Daftar Isi
Siapa bilang persahabatan itu selalu indah? Kadang, ada aja teman yang cuma datang buat manfaatin kita, ngelakuin segalanya demi diri mereka sendiri, dan ngerasa nggak ada salahnya. Tapi, gimana rasanya kalau kita mulai sadar, kalau selama ini kita cuma jadi alat?
Nah, cerita ini bakal ngulik gimana susahnya ngadepin sahabat yang egois, yang akhirnya bikin kita mikir dua kali, Apa bener ini yang namanya persahabatan? So, siap-siap deh, buat ikutan ngerasain perjalanan emosional penuh kecewa, penyesalan, dan akhirnya… keberanian buat melepaskan!
Sahabat Egois
Permainan Penuh Janji
Hari pertama aku bertemu Aris, rasanya seperti sebuah kebetulan yang indah. Kami duduk berdampingan di bangku belakang kelas, tempat yang biasanya tidak diperhatikan siapa pun, dan itu seolah menjadi zona aman bagi kami berdua. Aku tak pernah benar-benar percaya pada konsep “cinta pada pandangan pertama” atau semacamnya, tetapi dengan Aris, ada sesuatu yang berbeda. Entah apa itu, tetapi aku merasa kami akan menjadi teman dekat. Ternyata, aku benar-benar salah.
Aku mengenalnya lebih dekat saat semester baru dimulai. Aris adalah tipe orang yang mudah bergaul, yang seolah-olah tahu cara menaklukkan setiap ruang. Semua orang di kelas tahu siapa dia, dan aku tak terkecuali. Dengan senyum manis dan tutur kata yang selalu membuat orang merasa dihargai, dia sangat mudah membuat siapa pun merasa penting. Tak terkecuali aku. Setiap kali aku duduk bersamanya, aku merasa seperti dunia hanya berputar di sekitar kami. Semua yang dia katakan terdengar begitu bijaksana, begitu tepat. Seakan-akan dia adalah seseorang yang aku cari selama ini.
Satu hal yang aku suka dari Aris adalah caranya berbicara. Dia punya cara yang membuatku merasa nyaman, meski aku tidak begitu banyak bicara. Dia seperti tahu kapan aku perlu bicara dan kapan aku hanya perlu didengarkan. Entah kenapa, rasanya aku bisa menghabiskan berjam-jam mendengarkan dia bercerita tentang apa saja.
Suatu sore, saat pelajaran selesai dan kami berdua berjalan keluar dari ruang kelas, Aris berhenti dan menatapku dengan senyum lebar.
“Eh, gimana kalau kita kerja bareng buat proyek semester depan? Aku rasa kita bisa jadi tim yang keren banget,” katanya, suaranya begitu penuh antusiasme.
Aku tercengang sesaat. Kami memang belum pernah benar-benar bekerja sama dalam sebuah proyek besar, tetapi ada sesuatu dalam cara dia berbicara yang membuatku tidak bisa menolak.
“Tentu, aku rasa itu ide yang bagus,” jawabku, meski dalam hati aku merasa sedikit ragu. Kenapa dia memilih aku? Kenapa bukan teman-teman lain yang lebih dikenal dan lebih dekat dengan dia?
Sejak saat itu, Aris dan aku mulai menghabiskan waktu lebih banyak bersama. Proyek yang kami kerjakan bukanlah proyek yang mudah, tetapi aku merasa kami bisa melewatinya bersama. Selama minggu-minggu pertama, semuanya berjalan lancar. Kami bekerja dengan baik, saling bertukar ide, dan tampaknya semakin dekat. Aris bahkan mulai bercerita lebih banyak tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang masa kecilnya yang menurutnya penuh tantangan. Aku merasa dihargai, merasa dekat dengannya.
Tapi ada satu hal yang mulai terasa aneh. Setiap kali aku mencoba untuk berbicara tentang hal-hal pribadiku, tentang apa yang aku rasakan atau apa yang aku ingin capai, Aris selalu saja menyela dan kembali mengalihkan pembicaraan. Seolah-olah dia lebih tertarik untuk membahas dirinya sendiri, tentang rencananya yang lebih besar dan lebih penting daripada apa pun yang aku miliki. Aku mencoba mengabaikan perasaan itu, berpikir bahwa mungkin itu hanya perasaan sementara. Lagi pula, dia memang teman yang baik, bukan?
Namun, semakin hari aku semakin merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Aris selalu tahu bagaimana menarik perhatian orang lain, bagaimana membuat setiap orang di sekitarnya merasa seperti mereka adalah bagian dari kisah besar yang sedang dia ciptakan. Setiap kali aku melihatnya tertawa bersama teman-temannya yang lain, aku merasa seperti aku hanya bagian dari latar belakang hidupnya, bukan aktor utama.
Suatu hari, saat kami sedang duduk di kantin, aku memberanikan diri untuk bertanya. “Aris, kenapa sih kamu selalu kayak gitu? Maksudku, kenapa kamu selalu pilih-pilih siapa yang akan jadi teman dekat? Kayak… kita udah dekat, tapi kok aku ngerasa kamu nggak pernah bener-bener mendengarkan aku.”
Aris terdiam sejenak. Senyumnya menghilang seketika, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang berubah di udara.
“Apa maksudmu? Aku denger kok, cuma mungkin kadang aku lebih fokus ke hal-hal lain.” jawabnya, suaranya terdengar agak canggung, meski dia mencoba menutupi dengan tawa kecil. “Kamu tahu kan, aku selalu ada buat kamu. Kita kan tim yang hebat.”
Aku menatapnya, mencoba mencari makna di balik kata-katanya. Tapi semakin aku mendengarnya, semakin aku merasa bahwa mungkin aku hanya bagian dari permainan besar yang dia ciptakan, permainan di mana aku tidak pernah benar-benar menjadi pemain utama. Aku hanya ada di sana karena aku bisa berguna, karena aku bisa membantu mewujudkan rencananya.
Sejak saat itu, aku mulai berhati-hati. Terkadang aku merasa seperti aku hanya berperan sebagai alat baginya. Ketika aku mengerjakan proyek-proyek dengan tekun, dia hanya datang dengan ide-ide besar yang akhirnya selalu membuatku merasa seperti aku hanyalah orang yang membantu mewujudkan impiannya. Aku tahu aku seharusnya merasa senang, tetapi semakin lama aku merasa semakin terperangkap dalam hubungan yang hanya berjalan satu arah.
Tapi entah kenapa, setiap kali aku berpikir untuk mundur, Aris selalu punya cara untuk membuatku merasa seperti aku adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya. Dia selalu ada, tetapi bukan dengan cara yang aku butuhkan. Sering kali, aku merasa seperti dia hanya ada saat dia membutuhkan aku, bukan saat aku ingin dia ada untukku.
Proyek kami semakin dekat dengan hari-H, dan aku semakin merasa bingung. Aris makin sibuk dengan dirinya sendiri, sementara aku semakin tenggelam dalam perasaan yang tak jelas. Aku mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya aku harapkan dari hubungan ini. Apakah ini benar-benar persahabatan? Atau apakah aku hanya menjadi alat baginya untuk mencapai tujuannya?
Aku berusaha menenangkan diri, mencoba meyakinkan diri bahwa ini semua hanya masalah kecil. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi. Sesuatu yang akan mengubah segalanya.
Di Balik Senyum
Semakin hari, aku semakin merasa seperti aku hanyalah bayangannya. Aris dengan segala pesonanya, dengan senyum yang selalu dia pasang di depan orang lain, dan cara dia berbicara yang seolah bisa membuat dunia mendengarkan. Aku hanya ada di sana, di sampingnya, tapi tidak pernah benar-benar dihargai. Setiap kali aku mencoba mengajukan ide atau memberikan masukan dalam proyek kami, dia selalu mengalihkan pembicaraan, atau lebih parah lagi, mengambil semua kredit untuk dirinya sendiri.
Hari itu, aku duduk di meja perpustakaan, dengan buku-buku terbuka di depanku. Aris ada di seberang meja, sibuk dengan laptopnya, mengetik sesuatu dengan sangat cepat. Aku melihat sekilas ke layar komputer itu, hanya untuk menemukan proposal proyek yang sudah kami kerjakan bersama, dan ternyata… hampir semua idenya berasal darinya. Semua usulanku yang sebelumnya kami diskusikan, entah bagaimana, bisa diaubah menjadi sesuatu yang “lebih baik”, lebih menarik, lebih terkesan cemerlang.
“Apa kabar, tim kita? Semua siap?” tanya Aris dengan santai, memandangiku tanpa ragu seolah dia tak tahu bahwa aku baru saja melihatnya mengedit proposal yang seharusnya milik kami berdua.
Aku mengangguk, meski perasaan dalam hatiku sangat berbeda. “Iya, aku hampir selesai ngurusin laporan. Kamu?”
“Ah, aku juga hampir selesai. Tapi, ada beberapa hal yang perlu disesuaikan sedikit,” katanya, sambil tersenyum seakan tidak ada yang aneh. “Aku yakin kita bakal jadi juara kalau terus seperti ini. Aku butuh banget kerja sama kita.”
Aku hanya bisa tersenyum kecut, meski hati kecilku merasa seperti ada yang tercecer. Apa yang dia bilang, dan apa yang sebenarnya terjadi, begitu berbeda. Aku bisa merasakannya, meskipun dia tidak mengatakannya langsung—semuanya adalah tentang dirinya, dan aku hanya menjadi bagian dari proses yang tak lebih dari alat untuk meraih tujuannya.
Hari demi hari berlalu, dan aku semakin terperangkap dalam pusaran kebohongan kecil yang Aris ciptakan. Aku melihatnya berbicara dengan guru, memberikan presentasi tanpa aku, mengambil pujian yang seharusnya menjadi milikku juga. Itu bukan hanya tentang proyek ini lagi, itu tentang setiap kesempatan yang aku pikir adalah milik kami bersama, tetapi ternyata hanya miliknya.
Suatu malam, ketika kami sedang mengerjakan beberapa hal terakhir di kafe, Aris tampak lebih santai dari biasanya. Dia memesan kopi, sementara aku sibuk mencatat beberapa ide untuk laporan akhir. Aris melihat ke arahku, dengan senyum yang sudah sangat familier—senyum yang selalu membuatku merasa seperti dia sedang memikirkan sesuatu yang penting, sesuatu yang tidak akan aku mengerti.
“Aku nggak ngerti deh, gimana bisa kamu se-oke ini dalam kerja,” katanya sambil memainkan sendoknya di dalam cangkir. “Aku memang hebat sih, tapi kamu juga luar biasa, tahu?”
Aku hanya mengangkat bahu. “Mungkin kita memang tim yang oke, kan?”
“Tapi ya gitu deh… aku merasa kayak semuanya akan lebih mudah kalau aku yang pegang kendali,” jawabnya, tetap santai, seolah ini adalah hal yang biasa saja untuk dikatakan.
Aku terdiam. Kata-kata itu seperti datang begitu saja, tanpa beban. Tanpa sadar, aku mulai merasa sakit. Aris tidak pernah benar-benar melihat kami sebagai tim. Baginya, aku hanyalah pelengkap—sebuah alat untuk mewujudkan visinya. Semua yang kami lakukan bersama, pada akhirnya, adalah miliknya. Aku tak lebih dari seorang pendukung yang hanya ada untuk memvalidasi rencana-rencana besarnya.
“Aku tahu kamu pasti paham,” lanjutnya, lalu tersenyum lebih lebar. “Aku kan selalu bikin kita terlihat keren. Ini semua berkat kerja sama kita, kan? Kamu juga nggak bisa kerja tanpa aku.”
Aku hampir tidak bisa menahan diri. Kata-katanya, seolah-olah menyentuh titik paling dalam dari rasa frustrasiku. Aku ingin mengatakan sesuatu, mengatakan bahwa aku juga berhak mendapat lebih dari sekadar sanjungan kosong itu. Tapi aku hanya bisa diam. Apa yang harus aku katakan? Kalau aku bilang sesuatu, apakah itu akan menghancurkan persahabatan kami? Atau, yang lebih buruk, apakah aku hanya akan menjadi orang yang terlalu sensitif, yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa Aris hanya ingin menang sendiri?
Hari-hari berlalu, dan aku semakin merasa terjebak dalam permainan ini. Aris, dengan segala pesonanya yang tak terbantahkan, berhasil menutupi segala rasa kecewaku dengan satu senyum manisnya. Dia tahu persis bagaimana cara mengendalikan suasana, bagaimana cara membuatku merasa bahwa aku adalah teman yang paling beruntung di dunia. Tapi semakin lama aku melihatnya, semakin aku merasa bahwa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak pernah bisa dia beri.
Proyek kami semakin mendekati akhirnya, dan aku tahu hari itu akan datang. Hari di mana aku harus memutuskan, apakah aku masih ingin bertahan dalam permainan ini, ataukah sudah waktunya untuk mengakhirinya dan mencari makna sejati dari persahabatan yang selama ini aku percayai.
Cermin yang Pecah
Akhirnya, hari yang aku tunggu-tunggu itu tiba—hari di mana proyek besar kami akan dipresentasikan di depan kelas dan guru pembimbing. Semua yang kami kerjakan akan terlihat di sana, dan kami akan mendapatkan penilaian berdasarkan kerja sama kami, berdasarkan apa yang sudah kami capai. Ini adalah saat-saat yang paling menentukan, dan di sinilah semuanya akan menunjukkan hasilnya.
Namun, semakin mendekati hari itu, aku semakin merasa seperti benda mati yang terabaikan. Aris tetap saja sibuk dengan persiapannya sendiri, dan aku merasa seperti hanya ada di sana untuk mendukungnya, untuk memberinya bahan yang dia perlukan agar semua bisa berjalan lancar. Segala ide yang aku tawarkan seolah-olah selalu mendapat komentar yang meremehkan. Apa pun yang aku usulkan, selalu ada yang lebih “menarik” dari versinya—versi yang akhirnya menjadi keputusan final. Aku mulai merasa seperti aku hanya sebuah bayangan yang mengiringi langkahnya, sementara Aris terus berjalan di jalan yang dia tentukan.
Hari H pun tiba. Ruang kelas dipenuhi oleh teman-teman yang sudah duduk dengan antusias, menunggu presentasi kami. Aku duduk di kursi sebelah Aris, yang tampaknya lebih santai dari sebelumnya. Sementara aku, sejujurnya, merasa cemas. Semua kerja keras yang aku lakukan, semua waktu yang kuhabiskan untuk proyek ini, rasanya tidak akan berarti apa-apa jika Aris tetap menjadi pusat perhatian.
Ketika giliran kami tiba, Aris berdiri dengan percaya diri. Dengan langkah mantap, dia maju ke depan kelas, memulai presentasi dengan gaya yang tidak pernah gagal untuk memukau audiens. Aku duduk di belakang, seolah-olah hanya ada untuk menonton. Aris berbicara dengan lancar, menjelaskan setiap detail tentang proyek kami, mengambil alih seluruh perhatian kelas. Aku hanya duduk diam, merasa seolah aku adalah benda mati yang tak bernyawa, hanya di sana sebagai pelengkap.
Tiba-tiba, di tengah presentasi, Aris berhenti sejenak dan menatapku. Ada yang aneh dalam tatapannya, seolah-olah dia sedang menunggu sesuatu. Aku terkejut, tak tahu apa yang harus kulakukan. Semua mata kini tertuju padaku.
“Eh, mungkin ada tambahan dari kamu, kan?” katanya, sambil tersenyum ringan, seolah memberi kesempatan padaku untuk berbicara.
Aku tercekat. Dalam hati, aku merasa seperti dunia berhenti sejenak. Semua yang sudah kukerjakan, semua yang aku tulis, terasa tidak penting. Kenapa sekarang dia memberi ruang untukku? Bukankah aku sudah cukup lama berada di balik bayangannya? Aku memandangnya, merasa sebuah ketegangan yang menambah berat di dadaku. Aku bisa merasakan bahwa ini bukan hanya tentang presentasi. Ini adalah pertarungan yang lebih besar, lebih pribadi, yang entah bagaimana kami tidak pernah bicarakan.
“Ah, ya,” jawabku akhirnya, mencoba bersikap tenang meski suaraku sedikit bergetar. “Sebagai tambahan, kami juga menambahkan analisis tentang dampak jangka panjang dari proyek ini terhadap komunitas. Kami yakin, kalau… eh, bisa membantu banyak orang.”
Aku merasa seperti kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa beban, meski aku tahu dalam hati aku mulai kehilangan kendali. Semua yang seharusnya menjadi kontribusiku terasa seperti puing-puing yang dibuang begitu saja. Aku hanya ingin semuanya selesai, agar aku bisa keluar dari ruang ini dan meninggalkan perasaan hampa yang semakin membebani pikiranku.
Ketika presentasi berakhir, dan kami kembali ke tempat duduk, aku merasa ada sesuatu yang aneh di udara. Semua tepuk tangan yang datang, semua pujian yang diberikan, hanya mengalir begitu saja ke Aris. Pujian itu tidak pernah benar-benar menjadi milikku, meskipun aku tahu aku bekerja keras untuk proyek ini. Aris tetap menjadi orang yang diakui, sementara aku hanya menjadi bayangannya.
Kami berjalan keluar dari kelas setelah presentasi selesai. Semua orang terlihat puas, dan Aris dengan bangga menerima ucapan selamat dari teman-teman. Aku berjalan di belakangnya, merasa semakin jauh dari dunia yang seharusnya kami bagi bersama. Rasanya aku sudah mulai melupakan apa itu arti persahabatan, apa itu arti kerja sama yang sejati.
“Aku rasa kita berhasil banget tadi,” kata Aris dengan senyum lebar, menatapku dengan mata yang penuh keyakinan.
“Iya, pasti,” jawabku, meski suara itu tidak keluar dengan sepenuh hati. “Kamu memang keren, Aris.”
Senyum Aris semakin lebar, seolah dia merasa puas dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi aku tahu, semakin lama aku berada di sisinya, semakin aku merasa bahwa aku tidak pernah benar-benar berada di tempat yang seharusnya. Aku sudah terlalu lama menjadi penonton dalam cerita hidupnya. Aku sudah terlalu lama menjadi alat untuk meraih tujuannya, dan kini, aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak lebih dari sebuah figuran dalam drama besar yang dia ciptakan.
Ketika kami keluar dari gedung sekolah, aku berhenti sejenak. Aris yang berjalan di depanku, tidak menyadari apa yang terjadi dalam pikiranku.
“Aris,” aku akhirnya memanggilnya, dengan suara yang lebih tegas. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Aris menoleh, dengan sedikit heran. “Ada apa? Kamu terlihat serius banget.”
Aku menarik napas panjang. Ini adalah saat yang aku takutkan. Saat di mana aku harus mengatakan sesuatu yang akan merubah segalanya. “Aku rasa kita perlu bicara tentang ini semua. Tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara kita.”
Aris tampaknya terkejut, dan aku bisa melihat ekspresinya berubah sedikit. Dia melangkah mendekat, menyamakan jarak di antara kami. “Apa maksudmu? Kita kan baik-baik aja, kan?”
Aku menggeleng pelan, berusaha menahan emosi yang mulai tumpah. “Aku nggak tahu, Aris. Aku cuma merasa, aku nggak ada di sini untuk kamu. Kamu hanya… cuma butuh aku untuk ngerjain hal-hal yang kamu anggap penting, tapi bukan karena kita teman. Aku merasa kita bukan tim lagi. Aku cuma alat buat kamu.”
Aris terdiam, matanya membeku sejenak. Aku bisa melihat kebingungannya. Dia seolah tidak tahu apa yang aku rasakan.
“Apa maksud kamu?” tanyanya akhirnya, dan aku bisa mendengar ketegangan dalam suaranya.
Aku menatapnya dengan tegas. “Aku nggak tahu, Aris. Tapi aku nggak mau terus ada di sini, cuma jadi bayangan kamu.”
Titik Balik
Setelah percakapan itu, semuanya terasa hampa. Aku dan Aris tidak berbicara lagi selama beberapa hari. Meski berada di lingkungan yang sama, di kelas yang sama, kami seperti dua orang asing. Hari-hari berjalan begitu datar, tanpa ada percakapan yang mengalir dengan alami. Rasanya seperti aku sedang memulai hidup baru tanpa Aris, dan anehnya, itu membuatku merasa sedikit lega.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Aku merasa ada celah kosong di dalam diriku yang tak bisa diisi dengan apapun. Meskipun perasaanku sudah jelas—bahwa aku ingin keluar dari bayangannya—aku masih tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa aku kehilangan sesuatu yang berharga. Aris mungkin bukan sahabat yang aku inginkan, tapi dia adalah satu-satunya yang aku punya di dunia ini. Sebuah hubungan yang sejatinya sudah rusak tanpa aku sadari.
Di suatu sore yang biasa, aku menerima pesan dari Aris. Hanya satu kalimat singkat yang muncul di layar ponselku: “Mau ketemu?” Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan. Rasa penasaran dan kecemasan bercampur aduk dalam dadaku. Apa yang akan dia katakan? Apakah ini hanya tentang proyek kemarin? Ataukah ini tentang kami, tentang persahabatan yang sudah mulai menghilang?
Aku memutuskan untuk pergi. Mungkin, hanya mungkin, aku bisa mendapatkan penutupan dari semua ini. Aku ingin tahu apakah dia masih peduli ataukah aku hanya sekedar bayangan yang dia tinggalkan di belakangnya.
Kami bertemu di sebuah kafe yang cukup sepi, tempat yang sudah biasa kami kunjungi bersama. Aris duduk di meja dekat jendela, menatap keluar, seolah menunggu kedatanganku dengan penuh pemikiran.
Aku duduk di seberangnya, menatapnya dengan ragu. “Jadi, ada apa?” tanyaku, mencoba membuka percakapan meski suasana terasa canggung.
Aris menghela napas panjang, lalu menatapku. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” katanya pelan. “Aku cuma… ingin minta maaf.”
Aku terdiam sejenak. Semua rasa kecewa, marah, dan bingung yang aku pendam selama ini seolah tumpah begitu saja. “Minta maaf? Apa maksudmu, Aris? Apa kamu merasa menyesal karena nggak pernah menganggap aku sebagai teman sejati? Atau hanya karena sekarang kita terpisah?”
“Karena aku cuma mikirin diri aku sendiri,” jawabnya, dengan nada yang lebih serius. “Aku sadar, aku nggak pernah benar-benar peduli sama perasaanmu. Semua yang aku lakukan itu demi kepentingan aku. Aku pikir, aku bisa lakukan semuanya sendirian, tanpa memikirkan kamu. Dan aku salah. Aku udah bikin kamu merasa nggak berarti.”
Aku menatapnya lama. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang mulai mencair, tapi aku juga tidak bisa begitu saja menerima kata-katanya. “Kamu tahu, Aris,” aku mulai, “aku udah coba bertahan, mencoba jadi teman yang baik buat kamu. Tapi rasanya, aku cuma jadi alat buat kamu. Semua yang aku lakukan nggak pernah dihargai. Aku harus ngapain lagi supaya kamu sadar?”
Aris terdiam. Dia tampak menyesal, dan aku bisa melihat kesedihan di matanya. “Aku minta maaf banget. Aku nggak tahu kalau aku udah bikin kamu merasa kayak gitu. Aku terlalu egois… Aku nggak sadar seberapa besar kamu ngorbanin diri buat aku. Sekarang aku ngerti.”
Ada keheningan di antara kami. Aku bisa merasakan ketegangan yang perlahan mereda, namun aku juga tahu, ini bukan akhir yang mudah. Persahabatan yang kita miliki tidak akan pernah kembali seperti semula. Meskipun aku ingin mempercayai kata-katanya, aku tahu ada luka yang sulit sembuh hanya dengan kata-kata.
“Jadi, apa yang kamu ingin aku lakukan sekarang?” tanyaku, masih ragu.
Aris menundukkan kepalanya. “Aku nggak bisa meminta kamu untuk memaafkan aku. Tapi aku pengen kita bisa mulai dari awal lagi, meskipun nggak bisa kembali ke seperti dulu. Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai teman, meskipun aku tahu aku udah bikin kamu kecewa.”
Aku memandang Aris, merasa ada sebuah keputusan besar yang harus diambil. Bagiku, persahabatan bukan hanya soal menerima maaf, tapi tentang bagaimana kita melangkah bersama ke depan. Dan aku merasa, meskipun tidak ada lagi jalan kembali, kami bisa membangun sesuatu yang baru—sesuatu yang lebih sehat, tanpa saling memanfaatkan.
“Aku nggak tahu, Aris,” aku berkata dengan lembut. “Aku butuh waktu buat mikir. Aku nggak bisa cuma maafin kamu dan semuanya langsung baik-baik aja.”
Aris mengangguk, menerima jawaban itu dengan berat. “Aku ngerti. Aku cuma pengen kamu tahu, aku benar-benar menyesal.”
Kami berdua duduk dalam diam, menikmati secangkir kopi yang semakin dingin. Aku tahu, perjalanan ini belum berakhir, dan mungkin tidak akan pernah berakhir seperti yang aku harapkan. Namun, mungkin inilah awal dari sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih jujur dan lebih baik.
Persahabatan kami mungkin tidak akan pernah sama lagi, tapi aku mulai percaya bahwa kadang, kejujuran dan perasaan yang tulus bisa membuka jalan baru—meskipun penuh keraguan dan luka yang masih ada. Kami berdua masih punya kesempatan, meskipun tak ada lagi janji untuk menjadi seperti dulu.
“Terima kasih, sudah datang,” kata Aris akhirnya, mengakhiri pertemuan itu.
Aku tersenyum pelan, meski hatiku masih penuh dengan keraguan. “Sama-sama, Aris.”
Dan dengan itu, kami berjalan keluar dari kafe, menuju dunia yang berbeda dari yang pernah kami kenal. Dunia yang mungkin lebih sulit, tapi lebih nyata, lebih jujur, dan lebih berarti.
Gimana rasanya jadi teman yang cuma dimanfaatin? Atau, mungkin malah jadi egois tanpa sadar? Cerita ini mungkin nggak bakal kasih jawaban pasti, tapi setidaknya bisa bikin kita mikir, apakah persahabatan yang kita punya itu tulus atau cuma sekadar jalan buat memenuhi kepentingan sendiri.
Kadang, melepaskan orang yang nggak baik buat kita adalah langkah terbaik, meskipun berat. Dan mungkin, dari situ kita bisa belajar bahwa persahabatan yang sejati bukan cuma soal saling mengambil, tapi juga memberi dengan hati.