Sahabat Selamanya: Cerita Mengharukan Tentang Persahabatan yang Tak Terlupakan

Posted on

Pernah punya sahabat yang rasanya kayak saudara sendiri? Yang selalu ada, selalu nyebelin, tapi kalau nggak ada dia, dunia jadi terasa kosong banget?

Nah, cerita ini bakal bikin kamu kangen sama sahabatmu—atau malah bikin kamu nangis karena nyadar betapa berharganya mereka. Siap-siap, ya. Karena ini bukan sekadar cerita biasa, ini tentang persahabatan yang nggak bakal hilang meski waktu terus berjalan.

 

Sahabat Selamanya

Dua Keping Puzzle

Suara tawa dua bocah laki-laki memenuhi udara sore itu, menyatu dengan desir angin yang menggerakkan dedaunan di gang sempit. Aksa dan Fariq berlari melewati genangan air dengan kaki telanjang, tak peduli baju mereka basah atau wajah mereka penuh cipratan lumpur.

“Ha! Aku duluan!” Aksa berseru penuh kemenangan, menepuk batang pohon besar di belakang sekolah dengan telapak tangannya.

Fariq datang beberapa detik kemudian, menghela napas panjang. “Curang! Aku kepleset tadi!”

Aksa tertawa kecil, lalu duduk di atas akar pohon yang menjulur dari tanah. “Alasan. Aku cuma lebih cepat dari kamu.”

Fariq mendengus sebelum ikut duduk di samping sahabatnya. Mereka menatap ke atas, ke arah cabang-cabang besar yang menjulur seperti tangan raksasa, melindungi mereka dari sisa gerimis yang masih turun tipis.

“Besok kita balapan lagi,” ujar Fariq tiba-tiba.

Aksa menoleh. “Lagi? Kamu nggak bosan?”

“Nggak lah.” Fariq merebahkan diri ke tanah, merasakan aroma tanah basah yang khas. “Aku selalu suka mengalahkan kamu.”

Aksa tertawa, menendang pelan kaki Fariq. “Padahal tadi aku yang menang.”

Mereka berdua kembali tertawa, tanpa sadar bahwa langit sudah mulai berwarna jingga.

Dari dulu, Aksa dan Fariq seperti dua keping puzzle yang selalu cocok. Jika satu dari mereka dihukum di sekolah, yang lain akan ikut menemani. Jika satu mendapat permen, yang lain juga harus mencicipinya. Jika satu menangis, yang lain akan datang dengan setumpuk alasan untuk membuatnya tertawa lagi.

Mereka tidak butuh banyak teman. Selama ada satu sama lain, dunia terasa cukup.

Namun, meskipun mereka selalu bersama, impian mereka berbeda.

“Aku mau jadi pilot,” kata Aksa suatu hari. Mereka sedang duduk di atas dahan pohon besar, kakinya menggantung di udara.

Fariq menoleh, mengangkat satu alis. “Kenapa pilot?”

“Aku mau lihat dunia dari atas.” Aksa mengangkat tangan ke langit, membayangkan dirinya duduk di kokpit pesawat, terbang melewati awan-awan. “Mau lihat semua tempat yang belum pernah aku lihat.”

Fariq diam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau aku… aku cuma mau tetap di sini.”

Aksa menurunkan tangannya, menatap Fariq dengan bingung. “Di sini?”

Fariq mengangguk. “Di sini aja. Sama kamu.”

Aksa terdiam. Untuk pertama kalinya, ia tidak tahu harus menjawab apa.

Mereka selalu bersama, selalu berbagi, tapi… apakah mereka bisa tetap begitu selamanya?

Aksa ingin berkata sesuatu, tetapi suara lonceng sekolah berdering, menandakan jam istirahat sudah berakhir.

“Besok kita main lagi, kan?” tanya Fariq.

Aksa tersenyum kecil. “Pasti.”

Mereka tidak tahu bahwa waktu selalu punya rencana lain.

Dan rencana itu tak pernah bisa diubah.

 

Rahasia di Bawah Pohon Besar

Hujan semalam masih menyisakan tanah basah dan udara dingin. Embun menggantung di ujung daun, berkilauan saat sinar matahari pagi menyentuhnya. Di bawah pohon besar di belakang sekolah, Aksa dan Fariq duduk bersandar pada batang yang kokoh, menghabiskan waktu istirahat seperti biasa.

Fariq memainkan ujung sepatunya di atas tanah, menggambar sesuatu yang tidak jelas bentuknya. “Kamu percaya nggak kalau pohon ini punya rahasia?” tanyanya tiba-tiba.

Aksa menoleh, satu alisnya terangkat. “Rahasia apaan?”

Fariq tersenyum misterius. Ia berdiri, menepuk-nepuk celananya yang kotor oleh debu, lalu berjalan mengelilingi batang pohon. Tangannya meraba kulit kayu yang kasar, seolah mencari sesuatu.

“Nah, ini dia!” Fariq menunjuk sebuah celah kecil di bagian bawah batang pohon.

Aksa menghampiri, mengamati dengan penasaran. Celah itu cukup besar untuk memasukkan tangan. Ia menunduk, berusaha melihat lebih jelas. “Sejak kapan ini ada?”

“Sejak lama,” jawab Fariq sambil tersenyum kecil. “Aku nemu waktu nggak sengaja jatuh pas main petak umpet tahun lalu.”

Aksa memasukkan tangannya ke dalam celah itu, merasakan permukaan kayu yang dingin dan sedikit lembap. Ia mengerutkan kening ketika jari-jarinya menyentuh sesuatu yang keras. Dengan hati-hati, ia menariknya keluar.

Sebuah kotak kayu kecil.

Aksa menatap Fariq dengan curiga. “Jangan bilang ini harta karun yang kamu sembunyikan.”

Fariq tertawa. “Bukan. Tapi… ini sesuatu yang penting buat kita.”

Ia mengambil kotak itu dari tangan Aksa, meniup debu yang menempel di atasnya, lalu membuka penutupnya dengan perlahan.

Di dalamnya, ada dua lembar kertas lusuh yang terlipat rapi. Aksa mengambil salah satunya, membuka dengan hati-hati. Tulisan tangan mereka sendiri terpampang di atas kertas itu, huruf-hurufnya agak berantakan, khas tulisan anak-anak yang belum terbiasa menulis rapi.

“Kami berjanji akan selalu bersama. Tidak peduli apa yang terjadi.”

Aksa terdiam. Dadanya terasa aneh—sesuatu yang hangat sekaligus menyakitkan di saat yang bersamaan.

“Dulu kita nulis ini waktu kelas empat,” ujar Fariq pelan. “Kamu masih ingat?”

Aksa mengangguk. Ia ingat betul hari itu. Mereka baru saja bertengkar karena hal sepele—Aksa tidak sengaja menginjak mainan kesayangan Fariq, dan Fariq membalas dengan menyembunyikan buku komik Aksa. Setelah saling marah selama beberapa jam, akhirnya mereka duduk di bawah pohon ini, menulis janji di kertas dan menyimpannya dalam kotak.

“Lalu yang satunya apa?” Aksa bertanya, menunjuk kertas kedua.

Fariq mengambilnya, membuka lipatannya dengan hati-hati. Kali ini, tulisan di atasnya berbeda. Lebih baru.

“Jika salah satu dari kita pergi, yang lain harus tetap menjaga pohon ini.”

Aksa menegang. “Kapan kamu nulis ini?”

Fariq tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, memasukkan kembali kedua kertas itu ke dalam kotak, lalu menutupnya rapat.

“Aku cuma kepikiran aja,” katanya akhirnya. “Siapa tahu, kan? Mungkin suatu hari nanti…”

“Jangan ngomong gitu.” Suara Aksa terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Fariq menatapnya sebentar, lalu tertawa kecil. “Ya, ya. Aku tahu. Kita bakal selalu bersama.”

Tapi entah kenapa, hati Aksa merasa tidak tenang.

Hanya saja, ia tidak tahu kenapa.

 

Langit yang Berubah

Langit siang itu terlihat aneh. Awan-awan putih yang biasanya bergerak perlahan kini terasa lebih berat, menggantung rendah seolah menutupi sesuatu. Angin yang bertiup membawa aroma hujan, meski belum ada satu pun tetes air jatuh dari langit.

Aksa duduk sendirian di bawah pohon besar di belakang sekolah, menggigit ujung pulpen dengan gelisah. Ia menunggu.

Biasanya, Fariq sudah tiba lebih dulu, duduk dengan gaya malasnya sambil mengayunkan kaki dan melemparkan lelucon receh yang entah kenapa selalu berhasil membuat Aksa tertawa. Tapi kali ini, Fariq tidak ada.

Aksa mencoba mengabaikannya. Mungkin temannya itu masih di kelas, mungkin ada tugas tambahan dari guru. Tapi setelah hampir sepuluh menit menunggu, keresahannya semakin menjadi.

Hingga suara langkah kaki terdengar.

“Aksa.”

Ia menoleh cepat, mengira Fariq akhirnya datang. Tapi bukan.

Yang berdiri di sana adalah Rehan, salah satu teman sekelas mereka. Napasnya sedikit tersengal, seolah habis berlari.

“Ada apa?” tanya Aksa, bingung dengan ekspresi aneh di wajah Rehan.

Rehan mengusap tengkuknya, ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, “Fariq masuk rumah sakit.”

Dunia Aksa seperti berhenti berputar.

Ruang rumah sakit selalu memiliki bau khas—campuran antiseptik dan sesuatu yang terasa asing. Aksa duduk di kursi plastik di depan pintu kamar rawat, jemarinya mengepal tanpa sadar.

Ia masih belum bisa mencerna semuanya.

Fariq pingsan di kelas tadi pagi. Tidak ada yang tahu kenapa, tidak ada yang mengira anak secerdas dan seceria dia bisa tiba-tiba tumbang begitu saja.

“Kenapa kamu nggak bilang apa-apa ke aku?” gumam Aksa pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Pintu kamar akhirnya terbuka, dan seorang wanita paruh baya keluar—ibunya Fariq. Wajahnya terlihat lelah, tapi ia tetap tersenyum tipis saat melihat Aksa.

“Kamu boleh masuk sebentar,” katanya dengan suara lembut.

Aksa tidak menunggu lama. Ia segera melangkah masuk.

Fariq terbaring di atas ranjang, wajahnya lebih pucat dari biasanya. Selang infus terpasang di lengannya, dan napasnya terdengar pelan namun stabil. Tapi meskipun begitu, begitu melihat Aksa masuk, senyumnya langsung muncul.

“Kenapa ekspresi kamu kayak gitu?” suara Fariq terdengar serak, tapi masih mengandung nada bercanda yang khas.

Aksa menghela napas, menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. “Kenapa kamu nggak bilang kalau sakit?”

Fariq mengangkat bahu. “Aku nggak mau kamu khawatir.”

“Kamu pikir aku nggak bakal khawatir kalau tahu-tahu kamu pingsan?” suara Aksa meninggi, tapi bukan karena marah. Ia hanya… takut.

Fariq menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas kecil. “Aku nggak mau semuanya berubah.”

Aksa mengerutkan kening. “Maksud kamu?”

Fariq tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu di balik senyumnya. Sesuatu yang membuat Aksa merasa tidak nyaman.

“Aksa,” Fariq berbisik pelan, seperti rahasia yang hanya boleh didengar oleh mereka berdua. “Kalau aku nggak ada… kamu bakal tetap jaga pohon itu, kan?”

Aksa membeku.

Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar tidak bisa menemukan kata-kata untuk menjawab.

 

Hujan di Bawah Pohon Besar

Hujan turun deras sore itu. Langit seakan menumpahkan seluruh kesedihan yang ditahannya selama ini. Tetesan air menari di atas dedaunan, menyatu dalam aliran kecil yang jatuh ke tanah.

Aksa berdiri di bawah pohon besar di belakang sekolah. Pakaian seragamnya basah kuyup, tapi ia tidak peduli. Jemarinya menggenggam erat sebuah kalung sederhana dengan liontin kecil di dalamnya—hadiah terakhir dari Fariq.

Tiga hari lalu, Fariq pergi.

Bukan ke luar kota. Bukan sekadar pindah sekolah.

Tapi pergi untuk selamanya.

Aksa masih bisa mendengar suara dokter yang mengabarkan bahwa kondisi Fariq memburuk semalam. Ia masih bisa melihat wajah pucat sahabatnya, tersenyum lemah dengan napas yang semakin berat.

“Kamu bakal tetap jaga pohon itu, kan?”

Suara itu terngiang di kepalanya, menghantam lebih keras daripada suara hujan yang mengguyur tubuhnya sekarang.

Aksa tertawa kecil, tapi air matanya jatuh bersamaan dengan hujan.

“Dasar bodoh,” gumamnya pelan.

Tangannya terangkat, menyentuh batang pohon yang dulu selalu menjadi tempat mereka berteduh, tempat mereka tertawa, bertengkar, berbagi mimpi, dan menghabiskan hari-hari tanpa peduli waktu. Pohon ini adalah saksi bisu persahabatan mereka.

Dan sekarang, hanya Aksa yang tersisa.

Ia mengeluarkan sebuah pisau lipat kecil dari sakunya, lalu dengan hati-hati menggoreskan sesuatu di batang pohon. Hujan menyamarkan air mata di wajahnya, tapi tidak bisa menghapus tulisan yang ia ukir di sana:

“Aksa & Fariq. Selamanya.”

Angin berembus lembut, seolah memberikan pelukan terakhir.

Aksa tersenyum samar, lalu menutup matanya. Dalam pikirannya, ia masih bisa melihat Fariq duduk di sana, menatapnya dengan tatapan usil khasnya, mengajak balapan lari ke kantin atau mendebatkan siapa yang lebih pintar di antara mereka.

Mungkin Fariq tidak benar-benar pergi.

Mungkin, selama Aksa masih mengingatnya, Fariq akan selalu ada.

Hujan terus turun, membasahi dunia. Tapi di bawah pohon besar itu, ada satu kenangan yang akan tetap abadi.

 

Kadang, kita baru sadar betapa berharganya seseorang setelah mereka pergi. Tapi yang namanya sahabat sejati, nggak akan pernah benar-benar hilang.

Mereka tetap ada, dalam tawa yang pernah dibagi, dalam kenangan yang terus hidup. Jadi, kalau kamu masih punya sahabat yang selalu ada buatmu, jangan tunggu waktu buat bilang: Eh, makasih, ya. Karena siapa tahu, waktu nggak bakal ngasih kesempatan kedua.

Leave a Reply