Daftar Isi
Masuki dunia emosi mendalam dan keajaiban alam bersama Rusa dan Kura-Kura: Kisah Sedih Persahabatan di Lembah Terlarang, sebuah cerpen epik yang menggambarkan perjalanan Elyndra Veyn di Lembah Senja pada tahun 2024. Cerita ini mengungkap persahabatan antara seorang wanita, seekor rusa bernama Tharion, dan kura-kura tua bernama Sylvara, serta misteri panggilan roh yang menyentuh hati. Cocok untuk penggemar fiksi emosional dan kisah persahabatan yang mendalam—jangan lewatkan petualangan menyayat hati ini!
Rusa dan Kura-Kura
Langkah di Lembah Senja
Di sebuah lembah terpencil bernama Lembah Senja pada tahun 2024, tersembunyi sebuah lanskap yang tampak seperti lukisan alam yang diluputkan oleh waktu. Lembah itu dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi yang ditutupi lumut hijau tua, dengan sungai kecil yang mengalir pelan di antara bebatuan hitam yang licin. Di tengah lembah, hamparan rumput liar tumbuh tinggi, bergoyang pelan setiap kali angin membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang jarang terlihat. Langit di atasnya sering kali berwarna oranye keemasan di sore hari, menciptakan ilusi seperti matahari tak pernah benar-benar tenggelam, memberikan nama “Senja” pada tempat itu. Namun, di balik keindahan itu, ada kesunyian yang menekan, seolah lembah ini menyimpan rahasia yang tak boleh diganggu.
Di antara pepohonan tua yang menjulang, tinggallah seorang wanita muda bernama Elyndra Veyn, berusia dua puluh enam tahun, dengan rambut cokelat panjang yang selalu diikat dengan tali kulit sederhana. Kulitnya kecokelatan akibat paparan matahari sepanjang hari, dan matanya yang hijau tua sering kali memancarkan kesedihan yang dalam, seolah ada luka yang tak pernah sembuh di hatinya. Elyndra tinggal di sebuah gubuk kecil yang terbuat dari kayu dan jerami, terletak di tepi sungai, ditemani oleh dua hewan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya: seorang rusa bernama Tharion dan seekor kura-kura bernama Sylvara. Mereka bukan sekadar hewan bagi Elyndra; mereka adalah sahabatnya, keluarganya, sejak ia tiba di Lembah Senja lima tahun lalu, meninggalkan kehidupan di kota yang penuh dengan kenangan menyakitkan.
Tharion adalah rusa jantan yang anggun, dengan tanduk yang melengkung indah dan bulu cokelat keemasan yang berkilau di bawah sinar matahari. Matanya yang dalam selalu tampak penuh kebijaksanaan, dan ia sering kali berdiri di dekat Elyndra, menunduk pelan seolah memahami beban yang dibawanya. Sylvara, di sisi lain, adalah kura-kura tua dengan cangkang yang retak di beberapa bagian, bergerak perlahan namun dengan ketenangan yang menenangkan. Keduanya ditemukan oleh Elyndra di hari pertama kedatangannya, saat ia tersesat di hutan dan hampir putus asa. Sejak itu, mereka hidup bersama, berbagi keheningan dan kehangatan di tengah kesepian Lembah Senja.
Elyndra pindah ke lembah itu setelah kehilangan adiknya, seorang gadis bernama Lysa, yang meninggal karena penyakit misterius yang tak bisa disembuhkan oleh dokter di kota. Lysa adalah cahaya dalam hidup Elyndra, dan kepergiannya meninggalkan lubang besar di hatinya. Ia memutuskan untuk meninggalkan segalanya—pekerjaan, teman, dan kenangan—dan mencari tempat di mana ia bisa menyembuhkan lukanya. Lembah Senja menjadi pelariannya, tempat di mana ia bisa meratapi kehilangan tanpa dihakimi. Gubuknya sederhana, dengan meja kayu yang sudah usang, ranjang dari jerami, dan perapian kecil yang selalu menyala di malam hari, mengeluarkan asap tipis yang bercampur dengan aroma kayu bakar.
Hari-hari Elyndra di lembah itu diisi dengan rutinitas yang tenang namun penuh makna. Pagi hari dimulai dengan suara air sungai yang mengalir, diikuti oleh aroma roti yang ia panggang dari tepung liar yang dikumpulkan di hutan. Ia akan menghabiskan waktu memancing di sungai, mengumpulkan kayu bakar, dan duduk di tepi tebing, menatap ke arah horizon sambil memeluk lututnya. Tharion sering kali mengikuti dari kejauhan, sementara Sylvara berjalan perlahan di belakang, meninggalkan jejak kecil di tanah lembap. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang mengganggunya. Setiap malam, ketika bulan purnama muncul, ia sering mendengar suara desisan aneh dari dalam hutan, diikuti oleh bayangan samar yang tampak seperti sosok manusia.
Suara itu pertama kali ia dengar sebulan setelah ia menetap di lembah. Pada malam yang dingin, ketika angin bertiup kencang dan kabut tebal menyelimuti Lembah Senja, Elyndra terbangun oleh desisan yang terdengar seperti bisikan. Ia bangkit dari ranjangnya, memegang lilin yang hampir habis, dan berjalan perlahan menuju pintu gubuk. Di luar, di bawah cahaya bulan, ia melihat bayangan itu—seorang gadis dengan rambut panjang yang menyerupai Lysa, berdiri di tepi hutan sebelum menghilang ke dalam kegelapan. Elyndra ingin mengejar, tapi kakinya terasa seperti disemen, dan jantungnya berdegup kencang karena campuran ketakutan dan harapan.
Sejak malam itu, bayangan itu muncul secara berkala, selalu di malam purnama, selalu dengan desisan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Tharion dan Sylvara tampaknya juga merasakan kehadiran itu; rusa itu sering kali berdiri tegak dengan telinga yang bergetar, sementara kura-kura itu menarik kepalanya ke dalam cangkangnya. Elyndra mencoba mengabaikan semua itu, meyakinkan diri bahwa itu hanyalah ilusi yang lahir dari kesedihannya, tapi di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang tak wajar di lembah itu.
Pada suatu sore di bulan September 2024, ketika kabut tebal menyelimuti Lembah Senja, Elyndra duduk di tepi tebing, memegang foto Lysa yang sudah memudar. Angin bertiup kencang, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang lebih tajam—sesuatu yang mirip dengan bau tanaman yang membusuk. Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah pelan di belakangnya. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang pria tua dengan rambut abu-abu kusut dan jubah lusuh, membawa sebuah tongkat kayu yang tampak tua. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Zorath Klyne, seorang pengelana yang mengaku tersesat di lembah dan mencari tempat berteduh.
Elyndra, meski awalnya ragu, mengizinkan Zorath masuk ke gubuknya. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu—mata cokelat pucat yang penuh misteri—yang membuatnya tak bisa menolak. Zorath duduk di dekat perapian, memanaskan tangannya yang membiru karena dingin, dan memandang Tharion dan Sylvara dengan rasa kagum yang tulus. “Tempat ini punya jiwa,” katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Elyndra hanya mengangguk, tak ingin menjawab, tapi di dalam hatinya, ia merasa ada gelombang kecil yang mengguncang kesunyian yang selama ini ia jaga.
Zorath memutuskan untuk tinggal beberapa hari di gubuk, dengan alasan ingin meneliti flora dan fauna unik Lembah Senja. Elyndra, meski masih waspada, tak bisa menolak. Ada kehangatan dalam kehadiran Zorath yang membuatnya merasa sedikit lebih hidup, meski ia terus mengingatkan dirinya untuk tidak terlalu terbuka. Malam itu, saat Zorath tidur di sudut gubuk, Elyndra duduk di dekat perapian, memandang ke arah hutan. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa ada harapan untuk mengungkap rahasia yang mengikatnya.
Hari-hari berikutnya di Lembah Senja berlalu dengan ritme yang baru. Zorath membantu Elyndra mengumpulkan kayu bakar, memancing di sungai, dan bahkan mencoba menggambar peta sederhana lembah itu. Ia tak banyak bertanya tentang masa lalu Elyndra, tapi setiap gerakannya, setiap senyum kecilnya, seolah membawa cahaya ke dalam kegelapan yang selama ini menyelimuti lembah. Elyndra mulai merasa nyaman dengan kehadiran Zorath, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada Tharion dan Sylvara yang selalu menatapnya dengan mata penuh makna.
Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayang-bayang yang semakin pekat. Desisan dari hutan terdengar lebih sering, lebih jelas, dan kadang disertai dengan bayangan samar yang Elyndra lihat di ujung matanya. Ia tahu bahwa kehadiran bayangan itu berhubungan dengan Lysa, dengan rahasia yang disembunyikan di lembah. Dan Zorath, dengan intuisinya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Elyndra menatap foto Lysa, cara ia menghindari hutan di malam hari, dan cara ia selalu terdiam ketika angin membawa aroma tanaman yang aneh.
Pada suatu malam, ketika hujan turun dengan deras dan petir mengguncang langit, Elyndra mendengar suara ketukan di pintu gubuk. Ia membukanya, berpikir itu Zorath yang kembali dari perjalanannya ke hutan untuk mencari tanaman. Tapi yang berdiri di sana bukan Zorath. Itu adalah seorang wanita tua dengan wajah pucat dan rambut putih yang menjuntai, memegang sebuah bungkusan kain yang tampak tua. Wanita itu memandangnya dengan mata kosong dan berkata dengan suara serak, “Aku tahu apa yang kau sembunyikan di lembah ini, Elyndra. Dan aku tahu siapa yang berdesis di malam hari.” Elyndra merasa dunia di sekitarnya berputar. Wanita itu meletakkan bungkusan itu di tangannya dan menghilang ke dalam hujan, seolah ditelan oleh kegelapan.
Elyndra berdiri di ambang pintu, memegang bungkusan yang basah oleh air hujan. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah hutan yang diselimuti kabut, dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia merasa takut—bukan pada dunia, tapi pada dirinya sendiri dan pada warisan yang ia bawa.
Bayang di Tepi Sungai
Hujan tak berhenti sepanjang malam, menciptakan suara gemuruh yang bergema di dalam gubuk kecil di Lembah Senja. Elyndra duduk di lantai kayu ruang tamu, memegang bungkusan kain yang diberikan wanita tua misterius itu. Kain itu terasa dingin di tangannya, dan bau tanaman membusuk yang menyengat keluar dari dalamnya, bercampur dengan aroma tanah basah yang membuatnya merinding. Tharion dan Sylvara, sahabatnya, berada di sampingnya, dengan rusa itu berdiri tegak dan kura-kura itu menarik kepalanya ke dalam cangkangnya, matanya yang kecil menatap bungkusan itu dengan rasa ingin tahu yang aneh. Di luar, angin menderu, membawa desisan yang kini terdengar lebih dekat, lebih nyata.
Bungkusan itu terasa berat, bukan karena isinya, tapi karena beban kenangan yang ia tahu akan terbuka begitu kain itu dibuka. Elyndra memandangnya selama berjam-jam, tangannya gemetar setiap kali hendak menyentuh ikatan yang mengikat kain itu. Ia tahu, di dalamnya ada sesuatu yang berhubungan dengan Lysa, dengan rahasia yang membuatnya meninggal dalam keadaan misterius. Pikirannya melayang ke masa kecilnya, ke hari-hari ketika ia dan Lysa bermain di taman belakang rumah, mendengarkan cerita tentang lembah yang konon dihuni oleh roh.
Pagi itu, ketika hujan akhirnya reda dan kabut tipis masih menyelimuti Lembah Senja, Zorath kembali dari hutan. Ia membawa sekantong akar tanaman liar dan sebuah buku tua yang ia temukan di antara bebatuan di tepi sungai. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya bersinar dengan semangat yang sulit dijelaskan. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin kau suka,” katanya sambil meletakkan buku itu di meja kayu yang sudah usang. Itu adalah jurnal tua, dengan sampul kain yang robek di beberapa tempat dan halaman-halaman yang menguning. Di sampulnya, tertulis nama “Lysa Veyn” dengan tinta yang hampir pudar—nama adiknya.
Elyndra merasa jantungannya berhenti sejenak. Buku itu adalah salah satu jurnal Lysa yang hilang, yang ia cari selama bertahun-tahun sejak ia pindah ke lembah. Ia mengambil buku itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan sketsa-sketsa lembah yang digambar dengan tangan Lysa. Di antara sketsa-sketsa itu, ada sebuah catatan yang ditulis dengan huruf kecil yang rapi: “Lembah ini memanggilku, tapi aku tak bisa menjawabnya.” Elyndra merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu bahwa catatan itu adalah kunci untuk memahami apa yang terjadi pada adiknya.
Zorath memperhatikan reaksi Elyndra, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut gubuk, mencatat sesuatu di buku catatannya sendiri, seolah memberikan ruang bagi Elyndra untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Zorath, meski diam, terasa seperti tekanan lembut yang mendorong Elyndra untuk menghadapi sesuatu yang selama ini ia hindari. Ia menatap bungkusan kain di tangannya, lalu ke arah hutan di kejauhan. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Elyndra mulai merasa bahwa kehadiran Zorath bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap sketsa-sketsa di jurnal, yang membuat Elyndra curiga bahwa pria ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu sore, ketika mereka duduk di dekat perapian sambil menikmati teh herbal, Zorath tiba-tiba berkata, “Kau pernah kehilangan seseorang, bukan? Seseorang yang sangat penting.” Elyndra menatapnya tajam, merasa seperti ditelanjangi. Ia ingin marah, ingin mengusir pria itu dari gubuk, tapi ada sesuatu dalam nada suara Zorath yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kita semua pernah kehilangan seseorang,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan menuju pintu, meninggalkan Zorath sendirian di dekat api.
Malam itu, Elyndra akhirnya memberanikan diri untuk membuka bungkusan kain itu. Di dalamnya, ia menemukan sebuah surat yang ditulis dengan tangan yang gemetar, bersama dengan sejumput dedaunan kering yang tampak aneh, hampir seperti sisa tanaman yang pernah hidup. Surat itu dimulai dengan kalimat yang membuat jantung Elyndra berdegup kencang: “Elyndra, jika kau membaca ini, berarti aku gagal melindungimu dari panggilan ini.” Surat itu ditulis oleh Lysa, adiknya, yang konon telah meninggal. Isi surat itu menceritakan tentang sebuah kekuatan misterius di Lembah Senja yang memanggilnya, sebuah kekuatan yang membuatnya sakit hingga akhir hayatnya.
Elyndra merasa dunia di sekitarnya runtuh. Ia ingat Lysa, yang selalu tersenyum di tengah penderitaannya, yang selalu meminta Elyndra untuk bercerita tentang alam bebas. Surat itu mengungkap bahwa kematian Lysa bukan penyakit biasa, melainkan bagian dari panggilan roh lembah yang menuntut kehadiran seseorang. Lysa menulis bahwa ia mencoba melawan panggilan itu, tapi tubuhnya tak mampu, dan kini giliran Elyndra untuk menghadapinya.
Dengan tangan yang masih gemetar, Elyndra berjalan menuju tepi sungai dan membawa jurnal Lysa bersamanya. Di tepi sungai, di bawah cahaya bulan, ia membaca catatan-catatan lain di jurnal itu, tentang desisan yang Lysa dengar setiap malam, tentang bayangan yang ia lihat di tepi hutan, dan tentang Tharion dan Sylvara yang konon dipilih oleh roh untuk melindunginya. Elyndra merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Lembah Senja dan semua rahasia yang tersimpan di dalamnya, tapi ia tahu ia tak bisa. Lembah itu, warisan itu, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.
Pagi berikutnya, Zorath menemukan Elyndra duduk di tepi sungai, dikelilingi oleh surat, foto-foto, dan dedaunan kering dari bungkusan itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas air. Tapi di matanya, Elyndra melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Zorath tahu lebih banyak tentang rahasia lembah daripada yang ia katakan. “Kau pernah mendengar tentang panggilan ini?” tanya Elyndra tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Zorath menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah mendengar cerita tentang Lembah Senja,” katanya. “Tapi aku pikir kau yang harus menemukan sisanya.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, Elyndra mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Lysa, tentang penyakitnya, dan tentang luka yang membuatnya tinggal di lembah itu. Zorath mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Elyndra merasa bahwa pria ini bukan hanya seorang pengelana. Ada hubungan antara Zorath dan rahasia yang ia temukan di bungkusan dan jurnal Lysa, dan Elyndra tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.
Lembah Senja, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap desisan yang ia dengar, setiap bayangan yang ia lihat, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Zorath, pria yang datang sebagai orang asing, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Elyndra bayangkan akan ia jalani lagi.
Panggilan dari Kedalaman Hutan
Langit di atas Lembah Senja pada pagi di pertengahan Februari 2024 terasa lebih kelabu dari biasanya, seolah menyelimuti lembah dalam lapisan duka yang tak tersentuh. Kabut tebal menyelimuti tebing-tebing tinggi, menciptakan siluet samar dari pepohonan tua dan sungai kecil yang mengalir pelan. Elyndra Veyn duduk di tepi sungai, memegang jurnal Lysa yang telah usang, jari-jarinya menelusuri tulisan-tulisan yang mulai memudar. Setiap kata di jurnal itu seperti membuka luka lama yang ia coba sembunyikan, membawa kembali kenangan tentang adiknya, tentang hari-hari penuh tawa, dan tentang desisan yang kini terdengar lebih sering di malam hari. Tharion, rusa setianya, berdiri di dekatnya, tanduknya yang melengkung tampak berkilau di bawah cahaya redup, sementara Sylvara, kura-kura tua, berbaring di sampingnya, matanya yang kecil menatap ke arah hutan, seolah menangkap sesuatu yang tak terlihat.
Zorath Klyne, pria yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-hari Elyndra, sedang menggambar peta sederhana lembah di sudut gubuk. Tangan-tangannya yang kasar bergerak dengan penuh konsentrasi, tapi pikiran Elyndra tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Zorath malam sebelumnya, ketika ia mengaku pernah mendengar cerita tentang Lembah Senja. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap Tharion dan Sylvara, yang membuat Elyndra yakin bahwa Zorath bukan sekadar pengelana yang tersesat. Ia menyimpan rahasia, dan Elyndra merasa bahwa rahasia itu entah bagaimana terhubung dengan bungkusan kain, jurnal Lysa, dan panggilan yang disebutkan adiknya.
Hari itu, Elyndra memutuskan untuk menghadapi Zorath. Ia menunggu hingga pria itu selesai menggambar, lalu mengajaknya duduk di dekat perapian yang menyala redup. Cahaya api menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding gubuk, seolah pepohonan di luar ikut bergerak dalam kesunyian. Elyndra meletakkan jurnal Lysa di atas meja, di samping bungkusan kain yang masih mengeluarkan aroma tanaman membusuk. “Zorath,” katanya, suaranya tegas namun gemetar, “aku perlu tahu siapa kau sebenarnya. Dan apa yang kau tahu tentang lembah ini.”
Zorath menatapnya lama, matanya yang cokelat pucat seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah gulungan kertas tua dari tas kainnya. Kertas itu penuh dengan simbol-simbol aneh, sketsa hutan, dan catatan tentang Lembah Senja. “Aku bukan hanya pengelana, Elyndra,” katanya pelan. “Aku seorang penjaga cerita kuno, dan aku datang ke sini karena legenda tentang Lembah Terlarang. Tentang panggilan keluarga Veyn.”
Elyndra merasa jantungannya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Zorath karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa lega—lega karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memecahkan teka-teki yang mengelilinginya. Zorath menceritakan bahwa ia telah menelusuri legenda tentang Lembah Senja selama puluhan tahun, sebuah cerita yang berbicara tentang keluarga Veyn yang terpilih oleh roh hutan untuk menjaga keseimbangan alam, namun perjanjian itu berbalik menjadi kutukan. Menurut cerita yang ia dengar dari tetua di desa jauh, setiap generasi keluarga Veyn ditakdirkan untuk menghadapi panggilan roh, dan kematian Lysa adalah bagian dari harga yang harus dibayar.
Elyndra mendengarkan dengan napas tertahan, setiap kata Zorath seperti membuka luka lama yang ia coba kubur. Ia teringat Lysa, yang meninggal dengan ekspresi damai di wajahnya, dan hari-hari sebelum kematiannya ketika ia sering mendengar desisan aneh. Dalam jurnal Lysa, ia membaca tentang perjalanan adiknya ke dalam hutan, tentang bayangan yang ia anggap sebagai tanda kehadiran roh, dan tentang Tharion dan Sylvara yang konon dipilih untuk melindunginya. Elyndra tak pernah tahu detail penyakit Lysa, tapi surat adiknya menyebutkan bahwa panggilan itu menuntut kehadiran seseorang untuk tetap tinggal di lembah, dan kehadiran itu harus dibayar dengan harga yang mahal.
Malam itu, setelah percakapan mereka, Elyndra dan Zorath duduk di dekat perapian, ditemani suara angin yang bertiup pelan melalui celah-celah gubuk. Elyndra memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Zorath—kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Ia menceritakan tentang masa kecilnya di kota, tentang Lysa yang selalu tersenyum meski sakit, tentang hari-hari penuh tawa sebelum semuanya berubah. Ia menceritakan tentang malam ketika ia menerima kabar bahwa Lysa meninggal, tentang rasa kosong yang mengisi hidupnya sejak saat itu.
Zorath mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tulus. Ketika Elyndra selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah lukisan kecil dari gulungan kertasnya. Lukisan itu menunjukkan seorang gadis muda, dengan rambut cokelat panjang dan senyum yang familiar. “Ini dia,” kata Zorath pelan. “Lysa.” Elyndra merasa dunia di sekitarnya berputar. Lukisan itu diambil di tepi sungai, dengan latar belakang tebing yang mirip dengan yang ia lihat setiap hari. Lysa berdiri di antara rumput liar, memegang seikat bunga, dengan ekspresi yang penuh harapan namun juga sedih.
Zorath menjelaskan bahwa ia menemukan lukisan itu di antara artefak-artefak tua yang ia beli dari pedagang antik di desa jauh. Lukisan itu disertai dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Lysa, yang berbunyi: “Aku akan melindungimu, Elyndra, meski aku harus pergi.” Elyndra tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Zorath bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.
Hari-hari berikutnya di Lembah Senja dipenuhi dengan pencarian jawaban. Elyndra dan Zorath mulai menjelajahi hutan di belakang gubuk, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Lysa atau roh hutan. Mereka menemukan sebuah altar kecil yang tersembunyi di antara akar-akar pohon tua, di balik semak-semak yang lebat. Di altar itu, ada ukiran kepala rusa dan kura-kura yang tampak menangis, dengan mata yang terbuat dari batu giok kecil. Elyndra merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa tempat ini adalah pusat dari panggilan yang disebutkan Lysa.
Malam itu, ketika mereka kembali ke gubuk, Elyndra menemukan sebuah catatan lain di dalam jurnal Lysa, yang selama ini ia lewatkan. Catatan itu berbunyi: “Panggilan ini bukan hanya tentang suara, tapi tentang pengorbanan. Seseorang harus membayar harga untuk memutusnya, dan harga itu adalah jiwa.” Elyndra merasa jantungannya berhenti. Ia menatap Zorath, yang sedang membaca catatannya sendiri di sudut gubuk, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang membuatnya takut. Zorath bukan hanya penjaga cerita yang kebetulan datang ke Lembah Senja. Ia memiliki hubungan dengan Lysa, dengan panggilan ini, dan mungkin dengan dirinya.
Hujan kembali turun malam itu, dan petir menyambar-nyambar di kejauhan. Elyndra duduk di lantai, dikelilingi oleh jurnal, lukisan, dan dedaunan dari bungkusan itu. Ia merasa seperti sedang menyusun sebuah teka-teki raksasa, tapi setiap potongan yang ia temukan hanya membuat gambar itu semakin gelap. Zorath, yang duduk di sampingnya, akhirnya berkata, “Aku tahu kau takut, Elyndra. Tapi kita harus menghadapi ini bersama. Aku bukan hanya di sini untuk menjaga cerita. Aku di sini karena aku berjanji pada seseorang untuk menemukan kebenaran.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar hati Elyndra. Ia ingin bertanya siapa “seseorang” itu, tapi ia sudah tahu jawabannya. Lysa. Nama itu seperti mantra yang terus bergema di kepalanya, membawa kembali kenangan tentang hari-hari ketika ia dan Lysa duduk di tepi sungai, mendengarkan suara air. Tapi kenangan itu juga membawa rasa sakit yang tak tertahankan, rasa sakit yang membuatnya tinggal di lembah ini, berharap bisa melupakan segalanya.
Pagi berikutnya, Elyndra dan Zorath kembali ke altar di hutan, membawa jurnal Lysa dan dedaunan dari bungkusan itu. Di altar, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam jurnal itu—sebuah mantra yang harus diucapkan di depan altar, dengan dedaunan sebagai pengikat. Tapi mantra itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Elyndra tahu apa yang harus ia korbankan: kenangan tentang Lysa, cinta yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Namun, sebelum mereka bisa membaca lebih lanjut, mereka mendengar suara desisan di antara pepohonan. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Elyndra merasa jantungannya berdegup kencang. Ia menoleh ke Zorath, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Elyndra melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Hutan, yang selama ini menjadi bagian dari kehidupannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.
Jiwa di Balik Desisan
Hujan kembali turun di Lembah Senja, kali ini dengan intensitas yang lebih ganas, seolah alam sendiri sedang menangisi rahasia yang akhirnya terbuka. Elyndra dan Zorath berdiri di altar kecil di hutan, memegang jurnal Lysa dan dedaunan kering. Cahaya lilin di tangan Zorath berkedip-kedip, menciptakan bayang-bayang yang menari di antara pepohonan, seolah roh-roh dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara desisan yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh bayangan samar yang kini terlihat jelas, penuh dengan kesedihan yang tak terucap. Elyndra merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di hutan, apa pun yang telah memburu keluarganya selama beberapa generasi.
Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di antara kabut. Itu adalah gadis muda yang pernah muncul di bayangannya, yang menyerupai Lysa. Wajahnya yang pucat tampak lebih menyeramkan di bawah cahaya petir, dan matanya yang kosong seolah menyimpan rahasia yang lebih dalam dari yang bisa dibayangkan Elyndra. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata gadis itu, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Jurnal itu, dedaunan itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Elyndra Veyn.”
Elyndra ingin bertanya siapa gadis itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Zorath melangkah maju. “Lysa,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Elyndra merasa dunia di sekitarnya berputar. Lysa, adiknya, yang konon telah meninggal, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan gadis ini. Auranya terasa kuno, seolah ia adalah bagian dari hutan itu sendiri, bagian dari panggilan yang mengikat keluarga Veyn.
Lysa tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memastikan panggilan ini berakhir, Zorath. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Elyndra menatap Zorath, mencari jawaban di wajahnya, tapi pria itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Elyndra, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”
Lysa menjelaskan bahwa panggilan keluarga Veyn hanya bisa diputus dengan pengorbanan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga baginya, sesuatu yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri. Bagi Lysa, itu adalah kesehatannya sendiri, yang ia korbankan untuk melindungi Elyndra dari panggilan itu. Dan kini, giliran Elyndra untuk memilih. Dedaunan kering yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.
Elyndra merasa dadanya sesak. Ia teringat Lysa, teringat hari-hari ketika mereka duduk bersama di tepi sungai, teringat senyumnya yang hangat. Ia juga teringat Tharion dan Sylvara, sahabatnya yang telah menemaninya melalui kesedihan. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengorbanan itu berhubungan dengan cinta yang ia miliki—cinta yang pernah ia rasakan untuk Lysa, dan cinta yang tumbuh untuk Tharion dan Sylvara.
Malam itu, di tengah hujan yang tak kunjung reda, Elyndra dan Zorath kembali ke gubuk. Mereka duduk di lantai, dikelilingi oleh jurnal, lukisan, dan dedaunan yang kini terasa seperti beban yang tak tertahankan. Zorath akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah paman jauh Elyndra, bagian dari keluarga besar Veyn, yang datang ke Lembah Senja untuk memenuhi janji Lysa—janji untuk memutus panggilan yang telah menghancurkan hidup mereka. Lysa, menurut Zorath, mencoba melawan roh hutan sebelum kematiannya, tapi ia gagal, dan kematiannya adalah upaya terakhir untuk menyelamatkan Elyndra.
Elyndra merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa ia memiliki paman, tak pernah tahu bahwa Lysa telah mengorbankan dirinya untuknya. Zorath memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Elyndra,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membayarnya.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menikam hati Elyndra. Ia tahu bahwa Zorath bersedia mengorbankan dirinya untuk memutus panggilan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—Lysa, dan kini, mungkin, Zorath. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.
Pagi berikutnya, ketika matahari akhirnya muncul di antara kabut, Elyndra dan Zorath kembali ke altar di hutan. Mereka membawa jurnal Lysa, dedaunan kering, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di altar, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam jurnal itu—sebuah mantra yang harus diucapkan di depan altar, dengan dedaunan sebagai pengikat. Tapi mantra itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Elyndra tahu apa yang harus ia korbankan: kenangan tentang Lysa, cinta yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Dengan tangan gemetar, Elyndra berdiri di depan altar, memegang dedaunan itu. Ia mengucapkan mantra yang ditulis dalam jurnal, setiap kata terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Lysa, senyumnya, suara tawanya. Ia juga teringat Tharion dan Sylvara, yang kini berdiri di sampingnya, matanya penuh dengan kekhawatiran. Ketika kata terakhir mantra itu diucapkan, dedaunan di tangannya bersinar terang, dan hutan itu dipenuhi oleh cahaya yang menyilaukan.
Ketika cahaya itu meredup, Elyndra merasa sesuatu telah berubah. Dedaunan itu kini menjadi abu halus yang beterbangan di angin, dan hutan terasa lebih tenang. Tapi ada harga yang harus dibayar. Elyndra merasa kenangan tentang Lysa mulai memudar, seperti lukisan yang terhapus perlahan dari pikirannya. Ia masih ingat bahwa ia pernah mencintai seseorang, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada.
Zorath memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Elyndra,” katanya pelan. “Panggilan itu sudah berakhir.” Tapi Elyndra tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang mahal. Ia telah kehilangan bagian dari dirinya, bagian yang membuatnya menjadi dirinya sekarang. Namun, di tengah kesedihan itu, ia merasa ada kehangatan baru—kehangatan dari Tharion, Sylvara, dan Zorath, dari kehadiran mereka yang tak pernah goyah.
Hari-hari berikutnya di Lembah Senja terasa berbeda. Kabut yang selama ini menyelimuti lembah mulai menghilang, dan suara burung-burung kembali terdengar. Elyndra, Zorath, Tharion, dan Sylvara memutuskan untuk tetap tinggal di gubuk, membawa serta kenangan yang tersisa dan tekad untuk memulai hidup baru. Mereka duduk di tepi sungai, menatap ke arah horizon, dan Elyndra merasa ada harapan baru yang tumbuh di dalam hatinya.
Lembah Senja, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti rumah yang penuh dengan kedamaian. Desisan yang pernah menggema di hutan telah hilang, dan roh yang memanggil Lysa tampaknya telah menemukan ketenangan. Elyndra tahu bahwa ia telah kehilangan banyak, tapi ia juga telah menemukan sesuatu yang lebih besar—persahabatan dengan Tharion dan Sylvara, dan mungkin, cinta yang baru dengan kehadiran Zorath.
Lembah Terlarang kini menjadi lembah yang damai, dan cerita tentang rusa dan kura-kura akan selalu dikenang sebagai simbol pengorbanan, kesedihan, dan harapan yang abadi dalam hati Elyndra.
Rusa dan Kura-Kura: Kisah Sedih Persahabatan di Lembah Terlarang adalah karya yang memadukan kesedihan, pengorbanan, dan harapan dalam setiap halaman, meninggalkan kesan mendalam bagi pembaca. Dengan alur yang detail dan karakter yang memikat, cerpen ini menawarkan pengalaman membaca yang tak terlupakan untuk pecinta kisah emosional. Segera temukan keajaiban Lembah Senja dan ikuti perjalanan Elyndra—sebuah cerita yang akan terus hidup di hati Anda!
Terima kasih telah menyelami ulasan Rusa dan Kura-Kura: Kisah Sedih Persahabatan di Lembah Terlarang. Semoga Anda terinspirasi untuk menikmati cerita ini dan merasakan setiap emosi yang tersirat. Sampai bertemu lagi di petualangan literatur berikutnya, dan jangan lupa bagikan kesan Anda dengan kami!


