Daftar Isi
Selami kisah mengharukan Sahabatku dan Teman Barunya, sebuah cerpen epik yang menggambarkan dinamika persahabatan yang penuh emosi, luka, dan harapan di tengah perubahan hidup. Berlatar di kota kecil Rivena pada tahun 2024, cerita ini mengikuti perjalanan Lirana Vionelle yang bergulat dengan perasaan kehilangan saat sahabatnya, Thevanio Cress, menemukan ikatan baru dengan Zevran, seorang pendatang misterius. Dengan alur yang mendalam, detail yang kaya, dan nuansa drama Korea yang modern, cerpen ini akan membawa Anda ke dalam rollercoaster emosi tentang cinta, cemburu, dan penerimaan. Temukan bagaimana persahabatan yang kokoh bisa goyah di bawah bayang-bayang perubahan, dan apakah Lirana mampu menemukan cahaya di ujung perjalanannya.
Sahabatku dan Teman Barunya
Bayang-Bayang di Antara Kita
Di sebuah kota kecil bernama Rivena, yang terletak di tepi sungai berliku dengan jembatan-jembatan tua berbalut lumut, kehidupan mengalir seperti air yang tenang namun menyimpan arus bawah yang tak terlihat. Tahun 2024 baru saja dimulai, dan musim semi membawa aroma bunga akasia yang manis, menyelinap melalui jendela-jendela kayu rumah-rumah bergaya kolonial. Di salah satu sudut kota, di sebuah gang sempit yang dipenuhi pohon-pohon ceri yang sedang mekar, tinggallah seorang gadis bernama Lirana Vionelle. Dia bukan gadis biasa. Rambutnya yang panjang dan hitam legam selalu diikat dengan pita biru safir, warisan dari ibunya yang telah tiada. Matanya, cokelat tua dengan kilau seperti danau di bawah sinar bulan, menyimpan cerita-cerita yang tak pernah ia bagi dengan siapa pun, kecuali satu orang: sahabatnya, Thevanio Cress.
Lirana dan Thevanio telah bersahabat sejak mereka masih anak-anak. Mereka bertemu di taman bermain tua di ujung kota, saat Lirana, yang saat itu berusia enam tahun, menangis karena tali sepatunya terlepas dan ia terjatuh di ayunan. Thevanio, dengan jaket merahnya yang kebesaran dan senyum cerah yang selalu membuat orang merasa hangat, menghampiri dan mengikat tali sepatunya dengan canggung. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan. Thevanio, dengan kepribadiannya yang penuh semangat dan canda, menjadi matahari bagi Lirana yang cenderung pendiam dan melankolis. Mereka berbagi segalanya: rahasia tentang mimpi-mimpi mereka, tawa di sore hari yang panjang, hingga luka-luka kecil dari masa kecil yang kadang masih menghantui.
Hari itu, di awal April 2024, Lirana duduk di teras rumahnya, sebuah bangunan tua dengan cat putih yang mulai mengelupas. Ia memegang sebuah buku tua berjudul The Forgotten Garden, novel favoritnya yang sudah ia baca berkali-kali hingga halamannya menguning. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya, membawa aroma musim semi yang segar. Namun, ada sesuatu yang berbeda di udara pagi itu. Lirana merasakan kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan, seperti firasat yang merayap di tulang punggungnya. Ia mencoba mengabaikannya, menenggelamkan diri dalam baris-baris novelnya, tetapi pikirannya terus melayang ke Thevanio.
Thevanio belum menghubunginya sejak tiga hari lalu, sesuatu yang sangat tidak biasa. Biasanya, Thevanio akan mengirim pesan di pagi hari, sekadar berbagi lelucon konyol atau mengajak Lirana untuk minum kopi di kafe kecil bernama Lunette, tempat favorit mereka di pusat kota. Kafe itu memiliki jendela-jendela besar yang menghadap ke sungai, dan mereka sering duduk di sana berjam-jam, memesan latte vanila dan berbicara tentang segala hal, dari rencana masa depan hingga kenangan masa kecil. Tapi tiga hari tanpa kabar membuat Lirana gelisah. Ia mencoba menghubunginya, tetapi pesannya hanya dibaca tanpa balasan, dan panggilannya selalu berakhir di pesan suara.
Lirana akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah Thevanio, yang terletak di sisi lain kota, di sebuah perumahan modern dengan halaman rumput yang rapi. Ia mengenakan mantel cokelat tua dan syal rajut merah, hadiah ulang tahun dari Thevanio dua tahun lalu. Jalanan Rivena pagi itu ramai dengan orang-orang yang berjalan kaki, anak-anak yang berlarian menuju taman, dan pedagang kaki lima yang menjajakan roti panggang dengan aroma kayu manis. Lirana berjalan dengan langkah cepat, mencoba mengusir rasa cemas yang terus menggerogoti hatinya.
Saat tiba di rumah Thevanio, ia melihat sesuatu yang membuat jantungannya berhenti sejenak. Di halaman depan, Thevanio sedang berdiri, tertawa lepas dengan seseorang yang tak dikenal Lirana. Orang itu adalah seorang pemuda dengan rambut pirang keemasan yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Ia mengenakan jaket kulit hitam dan jeans biru tua, dengan senyum yang tampak begitu mudah menarik perhatian siapa pun. Mereka tampak akrab, terlalu akrab untuk seseorang yang baru dikenal. Thevanio, yang biasanya hanya menunjukkan sisi ceria itu kepada Lirana, tampak begitu nyaman dengan orang asing ini. Lirana merasa seperti ada dinding tak terlihat yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
Lirana berdiri di trotoar, ragu-ragu untuk mendekat. Ia memperhatikan bagaimana Thevanio mengangguk antusias saat pemuda itu berbicara, tangannya bergerak lincah di udara seperti sedang menceritakan sesuatu yang lucu. Lirana merasakan tusukan kecil di dadanya, seperti jarum halus yang menusuk perlahan. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini tidak berarti apa-apa, bahwa Thevanio hanya sedang bersosialisasi seperti biasa. Tapi ada sesuatu dalam cara pemuda itu memandang Thevanio, dan cara Thevanio membalas pandangannya, yang membuat Lirana merasa seperti orang asing di dunianya sendiri.
Akhirnya, ia memberanikan diri untuk melangkah mendekat. “Thev!” panggilnya, mencoba membuat suaranya terdengar ceria meski hatinya bergetar. Thevanio menoleh, dan untuk sesaat, Lirana melihat kilatan kejutan di matanya, seolah ia baru menyadari kehadiran Lirana. “Lir! Kamu di sini,” katanya, berjalan mendekat dengan senyum yang sedikit kaku. Pemuda pirang itu mengikuti di belakangnya, tangannya dimasukkan ke saku jaket dengan santai.
“Ini Zevran,” kata Thevanio, menunjuk ke arah pemuda itu. “Dia baru pindah ke Rivena minggu lalu. Zev, ini Lirana, sahabatku.” Kata “sahabat” itu terdengar aneh di telinga Lirana, seperti ada jarak yang tak pernah ada sebelumnya. Zevran mengulurkan tangan, dan Lirana menjabatnya dengan ragu. Tangannya hangat, dan senyumnya terlalu sempurna, seperti karakter dalam drama Korea yang sering ia tonton di malam hari.
“Senang bertemu denganmu, Lirana,” kata Zevran, suaranya lembut namun penuh percaya diri. “Thevanio banyak cerita tentangmu.” Lirana hanya tersenyum kecil, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Thevanio tampak canggung, matanya sesekali melirik ke Zevran seolah mencari persetujuan. Lirana tidak tahu apa yang membuatnya lebih sakit: kenyataan bahwa Thevanio tidak menghubunginya selama tiga hari, atau fakta bahwa ia tampak begitu bahagia dengan orang baru ini.
Hari itu berlalu dengan percakapan yang dipaksakan. Mereka duduk di ruang tamu Thevanio, di sofa tua yang sudah usang namun nyaman. Zevran menceritakan bahwa ia pindah ke Rivena karena pekerjaan ayahnya sebagai arsitek, dan bahwa ia sedang mencari teman baru di kota kecil ini. Ia berbicara dengan penuh semangat tentang musik, film, dan petualangannya di kota-kota besar sebelum pindah ke sini. Thevanio mendengarkan dengan antusias, sesekali menimpali dengan candaan yang membuat Zevran tertawa. Lirana merasa seperti penutup buku yang terlupakan di rak, hanya menjadi bagian dari latar belakang.
Saat pulang ke rumah sore itu, Lirana merasa dunianya sedikit bergeser. Ia berjalan menyusuri sungai, memperhatikan air yang berkilau di bawah sinar matahari senja. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang Zevran, senyumnya yang terlalu cerah, dan tawa Thevanio yang kini terasa asing. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali mereka berdua tertawa seperti itu, tapi kenangan itu terasa kabur, seperti foto lama yang mulai memudar.
Malam itu, Lirana duduk di kamarnya, dikelilingi oleh tumpukan buku dan lilin-lilin kecil yang menyala lembut. Ia membuka jurnalnya, sebuah buku kulit cokelat yang sudah ia gunakan sejak SMA. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menulis: “Thevanio punya teman baru. Aku tidak tahu mengapa ini terasa seperti akhir dari sesuatu. Mungkinkah sahabatku sedang menjauh dariku?” Ia menutup jurnal itu, menatap keluar jendela ke langit malam yang penuh bintang. Rivena, dengan semua keindahannya, tiba-tiba terasa begitu sepi.
Hari-hari berikutnya, Lirana mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Ia bekerja sebagai asisten di sebuah toko buku antik di pusat kota, tempat yang dipenuhi aroma kertas tua dan tinta. Pemilik toko, seorang wanita tua bernama Madam Elira, sering menggodanya tentang sifatnya yang pendiam, mengatakan bahwa ia seperti karakter dalam novel-novel klasik yang ia jual. Lirana tersenyum setiap kali mendengar itu, tapi hatinya tidak benar-benar ada di sana. Pikirannya terus kembali ke Thevanio dan Zevran.
Thevanio mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Zevran. Mereka terlihat bersama di kafe Lunette, di taman kota, bahkan di festival musim semi yang diadakan di alun-alun. Lirana melihat mereka dari kejauhan, merasa seperti pengamat dalam cerita yang bukan miliknya. Ia mencoba berbicara dengan Thevanio, mengajaknya untuk kembali ke rutinitas mereka, tapi Thevanio selalu punya alasan: ia sedang sibuk, ia harus membantu Zevran menyesuaikan diri, atau ia hanya ingin mencoba sesuatu yang baru.
Lirana mulai merasakan retakan dalam persahabatan mereka, seperti kaca yang perlahan pecah. Ia ingat semua momen yang mereka lalui bersama: malam-malam ketika mereka duduk di tepi sungai, melempar batu ke air dan berbicara tentang mimpi mereka; hari-hari ketika mereka bersepeda keliling kota, berlomba menuruni bukit sambil tertawa; dan saat-saat ketika Thevanio memeluknya erat saat ia menangis setelah ulang tahunnya yang kesepuluh, ketika ia pertama kali merayakannya tanpa ibunya. Kenangan-kenangan itu terasa begitu hidup, namun kini seperti mimpi yang mulai memudar.
Suatu sore, saat hujan gerimis membasahi Rivena, Lirana duduk di kafe Lunette sendirian. Ia memesan latte vanila, seperti biasa, dan menatap keluar jendela. Hujan membuat dunia di luar tampak buram, seperti lukisan yang terkena air. Di sudut kafe, ia melihat Thevanio dan Zevran masuk, basah kuyup tapi tertawa. Mereka tidak melihat Lirana, dan ia memilih untuk tidak memanggil mereka. Ia hanya memperhatikan, merasakan sesuatu yang berat di dadanya. Thevanio tampak bahagia, tapi kebahagiaan itu tidak lagi melibatkannya.
Lirana pulang malam itu dengan hati yang penuh pertanyaan. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami. Di kamarnya, ia membuka jurnalnya lagi dan menulis panjang lebar tentang perasaannya, tentang rasa takut kehilangan Thevanio, tentang Zevran yang seperti badai yang datang tanpa peringatan. Ia menulis sampai jari-jarinya kram, sampai air matanya membasahi kertas. Di luar, hujan terus turun, menyanyikan lagu duka yang hanya ia dengar.
Malam itu, Lirana bermimpi tentang taman bermain tua tempat ia dan Thevanio bertemu. Dalam mimpinya, ia melihat dirinya dan Thevanio kecil berlarian, tertawa di bawah sinar matahari. Tapi tiba-tiba, Thevanio menghilang, dan di tempatnya berdiri Zevran, memandangnya dengan senyum yang tak bisa ia baca. Lirana terbangun dengan jantungan yang berdetak kencang, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar sendirian.
Retakan yang Semakin Dalam
Musim semi di Rivena berlalu dengan cepat, dan Mei 2024 tiba dengan langit yang lebih cerah dan bunga-bunga yang semakin mekar. Namun, bagi Lirana, dunia terasa semakin kelabu. Persahabatannya dengan Thevanio, yang dulu seperti pohon tua yang kokoh, kini terasa seperti dahan yang rapuh, siap patah kapan saja. Setiap hari, ia berusaha mencari cara untuk menjembatani jarak yang semakin lebar antara mereka, tetapi setiap usaha terasa seperti memukul dinding tak terlihat. Thevanio masih bersikap ramah, masih tersenyum padanya, tetapi ada sesuatu yang berbeda—seperti bagian dari dirinya telah tertinggal di tempat yang tidak bisa Lirana jangkau.
Lirana mulai memperhatikan detail-detail kecil yang memperdalam luka di hatinya. Thevanio tidak lagi mengiriminya pesan di pagi hari, tidak lagi mengajaknya untuk berjalan-jalan di tepi sungai, dan tidak lagi menceritakan rahasia-rahasia kecil yang dulu selalu ia bagi. Sebaliknya, ia sering terlihat bersama Zevran, yang sepertinya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Zevran, dengan karismanya yang tak bisa disangkal, tampak seperti magnet yang menarik semua perhatian Thevanio. Mereka pergi ke konser lokal bersama, menghabiskan akhir pekan menjelajahi pasar antik di kota tetangga, dan bahkan mulai merencanakan perjalanan kecil ke pegunungan di luar Rivena.
Lirana mencoba untuk tidak cemburu, mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanyalah fase sementara, bahwa Thevanio hanya sedang menikmati kehadiran teman baru. Tapi setiap kali ia melihat mereka bersama, hatinya terasa seperti diremas. Ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Apakah ia terlalu bergantung pada Thevanio? Apakah ia telah melakukan sesuatu yang membuat Thevanio menjauh? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya seperti lagu yang rusak, tak pernah menemukan jawaban.
Suatu hari, Lirana memutuskan untuk mengunjungi taman bermain tua tempat mereka pertama kali bertemu. Ia berharap kenangan masa kecil mereka bisa membantunya menemukan kembali koneksi yang hilang. Taman itu kini tampak usang, dengan ayunan yang berkarat dan perosotan yang pudar warnanya. Namun, bagi Lirana, tempat itu masih penuh dengan keajaiban masa kecilnya. Ia duduk di ayunan yang sama tempat ia jatuh bertahun-tahun lalu, mengayunkan kakinya perlahan sambil menatap langit yang mulai memerah di senja.
Saat ia tenggelam dalam pikirannya, ia mendengar suara langkah kaki di kerikil. Ia menoleh, berharap melihat Thevanio, tetapi yang muncul adalah Zevran. Ia mengenakan kemeja flanel biru tua dan membawa dua cangkir kopi takeaway dari Lunette. “Boleh ikut?” tanyanya, mengangkat salah satu cangkir sebagai tanda damai. Lirana mengangguk, meski hatinya berdebar kencang. Ia tidak yakin apa yang Zevran inginkan, atau mengapa ia ada di sini.
Zevran duduk di ayunan di sebelahnya, menyerahkan cangkir kopi kepadanya. “Thevanio bilang kamu suka latte vanila,” katanya, suaranya lembut namun penuh perhatian. Lirana mengangguk, merasa sedikit tersentuh namun juga curiga. Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat, hanya mendengarkan suara angin dan derit ayunan yang sudah tua. Akhirnya, Zevran berbicara lagi, menceritakan tentang kehidupannya sebelum pindah ke Rivena. Ia bercerita tentang kota-kota besar yang pernah ia tinggali, tentang keluarganya yang selalu berpindah-pindah, dan tentang betapa sulitnya baginya untuk menemukan tempat yang terasa seperti rumah.
Lirana mendengarkan, tetapi pikirannya terpecah. Ia ingin membenci Zevran, ingin menyalahkannya atas jarak yang tercipta antara dirinya dan Thevanio. Tapi ada sesuatu dalam nada suara Zevran, dalam cara ia menceritakan kesepiannya, yang membuat Lirana merasa sedikit bersimpati. Ia mulai memahami mengapa Thevanio tertarik padanya—Zevran punya cara untuk membuat orang merasa diperhatikan, didengar, seperti mereka adalah satu-satunya orang di dunia ini.
Namun, simpati itu tidak cukup untuk menghapus rasa sakit di hati Lirana. Setelah Zevran pergi, ia tetap duduk di ayunan, memegang cangkir kopi yang kini sudah dingin. Ia merasa seperti sedang kehilangan Thevanio sedikit demi sedikit, seperti pasir yang lolos dari genggamannya. Ia ingin berteriak, ingin menangis, tetapi yang keluar hanyalah desahan pelan. Ia tahu ia harus berbuat sesuatu, tetapi ia tidak tahu apa.
Hari-hari berikutnya, Lirana mencoba mencari keseimbangan. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu di toko buku, membantu Madam Elira mengatur koleksi baru yang baru tiba dari sebuah lelang di kota tetangga. Toko buku itu menjadi tempat pelariannya, tempat di mana ia bisa melupakan dunia luar untuk sementara. Madam Elira, dengan kepekaannya yang tajam, memperhatikan perubahan dalam diri Lirana. Suatu sore, saat mereka sedang menyortir buku-buku tua, Madam Elira berkata, “Kamu terlihat seperti membawa beban dunia di pundakmu, Nak. Apa yang terjadi?” Lirana hanya tersenyum kecil, menggelengkan kepala, tetapi matanya berkaca-kaca.
Malam itu, Lirana kembali ke jurnalnya. Ia menulis tentang ayunan di taman bermain, tentang kopi dingin dari Zevran, tentang rasa takut yang semakin besar di hatinya. Ia menulis tentang Thevanio, tentang bagaimana ia merindukan sahabatnya, tentang bagaimana ia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Ia menulis sampai larut malam, sampai kata-kata tidak lagi cukup untuk menampung emosinya.
Sementara itu, Thevanio tampak semakin tenggelam dalam dunia barunya bersama Zevran. Mereka mulai merencanakan sebuah proyek seni bersama, sesuatu tentang mural yang akan menghiasi dinding-dinding kosong di pusat kota. Thevanio, yang selalu punya bakat dalam melukis, tampak bersemangat, matanya berbinar setiap kali ia berbicara tentang ide-ide mereka. Lirana mendengar tentang proyek ini dari orang lain, bukan dari Thevanio langsung, dan itu membuat hatinya semakin terluka.
Suatu hari, saat Lirana sedang berjalan di tepi sungai, ia melihat Thevanio dan Zevran sedang duduk di bangku tua di bawah pohon willow. Mereka sedang menggambar di buku sketsa, kepala mereka hampir bersentuhan saat mereka tertawa bersama. Lirana berhenti, tersembunyi di balik pohon lain, dan memperhatikan mereka. Ia merasa seperti sedang menyaksikan sebuah lukisan yang indah namun tidak termasuk dirinya di dalamnya. Air sungai mengalir pelan di depannya, mencerminkan langit yang mulai gelap, dan untuk sesaat, Lirana merasa seperti ingin tenggelam di dalamnya.
Malam itu, ia bermimpi lagi. Kali ini, ia melihat dirinya berlari di taman bermain, mencari Thevanio, tetapi setiap kali ia hampir menyentuhnya, ia menghilang. Zevran muncul di setiap sudut, memandangnya dengan senyum yang penuh rahasia. Lirana terbangun dengan air mata di pipinya, dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya apakah persahabatan mereka masih bisa diselamatkan.
Angin Perubahan yang Dingin
Musim panas tiba di Rivena pada Juni 2024, membawa serta gelombang panas yang membuat udara terasa lengket dan jalanan kota berkilau di bawah sinar matahari. Pohon-pohon akasia di sepanjang sungai kini rimbun, daun-daunnya bergoyang lembut tertiup angin, seolah berbisik tentang rahasia yang tak terucapkan. Namun, bagi Lirana Vionelle, musim panas ini terasa seperti musim gugur yang kelabu, penuh dengan bayang-bayang yang semakin memanjang. Persahabatannya dengan Thevanio Cress, yang dulu seperti mercusuar dalam badai, kini terasa seperti kapal yang perlahan tenggelam di lautan ketidakpastian.
Lirana mencoba menjalani hari-harinya dengan rutinitas yang sama, berharap keteraturan akan menenangkan hatinya yang kacau. Setiap pagi, ia berjalan ke toko buku antik tempat ia bekerja, menyapa Madam Elira dengan senyum yang dipaksakan, dan menyelami tumpukan buku-buku tua yang berbau kertas dan kenangan. Toko itu, dengan rak-rak kayu yang berderit dan lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya kuning lembut, menjadi tempat perlindungannya. Di sana, ia bisa melupakan dunia luar untuk sementara, tenggelam dalam cerita-cerita tentang pahlawan, cinta, dan pengkhianatan yang terasa lebih mudah dipahami daripada hidupnya sendiri.
Namun, setiap kali ia melangkah keluar dari toko, kenyataan kembali menamparnya. Thevanio kini hampir sepenuhnya terpikat oleh dunia baru yang diciptakan bersama Zevran. Mereka tidak hanya bekerja pada proyek mural, tetapi juga mulai menghabiskan waktu di studio seni kecil yang disewa Zevran di pinggir kota. Studio itu, sebuah bangunan sederhana dengan dinding bata ekspos dan jendela-jendela besar yang menghadap ke ladang bunga liar, menjadi tempat di mana Thevanio tampak menemukan versi baru dirinya. Lirana mendengar tentang studio ini dari gosip di kafe Lunette, bukan dari Thevanio langsung, dan setiap kata yang ia dengar terasa seperti pisau kecil yang menusuk hatinya.
Lirana mulai memperhatikan perubahan kecil dalam diri Thevanio. Jaket merah kebesaran yang dulu selalu ia kenakan kini digantikan oleh kemeja-kemeja flanel yang rapi, mirip dengan gaya Zevran. Cara ia berbicara pun berbeda—lebih penuh percaya diri, lebih berani, seolah ia sedang mencoba menyesuaikan diri dengan kepribadian Zevran yang karismatik. Lirana merasa seperti kehilangan Thevanio yang dulu, sahabatnya yang kikuk namun tulus, yang selalu tahu cara membuatnya tersenyum bahkan di hari-hari terburuk.
Suatu sore, saat Lirana sedang menyusuri jalan setapak di tepi sungai, ia melihat Thevanio dan Zevran sedang duduk di tepi air, kaki mereka menjuntai di atas permukaan yang berkilau. Mereka sedang melukis di kanvas kecil, berbagi kuas dan tawa. Lirana berdiri di kejauhan, tersembunyi di balik pohon willow, memperhatikan mereka dengan hati yang terasa seperti diremas. Cahaya matahari sore membingkai mereka seperti lukisan, dan untuk sesaat, Lirana merasa seperti sedang menyaksikan dunia yang tidak lagi miliknya. Ia ingin berjalan mendekat, ingin berbicara dengan Thevanio, tapi kakinya terasa seperti terpaku di tanah. Ia hanya bisa menatap, merasakan angin musim panas yang tiba-tiba terasa dingin di kulitnya.
Malam itu, Lirana kembali ke jurnalnya, seperti yang selalu ia lakukan saat dunia terasa terlalu berat. Ia menulis tentang sungai, tentang Thevanio yang kini terasa seperti orang asing, tentang Zevran yang seperti badai yang datang tanpa peringatan. Ia menulis tentang rasa takut yang kini menghuni setiap sudut hatinya, tentang bagaimana ia mulai mempertanyakan apakah persahabatan mereka pernah benar-benar berarti bagi Thevanio. Kata-katanya mengalir seperti air mata, penuh dengan kerinduan dan kepedihan yang tak bisa ia ucapkan.
Hari-hari berikutnya, Lirana mencoba mencari cara untuk mendekati Thevanio kembali. Ia mengiriminya pesan, mengajaknya untuk minum kopi di Lunette seperti dulu, tetapi Thevanio selalu punya alasan untuk menolak. “Aku sibuk dengan mural,” katanya suatu kali, suaranya terdengar jauh meski mereka hanya berbicara melalui telepon. “Mungkin minggu depan, Lir.” Tapi minggu depan datang dan pergi, dan Thevanio tidak pernah muncul.
Lirana mulai merasa seperti bayangan, hadir namun tidak benar-benar dilihat. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan bekerja lebih lama di toko buku, membantu Madam Elira mengatur acara baca puisi mingguan yang mulai menarik perhatian penduduk kota. Acara itu diadakan di halaman belakang toko, di bawah tenda putih dengan lampu-lampu kecil yang bergoyang tertiup angin. Lirana sering duduk di sudut, mendengarkan puisi-puisi tentang cinta dan kehilangan, dan setiap baris terasa seperti cerminan hatinya sendiri.
Suatu malam, setelah acara baca puisi selesai, Madam Elira menghampirinya. “Kamu tidak bisa terus bersembunyi di balik buku-buku ini, Lirana,” katanya, suaranya lembut namun tegas. “Jika ada sesuatu yang mengganggumu, hadapi. Jangan biarkan itu memakanmu dari dalam.” Lirana hanya tersenyum kecil, tetapi kata-kata itu terus bergema di kepalanya. Ia tahu Madam Elira benar, tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi Thevanio tanpa merasa seperti sedang memohon.
Beberapa hari kemudian, Lirana memutuskan untuk mengunjungi studio seni tempat Thevanio dan Zevran bekerja. Ia tidak yakin apa yang mendorongnya untuk pergi—mungkin rasa putus asa, mungkin keberanian yang tiba-tiba muncul. Studio itu terletak di pinggiran kota, di sebuah daerah yang dipenuhi ladang bunga liar dan rumah-rumah tua yang sebagian besar kosong. Saat ia tiba, ia melihat pintu studio terbuka, dan suara tawa Thevanio terdengar dari dalam. Lirana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungan yang berdetak kencang, lalu melangkah masuk.
Di dalam, ia disambut oleh aroma cat minyak dan terpentin. Dinding-dinding studio dipenuhi sketsa dan lukisan setengah jadi, beberapa di antaranya menggambarkan pemandangan Rivena: sungai, jembatan tua, dan pohon-pohon akasia. Thevanio dan Zevran sedang berdiri di depan sebuah kanvas besar, kuas di tangan mereka, wajah mereka penuh konsentrasi. Mereka tidak langsung menyadari kehadiran Lirana, dan untuk sesaat, ia merasa seperti pengintip dalam dunia mereka.
“Thev,” panggil Lirana pelan, suaranya hampir tenggelam dalam suara musik lembut yang diputar di sudut ruangan. Thevanio menoleh, dan untuk sesaat, Lirana melihat kilatan kejutan di matanya, diikuti oleh sesuatu yang tampak seperti rasa bersalah. “Lir! Kamu… kenapa di sini?” tanyanya, meletakkan kuasnya dan berjalan mendekat. Zevran tetap di tempatnya, memandang Lirana dengan senyum kecil yang sulit dibaca.
“Aku cuma ingin lihat apa yang kalian kerjakan,” kata Lirana, mencoba membuat suaranya terdengar ringan meski hatinya terasa berat. Ia melangkah mendekati kanvas, memperhatikan detail-detail mural yang sedang mereka buat: sebuah pemandangan kota Rivena di malam hari, dengan lampu-lampu yang berkilau di tepi sungai. “Bagus sekali,” tambahnya, dan ia benar-benar tulus. Tapi di dalam hatinya, ia merasa seperti sedang melihat bagian dari Thevanio yang tidak lagi ia kenal.
Mereka mengobrol sebentar, tetapi percakapan itu terasa kaku, seperti dua orang yang berusaha mengingat tarian yang sudah lama mereka lupakan. Zevran ikut bergabung, menceritakan ide-ide mereka untuk mural itu, dan Lirana mendengarkan dengan sopan, meski pikirannya terus melayang. Ia ingin bertanya pada Thevanio mengapa ia menjauh, mengapa ia tidak lagi membutuhkan Lirana seperti dulu, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya.
Saat ia pulang malam itu, langit Rivena dipenuhi bintang-bintang yang berkelip, tetapi Lirana merasa seperti berjalan dalam kegelapan. Ia kembali ke jurnalnya, menulis tentang studio, tentang mural, tentang Thevanio yang kini terasa seperti orang asing. Ia menulis tentang rasa sakit yang semakin dalam, tentang bagaimana ia mulai kehilangan harapan bahwa segalanya akan kembali seperti dulu.
Malam itu, Lirana bermimpi tentang sungai Rivena. Dalam mimpinya, ia berdiri di tepi air, memanggil Thevanio, tetapi suaranya tenggelam dalam gemuruh air. Zevran muncul di sisi lain sungai, memandangnya dengan senyum yang penuh rahasia, dan Thevanio berdiri di sampingnya, menjauh darinya. Lirana terbangun dengan air mata di pipinya, dan untuk pertama kalinya, ia mulai menerima bahwa mungkin, persahabatan mereka tidak akan pernah sama lagi.
Cahaya di Ujung Malam
Musim panas di Rivena berlalu dengan cepat, dan Agustus 2024 tiba dengan langit yang mulai berubah warna, menandakan kedatangan musim gugur yang perlahan merayap. Pohon-pohon akasia kini mulai menggugurkan daun-daunnya, menciptakan karpet kuning dan hijau di sepanjang jalanan kota. Bagi Lirana Vionelle, dunia terasa seperti lukisan yang warnanya mulai memudar, setiap hari membawa sedikit lebih banyak kesedihan dan sedikit lebih sedikit harapan. Persahabatannya dengan Thevanio Cress, yang dulu merupakan pilar terkuat dalam hidupnya, kini terasa seperti reruntuhan yang hanya menyisakan kenangan.
Lirana telah berhenti berusaha menghubungi Thevanio setiap hari. Pesan-pesannya kini jarang mendapat balasan, dan panggilannya hampir selalu berakhir di pesan suara. Ia mulai menerima kenyataan bahwa Thevanio telah menemukan dunia baru bersama Zevran, dunia yang tidak lagi melibatkannya. Namun, penerimaan itu tidak datang dengan damai; ia datang dengan rasa sakit yang dalam, seperti luka yang terus berdarah meski tidak terlihat.
Hari-hari Lirana kini diisi dengan rutinitas yang mekanis. Ia bekerja di toko buku antik, membantu Madam Elira dengan acara-acara baru, dan menghabiskan malam-malamnya dengan jurnalnya, menuangkan setiap pikiran dan perasaan ke dalam kata-kata. Jurnal itu telah menjadi sahabatnya, tempat ia bisa jujur tentang rasa takut, kerinduan, dan kehilangan yang kini mendefinisikan hidupnya. Tapi bahkan jurnal itu tidak bisa menghapus rasa sepi yang terus menggerogoti hatinya.
Suatu sore di awal Agustus, Lirana memutuskan untuk mengunjungi taman bermain tua sekali lagi. Ia tidak tahu mengapa ia terus kembali ke tempat itu, mungkin karena itu adalah satu-satunya tempat yang masih menyimpan kenangan murni tentang Thevanio yang dulu. Ayunan-ayunan berkarat itu, perosotan yang pudar, dan bangku-bangku kayu yang usang terasa seperti kapsul waktu, menyimpan masa kecil mereka yang penuh tawa dan kebersamaan. Lirana duduk di ayunan, mengayunkan kakinya perlahan, menatap langit yang mulai memerah di senja.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di kerikil. Ia menoleh, dan hatinya berhenti sejenak saat melihat Thevanio berdiri di sana, sendirian. Ia mengenakan jaket merah kebesaran yang dulu selalu ia pakai, dan untuk sesaat, Lirana merasa seperti melihat Thevanio yang dulu, sahabatnya yang selalu ada untuknya. “Lir,” katanya pelan, suaranya penuh keraguan. “Boleh aku duduk?”
Lirana mengangguk, tidak yakin apa yang harus ia katakan. Thevanio duduk di ayunan di sebelahnya, dan untuk beberapa saat, mereka hanya diam, mendengarkan suara angin dan derit ayunan. Akhirnya, Thevanio berbicara, suaranya rendah dan penuh emosi. “Aku tahu aku sudah jadi temen yang buruk belakangan ini,” katanya. “Aku nggak tahu kenapa semuanya jadi begini, Lir. Aku cuma… aku cuma pengen nyoba sesuatu yang baru, tapi aku nggak mau kehilangan kamu.”
Kata-kata itu seharusnya membawa kelegaan, tetapi bagi Lirana, mereka terasa seperti terlambat. Ia menatap Thevanio, mencoba mencari sahabatnya yang dulu dalam matanya, tetapi yang ia lihat hanyalah bayang-bayang dari seseorang yang kini berbeda. “Kenapa kamu nggak bilang apa-apa, Thev?” tanyanya, suaranya gemetar. “Kamu tahu aku selalu ada buat kamu, tapi kamu malah pergi sama Zevran dan ninggalin aku kayak aku nggak penting.”
Thevanio menunduk, tangannya mencengkeram tali ayunan dengan erat. “Aku nggak bermaksud begitu,” katanya. “Zevran… dia bikin aku ngerasa kayak aku bisa jadi seseorang yang lebih besar dari diri aku yang dulu. Tapi aku salah, Lir. Aku lupa bahwa kamu selalu jadi bagian dari aku yang terbaik.”
Percakapan itu berlangsung lama, di bawah langit yang semakin gelap. Thevanio menceritakan tentang tekanan yang ia rasakan untuk terus berkembang, untuk menjadi seseorang yang tidak hanya dikenal sebagai “Thevanio dari Rivena”. Zevran, dengan karismanya dan ide-ide besar, membuatnya merasa seperti ia bisa mencapai sesuatu yang lebih. Tapi di tengah semua itu, ia menyadari bahwa ia telah mengabaikan Lirana, orang yang selalu ada untuknya.
Lirana mendengarkan, hatinya terbelah antara kemarahan dan kasih sayang. Ia ingin memaafkan Thevanio, ingin kembali ke masa ketika segalanya sederhana, tetapi ia tahu bahwa luka yang telah tercipta tidak akan sembuh begitu saja. “Aku nggak tahu apakah kita bisa balik lagi kayak dulu, Thev,” katanya akhirnya, suaranya penuh kepedihan. “Tapi aku kangen sama kamu. Aku kangen sama kita.”
Malam itu, mereka berjalan pulang bersama, seperti dulu, tetapi ada keheningan yang berbeda di antara mereka. Lirana merasa seperti sedang memegang sesuatu yang rapuh, sesuatu yang bisa hancur jika ia tidak berhati-hati. Ia ingin percaya bahwa mereka bisa memperbaiki semuanya, tetapi bagian dari dirinya tahu bahwa beberapa retakan tidak bisa diperbaiki.
Hari-hari berikutnya, Lirana dan Thevanio mulai mencoba membangun kembali persahabatan mereka. Mereka kembali ke kafe Lunette, memesan latte vanila, dan berbicara tentang hal-hal kecil, seperti dulu. Tapi Zevran masih ada di sana, seperti bayang-bayang yang tidak pernah benar-benar hilang. Thevanio masih menghabiskan waktu dengannya, meski tidak sebanyak sebelumnya, dan Lirana belajar untuk menerima bahwa Zevran kini adalah bagian dari hidup Thevanio, meski itu menyakitkan.
Di akhir musim panas, mural yang dibuat Thevanio dan Zevran akhirnya selesai dan diresmikan di alun-alun kota. Lirana hadir di acara peresmian, berdiri di antara kerumunan penduduk Rivena yang memuji karya seni itu. Mural itu indah, penuh dengan warna-warna cerah yang menggambarkan kehidupan kota, tetapi Lirana tidak bisa menahan perasaan bahwa itu adalah simbol dari sesuatu yang telah mengubah hidupnya selamanya.
Malam itu, Lirana kembali ke jurnalnya untuk terakhir kalinya dalam cerita ini. Ia menulis tentang ayunan, tentang percakapan dengan Thevanio, tentang mural yang indah namun menyakitkan. Ia menulis tentang bagaimana ia belajar untuk melepaskan, bukan karena ia ingin, tetapi karena ia harus. “Mungkin ini adalah bagian dari tumbuh dewasa,” tulisnya, “belajar bahwa cinta itu bukan tentang memiliki, tapi tentang membiarkan orang yang kita sayangi menemukan kebahagiaan mereka, meski itu berarti mereka tidak lagi bersama kita.”
Di bawah langit Rivena yang penuh bintang, Lirana menutup jurnalnya, menatap keluar jendela, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai, bahwa luka-luka itu masih ada, tetapi ia juga tahu bahwa ia cukup kuat untuk melangkah maju, dengan atau tanpa Thevanio di sisinya.
Sahabatku dan Teman Barunya bukan sekadar cerita tentang persahabatan, tetapi juga cerminan kehidupan nyata tentang bagaimana kita belajar melepaskan demi kebahagiaan orang yang kita sayangi. Dengan narasi yang mendetail dan emosi yang autentik, cerpen ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna sejati dari ikatan yang kita bangun dan luka yang kita pelajari untuk sembuhkan. Jangan lewatkan kisah ini yang akan mengaduk hati Anda dan meninggalkan kesan mendalam tentang arti kehilangan dan penerimaan.
Terima kasih telah menyusuri kisah emosional Sahabatku dan Teman Barunya bersama kami! Kami harap cerita ini menginspirasi Anda untuk menghargai ikatan persahabatan dalam hidup Anda. Jangan lupa untuk membagikan artikel ini kepada teman-teman Anda, dan nantikan cerita-cerita menarik lainnya yang akan membawa Anda ke dunia penuh emosi dan makna. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!


