Safwan dan Pesona Hijau Kota Surabaya: Cerita Anak SMA Gaul yang Mencintai Lingkungan

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernah nggak sih, kalian bayangin gimana rasanya jadi anak SMA yang nggak hanya cuma gaul tapi juga peduli sama lingkungan? Di cerpen ini, kita akan kenalan sama Safwan.

Cowok super aktif dari Surabaya yang bikin gebrakan untuk menjaga kotanya tetap asri. Cerita ini nggak cuma penuh emosi dan perjuangan, tapi juga menginspirasi banget buat kita ikut ambil bagian dalam menjaga bumi. Yuk, simak kisah serunya!

 

Safwan dan Pesona Hijau Kota Surabaya

Langkah Kecil di Taman Bungkul

Matahari pagi di Surabaya tak pernah gagal memancarkan hangatnya. Suara kendaraan berlalu-lalang mulai memadati jalanan, menandakan bahwa kehidupan di kota pahlawan ini sudah dimulai. Di tengah hiruk-pikuk itu, aku, Safwan, berdiri di depan rumah dengan sebuah ransel berisi botol minum dan sepasang sarung tangan. Hari ini bukan hari biasa. Hari ini aku memimpin sebuah misi kecil namun penuh arti bersama teman-teman: menghijaukan kembali Taman Bungkul.

“Wan, sudah siap, belum?” teriak Iqbal dari kejauhan. Iqbal, salah satu sahabat dekatku, datang dengan membawa sekop kecil dan beberapa kantong bibit bunga. Di belakangnya, ada Hadi dan Riko, dua teman yang selalu siap kalau diajak kegiatan seru.

“Siap banget, bro!” jawabku sambil tertawa.

Kami berlima, termasuk Dea dan Ayu, teman sekelas yang antusias ikut kegiatan ini, berjalan menuju Taman Bungkul. Aku sengaja memilih taman ini karena tempat ini bukan hanya ikon Surabaya, tetapi juga punya nilai sentimental buat kami. Di sinilah kami sering nongkrong setelah pulang sekolah, berbincang tentang masa depan, bahkan sekadar menikmati es krim sambil bercanda.

Saat tiba di taman, aku terdiam sejenak. Meski hijau, ada beberapa sudut yang terlihat kurang terawat. Daun-daun kering menumpuk, rumput di beberapa area menguning, dan bunga-bunga tampak layu. Aku menarik napas panjang. Ini alasan kami ada di sini.

“Guys, sebelum mulai, kita bagi tugas dulu,” kataku sambil membuka kertas yang sudah kubawa. Aku memang tipe yang suka menyusun rencana matang.

“Ayu dan Dea, kalian tangani bagian bunga. Pastikan semuanya dapat air dan tanahnya dirapikan.”
“Mantap, bos!” Ayu menjawab penuh semangat.

“Hadi dan Iqbal, kalian bantu aku bersihin daun-daun kering dan sampah. Riko, nanti koordinasi sama tim yang datang belakangan. Jangan lupa lapor kalau ada kebutuhan tambahan.”

Semua setuju dan langsung bergerak. Ada rasa bangga melihat teman-teman yang begitu antusias. Kami mulai dengan menyapu daun-daun kering. Ternyata lebih banyak daripada yang kukira. Keringat mengalir di wajah, tapi aku merasa puas setiap kali melihat satu sudut taman yang kembali rapi.

“Hadi, tolong sini bentar!” aku memanggilnya.
“Apa lagi, Wan?” Hadi terlihat lelah tapi tetap semangat.
“Bantu aku angkat pot bunga ini ke tempat yang lebih terang. Di sini terlalu teduh, bunganya jadi layu.”

Kami bekerja tanpa henti hingga matahari mulai meninggi. Meski panas, canda tawa terus terdengar di antara kami. Ayu bahkan sempat berceloteh tentang betapa kerennya Surabaya kalau semua orang peduli lingkungan.

“Aku jadi kepikiran, Wan. Kalau semua taman di Surabaya hijau seperti ini, pasti orang-orang bakal lebih betah tinggal di kota ini,” katanya sambil menanam bibit bunga.

Aku mengangguk setuju. “Makanya kita mulai dari sini. Langkah kecil kita hari ini mungkin nggak langsung kelihatan, tapi lama-lama bakal ada perubahan.”

Saat siang tiba, hasil kerja keras kami mulai terlihat. Sudut-sudut yang tadinya kusam kini lebih cerah dengan bunga-bunga yang tertata rapi. Sampah-sampah sudah bersih, dan pohon-pohon kecil yang kami tanam menambah kesan hidup di taman.

Seorang bapak tua yang sedang duduk di bangku taman menghampiri kami. “Anak-anak, kalian luar biasa. Taman ini jadi jauh lebih indah. Terima kasih sudah peduli.”

Aku tersenyum, merasa semua lelah kami terbayar lunas. “Ini buat Surabaya, Pak. Buat semua orang.”

Hari itu, aku pulang dengan hati penuh kebahagiaan. Langkah kecil kami di Taman Bungkul mungkin terlihat sederhana, tapi bagiku ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Aku yakin, Surabaya bisa menjadi kota hijau yang membanggakan, dan aku ingin jadi bagian dari perubahan itu.

 

Aksi Hijau yang Berlanjut

Keesokan harinya, aku masih merasakan kehangatan dari apa yang kami lakukan di Taman Bungkul. Rasanya, setiap sudut taman yang kemarin kami rapikan seolah memanggil untuk kembali dikunjungi. Namun, hari ini, aku punya misi baru. Misi yang lebih besar.

Setelah pamit kepada Ibu dan mengambil ranselku, aku menuju sekolah dengan langkah cepat. Di gerbang, Iqbal sudah menungguku.

“Wan, kamu serius mau ngajak satu sekolah untuk ikut aksi hijau ini?” tanyanya, setengah tak percaya.
“Kenapa nggak? Kalau kita bisa bikin teman-teman sadar pentingnya lingkungan, dampaknya bakal lebih besar lagi, Bal,” jawabku yakin.

Setelah bel istirahat berbunyi, aku dan Iqbal segera menuju ruang OSIS. Kebetulan, aku salah satu anggota di sana, dan ini mempermudah langkahku. Dengan semangat, aku menjelaskan ideku di depan teman-teman OSIS yang lain.

“Jadi, aku mau kita adakan program ‘Surabaya Asri’. Kita ajak siswa di sekolah ini untuk berkontribusi menjaga lingkungan. Kita mulai dari sekolah kita sendiri, lalu menjangkau taman-taman atau area hijau di sekitar Surabaya.”

Rapat berlangsung hangat. Ada yang setuju, ada juga yang pesimis. “Riyan, aku nggak yakin siswa lain bakal peduli,” kata Riko, yang biasanya cukup optimis.
“Tugas kita buat mereka peduli, Ko. Kalau kita kasih mereka pengalaman langsung, aku yakin mereka bakal sadar pentingnya lingkungan,” jawabku dengan nada penuh semangat.

Akhirnya, setelah diskusi panjang, semua sepakat untuk mencoba. Kami mulai dengan aksi sederhana: membersihkan dan menghijaukan taman sekolah. Langkah kecil, tapi aku yakin ini adalah awal yang baik.

Hari Eksekusi
Pagi itu, halaman sekolah berubah jadi lebih ramai dari biasanya. Puluhan siswa berkumpul, membawa peralatan seperti cangkul kecil, sekop, dan kantong bibit bunga. Aku berdiri di tengah mereka, mengarahkan kegiatan bersama teman-teman OSIS lainnya.

“Nizam, nanti kamu koordinir teman-teman di area belakang sekolah, ya. Di sana banyak tanaman yang butuh perhatian,” kataku sambil memberikan peta area.
“Siap, Bos!” jawabnya sambil tersenyum lebar.

Kami mulai bekerja. Ada yang mencabut rumput liar, ada yang menanam bibit pohon, dan ada juga yang mengecat ulang pot-pot bunga yang warnanya sudah pudar. Di sela-sela itu, aku mencoba mendekati teman-teman yang awalnya terlihat malas-malasan.

“Fikri, kalau kamu ikut tanam ini, bayangin lima tahun lagi pohon ini bakal jadi peneduh di sekolah kita,” kataku mencoba memotivasi.
“Hmm… iya juga ya, Wan,” jawabnya sambil mengangkat sekop.

Semakin siang, suasana semakin seru. Lelah dan keringat seperti tidak terasa karena tawa dan obrolan terus mengalir di antara kami. Bahkan, Dea yang biasanya lebih suka duduk di kantin, ikut mengecat pot bunga dengan antusias.

“Aku nggak nyangka bakal seru kayak gini!” katanya sambil tersenyum.

Saat semuanya hampir selesai, aku berdiri di tengah halaman, melihat hasil kerja kami. Halaman sekolah yang tadinya terlihat biasa saja kini jadi lebih hidup. Pohon-pohon kecil yang kami tanam tersusun rapi, bunga-bunga baru mulai menghiasi taman, dan tempat sampah berwarna-warni kini ada di setiap sudut.

Namun, perjuangan hari itu belum selesai. Aku menyadari bahwa pekerjaan ini tidak akan berarti jika tidak ada keberlanjutan. Di sinilah tantangan sebenarnya dimulai.

Langkah Lebih Besar
Di akhir kegiatan, aku berkumpul dengan teman-teman OSIS untuk membahas langkah selanjutnya. “Aku nggak mau kita berhenti di sini,” kataku tegas.
“Apa rencanamu, Wan?” tanya Iqbal.

“Kita ajak sekolah-sekolah lain. Kita buat gerakan lingkungan hidup bersama-sama. Aku yakin, kalau kita bekerja sama, Surabaya bisa jadi lebih hijau.”

Mereka terdiam sejenak, lalu Dea angkat bicara, “Aku setuju. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?”

Dukungan itu menguatkan tekadku. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku yakin ini adalah hal yang harus dilakukan. Misi kecil yang dimulai dari Taman Bungkul kini telah berubah menjadi gerakan besar.

Saat pulang ke rumah sore itu, aku merasa lega tapi sekaligus tertantang. Dalam hati, aku berjanji untuk tidak menyerah. Aku akan terus melangkah, demi lingkungan, demi Surabaya, dan demi masa depan yang lebih baik.

 

Menjangkau Surabaya, Menyalakan Semangat

Hari itu, Surabaya diguyur hujan ringan. Aku menatap keluar jendela kamar, melihat butiran air meluncur perlahan di kaca. Hari ini adalah hari besar. Gerakan “Surabaya Asri” yang selama ini hanya ada di sekolahku akan mulai diperluas ke sekolah-sekolah lain. Kami akan mengadakan rapat dengan perwakilan OSIS dari tiga sekolah yang setuju untuk bergabung.

Aku merapikan ransel, memastikan dokumen dan rencana kegiatan sudah ada di dalamnya. “Jangan lupa makan dulu, Wan,” kata Ibu dari dapur.
“Siap, Bu! Doain lancar, ya,” jawabku sambil menyantap roti panggang yang disiapkannya.

Di ruang OSIS sekolah, teman-temanku sudah berkumpul. Iqbal, Dea, dan beberapa anggota OSIS lainnya terlihat sibuk menata tempat untuk rapat nanti. Aku mengambil napas panjang, mencoba menghilangkan kegugupan.

“Tenang, Wan. Kalau mereka setuju untuk datang, artinya mereka tertarik,” kata Iqbal mencoba menenangkanku.
“Iya, Bal. Tapi, aku cuma takut rencana ini nggak sesuai ekspektasi mereka,” jawabku.

Pertemuan yang Penuh Semangat
Tak lama kemudian, perwakilan dari tiga sekolah tiba. Mereka memperkenalkan diri satu per satu. Ada Raka dari SMA 7, Kirana dari SMA 9, dan Arsyad dari SMA 12. Masing-masing membawa aura percaya diri, tapi aku bisa merasakan mereka juga penasaran dengan rencana yang kami tawarkan.

Setelah semua duduk, aku mulai mempresentasikan ide “Surabaya Asri”. Dengan bantuan slide dan diagram, aku menjelaskan bagaimana gerakan ini bisa membawa dampak nyata, tidak hanya untuk sekolah kami, tapi juga untuk kota Surabaya secara keseluruhan.

“Kita mulai dari hal kecil,” kataku, menunjuk slide yang menampilkan foto taman sekolah kami setelah ditata ulang. “Kalau setiap sekolah berkontribusi, Surabaya bisa jadi lebih hijau. Kita bisa bikin taman-taman kota jadi lebih bersih, lebih nyaman untuk warga.”

Aku melanjutkan dengan rencana konkret: setiap sekolah akan mengambil satu lokasi di sekitar mereka untuk dibersihkan dan dihijaukan. Setiap bulan, kami akan melaporkan hasil kerja dan berbagi cerita inspiratif melalui media sosial bersama.

Awalnya, suasana rapat terasa kaku. Tapi saat aku menunjukkan foto-foto siswa kami yang tertawa saat bekerja di taman sekolah, suasana mulai mencair.

“Ini seru, sih,” kata Kirana sambil tersenyum. “Aku suka idenya. Tapi, gimana kalau nggak semua siswa mau ikut?”
“Di situlah tantangannya,” jawabku. “Tugas kita adalah menginspirasi mereka. Kalau mereka lihat hasilnya, aku yakin mereka bakal ikut.”

Raka menambahkan, “Aku setuju. Tapi kalau kita mau berhasil, kita harus bikin kegiatan ini lebih menarik. Mungkin tambahin lomba kecil atau kerja sama dengan komunitas lokal.”

Idenya langsung disambut antusias. Kami mulai brainstorming bersama, mencari cara agar gerakan ini bisa lebih menarik dan melibatkan banyak pihak.

Awal Perjuangan Nyata
Seminggu kemudian, kami memulai aksi pertama di salah satu taman kota kecil di Surabaya. Hari itu, aku, Iqbal, Dea, dan teman-teman dari tiga sekolah berkumpul di taman yang sudah lama tidak terawat. Sampah berserakan, tanaman layu, dan beberapa fasilitas rusak.

“Taman ini punya potensi, kok,” kata Arsyad sambil memegang cangkul kecil. “Kalau kita benerin, bisa jadi tempat yang bagus buat warga sekitar.”

Kami segera membagi tugas. Ada yang mencabut rumput liar, ada yang mengecat ulang bangku taman, dan ada yang memungut sampah. Aku dan Iqbal bertugas menggali lubang untuk menanam pohon baru.

Keringat mulai bercucuran, tapi semangat tak pernah surut. Bahkan, beberapa warga sekitar yang awalnya hanya menonton mulai bergabung membantu. Seorang ibu membawa termos teh hangat untuk kami.

“Terima kasih, Nak. Sudah mau peduli sama taman ini,” katanya dengan senyum hangat.
“Iya, Bu. Kami cuma ingin taman ini jadi lebih baik,” jawabku sambil tersenyum.

Ketika sore menjelang, taman yang tadinya suram berubah menjadi lebih hidup. Sampah sudah bersih, bangku-bangku tampak segar dengan cat barunya, dan beberapa pohon kecil kini tertanam rapi.

“Kita berhasil, Wan!” seru Iqbal sambil menepuk bahuku.
Aku hanya tersenyum, merasakan kebahagiaan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Semangat yang Menular
Hari itu, aku pulang dengan rasa puas. Namun, aku tahu perjuangan ini baru saja dimulai. Aku membuka media sosial dan mulai mengunggah foto-foto hasil kerja kami. Dalam hitungan jam, unggahan itu dibanjiri komentar positif. Bahkan, beberapa siswa dari sekolah lain mulai bertanya bagaimana cara mereka bisa bergabung.

Aku merasa optimis. Gerakan ini bukan hanya tentang lingkungan, tapi juga tentang menyatukan semangat anak muda untuk menciptakan perubahan nyata. Di balik lelah dan tantangan, ada kebahagiaan yang luar biasa ketika melihat hasil kerja keras kami memberikan manfaat untuk banyak orang.

Aku yakin, ini baru permulaan. Dengan semangat yang terus menyala, kami siap menjadikan Surabaya lebih hijau, satu langkah kecil demi langkah besar lainnya.

 

Langkah Kecil, Dampak Besar

Pagi itu, udara Surabaya terasa lebih segar dari biasanya. Seakan taman kecil yang kami hijaukan seminggu lalu telah menularkan energi positif ke seluruh kota. Aku berdiri di depan papan jadwal di ruang OSIS, menatap daftar kegiatan yang semakin padat. Rasanya seperti mimpi, melihat ide sederhana yang dulu cuma angan kini mulai tumbuh menjadi gerakan nyata.

Hari ini adalah momen besar. Kami akan menggelar Festival Hijau Surabaya, acara pertama yang melibatkan semua sekolah yang tergabung dalam gerakan “Surabaya Asri.” Ada pameran karya daur ulang, lomba kreativitas lingkungan, hingga penampilan seni dari masing-masing sekolah. Aku dan teman-teman sudah bekerja keras selama berminggu-minggu untuk memastikan acara ini berjalan lancar.

“Safwan, kamu yakin semua sudah siap?” tanya Iqbal sambil memeriksa daftar peralatan.
“Yakin, Bal. Kalau ada yang kurang, improvisasi aja. Yang penting semangatnya sampai,” jawabku dengan senyum penuh percaya diri.

Hari Festival Dimulai
Lapangan sekolah sudah dipenuhi tenda-tenda warna-warni. Papan besar bertuliskan “Festival Hijau Surabaya” berdiri gagah di pintu masuk, menyambut para peserta dan pengunjung. Aku berjalan ke tenda utama, memastikan setiap bagian acara berjalan sesuai rencana.

“Aku nggak nyangka bakal ramai gini, Wan,” kata Dea sambil memandangi kerumunan siswa yang antusias.
“Ini berkat kerja keras kita semua, Dea. Tapi perjuangan belum selesai. Kita harus pastikan pesan ini sampai ke semua orang,” jawabku.

Raka, Kirana, dan Arsyad datang bersama rombongan sekolah mereka, membawa karya-karya daur ulang yang menakjubkan. Dari tas berbahan plastik bekas hingga miniatur taman kota dari kaleng soda, semuanya dipamerkan dengan penuh kebanggaan.

Namun, yang membuatku paling terharu adalah melihat antusiasme para siswa. Beberapa dari mereka yang awalnya terlihat skeptis kini terlibat aktif, membantu menjelaskan konsep daur ulang kepada pengunjung. Bahkan, seorang siswa dari sekolah lain menghampiriku.

“Kak Safwan, aku mau gabung di gerakan ini. Gimana caranya?” tanyanya dengan mata berbinar.
Aku tersenyum lebar. “Langkah pertama, ajak teman-temanmu di sekolah. Kalau mereka setuju, kita bisa mulai proyek kecil di lingkungan kalian.”

Tantangan Tak Terduga
Tepat ketika acara berjalan lancar, langit Surabaya mulai mendung. Angin kencang bertiup, menggoyangkan tenda-tenda pameran. Aku melihat beberapa siswa panik mencoba menyelamatkan barang-barang mereka dari hujan yang mulai turun.

“Kita nggak bisa biarin ini berantakan, Wan!” seru Iqbal yang mulai basah kuyup.
“Iya, Bal. Semua orang, fokus amankan barang pameran dulu!” jawabku lantang.

Aku, Iqbal, dan teman-teman lainnya bergerak cepat, membantu menutup barang-barang dengan terpal. Hujan deras turun tanpa ampun, membuat beberapa area tergenang air. Tapi meskipun tubuh kami basah dan dingin, semangat tidak surut.

Saat hujan reda, lapangan terlihat berantakan. Tenda-tenda miring, beberapa karya daur ulang rusak terkena air. Aku menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk. Tapi kemudian, aku mendengar suara seseorang.

“Kita bisa beresin ini bareng-bareng, Kak Safwan,” kata Kirana sambil membawa pel sapu.
“Iya, kita nggak boleh nyerah!” tambah Arsyad dengan senyuman lebar.

Dalam waktu singkat, semua siswa yang hadir mulai bergerak. Mereka mengeringkan tenda, mengatur ulang barang pameran, dan memastikan acara tetap bisa dilanjutkan. Melihat kerja sama ini, aku merasa bangga. Ini bukan lagi sekadar acara OSIS, ini sudah menjadi milik semua orang.

Akhir yang Manis
Ketika matahari sore mulai muncul dari balik awan, suasana berubah. Lapangan kembali hidup dengan tawa dan semangat. Salah satu guru pembina bahkan memuji kami di depan para pengunjung.

“Kalian adalah bukti bahwa generasi muda Surabaya peduli pada lingkungan. Gerakan ini adalah langkah kecil, tapi dampaknya akan besar,” katanya dengan nada bangga.

Di penutupan acara, aku berdiri di panggung, memandang ratusan siswa yang hadir. Dengan mikrofon di tangan, aku berbicara dari hati.

“Terima kasih untuk kalian semua. Apa yang kita lakukan hari ini adalah bukti bahwa perubahan itu mungkin. Tidak peduli seberapa kecil langkah kita, jika dilakukan bersama, pasti akan membawa hasil. Surabaya adalah rumah kita, dan tugas kita menjaganya tetap hijau dan asri.”

Tepuk tangan membahana, membuat dadaku terasa penuh haru. Ini adalah momen yang tidak akan pernah kulupakan.

Gerakan yang Terus Hidup
Setelah festival itu, gerakan “Surabaya Asri” semakin besar. Banyak sekolah baru yang bergabung, dan dukungan datang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah kota. Bahkan, taman kecil yang kami rawat sebelumnya kini menjadi simbol perjuangan kami, sering digunakan untuk acara komunitas.

Aku tahu, perjalanan ini masih panjang. Tapi dengan semangat dan dukungan semua orang, aku percaya kami bisa membuat Surabaya menjadi kota yang lebih baik.

Dan untukku, perjuangan ini bukan hanya tentang lingkungan. Ini adalah pelajaran hidup tentang kerja sama, kepedulian, dan bagaimana setiap langkah kecil bisa membuat perubahan besar.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerpen ini adalah bukti kalau perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil, bahkan oleh seorang anak SMA seperti Safwan. Lewat perjuangannya, kita diajak untuk lebih peduli pada lingkungan sekitar, tidak hanya untuk sekarang, tapi juga untuk masa depan. Yuk, kita jadikan cerita ini inspirasi untuk mulai menjaga bumi, dimulai dari hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan hari ini! Kalau Safwan bisa, kenapa kita nggak?

Leave a Reply