Daftar Isi
Hai semua, Siapa yang tidak pernah merasa menyesal karena tidak bisa menghargai waktu dengan orang tersayang? Dalam cerpen penuh emosi berjudul “Menghargai Waktu,” kita akan diajak menyelami kisah Ela, seorang remaja SMA yang terpaksa menghadapi kenyataan pahit ketika ibunya jatuh sakit.
Cerita ini mengajarkan kita tentang betapa berharganya setiap detik yang kita habiskan bersama orang tercinta, dan bagaimana penyesalan sering kali datang terlambat. Yuk, baca selengkapnya dan rasakan sendiri perjalanan Ela yang penuh perjuangan dan air mata.
Penyesalan Ela yang Terlambat
Terjebak Dalam Kesibukan
Pagi itu, matahari baru saja terbit, menyemburatkan cahaya oranye di langit yang masih berselimutkan sisa-sisa embun. Ela terbangun dengan tergesa-gesa, seperti biasanya. Alarm yang sudah berdering tiga kali pun masih tak mampu membuatnya bangun lebih awal. Dengan mata setengah terbuka, ia meraih ponselnya dan terkejut melihat waktu yang sudah mendekati jam masuk sekolah.
“Ya ampun! Sudah jam tujuh!” serunya panik.
Ela melompat dari tempat tidurnya, meraih seragam yang terlipat asal di kursi, lalu buru-buru menggosok gigi dan membasuh wajah. Tanpa sempat memeriksa penampilannya di cermin, ia langsung mengambil tas sekolah yang setengah terbuka dan berlari keluar kamar.
Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan sarapan seperti biasa nasi goreng hangat dengan telur mata sapi, lengkap dengan segelas teh manis yang mengepul. Aroma harum itu memenuhi ruang makan kecil mereka, namun Ela tak memperhatikannya. Ia hanya fokus pada jam dinding yang terus bergerak tanpa ampun.
“Ela, sarapan dulu, Nak,” panggil ibunya dengan suara lembut.
Ela berhenti sejenak di ambang pintu, memandangi ibunya yang duduk di meja makan dengan tatapan penuh harap. Namun waktu terus mendesak, dan Ela merasa tak punya pilihan lain selain menolak.
“Maaf, Bu, Ela harus buru-buru. Nanti keburu terlambat!” Ela menjawab sambil tergesa-gesa mengenakan sepatunya. Ia berlari ke pintu, meninggalkan ibunya yang menatapnya dengan senyum tipis yang terlihat sedikit dipaksakan.
“Baiklah, hati-hati di jalan, ya,” jawab ibunya lirih.
Ela tidak sempat lagi mendengarnya. Ia sudah keluar dari rumah, berlari menuju halte bus. Di dalam pikirannya, hanya ada kekhawatiran akan tugas yang belum selesai dan janji dengan teman-temannya setelah sekolah. Sarapan bersama ibu? Ah, itu nanti saja, pikirnya. Toh, hari ini pasti berlalu seperti hari-hari sebelumnya sibuk dan penuh kegiatan.
Sesampainya di sekolah, Ela langsung disambut oleh teman-teman dekatnya. Mereka sudah menunggu di depan gerbang dengan senyum lebar dan canda tawa yang sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Ela memang dikenal sebagai pusat kebahagiaan di kelompok itu. Teman-temannya selalu senang berada di sekitarnya karena Ela mampu menghidupkan suasana dengan mudah.
“Ela Kamu telat lagi ya?” canda Rika, salah satu sahabatnya, sambil tertawa.
Ela tertawa kecil. “Biasalah, aku kan selalu sibuk. Tapi jangan khawatir, aku nggak pernah terlambat buat kalian!”
Mereka tertawa bersama, dan Ela pun larut dalam kebersamaan itu. Sekolah berjalan seperti biasa, penuh dengan pelajaran, tugas, dan tawa di sela-sela kelas. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang terus ia abaikan waktu yang tak pernah ia habiskan untuk dirinya sendiri dan keluarganya.
Setelah sekolah, Ela dan teman-temannya berkumpul di kantin untuk makan siang bersama. Mereka membicarakan banyak hal, dari rencana liburan hingga gosip terbaru di sekolah. Waktu berlalu tanpa terasa, dan saat matahari mulai condong ke barat, barulah Ela merasa sedikit lelah.
Namun, bukannya pulang, Ela justru mengikuti teman-temannya ke rumah Rika untuk mengerjakan tugas kelompok. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di sana, tenggelam dalam obrolan dan canda, hingga akhirnya malam tiba.
Ketika Ela akhirnya pulang ke rumah, jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Rumah kecil itu tampak sunyi. Tak ada suara televisi yang biasanya dinyalakan oleh ibunya. Hanya ada lampu ruang tamu yang redup menyambutnya. Ela melepaskan sepatu dan dengan langkah lelah, ia masuk ke dalam rumah.
Di meja makan, piring nasi goreng yang tadi pagi ditinggalkannya masih ada, kini dingin dan tak tersentuh. Ela menghela napas panjang. Ia tahu ibunya pasti menunggu lama sebelum akhirnya menyerah dan makan sendirian. Hati kecilnya terasa sedikit sesak, tapi lagi-lagi ia mengabaikan perasaan itu. Ela terlalu terbiasa dengan rutinitasnya yang padat hingga tak lagi peduli pada hal-hal kecil seperti ini.
Ia berjalan menuju kamar ibunya dan melihat pintu yang sedikit terbuka. Di balik pintu itu, ibunya sudah tertidur, wajahnya tampak tenang dalam tidur yang damai. Ela berdiri di sana sejenak, memandangi sosok yang begitu ia cintai namun sering ia lupakan. Pikirannya penuh dengan hal-hal yang ingin ia katakan permintaan maaf, janji untuk meluangkan lebih banyak waktu tetapi bibirnya tetap tertutup.
Akhirnya, Ela hanya tersenyum kecil, meski dalam hatinya ada sesuatu yang mengganggu. Ia menutup pintu dengan pelan dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Dalam keheningan malam itu, Ela berbaring di tempat tidurnya, berpikir tentang bagaimana hari-harinya berlalu begitu cepat, seperti detik-detik yang tak pernah ia sadari.
Namun, di tengah kesibukannya yang terus-menerus, Ela belum menyadari bahwa waktu tak akan selalu berpihak padanya. Sesuatu yang ia anggap remeh hari ini, mungkin akan menjadi penyesalan besar di kemudian hari. Tapi malam itu, Ela terlalu lelah untuk memikirkannya lebih dalam.
Dan begitu, hari itu pun berlalu, sama seperti hari-hari sebelumnya Ela terjebak dalam kesibukannya sendiri, tanpa menyadari bahwa waktu yang ia abaikan akan segera menjadi harta yang tak ternilai.
Isyarat Halus dari Ibu
Pagi kembali datang dengan cerahnya, namun berbeda dengan biasanya, ada keheningan yang aneh di rumah Ela. Ia bangun sedikit lebih awal hari itu, meskipun tetap terburu-buru seperti biasanya. Saat keluar dari kamar, ia menemukan ibunya yang sedang duduk di meja makan, matanya menatap keluar jendela dengan tatapan yang jauh. Di meja, ada sepiring nasi goreng hangat yang sudah disiapkan seperti biasa. Namun kali ini, ibunya tidak lagi memanggilnya untuk sarapan.
Ela mendekati meja makan, meraih roti yang terletak di piring kecil di sebelah nasi goreng. “Bu, Ela berangkat dulu, ya. Nanti pulangnya sore, ada kegiatan ekstra,” katanya cepat, sembari menggigit roti dan meraih tasnya.
Ibu menoleh, tersenyum tipis. “Iya, hati-hati ya, Nak. Jangan lupa makan siang, jangan terlalu sibuk sampai lupa istirahat.”
Ela mengangguk tanpa benar-benar mendengarkan, lalu berlari keluar rumah. Kembali, ia melewatkan momen itu momen ketika ibunya berusaha untuk berbicara lebih banyak, lebih lama dengannya. Ada nada lelah dalam suara ibunya, namun Ela terlalu sibuk untuk menyadarinya.
Di sekolah, hari-hari Ela berjalan seperti biasa. Teman-temannya yang ceria, obrolan yang tak ada habisnya, dan tugas-tugas yang terus datang silih berganti. Ela menikmati setiap momen di sekolah, merasa bahwa hidupnya penuh warna dan kesibukan. Waktu berlalu begitu cepat, dan ia seolah tak pernah kehabisan energi untuk berlari mengejar semuanya.
Namun, di tengah semua kesibukannya, Ela mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Beberapa kali, ia melihat ibunya tampak lebih lemah daripada biasanya. Pagi-pagi, saat Ela buru-buru keluar dari rumah, ibunya sering duduk lebih lama di meja makan, tampak terdiam sambil memandangi secangkir teh yang mulai mendingin.
Setiap kali Ela pulang larut malam, ibunya sudah tertidur lebih awal, tak lagi menunggunya di ruang tamu seperti dulu. Kadang-kadang Ela mendapati lampu ruang tamu masih menyala, namun ibunya tidak ada di sana. Hanya bayangan tubuhnya yang terlelap di kamar, tampak lebih rapuh dari hari ke hari.
Ela merasa ada yang tidak beres, namun ia selalu menenangkan diri dengan pikiran bahwa ibunya hanya lelah. Mungkin usia yang mulai menua membuatnya lebih cepat lelah, pikir Ela. Lagi pula, ibunya tak pernah mengeluh. Setiap kali Ela bertanya, ibunya selalu menjawab dengan senyum hangat dan berkata, “Ibu baik-baik saja, Nak. Jangan khawatir.”
Namun suatu hari, saat Ela sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, ia mendengar batuk ibunya yang terdengar dari dalam kamar. Batuk itu terdengar berat dan penuh perjuangan, seolah ada sesuatu yang tertahan di dalamnya. Ela menghentikan kegiatannya sejenak, berdiri di depan pintu kamar ibunya, mendengarkan dengan cemas.
“Ibu? Ibu nggak apa-apa?” tanyanya ragu.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka perlahan, dan ibunya muncul dengan senyum yang, meski lemah, tetap menenangkan. “Ibu baik-baik saja, Nak. Hanya batuk biasa, mungkin karena cuaca dingin.”
Ela mengangguk, meski dalam hatinya merasa tidak sepenuhnya yakin. Ia mendekati ibunya, memperhatikan wajahnya yang tampak lebih pucat dari biasanya. “Bu kalau Ibu lagi nggak enak badan bilang ya. Jangan dipaksa.”
Ibunya mengusap kepala Ela lembut. “Iya, Ela. Jangan khawatir. Kamu fokus saja sama sekolahmu, ya. Ibu cuma butuh istirahat sedikit.”
Ela tersenyum kecil, merasa lega mendengar jawaban ibunya. Namun, di balik senyuman itu, ada kegelisahan yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Kegelisahan yang ia coba abaikan, berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Hari itu, Ela kembali menjalani rutinitasnya di sekolah. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Saat teman-temannya bercanda dan tertawa, pikiran Ela melayang-layang ke rumah, membayangkan ibunya yang mungkin sedang berbaring lemah. Beberapa kali Ela melihat jam, berharap waktu berjalan lebih cepat agar ia bisa segera pulang.
Ela mencoba mengusir kegelisahan itu dengan berpikir positif. “Ibu pasti baik-baik saja,” bisiknya pada diri sendiri. “Ibu selalu kuat.”
Namun, di lubuk hatinya yang terdalam, Ela tahu bahwa ada sesuatu yang berubah. Isyarat-isyarat halus yang selama ini ia abaikan kini mulai muncul ke permukaan. Ela mulai teringat pada momen-momen kecil yang dulu sering ia lewati tatapan ibunya yang penuh arti saat ia terlalu sibuk untuk sarapan bersama, senyum lelah yang selalu menenangkan, dan suara batuk yang semakin sering terdengar.
Ketika sore tiba, Ela memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin memastikan bahwa ibunya benar-benar baik-baik saja. Namun, saat Ela tiba di rumah, ia menemukan ibunya sedang duduk di ruang tamu, tampak lebih tenang dan tersenyum menyambutnya. Sejenak, Ela merasa lega.
“Ibu kelihatan lebih baik,” kata Ela sambil duduk di sebelah ibunya.
Ibunya mengangguk. “Iya, Nak. Ibu sudah merasa lebih baik. Kamu nggak usah khawatir, ya.”
Ela mengangguk, meski di dalam hatinya masih tersisa sedikit kekhawatiran. Namun, melihat senyum ibunya, Ela mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia kembali larut dalam rutinitasnya, sekali lagi mengabaikan isyarat-isyarat halus yang berusaha memberitahunya sesuatu.
Hari-hari berlalu, dan Ela kembali sibuk dengan kehidupan sekolah dan teman-temannya. Ia mencoba melupakan kekhawatirannya, berpikir bahwa selama ibunya terus tersenyum dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, maka tidak ada yang perlu dirisaukan.
Namun, Ela tak menyadari bahwa waktu terus berjalan. Dan waktu itu, seperti yang sering kali ia abaikan, tak akan pernah bisa diulang kembali.
Kejatuhan yang Tak Terelakkan
Waktu berjalan dengan kecepatan yang terkadang menyilaukan. Ela tetap larut dalam rutinitasnya yang sibuk, sementara ibunya, meskipun semakin sering batuk dan terlihat lebih pucat dari sebelumnya, tetap tersenyum. Setiap pagi, ibunya masih menyiapkan sarapan dan mengantarkan Ela ke pintu dengan tatapan penuh cinta. Ela menerima semua itu dengan biasa saja, seperti angin yang berhembus, hadir namun tak terlihat.
Hari-hari berlalu, dan Ela semakin sibuk dengan kegiatan sekolah dan ekstrakurikuler. Teman-temannya mengajak keluar, belajar bersama, dan sesekali pergi ke acara-acara yang sedang populer di kalangan anak-anak sekolah. Ela adalah pusat perhatian di lingkarannya senyum cerahnya yang selalu menarik, candaan yang tak pernah habis, dan sikap ceria yang membuat siapa pun ingin berada di sekitarnya.
Namun, di balik semua itu, ada kegelisahan yang terus tumbuh di dalam hatinya, tak terabaikan. Setiap malam saat ia pulang dan melihat ibunya tertidur lebih awal, atau mendengar batuk ibunya yang terdengar berat, perasaan khawatir itu semakin menguat. Tapi seperti biasa, Ela selalu mengabaikannya. Ia meyakinkan dirinya bahwa ibunya akan baik-baik saja. Bukankah ibunya selalu bilang begitu?
Suatu pagi yang mendung, Ela sedang terburu-buru untuk pergi ke sekolah seperti biasa. Ketika ia hendak keluar rumah, ia mendengar suara ibunya memanggil dari kamar.
“Ela… bisa ke sini sebentar?”
Ela berhenti sejenak. Suara ibunya terdengar lebih lemah dari biasanya, namun ia mengabaikan kekhawatirannya dan berjalan menuju kamar ibunya. Di sana, ibunya terbaring di tempat tidur, wajahnya pucat dan ada lingkaran hitam di bawah matanya. Ela tertegun, tidak pernah melihat ibunya seburuk ini.
“Ibu, Ibu kenapa? Apa sakit? Harus ke dokter, Bu!” Ela langsung panik dia duduk di pinggir tempat tidur sambil menggenggam tangan ibunya yang sudah terasa dingin.
Ibunya tersenyum lembut, meskipun jelas terlihat kelelahan di matanya. “Ibu cuma sedikit capek, Nak. Mungkin flu saja. Tapi nanti setelah kamu pulang sekolah, kita bisa ke dokter, ya?”
Ela mengangguk, meskipun hatinya tak tenang. Ia ingin membatalkan semua kegiatannya hari itu dan menemani ibunya, namun ibunya menatapnya dengan penuh pengertian. “Kamu nggak usah khawatir, Nak. Ibu akan baik-baik saja. Pergilah ke sekolah, nanti Ibu istirahat.”
Dengan berat hati, Ela pergi ke sekolah. Sepanjang hari, pikirannya melayang-layang, tak bisa fokus pada pelajaran. Senyum ceria yang biasanya selalu menghiasi wajahnya kini tergantikan dengan tatapan kosong dan kekhawatiran yang terus menghantui. Teman-temannya bertanya, namun Ela hanya menjawab dengan singkat bahwa ibunya sedang kurang sehat.
Setelah sekolah, Ela buru-buru pulang. Sesuatu dalam dirinya mendesak untuk segera sampai di rumah. Ia berlari melewati jalan-jalan yang biasanya ia lewati dengan santai, merasakan detak jantungnya yang berdetak kencang karena kecemasan. Begitu tiba di rumah, ia menemukan pintu depan terbuka. Ela merasa ada yang tidak beres.
“Ibu?” Ela memanggil sambil masuk ke dalam rumah. Tidak ada jawaban.
Dengan langkah cepat, Ela menuju kamar ibunya. Namun saat ia sampai di sana, ia menemukan tempat tidur ibunya kosong. Hatinya semakin panik. Ela berlari ke dapur, dan di sanalah ia menemukan ibunya. Namun, pemandangan itu membuat dadanya sesak.
Ibunya tergeletak di lantai dapur, dengan secangkir teh yang terjatuh di sampingnya. Wajahnya begitu pucat, dan matanya tertutup rapat. Ela berlari mendekat, mengguncang tubuh ibunya dengan panik. “Ibu! Ibu bangun, Bu! Jangan tinggalin Ela, Bu!” Suaranya bergetar, nyaris tak keluar dari tenggorokannya.
Tangannya gemetar saat mencoba membangunkan ibunya. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, dan ia merasa seperti tenggelam dalam ketakutan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Detik-detik berlalu, tapi ibunya tak kunjung membuka mata.
Ela akhirnya teringat untuk menelepon ambulans, dan dengan tangan gemetar, ia menghubungi nomor darurat. Kata-kata tersendat di tenggorokannya saat ia memberitahu petugas tentang keadaan ibunya. Ambulans tiba dengan cepat, dan dalam kekacauan itu, Ela hanya bisa berdiri terpaku, memandangi tubuh ibunya yang dibawa keluar rumah.
Di rumah sakit, Ela duduk di kursi tunggu dengan wajah penuh kecemasan. Waktu terasa berhenti, seolah-olah dunia di sekitarnya menjadi sunyi. Setiap detik berlalu dengan menyiksa, dan pikirannya dipenuhi dengan bayangan ibunya yang tergeletak lemah di lantai dapur.
Dokter akhirnya keluar dari ruang gawat darurat, dan saat Ela melihat tatapan serius di wajah dokter itu, hatinya terasa runtuh. “Dok, bagaimana kondisi Ibu saya?” tanyanya dengan suara bergetar.
Dokter menghela napas panjang sebelum menjawab. “Ibumu mengalami kelelahan ekstrem dan sudah cukup lama mengalami infeksi di paru-parunya. Ini mungkin sudah berlangsung selama beberapa waktu tanpa penanganan medis yang tepat. Kami akan melakukan yang terbaik, tapi kondisinya cukup kritis.”
Ela merasa dunia di sekitarnya runtuh. Infeksi paru-paru? Kelelahan ekstrem? Bagaimana mungkin ia tak pernah menyadari semua itu? Bagaimana mungkin ia, yang tinggal serumah dengan ibunya, bisa begitu buta akan kondisi ibunya sendiri?
“Kenapa… kenapa Ibu nggak pernah bilang apa-apa?” Ela berbisik pada dirinya sendiri bahwa dia merasa begitu bersalah. Semua momen yang terlewati, semua kesempatan yang ia abaikan untuk berbicara lebih lama dengan ibunya, semua itu kini menghantamnya dengan keras.
Ela mencoba menenangkan diri, meskipun di dalam hatinya ada rasa bersalah yang begitu besar. Ia menunggu dengan cemas di luar ruang perawatan intensif, berharap ada keajaiban yang akan terjadi. Namun di saat yang sama, ia tahu bahwa ia telah melewatkan begitu banyak waktu berharga bersama ibunya waktu yang tidak akan pernah bisa kembali.
Saat malam semakin larut, Ela akhirnya diizinkan masuk ke ruangan tempat ibunya dirawat. Ia mendekati tempat tidur, melihat ibunya yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Wajah ibunya begitu tenang, namun kelelahan yang ia derita begitu jelas terlihat.
Ela duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Air mata tak bisa ia tahan lagi. “Ibu… maafkan Ela. Ela terlalu sibuk sampai nggak sadar kalau Ibu sakit. Ela terlalu sibuk dengan dunia Ela sendiri sampai nggak pernah nanya Ibu gimana… Maafkan Ela, Bu…”
Ela terus menangis, merasakan betapa besar cinta ibunya selama ini cinta yang begitu tenang, tanpa tuntutan, tanpa keluhan. Semua momen yang dulu ia anggap biasa saja, kini terasa begitu berharga. Ela berjanji dalam hati, jika ibunya sembuh, ia akan menghargai setiap detik bersama ibunya, tak akan pernah lagi mengabaikan kehadiran sosok yang selama ini selalu ada untuknya.
Namun, di saat yang sama, Ela tahu bahwa keajaiban tidak selalu datang. Dan itulah yang paling menakutkan baginya.
Menghargai Detik Terakhir
Ela terjaga sepanjang malam di rumah sakit, duduk di samping tempat tidur ibunya yang terbaring lemah. Waktu terasa begitu lambat, seakan dunia di sekitarnya berjalan dengan ritme yang berbeda. Di ruangan itu, hanya ada suara mesin monitor jantung yang berdetak pelan dan napas ibunya yang berat. Rasanya seperti Ela sedang menjalani mimpi buruk yang tak pernah ia duga akan datang begitu cepat.
Setiap detik yang berlalu kini terasa begitu berharga. Ela menggenggam tangan ibunya erat-erat, merasakan dinginnya kulit yang dulu hangat saat menepuk punggungnya, mengelus rambutnya, atau sekadar menyentuh wajahnya ketika Ela kecil sedang menangis. Air mata yang sempat berhenti kembali mengalir ketika kenangan-kenangan masa kecil itu menghampirinya. Seolah-olah, momen-momen itu datang untuk mengingatkannya akan betapa banyak yang telah ia lewatkan.
“Ibu, Ela di sini, Bu…” bisik Ela lembut, meskipun ia tahu bahwa ibunya mungkin tidak bisa mendengarnya lagi. Tapi harapan itu tak pernah hilang. Ia tetap berbicara, tetap berharap bahwa suara dan kehadirannya bisa mencapai ibunya di suatu tempat yang jauh di dalam alam bawah sadarnya.
Ela teringat pada betapa kuat dan mandirinya ibunya selama ini. Ibunya selalu menjadi tempatnya pulang, meskipun Ela sering tak menyadari betapa ibunya telah berkorban. Dulu, ibunya selalu mengantar Ela ke sekolah, menunggunya di gerbang sekolah saat hujan turun deras, memastikan bahwa Ela selalu makan dengan baik, dan mengurus segala hal tanpa pernah mengeluh. Ela merasa begitu kecil di hadapan besarnya cinta ibunya yang ia anggap remeh selama ini.
“Ibu… maafkan Ela. Maafkan Ela yang nggak pernah peka, yang terlalu sibuk sama hidup sendiri… Ibu pasti capek banget ya, Bu? Tapi Ibu selalu bilang kalau semuanya baik-baik aja. Kenapa Ibu nggak bilang kalau Ibu sakit?” Ela menangis tersedu-sedu, suara tangisannya menyatu dengan bunyi mesin yang masih berdetak pelan di sampingnya. Hatinya begitu sakit, penuh dengan rasa bersalah yang menggerogoti setiap bagian dari dirinya.
Jam menunjukkan pukul dua pagi, dan perawat yang bertugas datang memeriksa kondisi ibunya. Ela memandang perawat itu dengan penuh harapan, berharap ada kabar baik yang bisa sedikit menenangkan hatinya. Namun, ekspresi wajah perawat itu tetap tenang, seolah tak ada perubahan signifikan yang terjadi.
“Ibumu masih dalam kondisi yang stabil tapi kita harus tetap bisa memantau dalam kondisinya dengan cermat. Kamu harus tetap jadi kuat ya,” kata perawat itu dengan lembut sebelum keluar dari ruangan.
Ela hanya bisa mengangguk pelan. Kata-kata perawat itu tak benar-benar memberikan ketenangan. Ia tahu betul bahwa stabil bukan berarti pulih. Dan di setiap detik yang berlalu, harapannya mulai terkikis oleh kenyataan yang begitu menakutkan.
Saat pagi tiba, Ela belum juga tidur. Matanya merah dan bengkak karena menangis sepanjang malam, namun ia tak peduli. Yang ia pedulikan hanyalah ibunya, yang masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur. Ela merasa seperti sedang berperang dengan waktu setiap detik yang berlalu terasa seperti musuh yang semakin mendekat, mengancam untuk merampas ibunya dari sisinya.
Saat dokter datang untuk melakukan pemeriksaan rutin, Ela bangkit dari kursinya dan berdiri di dekat pintu, menahan napas saat dokter memeriksa kondisi ibunya. Waktu seakan berhenti saat dokter itu mengangguk kecil dan keluar dari ruangan. Ela mengejarnya, penuh dengan kegelisahan.
“Dokter, bagaimana kondisi Ibu saya? Apa ada perubahan?” tanyanya dengan nada suara yang bergetar yang hampir tak sanggup mendengar jawabannya.
Dokter itu memandang Ela dengan penuh simpati. “Kondisi ibumu masih kritis dan kami akan terus bisa melakukan yang terbaik untuk menstabilkan keadaannya. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah memberikan waktu agar tubuhnya bisa merespons perawatan yang diberikan.”
Waktu. Ela merasa terluka mendengar kata itu. Waktu yang selama ini ia abaikan, yang tak pernah ia hargai. Sekarang, justru waktu yang ia harapkan lebih dari segalanya waktu yang bisa memberi ibunya kesempatan untuk bertahan, waktu yang bisa memberinya kesempatan untuk meminta maaf, untuk memperbaiki semua kesalahan yang telah ia buat.
Ela kembali ke kamar ibunya dan duduk lagi di samping tempat tidurnya. Tangannya tak lepas dari tangan ibunya, seolah-olah dengan memegangnya, ia bisa menjaga ibunya tetap berada di sisinya. Ela tak lagi peduli pada hal-hal lain teman-temannya, sekolah, atau aktivitas yang dulu selalu menyita perhatiannya. Saat ini, hanya ada satu hal yang penting baginya, yaitu ibunya.
Beberapa hari berlalu dengan lambat, namun tak ada perubahan yang berarti pada kondisi ibunya. Ela merasa semakin putus asa, namun di dalam hatinya, ia terus berjuang untuk tetap kuat. Setiap kali rasa takut dan cemas menguasai pikirannya, ia berusaha mengingat senyum ibunya senyum yang selalu membuatnya merasa aman, senyum yang kini ia rindukan lebih dari apa pun.
Suatu malam, ketika hujan turun deras di luar jendela rumah sakit, Ela terjaga dari tidurnya yang tak nyenyak. Ia masih di samping ibunya, seperti biasa. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ela merasa tangan ibunya bergerak sedikit di genggamannya. Ela terkejut dan langsung duduk tegak, matanya menatap wajah ibunya dengan penuh harap.
“Ibu… Ibu bisa dengar Ela?” bisik Ela dan berharap bahwa ibunya akan bisa membuka mata dan menjawab.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ibunya perlahan membuka matanya. Ela tak bisa menahan air mata yang kembali mengalir. Meskipun ibunya masih terlihat sangat lemah, tapi mata itu mata yang selalu penuh dengan cinta kini menatapnya dengan lembut.
“Ibu… Ela di sini, Bu. Maafkan Ela… maafkan semua kesalahan Ela,” ujar Ela dengan suara yang penuh emosi.
Ibunya tersenyum tipis, meskipun tampak jelas betapa lelahnya ia. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berkata, “Ibu… selalu… sayang kamu, Nak. Jangan… jangan salahkan… diri sendiri.”
Kata-kata itu terasa seperti pelukan hangat di tengah dinginnya malam yang penuh kecemasan. Ela menangis lagi, namun kali ini ada rasa lega yang menyertai air matanya. Meskipun ibunya masih sangat lemah, kehadirannya memberikan secercah harapan bagi Ela.
“Ibu… Ela akan selalu ada di sini. Ela nggak akan pernah meninggalkan Ibu. Kita akan melalui ini bersama-sama, Bu,” ujar Ela sambil terus menggenggam tangan ibunya erat-erat.
Hari-hari berikutnya terasa seperti pertarungan yang tiada henti. Kondisi ibunya berangsur-angsur membaik, meskipun sangat lambat. Setiap kemajuan kecil seperti ibunya yang bisa makan sedikit atau duduk di tempat tidur dengan bantuan terasa seperti kemenangan besar bagi Ela. Dan meskipun perjalanan ini penuh dengan ketidakpastian, Ela tak lagi merasa sendirian. Kini, ia lebih menghargai setiap detik yang ia habiskan bersama ibunya. Setiap tatapan, setiap senyuman, setiap kata yang keluar dari mulut ibunya terasa begitu berharga.
Ela tahu bahwa perjuangannya belum selesai. Ibunya masih harus menjalani perawatan panjang, dan mungkin tidak akan pernah sepenuhnya pulih seperti dulu. Tapi Ela telah belajar sesuatu yang sangat penting bahwa waktu adalah hal yang paling berharga yang kita miliki, dan kita tak pernah tahu kapan waktu itu akan habis.
Kini, Ela tak lagi ingin mengabaikan hal-hal kecil yang dulu ia anggap sepele. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan selalu ada untuk ibunya, menghargai setiap momen yang mereka miliki bersama, dan tak akan pernah lagi mengulangi kesalahan yang sama.
Ela mengerti bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai dengan rencana, tapi ia juga tahu bahwa selama ia memiliki cinta dan dukungan dari orang-orang terdekatnya, ia akan bisa melalui semua rintangan. Dan dalam perjalanan panjang ini, ia belajar bahwa menghargai waktu bukan hanya tentang menjalani hari dengan bijak, tapi juga tentang memberikan perhatian pada orang-orang yang paling kita cintai, sebelum semua itu terlambat.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita Cerpen tentang “Menghargai Waktu” mengingatkan kita bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian, dan kita tidak pernah tahu kapan waktu kita dengan orang tersayang akan habis. Perjalanan Ela bersama ibunya adalah pengingat yang kuat untuk lebih menghargai setiap momen kecil dalam hidup kita. Jadi, sebelum penyesalan menghampiri, luangkan waktu untuk mereka yang berarti dalam hidupmu. Setelah membaca kisah Ela, kamu pasti akan lebih sadar betapa berharganya setiap detik yang kita miliki.