Sahabat yang Tertinggal: Cerpen Tentang Lupa Diri Saat Sukses

Posted on

Ceritanya tuh kayak cermin banget deh buat kita yang lagi sibuk ngejar mimpi. Terkadang, saat kita udah di atas, kita lupa siapa yang ada di samping kita waktu kita masih di bawah.

Bisa aja nggak sengaja ninggalin orang yang dulu banget bantu kita buat jadi seperti sekarang. Makanya, kalau baca cerpen ini, bisa jadi bakal ngerasa ada yang menusuk di hati, apalagi kalau pernah ngalamin hal yang sama. So, siap-siap baca cerita ini!!

 

Sahabat yang Tertinggal

Janji di Bawah Lampu Jalan

Hujan baru saja berhenti mengguyur gang sempit itu. Aroma tanah basah bercampur dengan bau gorengan yang digoreng di warung kecil di ujung jalan. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Garda dan Remon duduk di bawah lampu jalan yang redup, memandangi genangan air di jalanan yang memantulkan cahaya jingga.

“Kamu tahu, Mon,” kata Garda sambil memainkan batu kecil di tangannya, “aku nggak mau selamanya tinggal di gang ini.”

Remon menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya ke dinding rumah yang catnya mulai terkelupas. “Ya iyalah, siapa juga yang mau? Cuma masalahnya, kita harus mulai dari mana?”

Garda menatap langit malam yang masih dipenuhi awan sisa hujan. Matanya berbinar, seolah-olah sudah melihat masa depan yang cerah. “Aku mau buka usaha. Aku mau punya tempat makan sendiri. Bukan warung kecil di gang sempit kayak gini, tapi restoran gede, yang ada di pusat kota.”

Remon tertawa kecil. “Mimpi kamu kejauhan, Gard.”

“Yaelah, Mon. Kalau nggak mulai mimpi dari sekarang, kapan lagi?” Garda menyikut lengan sahabatnya. “Kamu juga kan nggak mau selamanya hidup pas-pasan?”

Remon terdiam. Bukan karena tak ingin sukses, tapi karena tahu perjalanan menuju ke sana tak semudah membalik telapak tangan. Mereka hanya dua anak kampung dengan uang pas-pasan. Garda memang pintar mencari peluang, tapi tanpa modal, semua hanya angan-angan.

“Kamu mau mulai dari mana?” tanya Remon akhirnya.

Garda tersenyum, matanya berbinar penuh keyakinan. “Aku udah mikir, kita bisa mulai jualan kecil-kecilan dulu. Nanti kalau untungnya cukup, kita bisa naik level. Aku butuh kamu buat bantuin aku, Mon. Kita jalanin bareng-bareng.”

Remon menatap Garda lama. Ia tahu betul bagaimana keras kepalanya sahabatnya ini. Kalau sudah punya keinginan, Garda tak akan mundur. Ia mungkin terlihat berandai-andai, tapi Remon tahu, ada kesungguhan di matanya.

“Kalau kamu yakin, aku bakal bantu,” katanya akhirnya.

Garda menepuk pundaknya dengan semangat. “Itu baru sahabat!”

Malam itu, di bawah lampu jalan yang kelap-kelip hampir mati, dua pemuda itu membuat janji yang mereka yakini akan mengubah hidup mereka.

Awal perjalanan mereka tak mudah. Mereka memulai dengan berjualan gorengan di depan sekolah. Garda yang mengatur strategi, sementara Remon yang lebih pandai berbicara bertugas melayani pelanggan. Mereka menghabiskan malam-malam panjang untuk meracik adonan, bangun sebelum subuh untuk menyiapkan dagangan, dan berpanas-panasan di pinggir jalan demi menjual habis barang dagangan mereka.

Suatu hari, saat mereka sedang menghitung uang hasil jualan, Garda tiba-tiba berseru, “Mon! Kita untung gede hari ini!”

Remon menatap uang yang mereka hitung. Memang lebih banyak dari biasanya, tapi tak seberapa dibanding impian besar yang Garda miliki.

“Yaelah, Gard, ini baru awal. Jangan senang dulu,” katanya sambil menepuk kepala sahabatnya.

“Tapi ini berarti kita bisa nabung lebih banyak buat usaha yang lebih gede,” balas Garda penuh semangat.

Hari demi hari berlalu, usaha mereka semakin berkembang. Dari jualan gorengan, mereka mulai beralih ke makanan lain. Garda yang punya insting bisnis tajam, terus mencari peluang. Sementara Remon, meskipun lebih santai, tetap setia membantu.

Namun, kesuksesan tak datang dalam semalam. Mereka jatuh bangun berkali-kali. Pernah dagangan mereka tak laku, pernah mereka ditipu oleh pemasok bahan, bahkan pernah kehilangan modal karena salah perhitungan.

Suatu malam, saat mereka duduk di tempat biasa di bawah lampu jalan, Remon menghela napas panjang. “Gard, kamu yakin kita bisa berhasil?”

Garda menoleh, wajahnya tetap penuh keyakinan. “Yakin. Selama kita nggak nyerah.”

Remon menatap sahabatnya lama. Ia ingin percaya. Ia ingin yakin. Dan untuk saat ini, itu cukup.

Mereka tak tahu bahwa suatu hari nanti, jalan yang mereka lalui bersama ini akan bercabang, membawa mereka ke arah yang berbeda.

 

Tangga Menuju Puncak

Waktu berlalu lebih cepat dari yang mereka sadari. Dari hanya jualan gorengan di depan sekolah, usaha Garda dan Remon berkembang pesat. Mereka berhasil membuka kedai kecil di pinggir jalan, menjual makanan dengan resep sederhana tapi lezat. Setiap malam, kedai itu selalu ramai, penuh dengan orang-orang yang rela antre hanya untuk mencicipi masakan mereka.

Di antara kepulan asap dari dapur kecil mereka, Garda berdiri dengan wajah penuh kebanggaan. “Mon, lihat ini! Kita nggak cuma jualan di pinggir jalan lagi. Ini udah level baru!”

Remon, yang sibuk melayani pelanggan, hanya tersenyum tipis. “Masih jauh dari restoran besar yang kamu impikan, Gard.”

Garda tertawa, menepuk pundak sahabatnya. “Tapi kita ada di jalur yang benar. Tunggu aja, aku bakal bawa kita ke puncak!”

Dan benar saja.

Tak lama kemudian, kedai kecil itu berkembang menjadi restoran sederhana dengan nama “Garda Rasa”. Garda mulai berani mengambil pinjaman kecil untuk membangun tempat yang lebih layak, menambahkan beberapa meja dan kursi, serta memperbaiki tampilan tempat mereka.

Di saat inilah segalanya mulai berubah.

Garda mulai sibuk. Ia tak lagi sering duduk santai dengan Remon di bawah lampu jalan seperti dulu. Jika dulu mereka berbagi tugas dan keputusan, sekarang Garda yang lebih dominan.

“Kita harus mulai promosi di media sosial,” kata Garda suatu malam.

Remon mengernyit. “Emang perlu? Bukannya pelanggan kita udah banyak?”

“Kamu nggak ngerti, Mon. Kalau kita mau naik kelas, kita harus main di liga yang lebih besar,” kata Garda penuh percaya diri.

Remon tak membantah. Ia membiarkan Garda mengambil alih, meskipun perlahan ia mulai merasa terpinggirkan.

Garda mulai bergaul dengan orang-orang baru—pebisnis, influencer kuliner, bahkan orang-orang yang dulu hanya bisa mereka lihat di layar televisi. Ia sering menghadiri acara makan malam eksklusif, pulang larut malam dengan cerita-cerita tentang peluang besar yang menanti mereka.

Tapi yang ia tak sadari, setiap langkah yang ia ambil semakin menjauhkan dirinya dari Remon.

Suatu malam, Remon datang ke restoran yang kini semakin besar. Ia melihat Garda duduk di meja bersama beberapa pria berjas rapi. Mereka tertawa, berbicara tentang ekspansi bisnis ke kota lain, tentang modal besar, tentang masa depan yang lebih luas.

Remon mendekat, ingin bergabung. Tapi baru saja ia membuka mulut, Garda sudah menoleh dengan ekspresi datar.

“Mon, aku lagi ada meeting penting,” katanya tanpa senyum.

Remon terdiam. Dulu, tak ada yang lebih penting bagi mereka selain persahabatan ini.

“Tapi aku cuma mau—”

“Bisa nanti aja?” potong Garda cepat, lalu kembali berbicara dengan orang-orang di mejanya.

Remon menggigit bibirnya. Ia ingin marah, tapi lebih dari itu, ia kecewa.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa seperti orang asing di tempat yang dulu mereka bangun bersama.

 

Sahabat yang Terlupakan

Remon tidak langsung pergi malam itu. Ia berdiri di pojok restoran, memperhatikan Garda dari kejauhan. Sahabatnya kini terlihat seperti orang lain—terlalu sibuk, terlalu berkelas, terlalu jauh dari sosok yang dulu duduk bersamanya di bawah lampu jalan.

“Ada yang bisa saya bantu, Mas?” suara seorang pelayan mengagetkannya.

Remon menoleh, menggeleng pelan. “Nggak, makasih.”

Ia menghela napas lalu melangkah keluar. Langkahnya berat, seolah ada beban yang menahannya. Ini bukan pertama kalinya Garda mengabaikannya, tapi entah kenapa malam ini rasanya lebih menyakitkan.

Di luar, lampu jalan tempat mereka biasa duduk masih berdiri di sana, tapi kali ini tanpa Garda.

Hari-hari berikutnya, Remon mencoba memahami perubahan ini. Ia tetap datang ke restoran, tetap membantu saat bisa, tapi Garda semakin sulit ditemui.

Ketika akhirnya mereka bertemu, Garda sudah berbeda.

“Gard, kita bisa bicara?” Remon mencoba mengajaknya duduk setelah jam operasional restoran selesai.

Garda mengusap wajahnya, tampak lelah. “Cepat aja, Mon. Aku masih ada jadwal besok pagi.”

Remon menatapnya, mencari tanda-tanda Garda yang ia kenal dulu. “Kamu nggak ngerasa kita makin jauh?”

Garda terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Mon, kita udah bukan bocah lagi. Kita punya kesibukan masing-masing. Bisnis ini berkembang, aku harus fokus.”

“Tapi ini bisnis kita, Gard,” potong Remon tajam.

Garda mendesah. “Iya, dan aku yang ngurus semuanya sekarang. Aku yang cari investor, aku yang bikin strategi, aku yang ngurus branding. Aku yang bikin ini naik kelas, Mon. Kamu masih di situ-situ aja.”

Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang Garda sadari.

Remon menatapnya, kecewa. “Jadi menurut kamu, aku nggak ada gunanya?”

Garda mengusap tengkuknya, menghindari tatapan sahabatnya. “Bukan gitu, Mon. Cuma… kita ada di level yang beda sekarang.”

Remon terdiam.

Ia paham maksud Garda. Sahabatnya itu sudah naik ke level yang lebih tinggi, dan ia? Ia masih di bawah, masih di tempat yang sama seperti dulu.

“Kalau emang gitu cara kamu mikir sekarang,” kata Remon pelan, “mungkin aku harus berhenti maksa buat tetap ada di sini.”

Garda tidak menjawab.

Dan untuk pertama kalinya sejak mereka bermimpi bersama di bawah lampu jalan, Remon merasa tak lagi memiliki tempat di sisi sahabatnya.

Sejak malam itu, Remon berhenti datang ke restoran. Ia tidak menghubungi Garda, tidak lagi menawarkan bantuan.

Garda? Ia juga tidak mencarinya.

Bulan berganti, restoran semakin besar. Garda mulai sering muncul di media sosial, diwawancarai tentang kisah suksesnya. Namanya disebut di berbagai acara kuliner, dipuji sebagai pengusaha muda berbakat.

Namun, tidak sekalipun ia menyebut nama Remon.

Tidak ada yang tahu bahwa dulu, ia hanya seorang anak gang sempit yang bermimpi bersama sahabatnya.

Tidak ada yang tahu bahwa ada seseorang yang ikut berjuang bersamanya, lalu ia tinggalkan begitu saja.

 

Harga dari Sebuah Kesuksesan

Kesuksesan Garda terus melambung tinggi. Restorannya kini punya beberapa cabang, dan wajahnya sering muncul di berbagai media sebagai pengusaha muda yang menginspirasi.

Tapi di balik gemerlap itu, ada yang terasa kosong.

Di setiap meja restoran yang ramai, di setiap wawancara yang ia hadiri, di setiap langkah yang ia ambil—ada bayangan seseorang yang selalu muncul di pikirannya.

Remon.

Bukan hanya sekadar sahabat, tapi orang yang dulu berjuang bersamanya dari nol. Yang ikut basah kuyup saat mereka kehujanan di pinggir jalan. Yang ikut mengangkat bahan dagangan saat mereka masih berjualan kecil-kecilan. Yang dulu selalu percaya bahwa mimpi mereka harus diwujudkan bersama.

Dan sekarang?

Remon tidak lagi ada di sana.

Suatu sore, Garda duduk di dalam mobilnya yang mewah. Dari kaca depan, ia melihat seorang pria berdiri di pinggir jalan, berjualan gorengan.

Remon.

Pakaiannya sederhana, wajahnya lebih tirus, tapi ekspresinya tetap tenang seperti dulu.

Garda ingin turun. Ingin mendekat. Ingin mengatakan sesuatu.

Tapi kakinya ragu.

Dulu, ia yang bilang kalau mereka sudah ada di “level yang berbeda.” Sekarang, setelah semua yang terjadi, apa ia masih punya hak untuk berbicara dengan sahabat yang sudah ia lupakan?

Saat ia masih ragu, seorang pelanggan datang ke gerobak Remon. Pria itu tersenyum ramah, melayani dengan cekatan.

Senyuman itu. Garda ingat betul senyuman itu.

Senyuman yang dulu selalu ada di sampingnya, saat mereka masih bermimpi bersama.

Garda menghela napas, lalu meraih ponselnya. Tangannya gemetar saat ia mengetik pesan.

“Mon, apa kabar? Aku mau ketemu. Boleh?”

Pesan terkirim.

Satu menit. Dua menit. Tidak ada balasan.

Lima menit. Sepuluh menit. Masih tidak ada respons.

Garda menggigit bibirnya. Ia ingin turun dari mobil dan langsung berbicara dengan Remon, tapi entah kenapa, dadanya terasa sesak.

Akhirnya, ia hanya bisa menatap dari kejauhan.

Sore itu, di bawah lampu jalan yang dulu mereka jadikan tempat berbagi mimpi, Garda menyadari sesuatu.

Kesuksesan bisa membeli banyak hal—uang, popularitas, kekuasaan.

Tapi ada satu hal yang tidak bisa dibeli.

Kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang sudah terlanjur dibuat.

Dan untuk pertama kalinya sejak ia mencapai puncak, Garda merasa kesepian.

 

Nah, jadi ceritanya udah selesai nih. Kadang, kita terlalu fokus sama tujuan sampai lupa sama yang mendampingin kita waktu prosesnya. Walaupun sukses itu manis, tapi kalau ternyata harus ninggalin sahabat yang dulu bareng-bareng susah, itu rasanya pahit banget.

Ingat, sukses itu nggak selalu tentang seberapa banyak kita punya, tapi seberapa banyak kita bisa menjaga orang-orang yang ada di sekitar kita. Jangan sampai kita jadi lupa sama yang paling penting, ya!

Leave a Reply