyum tipis. “Kau terlihat seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu.”

Aku mengernyit. “Mencari apa? Aku bahkan tidak tahu apa yang aku cari.”

Dia mengangguk, seakan mengerti sepenuhnya perasaan itu. “Kadang-kadang kita tidak tahu apa yang kita cari sampai kita menemukannya.”

Aku tertawa kecil, tapi lebih ke arah sarkasme. “Aku tidak yakin apakah ada yang bisa ditemukan dalam hidupku sekarang.”

Pria tua itu diam sejenak sebelum menatap ke arah sungai. “Apakah kamu tahu bahwa air sungai ini tidak pernah benar-benar berhenti mengalir, bahkan ketika permukaannya tampak tenang? Di bawahnya, selalu ada gerakan. Sama seperti hidup. Meski kelihatannya sunyi dan tak berarti, selalu ada sesuatu yang bergerak, bahkan ketika kita tidak menyadarinya.”

Aku merenungkan ucapannya. Tidak bisa dipungkiri, ada sesuatu yang dalam di balik kalimat-kalimat sederhana itu. “Aku rasa… aku terlalu fokus pada permukaannya,” gumamku, lebih kepada diriku sendiri daripada kepadanya.

“Terkadang, kita hanya perlu menyelam lebih dalam,” balas pria itu, masih dengan senyum tenang. “Dan kamu? Sudahkah kamu mencoba menyelam lebih dalam?”

Aku terdiam. Pria ini, meski aku baru bertemu dengannya, seolah bisa membaca pikiranku.

“Apa maksudmu?” tanyaku, mulai penasaran dengan arah pembicaraan ini.

Dia menatapku lagi, kali ini lebih serius. “Apa yang kamu harapkan dari hidupmu? Apakah kamu hanya melihat kegelapan, atau kamu pernah mencoba melihat cahaya di dalamnya?”

Aku menelan ludah. “Aku… tidak tahu lagi apa yang aku harapkan. Sejak ibuku meninggal, semuanya terasa tidak ada artinya. Seperti semua yang aku lakukan, semua impianku, hilang begitu saja.”

Pria tua itu mengangguk dengan sabar. “Kehilangan memang menyakitkan. Tapi, apakah kau benar-benar berpikir bahwa Tuhan meninggalkanmu hanya karena ibumu sudah tiada?”

Aku menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Kadang aku merasa seperti itu.”

Dia tertawa kecil, tapi bukan tawa mengejek. Lebih seperti tawa yang penuh pengertian. “Kau bukan yang pertama merasa seperti itu. Banyak yang merasa ditinggalkan. Tapi, apakah kau pernah berpikir bahwa mungkin, justru di saat-saat itulah, Tuhan paling dekat denganmu?”

Aku terdiam lagi. Kata-katanya terasa aneh tapi juga masuk akal dalam cara yang sulit dijelaskan.

“Aku… aku tidak tahu. Kadang aku merasa seperti… Tuhan tidak peduli.”

Pria itu menatapku dengan lembut, seperti seorang ayah yang melihat anaknya. “Tuhan selalu peduli. Kau hanya perlu membuka matamu untuk melihat tanda-tanda-Nya. Tuhan tidak pernah jauh. Bahkan, di saat-saat terkelam sekalipun, harapan selalu ada.”

Aku memandang ke arah sungai yang terus mengalir. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang mulai membuatku berpikir. Selama ini, aku terlalu terfokus pada rasa kehilangan, pada perasaan ditinggalkan. Aku tidak pernah benar-benar mencoba mencari tanda-tanda harapan, atau bahkan melihat hal-hal kecil yang masih indah di sekelilingku.

“Jadi… bagaimana caranya aku bisa menemukan harapan itu?” tanyaku, agak ragu-ragu.

Pria itu tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. “Kamu tahu, harapan tidak selalu datang dengan gemuruh. Terkadang, ia datang seperti bisikan angin atau sinar matahari yang perlahan-lahan menghangatkan kulitmu. Cobalah melihat sekelilingmu. Setiap hari adalah kesempatan baru, setiap momen adalah anugerah.”

Aku menatap pria itu lebih dalam. Dia bukan hanya pria tua biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam dari dirinya, sesuatu yang sulit kujelaskan dengan kata-kata.

“Aku hanya seorang pelukis,” kataku lirih. “Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menemukan harapan itu.”

Pria tua itu mengangguk pelan. “Melukis adalah caramu berkomunikasi dengan dunia. Mengapa tidak mencoba melukis harapan? Melukis tentang apa yang ada di dalam hatimu, meskipun itu terasa sulit.”

Aku terdiam. “Melukis harapan… aku tidak yakin aku bisa melakukannya.”

Dia tersenyum, lebih lembut kali ini. “Kau tidak perlu yakin sekarang. Cukup mulai dengan satu langkah kecil.”

Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, pria tua itu berdiri perlahan. “Ingat, anak muda, Tuhan tidak pernah jauh. Kau hanya perlu percaya, dan harapan akan selalu ada.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan menjauh, menyisakan aku yang masih termenung di bangku kayu. Aku memandang ke arah sungai, ke air yang terus mengalir, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada sesuatu yang mulai berubah di dalam diriku.

Sebuah perasaan kecil, seperti percikan harapan, mulai menyala. Aku belum sepenuhnya paham apa arti pertemuan itu, tapi aku tahu ini bukan pertemuan biasa.

Dan mungkin, hanya mungkin, harapan memang masih ada di luar sana.

 

Dalam Pelukan Harapan

Malam itu, aku pulang dengan perasaan yang campur aduk. Kata-kata pria tua di tepi sungai itu terus terngiang di kepalaku, seolah-olah ia meninggalkan jejak yang tak bisa kuabaikan begitu saja. Harapan. Apa benar aku sudah melupakannya? Atau aku memang sengaja menutup pintu untuk sesuatu yang seharusnya ada dalam hidupku?

Sesampainya di rumah, aku menatap kanvas kosong di ruang kerjaku. Sudah berbulan-bulan kanvas itu hanya berdiri di sudut ruangan, tertutup debu. Aku memutuskan untuk duduk di depan meja kerja, membuka kotak cat airku yang sudah berkarat di tepinya. Entah kenapa, malam ini terasa berbeda. Aku tidak merasa tertekan seperti biasanya, meski kanvas di depanku tetap saja kosong.

“Melukis harapan?” gumamku, mengingat kata-kata pria itu.

Tanganku mulai gemetar saat menyentuh kuas, tapi kali ini aku tidak membiarkan rasa takut menghentikanku. Aku mencelupkan kuas ke dalam cat biru dan menarik garis pertama di atas kanvas. Biru? Mungkin bukan warna yang umum untuk melukis harapan, tapi bagiku, warna itu mewakili sesuatu yang dalam, seperti perasaanku sekarang—belum jelas, tapi penuh kemungkinan.

Satu garis biru disusul dengan sentuhan warna jingga, kemudian ungu di sana-sini. Tanganku bergerak perlahan, mengikuti intuisi yang sudah lama tak kurasakan. Aku tidak tahu apa yang sedang kulukis, tapi setiap goresan membuat dadaku terasa lebih ringan. Aku seperti menuangkan sesuatu yang selama ini tertahan di dalam diriku.

Jam terus berputar. Malam bergulir semakin larut, tapi aku tidak bisa berhenti. Ada sesuatu yang mengalir begitu saja, membawaku masuk ke dunia warna dan garis yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Hingga akhirnya, saat aku meletakkan kuas, aku mendapati lukisan itu telah selesai.

Di kanvas itu, terpampang siluet seorang wanita yang berdiri di tepi tebing, menghadap ke arah cahaya jingga yang bersinar dari langit. Di bawahnya, sungai mengalir deras, membawa serpihan-serpihan kecil seperti mimpi-mimpi yang terlupakan. Aku tidak tahu dari mana datangnya ide ini, tapi aku merasa lukisan ini seperti cerminan diriku sendiri.

Tiba-tiba, suara bel pintu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, sedikit terkejut karena jarang ada tamu malam-malam begini. Siapa yang datang saat jam sudah hampir tengah malam?

Dengan sedikit ragu, aku berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana, berdiri Aulia, sepupuku yang tinggal di kota sebelah. Rambut hitam panjangnya tergerai berantakan, wajahnya tampak lelah, namun matanya memancarkan sesuatu yang mendesak.

“Suriya… maaf datang tiba-tiba,” katanya dengan suara sedikit serak.

Aku terkejut melihatnya, lebih karena ekspresi wajahnya yang tampak berbeda dari biasanya. Aulia selalu dikenal sebagai sosok yang ceria dan penuh semangat, tapi kali ini ada sesuatu yang tampak sangat salah.

“Ada apa, Lia?” tanyaku sambil mempersilakannya masuk.

Dia masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa tanpa banyak bicara. Aku bisa merasakan ada beban berat di pundaknya. Biasanya, Aulia akan langsung bercerita tentang hari-harinya yang penuh petualangan, tapi malam ini dia terlihat jauh lebih pendiam.

“Adikmu… Dani… dia kecelakaan,” ucap Aulia, nyaris tanpa suara.

Dadaku terasa seperti ditusuk. Dani, adikku satu-satunya. Aku langsung terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dia katakan.

“Ceritakan semuanya, Lia. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku dengan nada yang lebih tenang daripada perasaanku saat itu.

Aulia menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan. “Tadi siang, Dani pergi ke sekolah untuk urusan proyek kelulusan. Dia bilang mau ketemu temannya, tapi dalam perjalanan pulang, mobil yang dia kendarai tergelincir di tikungan. Untungnya, ada yang menolong, tapi dia sekarang di rumah sakit.”

Kepalaku terasa berat, dunia di sekitarku seakan berputar. Dani. Anak yang selalu ceria dan penuh semangat, kini terbaring tak berdaya di rumah sakit? Aku berusaha tetap tenang meskipun dadaku sesak.

“Lia, dia… apakah dia baik-baik saja?” tanyaku dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Aulia menunduk. “Dokter bilang kondisinya kritis. Mereka berusaha semaksimal mungkin, tapi mereka tidak bisa memberi jaminan apa-apa.”

Aku mengusap wajahku, mencoba menenangkan diri. Pikiran tentang Dani dan bagaimana dia mungkin sedang berjuang untuk bertahan hidup menghantui pikiranku. Aku memejamkan mata, berusaha keras mencari kekuatan.

“Aku harus ke sana,” kataku akhirnya, berdiri dengan tegas.

Aulia mengangguk. “Aku sudah menyiapkan mobil. Kita bisa berangkat sekarang juga.”

Selama perjalanan ke rumah sakit, aku hanya bisa memandangi jalanan yang gelap, dengan pikiran yang penuh dengan kekhawatiran. Pikiran tentang Dani, dan bagaimana aku mungkin bisa kehilangan dia begitu cepat. Tapi di tengah semua kekhawatiran itu, kata-kata pria tua di tepi sungai tadi sore kembali terlintas di pikiranku. Tuhan selalu ada. Harapan selalu ada. Apa ini ujianku? Mungkin ini saatnya aku benar-benar mencari harapan itu.

Sesampainya di rumah sakit, aku segera bergegas ke ruang ICU. Di sana, aku melihat Dani terbaring dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya. Dadaku terasa seperti dihantam palu. Adikku yang selalu penuh tawa kini terbaring tak bergerak, pucat dan rapuh. Rasanya seperti melihat hidupnya tergantung pada seutas benang tipis.

Dokter yang merawatnya datang menghampiriku, wajahnya serius. “Kondisi adikmu cukup parah, tapi kami akan melakukan yang terbaik. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menunggu dan berharap.”

“Berharap…” gumamku, menatap Dani. Kata itu terdengar begitu berat di saat seperti ini, namun sekaligus terasa sangat penting.

Malam semakin larut, tapi aku tidak bisa meninggalkan Dani. Aku duduk di samping tempat tidurnya, memegang tangannya yang dingin. Dalam keheningan, aku mulai berdoa. Tidak dengan kata-kata yang rumit, tapi dengan sepenuh hati. Mungkin aku tidak selalu percaya bahwa Tuhan dekat, tapi malam ini, aku tahu bahwa aku butuh sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri. Aku butuh harapan.

Malam itu terasa begitu panjang, tapi saat fajar mulai menyingsing, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan keajaiban instan atau perubahan drastis, tapi lebih kepada perasaan tenang yang perlahan-lahan menyelimuti hatiku. Aku tahu Dani belum keluar dari masa kritisnya, tapi di dalam diriku, ada sesuatu yang mulai tumbuh. Harapan itu, meskipun kecil, mulai terasa nyata.

Dan mungkin, hanya mungkin, ini baru permulaan dari perjalananku menemukan harapan yang sebenarnya.

 

Di Ambang Doa

Fajar perlahan naik, menyinari lantai rumah sakit yang dingin. Aku duduk di samping tempat tidur Dani, mataku terasa perih karena kurang tidur, tapi pikiranku tak bisa tenang. Semua rasa lelah itu seperti tak ada artinya ketika aku melihat adikku terbaring tak berdaya dengan napas yang tersengal-sengal melalui ventilator.

Setiap detik terasa seperti sebuah tarikan panjang, menunggu keajaiban yang entah kapan datang. Para perawat dan dokter hilir mudik di sekitar ICU, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang memberiku kabar baik. Tidak ada yang mengatakan bahwa Dani akan segera bangun, dan itu menghantamku lebih keras dari apa pun.

Aulia duduk di sudut ruangan, kepalanya tertunduk. Dia sudah tertidur setelah semalaman menangis. Aku tahu dia lelah, tapi bagiku, tidur bukanlah pilihan. Rasanya semua hal dalam hidupku—semua kebingungan, keraguan, dan rasa kehilangan—tumpah pada momen ini.

Aku menatap langit-langit putih yang dingin dan hampa, mencoba memahami apa yang harus kulakukan. Berharap? Iya, itu kata yang terus berputar-putar di kepalaku sejak kemarin. Tapi berharap saja tidak cukup. Harapan butuh sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa kugenggam. Namun di sini, di ruangan ini, semuanya terasa kabur, seolah-olah dunia dan waktu sedang mempermainkan hidupku.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aku menoleh dan melihat dokter yang sama, pria paruh baya dengan rambut memutih di tepinya, berjalan ke arahku dengan wajah serius.

“Ada perkembangan?” tanyaku cepat, harap-harap cemas.

Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kondisi Dani masih stabil, tapi belum ada tanda-tanda kesadaran. Kami sudah melakukan segala yang kami bisa, tapi sekarang… semuanya tergantung pada tubuhnya sendiri.”

Aku mengangguk pelan, menelan rasa kecewa yang tiba-tiba membebani dadaku. Selalu jawaban yang sama. Harapan, tapi tanpa kepastian.

Saat dokter itu pergi, aku menatap Dani lagi. Tangannya yang dingin berada di bawah genggamanku, seolah aku berharap dengan menyentuhnya, dia bisa merasakan kehadiranku, merasakan cintaku sebagai kakak yang tak pernah benar-benar kutunjukkan selama ini. Dalam hati, aku merasa bersalah. Aku terlalu sibuk dengan dunia dan masalahku sendiri, hingga mengabaikan hubungan kami yang sebenarnya begitu berharga.

“Kamu harus bangun, Dan,” bisikku lirih, nyaris tanpa suara. “Kamu harus kembali. Jangan biarkan aku hidup tanpa kamu.”

Lama aku duduk diam, hingga akhirnya keheningan itu terpecah oleh suara yang begitu asing tapi sekaligus menenangkan—suara adzan yang menggema dari masjid kecil di luar rumah sakit. Suara itu membawa ingatanku kembali ke masa kecil, ketika ibu selalu membawaku dan Dani untuk berdoa bersama. Dulu, doa adalah bagian dari rutinitas kami, tapi ketika ibu pergi, aku berhenti percaya pada kekuatan itu.

Namun sekarang, saat dunia di sekitarku terasa seperti runtuh, aku merasakan dorongan untuk kembali pada sesuatu yang pernah memberiku kedamaian. Aku melepaskan tangan Dani perlahan dan berjalan keluar, menuju masjid kecil di halaman rumah sakit. Langit mulai berwarna keemasan, memberi sedikit kehangatan di pagi yang dingin ini.

Di dalam masjid, suasana begitu tenang. Hanya ada beberapa orang yang sedang berdoa, tapi keheningan itu justru membuatku merasa lebih terhubung dengan diriku sendiri. Aku duduk di pojok ruangan, menundukkan kepala, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku berdoa. Bukan dengan kata-kata indah, melainkan dengan ketulusan yang datang dari lubuk hatiku yang paling dalam.

“Tuhan… aku tidak tahu harus berkata apa,” bisikku dalam hati. “Tapi aku butuh bantuan-Mu. Aku butuh harapan itu. Aku butuh Dani kembali.”

Tanganku menggenggam tasbih yang tergeletak di atas sajadah, jariku bergerak perlahan mengikuti irama doa yang tak terucapkan. Aku berdoa dengan sepenuh hati, meski aku sendiri tak yakin apa yang kuharapkan. Mungkin ini caraku mencari jalan, mencari kekuatan untuk bertahan.

Setelah beberapa saat, aku bangkit dan kembali ke kamar Dani. Aulia sudah terjaga, menatapku dengan tatapan yang penuh tanda tanya.

“Kamu kemana, Kak?” tanyanya pelan.

“Berdoa,” jawabku singkat.

Aulia terdiam, mungkin kaget mendengar jawabanku. Aku sendiri juga kaget, tapi aku tak bisa menyangkal bahwa doa itu sedikit banyak memberi kedamaian. Meski hanya sementara, setidaknya aku merasa tidak lagi berjuang sendirian.

“Aku tahu ini berat,” lanjutku. “Tapi kita harus percaya. Dani pasti bisa melewati ini.”

Aulia tersenyum kecil, meski jelas terlihat masih ada rasa takut di matanya. Kami berdua duduk di samping tempat tidur Dani, menunggunya untuk bangun. Hari terus berjalan, tapi tidak ada perkembangan signifikan. Namun, perasaanku berbeda. Entah mengapa, aku mulai merasa lebih kuat, lebih siap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.

Sore itu, saat matahari mulai terbenam, dokter datang lagi untuk memeriksa kondisi Dani. Kali ini, wajahnya tampak lebih cerah dari sebelumnya.

“Perkembangan yang baik,” katanya sambil tersenyum kecil. “Dia mulai merespons sedikit. Itu tanda yang positif.”

Aku hampir tak percaya dengan apa yang kudengar. Meski kecil, itu adalah langkah maju. Hatiku dipenuhi rasa syukur yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Dani, adikku, perlahan-lahan mulai kembali dari kegelapan.

Malam itu, aku kembali berdoa. Kali ini dengan rasa syukur dan permohonan yang lebih besar. Mungkin ini pelajaran yang selama ini kucari—bahwa tidak peduli seberapa gelap hidup kita, Tuhan selalu memberi jalan, selalu ada harapan. Aku tidak tahu bagaimana akhir cerita ini, tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan berhenti berdoa. Aku tidak akan berhenti berharap.

Di luar, bintang-bintang mulai bermunculan di langit malam, bersinar redup tapi tetap ada. Sama seperti harapanku yang kini, meski kecil, tetap hidup. Dan aku percaya, selama aku percaya, Tuhan akan selalu ada di sampingku, membawa harapan dalam setiap langkahku.

 

Cahaya di Ujung Jalan

Hari demi hari berlalu, setiap kali pintu ICU terbuka, detak jantungku berdegup lebih cepat. Setiap langkah dokter yang mendekat selalu menjadi momen yang memisahkan antara harapan dan ketakutan. Dani masih terbaring diam, namun ada sesuatu yang berbeda sejak kunjungan dokter terakhir. Respons kecil yang dia tunjukkan memberiku harapan baru, meski itu sangat samar.

Aku tidak tahu seberapa kuat harapan itu, tapi setidaknya aku tidak lagi merasa sendirian. Masjid kecil di halaman rumah sakit telah menjadi tempatku kembali, mencari kedamaian di tengah kekacauan batin. Setiap malam setelah menemani Dani, aku akan melangkah ke sana, membiarkan diriku larut dalam keheningan dan doa.

Suatu sore, setelah selesai sholat, aku duduk lebih lama dari biasanya. Entah kenapa, hari ini terasa berbeda. Ada ketenangan yang lebih mendalam dalam hatiku. Di luar, hujan turun perlahan, membasahi halaman rumah sakit, tapi tidak membuatku terburu-buru untuk kembali ke kamar Dani.

“Tuhan, aku tahu Engkau mendengarkan,” bisikku dalam hati. “Aku tak meminta keajaiban yang besar. Aku hanya meminta Engkau menjaga Dani, apapun yang terjadi.”

Aku teringat bagaimana aku dulu menolak untuk percaya, bagaimana kemarahan dan kebingungan membuatku jauh dari hal-hal yang sebenarnya bisa memberiku kekuatan. Tapi sekarang, semua rasanya seperti kembali. Aku tak lagi merasa terjebak dalam kebingungan atau kemarahan. Yang tersisa hanyalah rasa syukur bahwa aku masih punya waktu, masih bisa berharap.

Saat aku kembali ke kamar Dani, Aulia berdiri di depan pintu, wajahnya tegang tapi ada sedikit cahaya di matanya.

“Kak,” bisiknya, setengah berlari ke arahku. “Dani… dia bergerak.”

Aku hampir tak bisa bernapas mendengarnya. Langsung saja aku masuk ke dalam kamar, dan benar saja, di sana Dani terlihat berbeda. Mata Dani masih tertutup, tapi tangannya yang semula diam kini sedikit bergerak. Bahkan, aku bisa melihat jari-jarinya menggenggam selimut tipis yang menutupi tubuhnya.

“Dokter bilang itu perkembangan positif,” Aulia berkata sambil menatapku, senyum kecil yang selama ini hilang perlahan kembali di wajahnya. “Katanya, Dani perlahan-lahan mulai merespons rangsangan.”

Aku tidak tahu harus berkata apa. Hanya ada kehangatan yang tiba-tiba memenuhi dadaku, seolah-olah beban yang selama ini menghimpit perlahan terangkat. Aku duduk di samping tempat tidurnya, memegang tangannya yang kini terasa lebih hangat. Aku tahu, ini masih langkah kecil, tapi setiap pergerakan Dani adalah kemenangan yang terasa begitu besar.

Hari terus bergulir, dan Dani menunjukkan lebih banyak tanda kehidupan. Aku menyaksikan adikku berjuang keras untuk kembali, untuk bangkit dari kegelapan yang sempat menghantuinya. Matanya mulai membuka sedikit demi sedikit, meski pandangannya masih buram. Namun, itu sudah cukup. Itu lebih dari cukup.

Dua minggu setelah Dani menunjukkan respons pertamanya, dia akhirnya sadar sepenuhnya. Aku ingat momen itu dengan jelas, karena saat itu aku sedang tidak ada di ruangan. Ketika aku kembali, Aulia berlari menghampiriku dengan mata berkaca-kaca.

“Kak, dia bangun!” serunya, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

Aku bergegas masuk ke kamar Dani. Di sana, untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa seperti selamanya, aku melihat adikku menatapku dengan mata yang penuh kesadaran. Senyumnya lemah, tapi itu senyum yang selama ini kurindukan.

“Bangun, ya?” aku tersenyum, menahan air mata yang hampir tumpah.

Dani mengangguk pelan. “Maaf, aku bikin kalian khawatir.”

Aku tak bisa berkata-kata. Air mata yang kutahan akhirnya tumpah juga, tapi kali ini bukan karena takut atau khawatir, melainkan karena rasa syukur yang tak bisa kugambarkan. Aku memeluk Dani dengan erat, seolah-olah aku takut dia akan hilang lagi. Tapi tidak, dia kembali. Adikku benar-benar kembali.

Aulia berdiri di sampingku, tersenyum sambil menitikkan air mata. Semua perjuangan, semua doa, semua harapan yang kami pertahankan akhirnya terbayar. Dani mungkin belum sepenuhnya pulih, tapi yang terpenting dia ada di sini, bersama kami.

Minggu-minggu berikutnya diisi dengan pemulihan Dani yang perlahan tapi pasti. Setiap hari dia semakin kuat, dan setiap kali aku melihatnya, aku merasa lebih yakin bahwa Tuhan selalu punya rencana yang lebih besar. Bahkan di saat-saat terkelam, harapan itu tidak pernah benar-benar hilang.

Suatu pagi, ketika aku dan Aulia sedang menunggu Dani selesai terapi fisik, aku duduk di luar, menikmati sinar matahari yang lembut. Aulia menatapku dengan senyum yang hangat, lebih tenang dari sebelumnya.

“Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau kamu nggak ada di sini, Kak,” katanya pelan.

Aku hanya tersenyum dan menatap langit biru. “Aku juga nggak yakin. Tapi satu hal yang aku tahu, selama kita nggak pernah berhenti berharap, Tuhan selalu kasih jalan.”

Aulia mengangguk, memandang Dani yang kini berjalan dengan bantuan perawat. Meski langkahnya masih lemah, aku tahu dia akan baik-baik saja.

“Aku bersyukur kita nggak pernah menyerah,” lanjut Aulia. “Meski rasanya berat banget, tapi sekarang aku tahu, Tuhan nggak pernah tinggal diam.”

Aku hanya bisa tersenyum. Kata-kata Aulia benar-benar mewakili semua yang kurasakan. Di saat-saat ketika semua tampak gelap dan harapan terasa nyaris mustahil, Tuhan tetap hadir. Dia tidak memberikan keajaiban yang instan, tapi Dia memberi kami kekuatan untuk bertahan, untuk terus percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Aku menatap Dani, yang kini mulai tersenyum lebih cerah. Dalam hatiku, aku tahu perjalanan kami masih panjang, tapi kali ini aku merasa lebih siap. Aku tahu, apa pun yang terjadi, selama kami percaya, selalu ada harapan.

Dan di situlah akhirnya aku mengerti. Tuhan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap. Harapan selalu ada, selama kita percaya.

 

Jadi, kalau kamu lagi ngerasa terjebak dalam gelapnya hidup, ingatlah, harapan itu selalu ada. Kita mungkin harus melewati badai, tapi percayalah, setelah itu, selalu ada pelangi yang menunggu. Yuk, terus pegang harapan dan percayakan semuanya pada Tuhan. Ingat, setiap perjuangan punya makna, dan keajaiban bisa datang kapan saja, bahkan di saat yang paling tak terduga.

Leave a Reply