Daftar Isi
Menemani hujan yang turun, cerita “Salah Paham di Bawah Hujan” membawa Anda ke dalam perjalanan emosional Lysandra dan Kaelthor, dua remaja yang menghadapi kesalahpahaman mendalam namun menemukan kekuatan untuk menyatukan kembali ikatan persahabatan mereka. Dengan detail yang memikat dan alur yang penuh liku, cerpen ini menawarkan pelajaran berharga tentang kepercayaan, pengampunan, dan harapan. Siapkah Anda tersentuh oleh kisah yang akan mengubah cara Anda memandang hubungan?
Salah Paham di Bawah Hujan
Bayangan di Balik Tirai Hujan
Hujan turun deras di sore hari itu, 7 November 2024, membasahi jalanan kota kecil tempat aku, Lysandra Quivora, tinggal. Usia 17 tahun, kelas tiga SMA, seharusnya menjadi puncak masa remajaku yang penuh semangat. Tapi hari itu, hati ini terasa seperti langit—gelap, berat, dan penuh petir yang tak terucap. Aku berdiri di bawah atap teras rumah, menatap tetesan air yang jatuh dari genting, memegang erat jaket biru tua yang pernah dipinjamkan oleh seseorang yang kini menjadi sumber kekacauan dalam hidupku.
Semuanya dimulai tiga hari lalu, saat aku mendengar bisik-bisik di koridor sekolah. Nama “Lysandra” disebut-sebut dalam nada yang penuh cemoohan, diikuti tawa kecil yang menusuk. Aku tak tahu pasti apa yang terjadi, tapi aku mendengar nama “Kaelthor Veyris”—teman sekelasku yang selama ini kukenal sebagai sosok pendiam namun hangat. Kaelthor, dengan rambut pirang kusut dan mata hijau yang selalu penuh cerita, adalah satu-satunya orang yang membuatku merasa diterima di kelas yang penuh dengan klik-klik sosial yang tak pernah kumasuki.
Aku mengingat hari itu dengan jelas. Kami sedang duduk di perpustakaan sekolah, menggarap proyek kelompok tentang sejarah lokal. Kaelthor duduk di sebelahku, mengetik di laptopnya sambil sesekali menoleh untuk tersenyum kecil. “Lysandra, kamu tahu nggak kalau cerita tentang danau tua ini sebenarnya ada versi lain?” katanya, matanya berbinar dengan antusiasme yang jarang kulihat darinya. Aku mengangguk, tertarik, dan kami larut dalam diskusi panjang—tentang mitos, tentang legenda, tentang bagaimana cerita bisa berubah seiring waktu.
Tapi tiba-tiba, ponselku bergetar. Pesan dari temen sekelasku, Jirana, muncul di layar: “Lysandra, hati-hati sama Kaelthor. Katanya dia bilang ke orang lain kamu sok tahu dan nyebelin.” Aku membeku, membaca ulang pesan itu berkali-kali. Aku menoleh ke Kaelthor, yang masih asyik mengetik, tak menyadari ekspresiku yang berubah. Hatiku bergetar, campuran antara kaget dan marah. Apakah ini benar? Apakah selama ini aku salah mengenalnya?
Sore itu, aku tak bicara banyak. Aku mengemas barangku lebih cepat dan pergi tanpa pamit, meninggalkan Kaelthor yang tampak bingung. Di rumah, aku tak bisa tidur. Pikiranku dipenuhi bayangan Kaelthor yang tertawa bersama temen-temennya, mengolok-olokku di belakang. Aku membayangkan kata-kata kasar yang mungkin ia ucapkan, dan setiap kali memikirkannya, dada ini terasa sesak, seperti ada beban yang tak bisa kulepaskan.
Keesokan harinya, aku menghindarinya. Di kelas, aku duduk di sudut, menunduk, berharap ia tak mendekat. Tapi Kaelthor, dengan caranya yang lembut, mendekatiku saat istirahat. “Lysandra, kemarin kenapa kamu buru-buru pergi? Aku mau tanya soal bagian proyek kita,” katanya, suaranya penuh kebingungan.
Aku menatapnya dengan dingin, menahan emosi yang menggelegak. “Jangan pura-pura baik, Kaelthor. Aku tahu kamu bilang aku sok tahu dan nyebelin ke orang lain. Jangan dekati aku lagi,” kataku tajam, lalu berbalik pergi, meninggalkannya berdiri terpana di tengah kelas.
Hujan di luar semakin deras, seolah mencerminkan kekacauan di hatiku. Aku duduk di teras, memeluk lutut, mencoba memahami apa yang baru saja kulakukan. Aku tak yakin apakah aku salah menuduhnya, tapi rasa sakit dan rasa malu yang kuhayati membuatku tak bisa berpikir jernih. Pesan Jirana itu terus berputar di kepalaku, dan aku tak punya keberanian untuk memastikannya langsung ke Kaelthor. Aku takut mendengar kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan.
Malam itu, aku membuka buku harian tua yang kusimpan di laci. Di halaman terakhir, ada catatan tentang Kaelthor—tentang bagaimana ia pernah membantuku saat aku jatuh dari sepeda bulan lalu, tentang bagaimana ia selalu membawakan teh hangat saat aku sakit di kelas. Aku menulis di halaman baru: “Aku benci dia sekarang. Tapi kenapa rasanya aku yang salah?” Tulisan itu buram karena air mataku yang tak terbendung.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk tak ke sekolah. Ibu bertanya kenapa aku terlihat murung, tapi aku hanya bilang aku sakit perut. Di kamar, aku menatap foto keluarga di dinding—aku tersenyum lebar di sana, bersama ayah dan ibu, sebelum ayah pergi meninggalkan kami dua tahun lalu. Rasa dikhianati oleh Kaelthor membangkitkan luka lama itu, membuatku merasa sendirian lagi, seperti saat ayah tak lagi menjemputku dari sekolah.
Sore itu, saat hujan mulai reda, aku mendengar ketukan di pintu. Aku membukanya, dan di sana berdiri Kaelthor, basah kuyup, memegang payung yang tampak compang-camping. “Lysandra, aku harus ceritain sesuatu,” katanya, napasnya tersengal karena berlari. “Aku nggak pernah bilang apa-apa tentang kamu. Itu salah paham. Tolong, dengerin aku.”
Aku terdiam, memandangnya dengan mata penuh keraguan. Hujan di belakangnya tampak seperti tirai yang memisahkan kami, dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam dalam tatapannya—sesuatu yang membuatku ingin percaya, meski hatiku masih penuh luka. Aku mengangguk pelan, membukakan pintu lebih lebar, membiarkan dia masuk ke dalam rumahku, ke dalam dunia yang kini dipenuhi oleh bayangan salah paham yang harus kita selesaikan bersama.
Cahaya di Tengah Kabut
Pagi itu, udara di dalam rumah terasa dingin, meski matahari mulai menembus celah-celah jendela dengan cahaya lemah yang pucat. Jam menunjukkan 09:05 WIB, Selasa, 10 Juni 2025, tapi waktu seolah berhenti bagiku, Lysandra Quivora, saat Kaelthor Veyris berdiri di ambang pintu, rambut pirangnya basah menempel di dahinya, dan pakaiannya tampak lusuh akibat hujan semalam. Aku membukakan pintu lebih lebar, hatiku berdebar antara rasa ingin tahu dan ketakutan akan kebenaran yang mungkin terungkap. Kaelthor melangkah masuk, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang lebih dalam—seperti harapan yang rapuh.
Aku mengajaknya duduk di sofa tua di ruang tamu, tempat ibuku biasanya menjahit di malam hari. Sofa itu sedikit compang-camping, dengan bantalan yang sudah memudar, tapi terasa hangat karena kenangan keluarga yang pernah ada di sini. Aku mengambil handuk dari laci dan memberikannya padanya, berusaha menjaga jarak emosional meski tanganku sedikit gemetar. Kaelthor mengangguk ucapan terima kasih, mengelap wajahnya dengan gerakan pelan, matanya tak pernah lepas dariku.
“Lysandra,” katanya akhirnya, suaranya serak tapi tegas, “aku nggak tahu dari mana rumor itu berasal, tapi aku nggak pernah bilang kamu sok tahu atau nyebelin. Aku janji.” Ia menatapku dengan mata hijau yang dalam, penuh kejujuran yang membuatku ragu pada keyakinanku sendiri.
Aku duduk di kursi seberangnya, menarik napas dalam-dalam. “Tapi Jirana bilang dia dengar dari temen lain. Katanya kamu ngomong gitu di kantin kemarin. Aku… aku percaya dia, Kaelthor. Aku nggak punya alasan buat nggak percaya.” Suaraku bergetar, mencerminkan kekacauan di dalam diriku. Aku ingat betapa sakitnya saat membaca pesan itu, bagaimana rasanya dikhianati oleh seseorang yang kuhormati.
Kaelthor menghela napas, tangannya mengepal di pangkuannya. “Jirana… mungkin dia salah dengar atau sengaja salah ngerti. Aku kemarin di kantin cuma ngobrol sama Rivan tentang proyek kita. Aku bilang kalau kamu detail banget pas ngomongin mitos danau tua, dan aku kagum sama pengetahuanmu. Mungkin kata-kata itu dipelintir orang lain. Aku nggak pernah maksud jahat, Lysandra. Kamu tahu aku nggak gitu.”
Aku menunduk, memandangi pola karpet tua di lantai. Kata-katanya masuk akal, tapi luka di hatiku terlalu dalam untuk langsung sembuh. Aku teringat saat ayah pergi dua tahun lalu—bagaimana ia berjanji akan kembali, tapi malah meninggalkan kami dengan surat singkat yang penuh alasan. Pengalaman itu membuatku waspada terhadap janji, terhadap kata-kata manis yang bisa berubah menjadi kebohongan. “Aku pengin percaya kamu,” kataku pelan, “tapi aku takut salah lagi, Kaelthor. Aku nggak kuat kalau ternyata ini cuma sandiwara.”
Ia bergerak mendekat, duduk di ujung sofa sehingga jarak kami hanya beberapa senti. “Lysandra, aku nggak minta kamu percaya aku begitu aja. Tapi aku bisa buktikan. Aku nggak punya alasan buat nyakitin kamu. Kamu… kamu beda. Kamu bikin aku ngerasa ada yang dengerin, ada yang ngerti, meski aku pendiam banget. Aku nggak mau kehilangan temen kayak kamu cuma gara-gara salah paham.”
Kata-katanya menyentuh sesuatu di dalam diriku, tapi aku masih ragu. Aku berdiri, berjalan ke jendela, menatap tetesan hujan yang masih menempel di kaca. Di luar, pohon mangga di halaman belakang bergoyang pelan, daun-daunnya basah dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. Aku mengingat saat Kaelthor membantuku saat aku jatuh dari sepeda—bagaimana ia berlari membawakan kotak P3K dari kantor sekolah, bagaimana ia duduk di sampingku sambil mengompres lututku yang berdarah. Apakah seseorang yang melakukan itu bisa sejahat yang kukira?
“Kamu bisa buktiin gimana?” tanyaku akhirnya, menoleh padanya. Suaraku penuh tantangan, tapi ada harapan kecil yang mulai tumbuh.
Kaelthor berdiri, mendekatiku dengan langkah hati-hati. “Aku bakal ngomong sama Jirana dan yang lain di sekolah. Aku bakal tanya siapa yang mulai rumor ini. Kalau perlu, aku bakal minta maaf ke kamu di depan kelas kalau itu bikin kamu tenang. Tapi aku minta satu hal—dengerin ceritaku dulu. Biar kamu tahu aku nggak bohong.”
Aku mengangguk pelan, membiarkan dia melanjutkan. Ia duduk kembali, tangannya memainkan tepi handuk yang masih di pangkuannya. “Aku tahu kamu mungkin nggak percaya, tapi aku juga pernah dikhianatin. Dua tahun lalu, temen baikku, Tharion, ngomongin aku di belakang gara-gara aku nggak mau ikut nyanyi di acara sekolah. Katanya aku sok suci. Itu bikin aku kapok buat percaya orang. Tapi sama kamu… aku ngerasa beda. Aku nggak mau ulangin kesalahan yang sama, nyakitin orang yang aku sayang.”
Kata “sayang” itu membuat jantungku berdegup kencang, tapi aku buru-buru mengalihkan pikiran. “Kalau gitu, kenapa kamu nggak klarifikasi dari kemarin?” tanyaku, masih mencari celah untuk memastikan kebenarannya.
“Karena aku kaget sama sikapmu,” jawabnya jujur. “Pas kamu bilang gitu di kelas, aku nggak tahu harus ngapain. Aku takut kalau aku dekati kamu, malah bikin kamu tambah marah. Makanya aku dateng ke sini hari ini. Aku nggak bisa tidur mikirin ini, Lysandra. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Kata-katanya terasa tulus, dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada celah di dinding yang kubangun di sekitar hatiku. Aku duduk kembali, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku juga nggak tidur semalam,” akunya. “Aku takut kamu benci aku karena aku salah tuduh. Tapi aku juga takut kalau ternyata ini bener, dan aku cuma jadi bahan ejekan.”
Kaelthor menggeleng, matanya penuh kelembutan. “Kamu nggak pernah jadi bahan ejekan buat aku. Kamu… kamu spesial, Lysandra. Aku suka cara kamu mikir, cara kamu baca buku sambil ngomong sendiri, cara kamu ketawa pas aku cerita sesuatu yang konyol. Aku nggak mau itu hilang cuma gara-gara rumor.”
Kami terdiam sejenak, hanya suara jam dinding tua yang berdetak pelan mengisi ruangan. Aku meraih gelas air di meja, meminumnya perlahan untuk menenangkan diri. Di luar, hujan mulai reda, meninggalkan aroma segar yang menyelinap melalui celah jendela. Aku memutuskan untuk memberinya kesempatan, meski hati ini masih penuh luka. “Oke,” kataku akhirnya. “Aku bakal dengerin. Tapi kamu harus buktiin, Kaelthor. Aku nggak mau ini cuma janji kosong.”
Ia mengangguk dengan sungguh-sungguh. “Aku janji. Besok, aku bakal ngomong sama Jirana dan yang lain. Kalau perlu, aku bawa bukti, kayak catatan obrolan kita kemarin di laptop. Aku simpen semua, biar kamu tahu aku nggak bohong.”
Aku tersenyum tipis, merasa ada beban yang sedikit terangkat dari pundakku. “Makasih, Kaelthor. Aku… aku nyesel udah cepet nyimpulin. Mungkin aku terlalu takut dikhianatin lagi.”
Ia menatapku dengan pengertian. “Aku ngerti. Kita semua punya luka, Lysandra. Tapi luka itu nggak harus bikin kita saling menyakiti. Mari kita selesaikan ini bareng.”
Hari itu, kami menghabiskan waktu berbicara—tentang proyek, tentang buku yang sedang kubaca, tentang kenangan masing-masing yang membuat kami jadi seperti ini. Kaelthor bercerita tentang ibunya yang sakit kronis, tentang bagaimana ia belajar diam karena tak ingin menambah beban keluarganya. Aku menceritakan tentang ayahku, tentang bagaimana kepergiannya membuatku takut kehilangan lagi. Percakapan itu terasa seperti jembatan, menghubungkan dua hati yang saling ragu.
Saat ia pamit pulang, langit sudah cerah, dengan sisa-sisa awan kelabu yang perlahan tersapu angin. Kaelthor berbalik di depan pintu, tersenyum kecil. “Besok, aku tunjukin kebenaran, Lysandra. Sabar ya.”
Aku mengangguk, memandangnya pergi dengan perasaan campur aduk. Di kamarku, aku membuka buku harian lagi, menulis: “Hari ini, aku mulai percaya lagi. Tapi aku takut. Apa ini cukup kuat buat lawan bayangan masa lalu?” Tulisan itu buram, tapi ada harapan kecil yang mulai tumbuh, seperti tunas kecil di tengah tanah yang kering.
Malam itu, aku tak bisa tidur. Pikiranku penuh dengan wajah Kaelthor, kata-katanya, dan janjinya. Aku tahu besok akan menjadi hari penentu—apakah salah paham ini akan selesai, atau justru membukakan luka yang lebih dalam. Di luar, bulan purnama bersinar lembut, seolah mengawasi langkah kami yang masih penuh ketidakpastian.
Bayang yang Terbongkar
Pagi itu, 11 Juni 2025, udara terasa lebih segar setelah hujan semalam mereda sepenuhnya. Jam di dinding kamarku menunjukkan 06:45 WIB ketika aku, Lysandra Quivora, bangun dari tidur yang penuh mimpi aneh—bayangan Kaelthor Veyris berdiri di tengah hujan, memanggil namaku dengan suara yang samar. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah gorden, menciptakan pola lembut di lantai kayu yang sudah usang. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi gelang perak sederhana di pergelangan tanganku—hadiah dari ibu saat ulang tahunku yang ke-16, simbol kekuatan yang kini terasa rapuh di tengah ketidakpastian ini.
Kemarin, percakapan dengan Kaelthor di ruang tamu meninggalkan jejak harap di hatiku, tapi juga ketakutan yang tak kunjung hilang. Janjinya untuk membuktikan kebenaran tentang rumor itu terngiang di kepalaku, bercampur dengan suara tawa Jirana yang masih terasa menusuk. Aku berdiri, mengambil buku harian dari meja samping tempat tidur, dan membukanya di halaman terakhir. Tulisan tanganku yang buram dari air mata semalam masih terbaca: “Hari ini, aku mulai percaya lagi. Tapi aku takut.” Aku menambahkan satu kalimat baru dengan pena hitam: “Hari ini, aku akan tahu kebenaran.”
Setelah mandi dan mengenakan seragam SMA—blus putih dengan rok plisket biru tua yang sedikit kusut—aku turun ke dapur. Ibu sudah sibuk menyiapkan sarapan: nasi goreng sederhana dengan telur mata sapi dan irisan timun. “Kamu kelihatan capek, Ly,” katanya, menatapku dengan mata penuh perhatian. Aku tersenyum tipis, mengangguk. “Cuma kurang tidur, Bu. Nanti aku baik-baik aja.” Ibu tak bertanya lebih jauh, tapi aku tahu ia menyadari ada sesuatu yang menggangguku. Ia hanya mengelus pundakku, memberikan kehangatan yang sementara mengusir dingin di hatiku.
Di sekolah, aku tiba lebih awal, sekitar 07:15 WIB, dan memilih duduk di sudut kelas dekat jendela. Pemandangan luar—pohon-pohon kelapa yang bergoyang pelan dan lapangan yang masih basah—memberiku sedikit ketenangan. Tapi pikiranku terus kembali ke Kaelthor. Apakah ia benar-benar akan membuktikan apa yang ia katakan? Atau ini hanya harapan kosong yang akan merenggut kepercayaanku lagi? Aku mengeluarkan buku catatan proyek kami, membaca catatan tangan Kaelthor tentang mitos danau tua, dan merasa ada kehangatan dalam tulisannya yang rapi.
Jam 07:30 WIB, siswa lain mulai berdatangan. Jirana masuk dengan langkah cepat, rambut pendeknya yang diwarnai cokelat tergerai sedikit berantakan. Ia melirikku sekilas sebelum duduk di bangkunya, dua baris di depanku. Aku ingin menghampirinya, menanyakannya langsung tentang pesan yang ia kirim, tapi rasa malu dan ketakutan menahanku. Aku tak ingin terlihat lemah di depannya, terutama jika ia memang sengaja memutarbalikkan fakta.
Kaelthor tiba tepat saat bel pertama berbunyi, 07:40 WIB. Ia memasuki kelas dengan tas selempangnya yang sedikit basah di bagian bawah, mungkin karena hujan pagi tadi. Matanya langsung mencariku, dan saat bertemu pandanganku, ia mengangguk kecil, memberikan senyum penuh harap. Aku membalas dengan anggukan singkat, hati berdebar menanti apa yang akan terjadi.
Istirahat pertama, sekitar 09:50 WIB, menjadi momen penentu. Kaelthor berdiri di depan kelas, meminta perhatian semua orang. Suaranya sedikit gemetar tapi tegas. “Guys, aku mau klarifikasi sesuatu. Ada rumor bahwa aku ngomong jelek tentang Lysandra, bilang dia sok tahu dan nyebelin. Itu nggak bener. Aku cuma bilang aku kagum sama pengetahuannya pas kita garap proyek. Kalau ada yang dengar lain, mungkin salah dengar atau sengaja dipelintir.”
Kelas menjadi sunyi, semua mata tertuju padanya. Jirana, yang sedang mengobrol dengan temennya, tiba-tiba terdiam, wajahnya memerah. Kaelthor melanjutkan, “Aku bawa bukti.” Ia mengeluarkan laptop dari tasnya, membukanya di depan kelas, dan menunjukkan catatan obrolan kami dari hari proyek. Di sana, terlihat jelas bahwa ia memuji detail kerjaku, bahkan menyarankan agar kita tambahkan sumber tambahan berdasarkan ideku. Aku membaca baris demi baris, dan air mataku hampir jatuh saat menyadari betapa salahnya aku.
Jirana berdiri, tampak gelisah. “Aku… aku nggak tahu kalau gitu,” katanya, suaranya kecil. “Aku denger dari Rivan, katanya Kaelthor ngomong gitu. Aku cuma kasih tahu Lysandra karena aku pikir itu bener.” Rivan, yang duduk di pojok, mengangkat tangan dengan ekspresi bingung. “Aku nggak bilang gitu! Aku cuma bilang Kaelthor kagum sama Lysandra, tapi mungkin kata-kataku keceplosan jadi salah paham.”
Aku merasa dunia berputar. Jadi, ini semua hanyalah rantai kesalahpahaman yang tak sengaja tercipta? Aku menatap Kaelthor, yang kini mendekatiku dengan langkah hati-hati. “Lysandra, aku udah bilang kebenaran. Maaf kalau aku telat ngejelasin,” katanya, matanya penuh penyesalan.
Aku tak bisa menahan emosi lagi. Air mataku jatuh, tapi kali ini bukan dari rasa sakit, melainkan dari lega yang tak terucap. “Aku yang minta maaf, Kaelthor. Aku terlalu cepet nyimpulin, terlalu takut dikhianatin lagi. Aku… aku salah besar.”
Ia menggeleng, tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Yang penting kita ngerti sekarang. Mari kita mulai lagi, dari nol, kalau kamu mau.”
Sore itu, setelah pelajaran selesai, kami duduk di perpustakaan, tempat semuanya dimulai. Aku membawa buku harian, menulis: “Hari ini, aku menemukan kebenaran. Bukan seperti yang kukira, tapi lebih indah. Kaelthor, terima kasih.” Kami melanjutkan proyek, tapi kali ini dengan tawa dan percakapan yang lebih hangat. Kaelthor menceritakan tentang ibunya yang baru saja keluar dari rumah sakit, dan aku berbagi tentang ibuku yang belajar memasak resep baru untuk mengisi kekosongan ayah.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada bayangan kecil yang muncul. Jirana mendekati kami sebelum pulang, wajahnya penuh penyesalan. “Lysandra, Kaelthor, maaf banget. Aku nggak sengaja bikin masalah. Aku janji nggak bakal gitu lagi.” Aku mengangguk, memaafkannya, tapi di dalam hati, aku tahu luka dari kecurigaan ini akan butuh waktu untuk sembuh sepenuhnya.
Malam itu, di kamarku, aku menatap langit berbintang melalui jendela. Gelang perak di tanganku berkilau di bawah cahaya bulan, mengingatkanku pada kekuatan yang pernah ibu ajarkan. Aku tahu persahabatan dengan Kaelthor baru saja lolos dari ujian berat, tapi aku juga tahu bahwa bayang-bayang masa lalu—ketakutan akan pengkhianatan—masih mengintai. Aku berjanji pada diri sendiri untuk lebih terbuka, untuk tak lagi membiarkan luka lama menguasai keputusanku.
Besok, aku akan menghadapi hari dengan hati yang lebih ringan, tapi juga dengan kewaspadaan baru. Kaelthor telah membuktikan dirinya, tapi apakah aku bisa sepenuhnya mempercayainya lagi? Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti awan tipis yang menutupi bulan, menanti jawaban di hari-hari yang akan datang.
Hujan yang Menyatu
Pagi itu, 12 Juni 2025, jam menunjukkan 06:30 WIB ketika aku, Lysandra Quivora, terbangun dengan perasaan campur aduk yang aneh—seperti harapan yang baru tumbuh bercampur dengan sisa ketakutan yang masih bersarang di sudut hati. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui gorden tipis kamarku, menari-nari di dinding yang dipenuhi poster puisi dan foto keluarga lama. Aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi gelang perak di pergelangan tanganku yang berkilau lembut, mengingatkanku pada janji ibu untuk tetap kuat. Di luar, angin pagi membawa aroma tanah basah dari hujan semalam, menciptakan suasana yang tenang namun penuh antisipasi.
Kemarin, di perpustakaan, kebenaran tentang rumor itu akhirnya terungkap—rantai kesalahpahaman yang dipicu oleh Jirana dan Rivan, yang tak disengaja tapi meninggalkan luka dalam. Kaelthor Veyris, dengan keberaniannya membuktikan dirinya di depan kelas, telah membuka jalan bagi kami untuk memulai lagi. Tapi di balik kelegaan itu, ada rasa bersalah yang menggerogoti—aku menyadari betapa cepatnya aku menjudge dia, betapa luka masa lalu tentang ayahku telah membutakan hatiku. Hari ini, aku bertekad untuk menutup bab ini dengan cara yang bermakna, untuk menyatukan kembali apa yang hampir hancur.
Aku turun ke dapur, menemui ibu yang sedang menggoreng pisang untuk sarapan. “Pagi, Ly. Kamu kelihatan lebih cerah hari ini,” katanya dengan senyum hangat, menuang teh ke cangkir favoritku yang bertuliskan kutipan puisi. Aku tersenyum balik, mengangguk. “Iya, Bu. Aku rasa aku mulai ngerti sesuatu.” Ibu tak bertanya lebih jauh, tapi matanya penuh pengertian, seperti selalu. Setelah sarapan, aku mengenakan seragam SMA—blus putih yang kuserutasi dengan hati-hati dan rok plisket biru yang kini terasa lebih ringan di pundakku.
Di sekolah, aku tiba jam 07:20 WIB, lebih awal dari biasanya. Kelas masih sepi, hanya beberapa siswa yang sibuk mengobrol di sudut. Aku duduk di dekat jendela, membuka buku harian dan menulis: “Hari ini, aku akan selesaikan semua. Untuk Kaelthor, untuk diriku.” Suara langkah kaki mengalihkan perhatiku—Kaelthor masuk, membawa tas selempangnya yang sedikit basah di bagian bawah, mungkin karena embun pagi. Matanya langsung mencariku, dan saat bertemu pandanganku, ia mengangguk dengan senyum kecil yang penuh harap, sama seperti kemarin.
Istirahat pertama, jam 09:50 WIB, menjadi momen penting. Aku memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Aku mendekati Kaelthor, yang sedang duduk sendirian di sudut kantin dengan buku sketsa di tangannya. “Kaelthor, bisa ngobrol bentar?” tanyaku, suaraku sedikit gemetar. Ia mengangguk, menutup bukunya dan mengikuti aku ke halaman belakang sekolah, tempat pohon-pohon rindang memberikan keteduhan.
“Lysandra, ada apa?” tanyanya, matanya penuh perhatian. Aku menarik napas dalam-dalam, memandangi rumput basah di bawah kakiku. “Aku mau minta maaf, Kaelthor. Bukan cuma karena salah tuduh kamu, tapi karena aku nggak percaya dari awal. Aku… aku takut dikhianatin lagi, gara-gara ayah. Tapi aku salah, dan aku nggak mau kita berhenti di situ.”
Kaelthor terdiam sejenak, matanya mencari sesuatu di wajahku. Lalu ia tersenyum, lembut namun tulus. “Aku ngerti, Lysandra. Aku juga punya luka—ibuku yang sering sakit bikin aku takut kehilangan lagi. Tapi aku seneng kamu jujur. Maafin aku juga, ya, karena nggak cepet ngeluarin bukti kemarin.”
Aku mengangguk, air mataku hampir jatuh, tapi aku menahannya. “Makasih, Kaelthor. Aku pengin kita mulai lagi, bener-bener dari nol. Tapi aku butuh waktu buat percaya penuh.”
“Ambil waktu sebanyak yang kamu butuh,” katanya, menepuk pundakku dengan lembut. “Aku bakal tunggu. Dan… aku punya ide. Gimana kalau kita selesain proyek ini bareng, trus kita buat sesuatu yang beda—mungkin buku kecil tentang mitos danau tua, buat kenang-kenangan?”
Ide itu menyentuhku. Aku mengangguk antusias. “Aku suka! Kita bisa tambahin sketsa dari kamu dan puisiku.” Kami tertawa, dan untuk pertama kalinya sejak rumor itu, aku merasa beban di dadaku benar-benar terangkat.
Sore itu, setelah pelajaran selesai, kami pergi ke danau tua yang jadi inspirasi proyek kami, sekitar 15 menit berjalan kaki dari sekolah. Danau itu tenang, dikelilingi pepohonan tinggi dan bunga liar yang bermekaran di tepian. Aku membawa buku catatan, sementara Kaelthor membawa alat sketsa. Kami duduk di batu besar di tepi danau, menikmati suara air yang bergoyang pelan. Kaelthor mulai menggambar pemandangan danau, sementara aku menulis puisi pendek tentang kesedihan dan harapan yang bersatu.
Tiba-tiba, langit menjadi kelabu, dan hujan kecil mulai turun. Kami berlari mencari tempat berteduh di bawah pohon besar, tertawa sambil basah kuyup. “Ini kayak ulang tahun salah paham kita,” candaku, dan Kaelthor tertawa, menyetujui. Di bawah pohon itu, kami melanjutkan kerja—ia menggambar, aku menulis, dan hujan menjadi saksi bisu persahabatan yang mulai menyatu lagi.
Namun, momen itu terganggu saat Jirana muncul, berjalan dengan payung kecil di tangannya. “Lysandra, Kaelthor, maaf ganggu,” katanya, wajahnya penuh penyesalan. “Aku mau minta maaf lagi. Aku udah ngomong sama Rivan, dan kami sepakat buat klarifikasi di kelas besok. Aku bener-bener nyesel.”
Aku menatapnya, merasa ada keikhlasan di matanya. “Makasih, Jirana. Aku maafin kamu, asal kamu janji nggak gampang percaya rumor lagi.” Ia mengangguk cepat, tersenyum lega, lalu pergi setelah menyerahkan payungnya untuk kami.
Hujan semakin deras, tapi kami memilih bertahan di bawah pohon, melanjutkan karya kami. Kaelthor selesai menggambar sketsa danau dengan siluet kami di tepian, sementara aku menyelesaikan puisiku:
Di bawah hujan, bayang bersatu,
Luka lama lenyap di tetesan air,
Persahabatan tumbuh, kuat dan baru,
Seperti danau yang memeluk cerita.
Saat hujan reda, kami pulang dengan langkah ringan, membawa buku kecil yang baru saja kami mulai. Di depan gang rumahku, Kaelthor berhenti, menatapku dengan mata penuh kehangatan. “Lysandra, ini baru awal. Aku janji bakal jaga kepercayaan kamu, selamanya kalau perlu.”
Aku tersenyum, memakai gelang perakku lebih erat. “Aku juga janji, Kaelthor. Mari kita buat cerita yang nggak cuma tentang luka, tapi tentang kekuatan.”
Malam itu, di kamarku, aku menempelkan sketsa pertama Kaelthor di dinding, di samping foto keluarga. Aku membuka buku harian, menulis: “Hari ini, hujan membawakan penyelesaian. Kaelthor dan aku mulai lagi, dengan harapan baru. Ayah, aku harap kamu bangga melihatku sekarang.” Aku menutup buku itu, menatap langit berbintang melalui jendela, merasa untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku tak lagi sendirian.
Besok, kami akan menyelesaikan buku kecil itu, membawanya ke kelas sebagai simbol persahabatan yang telah melewati badai. Dan di balik setiap halaman, akan ada cerita tentang salah paham yang berubah menjadi ikatan yang tak tergoyahkan, sebuah kenangan yang akan abadi di hati kami, di bawah hujan yang menyatu.
“Salah Paham di Bawah Hujan” adalah cerminan indah tentang bagaimana kesalahpahaman dapat menjadi katalis untuk pertumbuhan dan persahabatan yang lebih kuat. Kisah Lysandra dan Kaelthor mengajarkan kita untuk menghadapi luka masa lalu dengan hati terbuka dan membangun kembali kepercayaan dengan penuh keberanian. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca cerpen ini dan temukan inspirasi untuk menyelesaikan konflik dalam hidup Anda dengan cinta dan pengertian.
Terima kasih telah menyelami cerita “Salah Paham di Bawah Hujan” bersama kami. Semoga kisah ini membawa kehangatan dan pelajaran berharga dalam hidup Anda. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk menyebarkan kebaikan di setiap langkah Anda!