Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Kehilangan orang yang kita cintai adalah salah satu pengalaman hidup yang paling menyakitkan. Begitu juga yang dialami oleh Natya, seorang anak SMA yang sangat aktif dan gaul, yang harus menghadapi kenyataan pahit saat ibunya sakit parah.
Dalam cerpen ini, kamu akan dibawa untuk merasakan emosi mendalam yang penuh perjuangan, cinta, dan perpisahan yang tak terhindarkan. Natya berjuang tidak hanya untuk menjaga Ibu tetap kuat, tetapi juga untuk merelakan kepergian yang membuat hidupnya berubah selamanya. Simak kisah penuh haru ini yang mengajarkan kita tentang kekuatan cinta dan ikhlas dalam menghadapi kehilangan.
Kisah Pilu Natya Merawat Ibu yang Sakit di Tengah Hidup Remajanya
Senyuman di Balik Kesedihan
Aku selalu dikenal sebagai gadis yang ceria. Di sekolah, teman-teman suka memanggilku dengan berbagai julukan, dan aku tak keberatan. Semuanya terasa ringan, seperti angin yang membelai kulit di tengah hari yang panas. Aku selalu berusaha menjadi pusat perhatian, tertawa lepas, mengikuti tren terbaru, dan menjadi bagian dari semua kegiatan. Itulah yang mereka katakan tentangku anak gaul yang tak pernah lepas dari tawa.
Tapi tak ada yang tahu bahwa di balik senyum lebar yang selalu terukir di wajahku, ada rasa takut yang semakin hari semakin menggerogoti. Tak ada yang tahu tentang Ibu.
Ibu adalah segala-galanya bagiku. Sejak ayah bekerja jauh di luar kota, aku dan Ibu selalu berdua. Ibu adalah teman terbaikku, pendengar yang paling sabar, dan pelindung yang selalu ada. Kami berbagi banyak hal, dari cerita harian yang tak pernah habis, hingga rencana masa depan yang penuh harapan. Ibu adalah orang yang selalu memberiku semangat, membimbingku di setiap langkah hidup. Ketika aku terjatuh, Ibu selalu ada untuk bisa membantu aku bangkit.
Namun, belakangan ini, ada yang berubah. Ibu, yang biasanya enerjik dan penuh semangat, mulai terlihat berbeda. Dia sering terlihat lemas, pusing, dan tidak lagi memasak makanan kesukaanku seperti dulu. Suatu hari, aku mendapati Ibu duduk di meja makan dengan mata yang tampak sayu. Dia memegang cangkir teh, tetapi tidak meneguknya sama sekali.
“Ibu, kenapa nggak makan?” tanyaku, mencoba terdengar ringan meski hatiku sedikit gelisah.
Ibu tersenyum, senyuman yang terasa dipaksakan, dan menjawab, “Ibu cuma capek, Nat. Kamu nggak usah khawatir, kok.”
Aku menatap Ibu dengan penuh curiga, merasakan ada sesuatu yang sedang tidak beres. Ibu memang selalu berkata seperti itu bahwa ia capek, lelah, atau hanya butuh istirahat. Tapi belakangan ini, kata-kata itu terasa lebih sering keluar dari mulutnya. Dan yang lebih menakutkan, senyumnya senyum yang selalu membuatku merasa aman tidak lagi secerah dulu. Seolah ada bayangan gelap yang menghantuinya, meskipun ia berusaha keras menyembunyikannya dariku.
Hari-hari berlalu, dan keadaan Ibu semakin buruk. Ia mulai sering tidur di siang hari, jarang berbicara, dan tubuhnya terlihat semakin kurus. Aku mulai merasa terasing dari sosok ibu yang selalu penuh energi. Aku tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan biasa yang sedang terjadi, tapi aku takut untuk bertanya lebih jauh. Takut jika aku mengetahui kenyataan yang tidak ingin kuhadapi.
Suatu sore, setelah pulang sekolah, aku menemukan Ibu terjatuh di dapur. Wajahnya pucat, tubuhnya tampak lemah, dan nafasnya terengah-engah. Hatiku berdebar sangat cepat, seolah semua yang ada di sekitarku berputar. Aku berlari menghampirinya, menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan panik.
“Ibu! Ibu, bangun!” teriakku, tanganku gemetar saat mencoba menstabilkan tubuhnya.
Akhirnya, Ibu membuka mata dengan perlahan, menatapku dengan tatapan yang penuh kelelahan. “Natya… Ibu hanya… butuh istirahat,” ucapnya lemah.
Aku menangis, menggendong Ibu ke tempat tidur, dan memanggil ayah dengan panik. Sore itu, rasa takutku semakin nyata. Aku tahu, kelelahan Ibu bukan hanya sekadar kelelahan biasa.
Keesokan harinya, Ibu dibawa ke rumah sakit. Aku menunggu di ruang tunggu dengan hati yang berdebar, mataku tak bisa berhenti memandang pintu ruang periksa yang tertutup rapat. Ayah duduk di sampingku, memegang tanganku dengan erat, tapi itu tidak membuatku merasa tenang. Aku tahu, di luar sana, ada sesuatu yang tidak beres dengan Ibu.
Saat dokter akhirnya keluar dari ruang periksa, aku langsung berdiri, tubuhku kaku dengan rasa takut yang melanda. “Dokter, bagaimana dengan Ibu?” tanyaku dengan suara hampir tak terdengar.
Dokter itu tersenyum lembut, tapi senyumannya tak bisa menghilangkan ketegangan di dadaku. “Kami perlu melakukan beberapa tes lebih lanjut untuk bisa mengetahui penyebab gejalanya. Tapi berdasarkan pemeriksaan awal, ada kemungkinan Ibu Anda menderita penyakit yang cukup serius.”
Aku hanya bisa diam. Wajahku terasa panas, dan aku merasakan dunia mulai berputar. Penyakit serius? Apa maksud dokter dengan itu? Aku ingin berteriak, bertanya lebih banyak, tetapi bibirku seolah terkunci. Aku hanya bisa menggenggam tangan ayah, mencoba menahan tangis yang sudah tidak bisa kubendung lagi.
Hari-hari setelah itu berlalu dengan lambat. Ibu mulai menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Aku sering datang setelah sekolah, duduk di samping ranjangnya, dan hanya bisa memandanginya. Wajah Ibu yang dulu cerah kini pucat dan penuh keletihan. Terkadang, ia hanya bisa memandangiku dengan tatapan kosong, seolah kata-kata tidak lagi mampu menjangkau hatinya.
“Aku di sini, Bu,” kataku pelan, sambil menggenggam tangannya yang semakin kurus. “Aku di sini, jangan khawatir.”
Namun, meski aku berkata seperti itu, aku tahu aku tidak bisa menghentikan apa yang sedang terjadi. Aku tidak bisa menghentikan rasa sakit Ibu. Aku tidak bisa membuatnya kembali sehat seperti dulu.
Ibu menatapku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Natya, Ibu minta maaf… Ibu nggak bisa… seperti dulu lagi.”
Aku hanya bisa memeluknya erat. Air mata kami bercampur, tetapi tak ada kata yang bisa mengubah kenyataan. Ibu sedang berjuang, dan aku tahu aku harus kuat. Meskipun dunia luar terus bergerak dengan cepat, aku tahu, di sini, di samping Ibu, waktuku berjalan sangat lambat.
Aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi semua ini. Aku tidak tahu apakah aku bisa melewatinya. Tapi satu yang aku tahu, aku tidak akan pernah meninggalkan Ibu. Aku akan tetap ada di sana, meski senyum Ibu mulai memudar, meski tangis kami tak bisa berhenti.
Karena aku tahu, tidak ada yang lebih besar dari cinta seorang anak kepada ibunya. Dan cinta itu, meski terluka, akan selalu ada selalu ada di sini, di hati kami yang saling berhubungan.
Kenangan yang Mulai Memudar
Kamar rumah sakit itu terasa sangat sepi, hanya suara detak jam dinding yang terdengar keras di telingaku. Ibu terbaring lemah di ranjang, tubuhnya yang dulu penuh semangat kini tampak kurus dan rapuh. Aku duduk di sampingnya, memegangi tangannya yang semakin dingin. Rasanya, segala sesuatu yang biasa terasa jauh dan asing. Dunia luar berjalan dengan normal teman-temanku di sekolah, tugas-tugas yang menumpuk, bahkan dunia sosial media yang tak pernah berhenti—semuanya terasa seperti bayang-bayang yang jauh.
Di sini, di samping Ibu, semuanya terasa lain.
“Apa kabar, Bu?” tanyaku pelan, meskipun aku tahu jawabannya. Ibu tidak bisa berbicara banyak, energi yang dimilikinya hanya cukup untuk membuka matanya beberapa detik. Namun, aku tidak berhenti bertanya, seolah berharap Ibu bisa kembali seperti dulu.
Ibu membuka matanya perlahan, menatapku dengan sorot mata yang seakan ingin mengatakan sesuatu, namun tak mampu mengucapkannya. Aku bisa melihat kesakitan itu, tergores jelas di wajahnya. Kesehatannya menurun begitu cepat, jauh lebih cepat daripada yang bisa kuhadapi. Dan aku takut, sangat takut, Ibu akan meninggalkanku dalam waktu dekat.
Di luar, langit sudah gelap. Hari terasa begitu panjang, tetapi aku tak ingin meninggalkan Ibu. Aku ingin berada di sini, menemani setiap detik yang bisa kutemui. Setiap kali aku keluar ke koridor rumah sakit untuk beristirahat sejenak, aku merasa ada kekosongan besar di dalam diriku. Kehilangan itu sudah mulai terasa, meskipun Ibu masih ada di sini.
Keputusan dokter untuk melakukan beberapa tes lebih lanjut memang memberikan sedikit harapan, tetapi aku tahu ini hanya penundaan. Aku takut, meskipun aku berusaha menutupi rasa takut itu dengan tawaku, dengan kata-kata yang terlihat penuh semangat di luar, di dalam hatiku ada jurang yang semakin menganga.
Malam itu, setelah aku dan ayah selesai makan malam di kantin rumah sakit, aku kembali ke kamar Ibu. Aku berusaha tersenyum lebar, meskipun rasanya senyum itu sangat berat. Aku duduk di kursi dekat ranjang, meletakkan tas sekolah di sampingku. Ibu membuka matanya, dan aku merasakan sesuatu yang tak bisa kusebutkan dengan kata-kata. Sesuatu yang jauh lebih menyakitkan dari sekadar rasa takut.
“Ibu, Natya di sini,” kataku lembut, meskipun suara itu terasa serak di tenggorokanku. Aku berusaha menguatkan diri, berusaha menunjukkan pada Ibu bahwa aku masih bisa tersenyum, meskipun senyuman itu palsu.
Ibu menatapku, tatapan yang begitu dalam, seakan menembus jauh ke dalam diriku. “Natya, Ibu minta maaf… Ibu nggak bisa sehat seperti dulu.”
Aku merasa seperti terhantam sesuatu yang sangat keras. Kata-kata itu terdengar begitu berat, jauh lebih berat daripada yang pernah kudengar. “Ibu, jangan ngomong gitu. Kamu pasti bisa sembuh,” jawabku dengan penuh keyakinan yang sudah mulai rapuh. Tetapi Ibu hanya mengangguk perlahan, kemudian terdiam kembali.
Aku tahu aku harus kuat, aku tahu aku harus percaya pada harapan. Tetapi semakin lama, harapan itu semakin sulit untuk kutemukan. Setiap kali aku melihat Ibu, aku merasa semakin terpuruk. Di luar sana, teman-temanku mungkin sedang menjalani hidup mereka dengan senyum cerah, tetapi di sini aku hanya bisa berdoa dan menangis dalam hati. Aku merasa terasing dari dunia luar. Aku merasa terjebak dalam dunia yang penuh kesedihan ini.
Hari-hari berlalu dengan lambat. Aku terus berkunjung ke rumah sakit setelah sekolah, meskipun rasa lelah itu semakin menumpuk. Pekerjaan rumah, tugas sekolah, semuanya terasa seperti beban yang semakin berat. Setiap malam, setelah aku belajar, aku harus kembali ke rumah sakit, dan setiap kali aku menatap wajah Ibu, ada bagian dari diriku yang merasa kehilangan.
Suatu hari, Ibu bangun sedikit lebih awal dari biasanya. Aku duduk di sampingnya, mencoba membantunya duduk tegak. “Mau minum, Bu?” tanyaku dengan lembut, meskipun hatiku penuh ketakutan.
Ibu mengangguk pelan. “Iya, Natya… Ibu mau teh hangat.”
Aku tersenyum tipis, tetapi senyuman itu terasa kering di bibirku. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tetapi aku berusaha memberi Ibu semangat, meskipun aku sendiri mulai merasa lelah. Setiap kali aku berbicara dengan Ibu, aku berusaha menyembunyikan kecemasan di mataku. Aku tahu Ibu bisa melihatnya, tapi aku tidak ingin membuatnya khawatir.
Saat aku menuangkan teh ke cangkir, Ibu menatapku dengan pandangan yang berbeda. Pandangan yang lebih tenang, namun penuh arti. “Natya, Ibu minta tolong. Kalau nanti Ibu nggak ada, kamu harus kuat. Jangan biarkan dirimu merasakan kesedihan terlalu lama. Ibu ingin kamu terus hidup bahagia.”
Air mata menggenang di mataku, tetapi aku menahannya dengan keras. “Jangan ngomong gitu, Bu,” jawabku dengan suara tercekat. “Ibu nggak akan pergi. Kita akan melalui ini bersama.”
Namun, meski aku berkata seperti itu, hatiku semakin gelisah. Setiap kata yang keluar dari mulut Ibu terasa seperti pesan perpisahan yang mulai tak bisa kuhindari. Aku tahu Ibu berusaha kuat, berusaha memberi aku kekuatan, tetapi aku tidak siap untuk kehilangan dia. Aku tidak siap menghadapinya.
Di malam hari, setelah semua lampu dimatikan dan rumah sakit mulai sepi, aku duduk di samping Ibu yang sedang tertidur. Aku meremas tangan Ibu dengan lembut, dan dalam hati aku berdoa agar Tuhan mendengarkan doa-doaku. Doa agar Ibu tetap bertahan, doa agar aku bisa tetap bersama Ibu, doa agar semua ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir.
Tapi aku tahu, kehidupan tidak selalu seperti yang kita inginkan. Dan meskipun aku terus berusaha untuk menjaga senyum, di dalam hatiku, segalanya terasa sangat gelap.
Ketika Semua Terasa Hilang
Hari-hari terus berjalan dengan lambat, seolah waktu itu sendiri pun merasa berat. Aku masih menjalani rutinitas yang tak pernah berakhir. Sekolah, tugas, teman-teman, semuanya terasa begitu jauh. Dunia yang penuh dengan tawa dan kebahagiaan itu seakan terlupakan. Yang ada hanya suara detak jam dinding, suara nafas Ibu yang semakin lemah, dan aku yang terjebak di antara kenyataan pahit yang sulit kuhadapi.
Malam itu, aku duduk di samping ranjang Ibu, menggenggam tangannya yang semakin dingin. Aku sudah terbiasa dengan keadaan ini, dengan dunia rumah sakit yang menjadi lebih familiar daripada rumahku sendiri. Ayah sudah hampir setiap hari menemaniku, tetapi aku tahu, hatinya juga terluka. Kami berdua sama-sama bertahan, tetapi di dalam hati kami, ada rasa takut yang tak terucapkan.
“Ibu, Natya di sini,” kataku pelan, mencoba mencari kekuatan di dalam diriku yang mulai rapuh.
Ibu membuka matanya perlahan, tatapannya tampak kabur, seakan kesulitan untuk fokus. Aku tahu, tubuhnya semakin lemah. Ada saat-saat di mana aku merasa dia akan pergi, dan aku tak bisa menghentikan itu. Tapi aku masih bertahan pada harapan, meskipun itu terasa semakin tipis. Aku tidak ingin kehilangan dia. Aku tak bisa membayangkan hidup tanpa Ibu. Dia adalah satu-satunya yang selalu ada untukku, yang selalu memberikan kasih sayang tanpa syarat.
“Natya… kamu harus kuat,” suara Ibu terdengar parau, hampir seperti bisikan.
Aku menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai mengalir. Aku tahu Ibu berusaha sekuat tenaga untuk memberiku kekuatan, tetapi aku merasa semakin lemah. Setiap kali Ibu berbicara, seakan-akan dia sedang memberi petunjuk tentang masa depan yang sudah semakin dekat.
“Aku nggak bisa tanpa Ibu,” kataku lirih, hampir seperti sebuah ratapan. “Ibu harus tetap di sini, bersama aku.”
Ibu tersenyum tipis, meskipun senyuman itu terlihat begitu sakit. Aku tahu dia berusaha menunjukkan semangat, tetapi aku tahu dia juga merasakan kelelahan yang sama. Ibu mulai menutup matanya lagi, tubuhnya semakin lelah. Aku menggenggam tangannya lebih erat, berharap sentuhanku bisa memberinya sedikit kekuatan.
Sejak pagi tadi, aku merasa ada yang berbeda. Keheningan di ruang rumah sakit ini terasa lebih tebal, lebih menghimpit. Aku merasa cemas, entah kenapa. Perasaan ini datang begitu saja, seperti sebuah peringatan. Aku ingin percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi semakin lama aku semakin merasa jauh dari kenyataan.
Tiba-tiba, suara lembut dari perawat terdengar di pintu. “Natya, mungkin sebaiknya kamu istirahat sejenak. Ibu butuh tidur.”
Aku mengangguk perlahan, meskipun hatiku tidak siap meninggalkan Ibu sendirian. Setiap kali aku keluar dari kamar, rasanya seperti ada yang hilang. Di luar sana, dunia tetap bergerak seperti biasa, sementara aku hanya bisa terperangkap dalam kesedihan ini. Aku tahu, hidup harus terus berjalan, tetapi di saat-saat seperti ini, aku merasa seperti berhenti di tempat yang sama, terjebak dalam waktu yang tak pernah berakhir.
Aku keluar sebentar ke ruang tunggu, duduk di bangku dengan punggung membungkuk. Semua teman-teman di sekolah, mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di hidupku. Aku mencoba menjauhkan diriku dari mereka, tidak ingin mereka melihat betapa rapuhnya aku. Aku tidak ingin terlihat lemah. Aku yang dulu dikenal sebagai gadis yang ceria, yang selalu bisa menghidupkan suasana, sekarang terasa seperti bayangan dari diriku yang lama.
Aku mengeluarkan ponsel dari tas, memandangi layar yang penuh dengan pesan-pesan yang belum kubaca. Teman-teman bertanya tentang tugas sekolah, tentang acara yang akan datang, tentang hal-hal yang dulu terasa penting. Tapi saat ini, semua itu terasa begitu tidak relevan. Aku hanya ingin kembali ke masa lalu, ke masa ketika semuanya baik-baik saja, ke masa ketika aku bisa tertawa dengan Ibu, ke masa ketika dunia terasa indah tanpa harus berpikir tentang kehilangan.
Satu pesan masuk dari teman dekatku, Arina. “Natya, kamu baik-baik aja? Kapan kita bisa hangout lagi?”
Aku tersenyum tipis, meskipun hatiku terasa kosong. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya kepada mereka. Mereka tidak akan mengerti. Tidak ada yang mengerti betapa hancurnya aku sekarang, betapa aku ingin berteriak dan menangis, tetapi harus terus bertahan.
Setelah beberapa menit, aku kembali ke kamar Ibu. Lampu kamar rumah sakit itu temaram, menciptakan suasana yang tenang tetapi juga menekan. Ibu masih terbaring di sana, tak banyak bergerak. Aku duduk di samping ranjangnya lagi, meremas tangan Ibu. Aku tidak bisa meninggalkan dia, meskipun aku tahu, waktu kami bersama semakin terbatas.
“Ibu, aku janji. Aku akan terus berjuang. Aku nggak akan menyerah, Bu,” kataku dengan suara yang penuh tekad, meskipun rasa takut itu hampir membuatku tenggelam. “Aku nggak akan pernah melupakanmu.”
Ibu hanya bisa mengangguk pelan, matanya mulai terpejam lagi. Aku tahu dia sedang berusaha bertahan, sekuat yang dia bisa. Tetapi aku merasa, semakin lama semakin sulit untuk melihatnya seperti ini. Setiap kali aku melihat wajahnya, aku merasa semakin dekat dengan kenyataan bahwa aku harus kehilangan dia.
Waktu berjalan dengan lambat, dan aku terus berjuang. Berjuang untuk bertahan, berjuang untuk Ibu, berjuang untuk diriku sendiri. Tetapi meskipun aku berusaha sekuat tenaga, ada satu hal yang terus menghantui pikiranku. Ketika waktu yang aku takuti itu datang, apakah aku akan siap?
Pagi datang, dan Ibu semakin lemah. Aku tahu, hari-hari kami semakin sedikit. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan lagi. Tetapi satu hal yang pasti, aku akan terus bertahan. Bahkan jika itu berarti aku harus menghadapinya sendirian.
Saat Aku Harus Melepaskanmu
Setiap pagi, aku duduk di samping ranjang Ibu, memegang tangan yang kini terasa semakin dingin. Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi rasanya dunia tidak bergerak seiring waktu. Aku masih berada di ruang ini, di dunia rumah sakit yang terus berputar tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi di dalam hidupku. Aku, yang dulu ceria dan penuh semangat, kini hanya mampu menatap wajah Ibu yang semakin pucat dan terkulai lemah.
Suasana ruangan ini semakin sunyi. Suara detak jam di dinding yang biasa mengganggu terasa semakin menakutkan. Seperti mengingatkan aku bahwa waktu terus berjalan, tetapi aku terjebak di antara harapan dan kenyataan yang sulit kuhadapi. Setiap kali aku melihat Ibu, aku merasa semakin dekat dengan kenyataan yang harus aku terima kehilangan.
Semalam, aku memegang tangan Ibu dengan erat, berharap sedikit keajaiban datang, berharap aku bisa melakukan sesuatu untuk menghentikan penderitaannya. “Ibu, aku nggak siap tanpa kamu,” bisikku pelan, berusaha menyembunyikan isakan yang mulai terasa di tenggorokanku. Ibu tidak menjawab, matanya tertutup rapat, tubuhnya terbaring lemah. Namun, aku merasa dia mendengar. Aku yakin dia tahu aku ada di sini, meskipun tubuhnya sudah tak mampu memberi tanda.
Aku mengingat semua kenangan indah bersama Ibu masa-masa di mana dia menjadi satu-satunya orang yang selalu ada untukku. Dia adalah ibu yang tidak pernah lelah memberikan kasih sayang, meskipun hidup kami tak selalu mudah. Dia adalah teman terbaikku, tempatku berbagi cerita dan tawa, bahkan saat aku merasa dunia ini begitu berat.
Namun, aku tahu, Ibu sudah tidak kuat lagi. Ada sesuatu di dalam diriku yang terus memberontak, menolak kenyataan ini. Aku tidak ingin melepaskan Ibu. Tapi, aku tahu… aku harus. Aku harus merelakan dia pergi. Setiap detik yang berlalu semakin menguatkan perasaan itu—bahwa aku tidak bisa mengikatnya di dunia ini lebih lama lagi.
Kenyataan itu datang dengan sangat perlahan. Setiap kali dokter datang dan memberi laporan, rasanya seperti mendengar kata-kata yang tidak pernah ingin kudengar. “Keadaannya semakin memburuk.” Itu yang selalu dikatakan mereka, dengan wajah yang penuh rasa empati. Tetapi aku sudah tahu, kata-kata itu hanyalah sebuah pengingat, sebuah kenyataan yang harus kuterima dengan hati yang terpaksa.
Pagi itu, setelah dokter memberikan laporan terbaru, aku kembali duduk di samping ranjang Ibu. Wajah Ibu kini semakin pucat. Matanya setengah terbuka, tetapi tidak ada lagi senyuman yang biasanya selalu terukir di wajahnya. Ibu terlihat sangat lelah, dan aku tahu bahwa dia sedang berjuang, berjuang untuk bertahan. Namun, ada saat-saat di mana tubuhnya tidak lagi bisa mengikuti keinginan hatinya.
“Ibu,” kataku, suaraku hampir tidak terdengar. “Aku tahu kamu kuat, tapi aku juga tahu kamu sudah lelah. Aku nggak mau melihat kamu menderita lagi.” Air mataku mulai menetes tanpa bisa kucegah. “Tapi… kalau kamu harus pergi, aku akan mencoba untuk ikhlas, Bu. Aku akan berusaha kuat. Kamu pasti tahu, aku nggak akan pernah lupa sama semua yang sudah kamu ajarkan.”
Aku melihat Ibu menggerakkan jarinya sedikit, seolah ingin memberikan tanda. Aku menggenggam tangan Ibu dengan lebih erat, mencoba memberi sedikit kekuatan padanya, meskipun aku tahu dia sudah sangat lemah. Setiap detik berlalu terasa begitu berat, dan aku merasa aku harus memberikan Ibu kebebasan untuk pergi, untuk mengakhiri penderitaannya yang panjang ini.
Tiba-tiba, Ibu membuka matanya sedikit lebih lebar, dan meskipun wajahnya terlihat sangat lelah, ada senyum kecil yang terukir di sana. “Natya… kamu kuat,” bisiknya dengan suara yang sangat lembut, hampir tidak terdengar. “Jangan… jangan sedih, ya. Aku selalu ada di hati kamu.”
Sebuah teriakan tertahan di tenggorokanku. Aku ingin berkata bahwa aku mencintainya, bahwa aku tidak ingin dia pergi, bahwa aku ingin tetap bersama dia. Tapi kata-kata itu terasa terjebak di dalam mulutku, tak bisa keluar. Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh cinta, berharap Ibu tahu betapa dalam perasaanku terhadapnya.
“Aku sayang ibu, lebih dari apapun,” kataku dengan suara yang penuh isak. “Aku nggak bisa hidup tanpamu, Bu. Tapi, aku akan berusaha, meskipun itu sangat sulit.”
Ibu mengangguk pelan, lalu matanya kembali terpejam. Aku tahu, inilah saatnya. Aku merasa sesak di dada, dan semua perasaan itu bercampur aduk—cinta, kehilangan, dan rasa sakit yang tak terkira. Ibu perlahan mulai terlelap, dan aku tahu, itu adalah tidur yang lebih panjang daripada yang biasa dia ambil.
Waktu terus berjalan, dan aku hanya duduk di sana, di samping ranjang Ibu, tak tahu apa yang harus aku lakukan lagi. Aku merasa tubuhku kaku, seolah kehilangan seluruh energi. Saat itu, ada rasa hampa yang menyelimuti hatiku. Mungkin ini adalah bagian dari proses berpisah, tapi aku merasa begitu kosong, seolah dunia ini kehilangan makna.
Jam menunjukkan pukul tiga sore saat akhirnya perasaan itu datang dengan sangat jelas. Ibu menghela nafas terakhirnya, dan aku hanya bisa terdiam, tidak bisa berkata-kata. Aku memegang tangan Ibu untuk terakhir kalinya, menatap wajahnya yang tampak damai, meskipun hatiku hancur.
“Ibu… aku sayang kamu,” bisikku pelan, menahan tangis. “Selamat jalan, Bu.”
Di saat itu, aku tahu aku harus melepaskan dia. Tapi, melepaskan bukan berarti melupakan. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa Ibu akan selalu ada di dalam hatiku, dalam setiap langkah hidupku. Meskipun aku kehilangan dia di dunia ini, cintanya akan tetap ada, menyertai setiap perjalanan hidupku.
Dan meskipun perpisahan ini terasa begitu berat, aku tahu satu hal aku harus terus maju. Untuk Ibu. Untuk diriku sendiri.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Natya mengajarkan kita tentang arti sejati dari perjuangan, cinta, dan ikhlas. Meskipun kehilangan seseorang yang kita cintai begitu menyakitkan, perjalanan ini memberi kita pelajaran berharga tentang bagaimana menerima kenyataan dan menghargai setiap momen yang telah kita bagi bersama orang terkasih. Jika kamu merasa terhubung dengan cerita ini, ingatlah bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia. Cinta yang tulus akan terus hidup, bahkan meski kita harus melepaskan. Semoga cerita ini memberi kekuatan dan harapan bagi siapapun yang sedang berjuang dengan kehilangan.