Sayap Abadi di Bawah Langit Kelam: Kisah Epik Penyihir Bersayap yang Mengguncang Hati

Posted on

Masuki dunia fantasi yang memukau dengan Sayap Abadi di Bawah Langit Kelam, sebuah cerpen epik yang menggabungkan sihir, kutukan, dan pengorbanan dalam petualangan emosional yang tak terlupakan. Ikuti perjalanan Elyndra Veylith, penyihir bersayap dengan darah abadi, saat ia menghadapi rahasia kelam masa lalunya dan takdir yang mengancam untuk mengubah hidupnya selamanya. Penuh dengan detail yang kaya dan emosi yang mendalam, cerita ini akan memikat penggemar fantasi yang mencari narasi yang mengharukan dan penuh makna.

Sayap Abadi di Bawah Langit Kelam

Bayang di Antara Kabut

Langit di atas Lembah Vyrindel tertutup kabut kelabu, seolah alam sendiri merajut selubung untuk menyembunyikan rahasia yang terkubur di dalamnya. Angin membawa aroma tanah basah dan lumut tua, bercampur dengan bisikan samar yang seakan berasal dari pohon-pohon kuno yang menjulang di sepanjang lembah. Di tengah hutan yang lebat, sebuah pondok kecil berdiri menyendiri, dindingnya dari kayu yang sudah lapuk, namun tetap kokoh melawan waktu. Di sinilah Elyndra Veylith tinggal, seorang penyihir bersayap dengan darah abadi yang mengalir di nadinya.

Elyndra bukan penyihir biasa. Sayapnya, yang berwarna perak pucat dengan urat-urat tipis bercahaya seperti bulan purnama, adalah tanda kutukan sekaligus anugerah. Ia lahir dari darah kuno, keturunan dari dewi bulan yang dikatakan pernah mencintai seorang manusia, sebuah cinta yang menghasilkan garis keturunan abadi namun terkutuk untuk hidup dalam bayang-bayang. Darahnya membuatnya tak bisa mati, tapi juga tak pernah benar-benar hidup. Setiap luka di tubuhnya akan sembuh dalam hitungan detik, setiap pedih di hatinya akan abadi selamanya.

Pagi itu, Elyndra berdiri di ambang pintu pondoknya, memandang kabut yang menyelimuti lembah. Matanya, yang berwarna ungu tua dengan kilau seperti permata, menangkap bayangan samar di kejauhan. Ia menarik napas dalam, merasakan udara dingin mengisi paru-parunya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Angin membawa perasaan gelisah, seolah alam sedang memperingatkannya akan sesuatu yang akan datang.

“Elyndra,” suara lembut namun tegas memanggil dari dalam pondok. Itu adalah suara Thalindra, sahabatnya sekaligus satu-satunya yang tahu rahasia keabadiannya. Thalindra adalah seorang tabib dari suku Sylvaris, dengan rambut hijau lumut yang selalu diikat dengan tali kulit dan mata cokelat hangat yang penuh kebijaksanaan. “Kau sudah berdiri di situ sejak fajar. Apa yang mengganggumu?”

Elyndra memalingkan wajahnya, sayapnya yang besar sedikit bergerak, menciptakan riak di udara. “Aku merasakan sesuatu, Thalindra. Seperti… bayang-bayang yang bergerak di luar jangkauanku. Ada sesuatu di luar sana, menunggu.”

Thalindra melangkah keluar, membawa aroma ramuan herbal yang selalu menempel padanya. Ia meletakkan tangan di bahu Elyndra, mencoba menenangkan. “Lembah ini penuh rahasia. Mungkin hanya roh-roh hutan yang sedang resah. Atau kau terlalu lama menyendiri.”

Elyndra tersenyum tipis, tapi senyum itu tak mencapai matanya. “Mungkin. Tapi aku tahu perbedaan antara resahnya hutan dan bisikan bahaya.”

Hari itu, Elyndra memutuskan untuk menjelajahi hutan, sesuatu yang jarang ia lakukan kecuali untuk mengumpulkan bahan ramuan atau menenangkan pikirannya. Ia mengenakan mantel panjang berwarna kelabu tua, menyembunyikan sayapnya yang terlalu mencolok di bawah kain. Thalindra menawarkan diri untuk ikut, tapi Elyndra menolak dengan lembut. “Aku perlu sendiri kali ini,” katanya, suaranya penuh keteguhan namun juga kelembutan.

Hutan Vyrindel adalah labirin alami, dengan pohon-pohon yang akarnya menjalar seperti vena di permukaan tanah, dan dedaunan yang begitu lebat hingga sinar matahari hanya bisa menyelinap dalam semburat tipis. Elyndra berjalan dengan langkah hati-hati, tangannya sesekali menyentuh kulit pohon, seolah berkomunikasi dengan roh-roh hutan. Ia bisa merasakan denyut kehidupan di sekitarnya—burung-burung kecil yang bersembunyi di dahan, serangga yang merayap di bawah lumut, dan sesuatu… sesuatu yang lain. Sesuatu yang asing.

Di tepi sebuah sungai kecil yang airnya jernih seperti kristal, Elyndra berhenti. Ia melihat bayangannya di permukaan air, wajahnya yang pucat dengan rambut hitam panjang yang jatuh seperti air terjun obsidian. Tapi di balik bayangannya, ada sesuatu yang bergerak. Ia menoleh cepat, tangannya sudah meraih tongkat kayu di pinggangnya, yang ujungnya berkilau dengan kristal bulan yang menyimpan sihirnya.

“Siapa di sana?” tanyanya, suaranya tajam namun terkendali.

Tak ada jawaban, hanya desau angin dan gemericik air. Tapi Elyndra tahu ia tidak sendiri. Ia menutup mata, membiarkan indranya yang telah diasah selama berabad-abad mencari sumber gangguan itu. Lalu, ia mendengarnya—langkah kaki, ringan namun tidak alami, seperti seseorang yang berusaha menyembunyikan kehadirannya.

Dengan gerakan cepat, Elyndra melepaskan mantelnya, membiarkan sayapnya terbuka lebar. Cahaya perak dari sayapnya menerangi area di sekitarnya, dan di antara bayang-bayang pohon, ia melihatnya: seorang pemuda dengan jubah compang-camping, wajahnya tersembunyi di balik tudung. Tapi yang membuat Elyndra tersentak bukan penampilannya, melainkan matanya—merah menyala seperti bara, penuh dengan rasa sakit dan rahasia.

“Siapa kau?” Elyndra bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut, meski tangannya masih memegang tongkat dengan erat.

Pemuda itu melangkah maju, tangannya terangkat dalam isyarat damai. “Namaku Vyras Kaelthorn,” katanya, suaranya serak, seolah belum digunakan selama bertahun-tahun. “Aku tidak bermaksud mengganggu, tapi aku… aku membutuhkan bantuanmu, Penyihir Bersayap.”

Elyndra mengerutkan kening. Nama itu asing, namun ada sesuatu dalam nadanya yang membuat hatinya bergetar. “Bagaimana kau tahu tentangku? Tidak ada yang tahu keberadaanku di lembah ini.”

Vyras menurunkan tudungnya, memperlihatkan wajah yang tampan namun penuh bekas luka, seolah kulitnya pernah terkoyak dan sembuh dengan buruk. Rambutnya berwarna abu-abu pucat, tidak wajar untuk seseorang yang tampak seumur dengannya. “Aku telah mencarimu selama… terlalu lama. Kau adalah yang terakhir dari garis darah abadi. Hanya kau yang bisa membantuku.”

Elyndra merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu membawa kenangan yang ia coba kubur—kenangan tentang keluarganya yang telah lenyap, tentang kutukan yang membuatnya hidup selamanya sementara orang-orang yang ia cintai mati satu per satu. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya, suaranya mulai bergetar.

Vyras melangkah lebih dekat, dan Elyndra bisa melihat air mata di matanya, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. “Aku dikutuk, seperti kau. Tapi kutukanku… jauh lebih gelap. Aku tidak bisa mati, tapi setiap hari aku hidup dalam siksaan. Darahku membakar, jiwaku terkoyak. Aku mendengar kau punya kekuatan untuk mematahkan kutukan.”

Elyndra menggeleng, hatinya terasa hancur. “Aku tidak punya kekuatan itu. Keabadianku adalah kutukan, bukan anugerah. Aku tidak bisa menyelamatkan diriku sendiri, apalagi orang lain.”

Vyras menatapnya, matanya penuh keputusasaan yang begitu dalam hingga Elyndra merasa seolah tenggelam di dalamnya. “Tolong,” bisiknya. “Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Jika kau tidak membantuku, aku akan hidup dalam neraka ini selamanya.”

Elyndra ingin menolak, ingin berbalik dan kembali ke pondoknya, ke kesendirian yang sudah menjadi temannya selama berabad-abad. Tapi ada sesuatu dalam diri Vyras—sebuah luka yang begitu mirip dengan miliknya, sebuah kesepian yang ia kenali dengan baik. Ia menurunkan tongkatnya, meski hatinya masih waspada.

“Ikuti aku,” katanya akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Kita akan bicara di pondokku. Tapi ketahuilah, Vyras Kaelthorn, jika kau membawa bahaya, sayapku bukan hanya untuk terbang.”

Vyras mengangguk, wajahnya penuh rasa syukur yang rapuh. Mereka berjalan bersama kembali ke pondok, di bawah langit kelabu yang seolah menahan napas. Elyndra tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi satu hal yang pasti: kedatangan Vyras adalah awal dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya—atau kutukannya—selamanya.

Di dalam hatinya, ia merasakan campuran harapan dan ketakutan. Harapan bahwa mungkin, untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, ia tidak akan sendirian. Dan ketakutan bahwa rahasia yang dibawa Vyras akan membuka luka yang telah ia coba sembuhkan dengan susah payah. Langit di atas Lembah Vyrindel tetap kelam, dan kabut semakin tebal, seolah alam sendiri tahu bahwa badai sedang mendekat.

Rahasia di Balik Bara

Pondok Elyndra dipenuhi aroma ramuan herbal dan lilin lebah yang menyala di sudut ruangan. Cahaya kuning lembut dari lilin memantul di dinding kayu yang penuh ukiran kuno, menciptakan bayang-bayang yang menari seperti roh-roh kecil. Elyndra duduk di kursi kayu tua di dekat perapian, tangannya memegang cangkir tanah liat berisi teh daun salamander yang masih mengepul. Di hadapannya, Vyras Kaelthorn duduk dengan postur kaku, tangannya saling menggenggam di atas meja, seolah mencoba menahan sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Thalindra berdiri di sudut ruangan, bersandar pada dinding dengan lengan disilangkan, matanya tak pernah lepas dari Vyras, penuh kewaspadaan.

Elyndra menatap pemuda di depannya, mencoba membaca cerita yang tersembunyi di balik mata merahnya yang seperti bara. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat bulu kuduknya merinding—bukan karena takut, tapi karena ia merasakan resonansi, sebuah ikatan yang tak bisa ia jelaskan. “Ceritakan padaku,” katanya akhirnya, suaranya tenang namun penuh otoritas. “Apa kutukan yang kau bawa? Dan mengapa kau yakin aku bisa membantumu?”

Vyras menarik napas dalam, seolah kata-kata yang akan diucapkannya adalah beban yang telah ia pikul selama bertahun-tahun. “Ini bukan cerita yang mudah,” katanya, suaranya serak dan penuh beban. “Tapi aku akan mencoba.”

Ia mulai bercerita, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah membawa Elyndra dan Thalindra ke dunia yang penuh kegelapan dan keputusasaan. Vyras lahir di sebuah desa kecil bernama Eryndral, sebuah tempat terpencil di pegunungan yang jarang disentuh peradaban. Ia adalah anak seorang pandai besi, hidup sederhana namun bahagia, hingga malam ketika langit di atas desanya berubah menjadi lautan api. “Itu adalah malam ketika aku berusia tujuh belas tahun,” katanya, matanya menatap kosong ke arah perapian. “Seorang penyihir datang ke desa kami. Dia menyebut dirinya Zarythe, Penyihir Bara. Dia menawarkan kekuatan kepada siapa saja yang bersedia membayar harga. Ayahku menolak, tapi aku… aku muda, bodoh, dan haus akan sesuatu yang lebih besar dari hidupku yang biasa.”

Elyndra mendengarkan dengan saksama, tangannya tanpa sadar menggenggam cangkir lebih erat. Ia tahu nama Zarythe—seorang penyihir kuno yang dikatakan telah membuat perjanjian dengan entitas gelap dari dunia lain. Cerita tentang Zarythe adalah legenda yang dituturkan dengan bisik-bisik, penuh ketakutan dan peringatan.

“Aku menerima tawarannya,” lanjut Vyras, suaranya mulai bergetar. “Dia memberikan aku kekuatan untuk mengendalikan api, untuk membentuknya sesuai keinginanku. Tapi harga yang harus kubayar… jauh lebih besar dari yang aku bayangkan.” Ia menarik lengan bajunya, memperlihatkan kulitnya yang penuh bekas luka bakar yang anehnya tampak seperti pola rune kuno. “Darahku berubah. Ia membakar dari dalam, setiap detik, setiap hari. Aku tidak bisa mati, tapi aku juga tidak bisa hidup. Setiap kali aku menggunakan kekuatanku, rasa sakitnya semakin hebat, seolah jiwaku terkoyak sedikit demi sedikit.”

Thalindra melangkah mendekat, matanya melebar saat melihat bekas luka itu. “Ini bukan sihir biasa,” katanya, suaranya penuh kekhawatiran. “Ini adalah kutukan darah, Elyndra. Sesuatu yang hanya bisa diciptakan oleh sihir kuno yang sangat kuat.”

Elyndra mengangguk pelan, pikirannya berputar mencoba memahami apa yang ia dengar. “Dan Zarythe? Apa yang terjadi padanya?” tanyanya.

Vyras menggeleng, wajahnya penuh penyesalan. “Dia menghilang setelah malam itu. Tapi sebelum pergi, dia berkata bahwa hanya penyihir dengan darah abadi yang bisa mematahkan kutukanku. Itulah mengapa aku mencarimu, Elyndra. Aku telah menjelajahi dunia selama hampir seratus tahun, mengikuti setiap petunjuk, setiap bisikan tentang Penyihir Bersayap. Kau adalah harapanku satu-satunya.”

Elyndra merasakan dadanya sesak. Seratus tahun. Ia tahu betul bagaimana rasanya hidup terlalu lama, menyaksikan dunia berubah sementara dirimu tetap sama. Tapi ada sesuatu dalam cerita Vyras yang membuatnya ragu. “Jika Zarythe begitu kuat, mengapa dia tidak mematahkan kutukan itu sendiri? Dan mengapa dia mengarahkanmu padaku?”

Vyras menatapnya, matanya penuh dengan campuran keputusasaan dan tekad. “Aku tidak tahu. Tapi aku tahu bahwa kau berbeda. Sayapmu, darahmu… ada sesuatu dalam dirimu yang bahkan Zarythe tak miliki. Aku merasakannya begitu aku melihatmu di tepi sungai.”

Elyndra bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela kecil di sudut pondok. Ia menatap keluar, ke arah kabut yang masih menyelimuti lembah. Hatinya terasa berat, penuh dengan kenangan tentang kutukannya sendiri. Ia teringat malam ketika ia kehilangan keluarganya, ketika desanya dibakar oleh para pemburu penyihir yang membenci keberadaannya. Ia selamat karena darah abadinya, tapi ia kehilangan semua yang ia cintai. Sejak saat itu, ia memilih untuk menyendiri, menyembunyikan sayapnya, menyembunyikan dirinya dari dunia.

“Aku tidak yakin aku bisa membantumu, Vyras,” katanya akhirnya, suaranya pelan namun penuh emosi. “Aku telah mencoba mematahkan kutukanku sendiri selama berabad-abad. Aku telah membaca setiap kitab kuno, mencoba setiap ramuan, setiap mantra. Tidak ada yang berhasil. Apa yang membuatmu yakin aku bisa melakukan sesuatu untukmu?”

Vyras bangkit, langkahnya goyah namun penuh tekad. “Karena kau masih di sini,” katanya. “Kau masih bertahan, meski kau tahu betapa beratnya hidup dengan kutukan. Itu berarti kau punya kekuatan yang bahkan kau sendiri tidak sadari.”

Thalindra, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Elyndra, aku tahu kau takut. Aku tahu kau tidak ingin membuka luka lama. Tapi anak ini…” Ia menatap Vyras, matanya penuh empati. “Ia membutuhkanmu. Dan mungkin, hanya mungkin, membantu dia juga akan membantumu menemukan jawaban yang kau cari.”

Elyndra memalingkan wajahnya, matanya berkaca-kaca. Ia ingin menolak, ingin mengusir Vyras dan kembali ke kesendiriannya yang aman. Tapi ada sesuatu dalam kata-kata Thalindra yang mengguncangnya. Selama ini, ia hidup untuk bertahan, bukan untuk hidup. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia bisa melakukan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

“Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku akan mencoba. Tapi aku perlu waktu. Dan aku perlu tahu segalanya tentang kutukanmu, tentang Zarythe, tentang apa yang terjadi di Eryndral.”

Vyras mengangguk, wajahnya penuh rasa syukur yang rapuh. “Aku akan memberitahu semua yang aku tahu. Tapi ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui.” Ia ragu sejenak, seolah tak yakin apakah harus melanjutkan. “Zarythe berkata bahwa jika kutukanku dipatahkan, ada harga yang harus dibayar. Aku tidak tahu apa itu, tapi aku bersedia menanggungnya, asalkan aku bisa bebas dari siksaan ini.”

Elyndra merasakan getaran dingin di punggungnya. Harga. Kata itu selalu mengintai di balik setiap sihir kuno, setiap kutukan, setiap anugerah. Ia tahu betul bahwa tidak ada yang datang tanpa konsekuensi. Tapi untuk saat ini, ia memilih untuk fokus pada langkah berikutnya.

“Malam ini, kau tinggal di sini,” katanya. “Thalindra akan menyiapkan tempat untukmu. Besok, kita mulai mencari jawaban.”

Vyras mengangguk, dan untuk pertama kalinya, ada secercah harapan di matanya. Thalindra tersenyum kecil, meski matanya masih penuh kewaspadaan. Elyndra kembali menatap ke luar jendela, ke arah lembah yang diselimuti kabut. Di dalam hatinya, ia merasakan badai yang mulai membentuk—badai yang akan menguji kekuatannya, imannya, dan mungkin, untuk pertama kalinya, keberaniannya untuk menghadapi masa lalunya.

Jejak di Antara Reruntuhan

Cahaya fajar menyelinap melalui celah-celah jendela pondok Elyndra, memecah kegelapan ruangan dengan semburat keemasan yang lembut. Elyndra bangun lebih awal, matanya yang ungu tua menatap langit-langit kayu sambil mendengarkan suara napas pelan dari Vyras, yang tidur di ranjang sementara di sudut ruangan. Thalindra sudah bangun sejak tengah malam, sibuk menyiapkan ramuan untuk menenangkan aura gelisah yang tampaknya menyelimuti Vyras bahkan dalam tidurnya. Aroma daun salamander dan akar valerian memenuhi udara, bercampur dengan bau kayu bakar yang masih membara di perapian.

Elyndra berdiri di dekat meja kecil yang penuh dengan kitab-kitab kuno dan gulungan perkamen, tangannya menyentuh sampul kulit yang sudah usang dari salah satu kitabnya. Ia telah menghabiskan malam dengan membaca ulang catatan-catatan tentang sihir darah dan kutukan kuno, mencari petunjuk tentang apa yang mungkin mengikat Vyras. Namun, setiap halaman yang ia buka hanya membawa lebih banyak pertanyaan. Zarythe, Penyihir Bara, adalah sosok yang lebih mirip mitos daripada kenyataan, dan informasi tentangnya terfragmentasi, penuh dengan peringatan samar tentang harga yang harus dibayar untuk sihirnya.

Thalindra masuk ke ruangan, membawa nampan berisi roti gandum dan semangkuk sup herbal. “Kau tidak tidur, bukan?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran sambil meletakkan nampan di atas meja. “Kau perlu istirahat, Elyndra. Kita tidak tahu apa yang kita hadapi dengan anak ini.”

Elyndra menggeleng pelan, sayapnya yang tersembunyi di bawah mantel bergerak sedikit, menciptakan suara gemerisik lembut. “Aku tidak bisa tidur, Thalindra. Ada sesuatu dalam cerita Vyras yang… menggangguku. Ini bukan hanya tentang kutukannya. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang terhubung dengan masa laluku.”

Thalindra mengerutkan kening, matanya mencerminkan kebingungan. “Masa lalumu? Kau jarang bicara tentang itu. Apa yang kau maksud?”

Sebelum Elyndra bisa menjawab, Vyras terbangun, matanya yang merah menyala membuka perlahan. Ia duduk di ranjang, wajahnya pucat dan berkeringat, seolah baru saja keluar dari mimpi buruk. “Maaf,” katanya dengan suara serak. “Aku tidak bermaksud menguping. Tapi… apa yang kau maksud dengan masa lalumu?”

Elyndra menatapnya, ragu-ragu. Ia tidak terbiasa berbagi rahasianya, bahkan dengan Thalindra, yang sudah menjadi sahabatnya selama puluhan tahun. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Vyras—campuran keputusasaan dan kejujuran—yang membuatnya merasa harus membuka diri, setidaknya sedikit. “Aku pernah kehilangan seseorang karena sihir seperti yang kau ceritakan,” katanya akhirnya, suaranya pelan namun penuh beban. “Ibuku. Dia… dia mencoba mematahkan kutukanku, dan itu menghabiskan nyawanya. Aku tidak ingin cerita itu terulang.”

Vyras menunduk, tangannya menggenggam erat kain jubahnya. “Aku tidak tahu apa yang Zarythe inginkan dariku, atau darimu. Tapi aku bersumpah, aku tidak akan membiarkan siapa pun terluka karena kutukanku.”

Thalindra menghela napas, lalu duduk di samping meja. “Kita perlu tahu lebih banyak tentang Zarythe dan apa yang dia lakukan di Eryndral. Vyras, kau bilang desamu dibakar. Apakah ada sesuatu—apa pun—yang kau ingat? Petunjuk tentang apa yang dia cari?”

Vyras mengangguk perlahan, matanya menatap kosong ke arah perapian. “Ada sebuah kuil tua di dekat desa kami, tersembunyi di dalam hutan. Orang-orang bilang itu adalah tempat suci bagi dewi bulan, tapi sudah lama ditinggalkan. Zarythe pergi ke sana sebelum dia menghilang. Aku… aku mengikutinya, tapi aku tidak bisa masuk. Ada semacam penghalang sihir yang mendorongku keluar.”

Elyndra menegang mendengar kata “dewi bulan.” Itu bukan kebetulan. Darah abadinya berasal dari garis keturunan dewi bulan, dan kuil-kuil seperti itu sering menjadi tempat penyimpanan artefak atau rahasia kuno. “Kuil itu,” katanya, suaranya bergetar. “Apa kau tahu di mana letaknya?”

Vyras mengangguk. “Aku bisa membawamu ke sana. Tapi itu jauh, di Pegunungan Eryndral. Perjalanan akan memakan waktu berhari-hari, dan aku tidak yakin apa yang akan kita temukan.”

Elyndra bertukar pandang dengan Thalindra. Sahabatnya mengangguk pelan, seolah memahami bahwa keputusan ini tidak bisa dihindari. “Kita harus pergi,” kata Thalindra. “Jika ada jawaban, kemungkinan besar ada di kuil itu. Tapi kita harus berhati-hati. Zarythe mungkin sudah tidak ada, tapi sihirnya… itu masih hidup dalam dirimu, Vyras.”

Hari itu, mereka mulai mempersiapkan perjalanan. Elyndra mengumpulkan kitab-kitab dan ramuan yang mungkin dibutuhkan, sementara Thalindra menyiapkan perbekalan dan mantel tahan air untuk menghadapi cuaca pegunungan yang tak terduga. Vyras, meski lemah, membantu dengan membawa kayu bakar dan memeriksa peralatan. Elyndra memperhatikannya dari kejauhan, mencoba memahami pemuda yang membawa badai ke dalam hidupnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya merasa terhubung, bukan hanya karena kutukan mereka, tapi karena luka yang sama yang mereka pikul—kesepian, penyesalan, dan harapan yang rapuh.

Perjalanan dimulai keesokan paginya, saat kabut di Lembah Vyrindel masih tebal. Elyndra memimpin rombongan, sayapnya tersembunyi di bawah mantel agar tidak menarik perhatian. Thalindra berjalan di sisinya, membawa tas besar berisi ramuan dan alat tabib, sementara Vyras mengikuti di belakang, langkahnya kadang goyah karena rasa sakit yang terus-menerus membakar darahnya. Mereka menelusuri jalur sempit yang meliuk melalui hutan, melewati sungai-sungai kecil dan tebing-tebing curam, menuju pegunungan yang menjulang di kejauhan.

Selama perjalanan, Elyndra memperhatikan bahwa Vyras sering berhenti, tangannya memegang dadanya seolah berusaha menahan rasa sakit. Di salah satu istirahat di tepi sungai, saat Thalindra sibuk memeriksa peta, Elyndra mendekatinya. “Berapa lama kau bisa menahan ini?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.

Vyras tersenyum pahit. “Aku sudah terbiasa. Tapi akhir-akhir ini… semakin buruk. Aku bisa merasakan api di dalam diriku ingin meledak. Aku takut, Elyndra. Bukan untukku, tapi untuk orang-orang di sekitarku.”

Elyndra merasakan tusukan di hatinya. Ia tahu rasa takut itu—takut menjadi bahaya bagi orang-orang yang ia sayangi. “Kami akan menemukan jawabannya,” katanya, meski ia sendiri tidak yakin. “Kau tidak sendirian dalam ini.”

Setelah tiga hari perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di kaki Pegunungan Eryndral. Pemandangan di depan mereka adalah hamparan batu kelabu dan pohon-pohon pinus yang berdiri kokoh melawan angin kencang. Vyras menunjuk ke arah celah di antara dua puncak. “Kuil itu ada di sana,” katanya. “Tapi kita harus berhati-hati. Hutan di sekitarnya… tidak seperti hutan biasa.”

Mereka melanjutkan perjalanan, dan semakin mendekati kuil, Elyndra merasakan getaran sihir di udara, seperti denyut yang samar namun kuat. Pohon-pohon di sekitar mereka tampak lebih tua, kulitnya berlumut dan berpilin seperti wajah-wajah yang memandang. Angin membawa bisikan yang tidak jelas, seolah roh-roh kuno sedang berbicara dalam bahasa yang telah dilupakan.

Akhirnya, mereka sampai di depan kuil. Bangunannya terbuat dari batu pualam yang sudah retak dan ditumbuhi lumut, dengan pilar-pilar besar yang diukir dengan simbol bulan sabit dan bintang. Pintu masuknya tertutup oleh penghalang sihir yang berkilau seperti air, memantulkan cahaya matahari dalam warna-warna pelangi. Elyndra mendekati penghalang itu, tangannya terulur, dan ia merasakan getaran yang familiar—sihir yang terhubung dengan darahnya.

“Ini sihir bulan,” katanya, suaranya penuh kagum bercampur ketakutan. “Hanya seseorang dengan darah dewi yang bisa melewatinya.”

Vyras melangkah maju, matanya penuh harapan. “Kau bisa melakukannya, bukan?”

Elyndra mengangguk, meski hatinya dipenuhi keraguan. Ia menutup mata, membiarkan sihir dalam darahnya mengalir, dan menyentuh penghalang itu. Cahaya perak meledak dari sayapnya, dan penghalang itu perlahan memudar, membuka jalan ke dalam kuil. Namun, saat pintu terbuka, sebuah suara dingin dan dalam bergema dari dalam, membuat mereka semua membeku.

“Kau akhirnya datang, anak darah bulan,” suara itu berkata, penuh ejekan. “Dan kau membawa pengkhianat itu bersamamu.”

Elyndra menoleh ke arah Vyras, matanya penuh pertanyaan. Vyras tampak sama terkejutnya, wajahnya pucat. “Aku tidak tahu apa itu,” katanya, suaranya gemetar. “Aku bersumpah, Elyndra.”

Tapi sebelum Elyndra bisa menjawab, bayang-bayang gelap muncul dari dalam kuil, membawa aroma asap dan belerang. Elyndra mengangkat tongkatnya, siap menghadapi apa pun yang menanti mereka. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja menjadi jauh lebih berbahaya—dan rahasia yang tersembunyi di dalam kuil itu mungkin akan mengubah segalanya.

Cahaya di Ujung Kutukan

Bayang-bayang gelap yang muncul dari dalam kuil itu bergerak seperti asap hidup, berputar dan merayap di udara dengan suara desis yang menusuk telinga. Aroma belerang dan asap semakin pekat, membuat Thalindra memegang erat tas ramuannya, sementara Vyras mundur selangkah, tangannya gemetar di sisi tubuhnya. Elyndra berdiri di depan, tongkatnya yang berkilau dengan kristal bulan terangkat, memancarkan cahaya perak yang berdenyut seperti jantungan. Matanya yang ungu tua menyipit, mencoba menembus kegelapan untuk melihat sumber suara dingin yang memanggilnya “anak darah bulan.”

“Siapa kau?” tanya Elyndra, suaranya tegas meski jantungnya berdegup kencang. “Dan apa maksudmu menyebut Vyras pengkhianat?”

Bayang-bayang itu mengeras, membentuk sosok samar seorang wanita dengan jubah hitam yang mengalir seperti air. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, tapi matanya—merah menyala seperti bara Vyras—terlihat jelas, penuh dengan kebencian yang membekukan darah. “Zarythe,” bisik Elyndra, mengenali aura yang begitu kuat dan gelap, sesuai dengan legenda yang pernah ia baca. “Kau masih hidup.”

Zarythe tertawa, suaranya seperti pecahan kaca yang bergesekan. “Hidup? Mati? Apa bedanya bagi kita yang terikat pada kutukan?” Ia melangkah maju, dan setiap langkahnya membuat batu-batu di lantai kuil bergetar. “Kau, Elyndra Veylith, adalah kunci yang kucari. Darahmu, darah dewi bulan, adalah satu-satunya yang bisa menyelesaikan apa yang kumulai.”

Elyndra merasakan getaran dingin di tulang punggungnya. Ia melirik Vyras, yang wajahnya pucat dan matanya penuh ketakutan. “Apa yang kau lakukan padanya?” tanya Elyndra, suaranya mulai bergetar karena amarah. “Dan apa yang kau inginkan dariku?”

Zarythe mengangkat tangannya, dan bayang-bayang di sekitarnya membentuk lingkaran rune di udara, berkilau dengan cahaya merah gelap. “Vyras adalah alat, sebuah umpan untuk membawamu ke sini. Kutukannya adalah ciptaanku, tapi itu hanya setengah dari rencanaku. Aku ingin keabadianmu, Elyndra. Darahmu bisa membuka gerbang ke dunia dewi bulan, memberiku kekuatan untuk menulis ulang nasibku sendiri.”

Thalindra melangkah maju, matanya penuh kemarahan. “Kau monster! Kau menghancurkan hidupnya hanya untuk umpan?” Ia merogoh tasnya, mengeluarkan botol kecil berisi cairan hijau bercahaya, siap melemparkannya.

“Tunggu, Thalindra,” kata Elyndra, tangannya terulur untuk menghentikan sahabatnya. Ia menatap Zarythe, pikirannya berputar mencari cara untuk mengatasi situasi ini. “Jika darahku adalah yang kau inginkan, mengapa kau tidak mengambilnya sendiri? Mengapa kau membutuhkan Vyras untuk membawaku ke sini?”

Zarythe tersenyum, tapi senyum itu penuh racun. “Karena darahmu harus diberikan secara sukarela, anak bulan. Kutukan tidak bekerja dengan paksaan. Vyras adalah caraku untuk memastikan kau datang dengan kemauan sendiri, didorong oleh rasa belas kasihanmu yang lemah.”

Vyras menatap Elyndra, matanya penuh penyesalan. “Aku tidak tahu, Elyndra,” katanya, suaranya pecah. “Aku bersumpah, aku tidak tahu dia masih hidup. Aku pikir dia sudah mati, bahwa aku hanya perlu menemukanmu untuk mematahkan kutukanku.”

Elyndra menarik napas dalam, mencoba menenangkan badai emosi di dalam dirinya. Ia merasakan kemarahan, pengkhianatan, tapi juga empati yang mendalam untuk Vyras. Ia tahu betul bagaimana rasanya menjadi pion dalam permainan yang lebih besar. “Kau tidak perlu meminta maaf,” katanya pelan. “Kau sama korbannya seperti aku.”

Zarythe tertawa lagi, suaranya menggema di dinding kuil. “Betapa menyentuh. Tapi waktumu sudah habis, Elyndra. Berikan darahmu, atau aku akan menghancurkan mereka berdua.” Ia mengangkat tangannya, dan api merah menyala di sekitar Thalindra dan Vyras, membentuk sangkar yang menyala-nyala.

Thalindra berteriak, mencoba melemparkan botol ramuannya, tapi api itu terlalu kuat, mendorongnya mundur. Vyras mencoba menggunakan kekuatannya sendiri, tapi setiap kali ia memanggil api, tubuhnya gemetar karena rasa sakit, dan darah merah mengalir dari hidungnya.

Elyndra merasakan dadanya sesak. Ia tahu ia tidak punya banyak waktu. Ia menutup mata, membiarkan sihir dalam darahnya mengalir, mencari jawaban di dalam dirinya. Sayapnya terbuka lebar, memenuhi ruangan dengan cahaya perak yang begitu terang hingga bayang-bayang Zarythe mundur. Ia teringat kata-kata ibunya, ratusan tahun lalu, sebelum nyawanya diambil oleh usaha untuk mematahkan kutukan Elyndra: “Darahmu adalah anugerah, bukan kutukan. Gunakan untuk melindungi, bukan menghancurkan.”

Dengan tekad yang membara, Elyndra melangkah maju, tongkatnya berdenyut dengan energi bulan. “Kau ingin darahku, Zarythe? Ambil. Tapi kau tidak akan pernah memahami kekuatannya.” Ia menusukkan ujung tongkatnya ke telapak tangannya sendiri, dan setetes darah perak mengalir, berkilau seperti cairan bulan. Ia mengarahkan tangannya ke arah rune di tengah kuil, tempat Zarythe berdiri, dan berbisik dalam bahasa kuno yang hanya dikenal oleh keturunan dewi bulan.

Cahaya perak meledak dari darahnya, membentuk gelombang yang menghantam Zarythe. Penyihir Bara itu berteriak, tubuhnya terbakar oleh cahaya yang begitu murni hingga bayang-bayangnya hancur seperti kertas yang terbakar. Sangkar api di sekitar Thalindra dan Vyras memudar, dan keduanya jatuh ke lantai, terengah-engah.

Tapi Elyndra tahu itu belum selesai. Ia merasakan tarikan di dalam dirinya, seolah sihir yang ia lepaskan mengambil sesuatu darinya. Ia jatuh berlutut, napasnya tersengal, sayapnya gemetar. Thalindra berlari ke arahnya, memegang pundaknya. “Elyndra, apa yang kau lakukan? Kau baik-baik saja?”

Elyndra tersenyum lemah, wajahnya pucat. “Aku… aku memberikan apa yang dia inginkan. Tapi bukan seperti yang dia pikirkan. Darahku membuka gerbang, tapi bukan untuknya. Untuk Vyras.”

Vyras, yang masih terduduk di lantai, menatapnya dengan mata melebar. Ia merasakan sesuatu berubah di dalam dirinya—api yang membakar darahnya mulai mereda, digantikan oleh kehangatan yang lembut, seperti sinar bulan di malam yang tenang. “Elyndra… kau mematahkan kutukanku?”

Elyndra mengangguk, meski setiap gerakan terasa berat. “Tapi ada harga yang harus dibayar,” katanya, suaranya hampir tak terdengar. “Keabadianku… aku merasakannya memudar.”

Thalindra menangis, memeluk Elyndra erat. “Kau tidak boleh pergi! Kita bisa mencari cara, seperti kau selalu lakukan!”

Elyndra menggeleng, tangannya menyentuh wajah Thalindra dengan lembut. “Aku sudah hidup terlalu lama, sahabatku. Jika ini harga untuk membebaskan Vyras, untuk menghentikan Zarythe… aku rela.”

Vyras merangkak mendekat, air mata mengalir di wajahnya yang penuh bekas luka. “Aku tidak pernah ingin ini,” katanya, suaranya pecah. “Aku ingin kau hidup, Elyndra. Kau memberiku harapan, kau memberiku kebebasan.”

Elyndra tersenyum, matanya mulai memudar, tapi penuh kedamaian. “Kau sekarang bebas, Vyras. Gunakan hidupmu untuk sesuatu yang berarti. Lindungi, seperti yang ibuku ajarkan padaku.”

Cahaya perak dari sayapnya perlahan memudar, dan tubuhnya ambruk ke pelukan Thalindra. Langit di atas kuil terbuka, kabut yang menyelimuti Pegunungan Eryndral menghilang, memperlihatkan bulan purnama yang bersinar terang. Vyras dan Thalindra menatap ke arah langit, air mata mereka bercampur dengan rasa syukur dan kehilangan.

Di kejauhan, angin membawa bisikan lembut, seolah suara Elyndra masih ada di antara mereka: “Darahku adalah anugerah, bukan kutukan.” Dan di bawah cahaya bulan, Vyras bersumpah untuk menghormati pengorbanan Elyndra, untuk hidup dengan keberanian yang telah ia pelajari dari penyihir bersayap yang mengubah nasibnya.

Sayap Abadi di Bawah Langit Kelam bukan sekadar cerita fantasi, melainkan sebuah perjalanan emosional yang mengeksplorasi tema pengorbanan, keberanian, dan harapan di tengah kegelapan. Dengan karakter yang kuat dan alur yang memikat, cerpen ini meninggalkan kesan mendalam yang akan terus bergema di hati pembaca. Jangan lewatkan kisah epik ini yang mengajak Anda merenungi makna sejati dari keabadian dan cinta.

Terima kasih telah menyelami dunia magis Sayap Abadi di Bawah Langit Kelam bersama kami! Tetap ikuti petualangan fantasi lainnya dan bagikan kisah ini kepada sesama pencinta cerita epik. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!

Leave a Reply