Daftar Isi
Siapa sih yang nggak pernah sok jago kalau lagi ngecengin rumah tua? Apalagi kalau rame-rame bareng temen, berasa paling pemberani sedunia. Tapi gimana kalau ternyata rumah itu beneran berhantu, dan hantu-hantunya malah lebih niat ngerjain kalian ketimbang nakut-nakutin?
Cerita ini bakal bikin kamu ngakak sekaligus merinding karena kejadian kocak yang berubah jadi mimpi buruk dalam semalam! Berani baca sampe habis? Jangan nyalahin kalau nanti jadi takut ke rumah kosong!
Rumah Tua Angker
Sok Jago Sebelum Masuk
Malam itu, empat pemuda berdiri di depan rumah tua yang terkenal angker di ujung desa. Bulan sabit menggantung rendah di langit, sinarnya samar tertutup awan tipis. Angin malam bertiup dingin, menggoyangkan ranting-ranting pohon tua di sekitar rumah, menciptakan bayangan-bayangan aneh di tanah berdebu.
Bram menyeringai, menendang pagar berkarat hingga berderit nyaring. “Ini nih, rumah yang katanya serem? Kayak bekas gudang ayam!”
Raka tertawa sambil mengibaskan tangannya seolah menepis sesuatu di udara. “Bener, gila. Katanya ada hantunya. Mana? Kok nggak nongol? Jangan-jangan mereka juga takut sama kita.”
Edo menyilangkan tangan di dada. “Atau udah pindah karena rumahnya jelek banget. Kasihan juga sih, setan zaman sekarang pasti pengen tinggal di apartemen.”
Jaya yang sejak awal diam saja, melirik ke jendela rumah yang retak. Ada sesuatu yang terasa ganjil, tapi ia tak mau terlihat lemah di depan teman-temannya. “Udahlah, kalau memang berani, masuk aja,” katanya akhirnya.
Bram menepuk pundaknya dengan keras. “Nah, gitu dong! Jangan kayak anak TK.”
Mereka pun mendekati pintu depan. Sebuah papan kayu lapuk tergantung di atasnya, tulisannya sudah nyaris pudar. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, masih bisa terbaca:
“Yang Masuk, Jangan Menyesal.”
Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang mau membaca dengan suara keras.
Bram mengambil posisi di depan pintu, bersiap membuka kuncinya. “Siap, bocil-bocil? Satu… dua… tiga!”
Pintu itu terbuka sendiri dengan suara berderit panjang, seperti suara kuku menggores kaca.
Mereka saling pandang. Raka mencoba tertawa, meskipun suaranya terdengar agak kaku. “Wih, servis premium nih. Pintu otomatis!”
Mereka pun melangkah masuk. Begitu mereka berada di dalam, udara mendadak berubah. Lebih dingin, lebih lembab, dan… lebih berat. Seperti ada sesuatu yang mengawasi.
Ruangan pertama adalah ruang tamu. Sofa tua dengan kain robek berada di sudut, sementara lemari kayu besar berdiri di sisi lain, pintunya sedikit terbuka. Debu tebal menyelimuti semua benda di sana, dan jaring laba-laba menggantung di setiap sudut.
Bram mendekati lemari, mengetuknya pelan. “Kalau ada setannya di sini, coba kasih kode. Aku bakal ajarin cara jadi hantu yang sopan.”
Seperti menjawab tantangannya, lemari itu berderit sendiri.
Jaya langsung mundur selangkah. “Tadi kamu yang gerakin, kan?”
Bram mengangkat tangan. “Aku mah nggak gerakin apa-apa.”
Hening sejenak. Lalu…
“Hihihihihi…”
Suara cekikikan kecil terdengar dari dalam lemari.
Mata mereka membelalak.
Raka menelan ludah. “E-Eh… itu suara kayu retak, kan?”
Edo mengangguk cepat, meskipun kakinya sudah mulai bergeser ke belakang. “Iya, iya! Udah biasa. Namanya juga rumah tua.”
Tapi sebelum mereka bisa beranjak, lemari itu terbuka lebih lebar…
Sebuah boneka tua dengan wajah pudar dan mata kosong duduk manis di dalamnya. Kepalanya sedikit miring ke satu sisi, seolah sedang memperhatikan mereka.
Bram tertawa hambar. “Cuma boneka, woy. Gila aja kita takut sama—”
Klep!
Mata boneka itu bergerak.
Tak ada yang bersuara selama tiga detik penuh.
Lalu, dalam satu gerakan serempak, mereka semua mundur ke belakang dengan napas tersengal.
Jaya menggenggam lengan Edo. “W-Woi, aku nggak salah lihat, kan?”
Edo menggeleng cepat. “Kalau salah lihat, berarti kita salah lihat bareng-bareng.”
Tiba-tiba, boneka itu jatuh ke lantai dengan suara duk yang nyaring.
Itu cukup untuk membuat keempatnya berhamburan menuju lorong panjang di dalam rumah tanpa pikir panjang.
Namun, baru beberapa langkah, mereka berhenti mendadak.
Di ujung lorong, sebuah pintu terbuka sedikit. Di dalamnya, ada cermin besar yang sudah retak.
Dan di cermin itu… ada bayangan seseorang berdiri.
Tapi anehnya, tak ada siapa-siapa di lorong selain mereka.
Raka mengangkat senter dengan tangan gemetar. “K-Kita balik aja, yuk.”
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, lampu tua di langit-langit rumah tiba-tiba menyala sendiri, berkedip-kedip seperti lilin tertiup angin.
Lalu terdengar suara langkah kaki dari atas.
Tok… tok… tok…
Langkah kaki itu terdengar perlahan, turun dari tangga di ujung lorong.
Bram menelan ludah. “A-Aku nggak tahu kalian, tapi aku udah nggak pengen ngajarin hantu sopan santun lagi.”
Langkah kaki itu semakin dekat.
Lalu suara itu berhenti tepat di tikungan lorong.
Hening.
Jaya menarik napas dalam. “O-Oke… mungkin itu suara kayu tua aja, ya?”
Tanpa aba-aba, suara tertawa itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat.
“Hihihihihihihi…”
Lampu berkedip lebih cepat, bayangan di cermin tampak semakin jelas.
Dan sebelum mereka bisa berpikir lebih jauh… sesuatu bergerak di tikungan lorong.
Sesuatu dengan tangan panjang dan jari-jari yang mencakar dinding.
Bram menjerit duluan. “LARIII!!!”
Keempatnya langsung berlari ke ruangan lain tanpa melihat ke belakang, napas mereka tersengal ketakutan. Tapi mereka tidak sadar bahwa mereka baru saja memasuki perangkap lain di rumah tua itu…
Ketawa Dulu, Merinding Kemudian
Keempat pemuda itu berhamburan masuk ke sebuah ruangan yang lebih luas. Nafas mereka memburu, dada naik-turun panik. Lampu gantung tua berayun perlahan di langit-langit, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di dinding berdebu.
Raka menutup pintu dengan terburu-buru dan menekan tubuhnya ke kayu lapuk itu. “Kita… kita nggak salah masuk, kan?”
Bram meneguk ludah, mencoba menenangkan diri. “Yang penting bukan masuk neraka aja.”
Edo mengarahkan senter ke sekeliling ruangan. Rak buku besar berdiri di sudut, isinya berantakan, beberapa buku tua berserakan di lantai. Ada kursi goyang tua yang menghadap ke perapian batu bata, dan meja panjang di tengah ruangan yang sudah tertutup debu tebal.
Tiba-tiba, kursi goyang itu bergerak.
Krik… krik… krik…
Perlahan, seolah ada seseorang yang sedang duduk di sana.
Jaya langsung merapat ke Edo. “Jangan-jangan ada hantu yang lagi nyantai di situ.”
Bram menelan ludah. “Kalau ada hantunya, aku harap dia ramah, ya.”
Seolah mendengar mereka, kursi itu berhenti bergoyang.
Hening.
Lalu, suara lain muncul.
“Kalian… lucu sekali…”
Mata mereka membelalak. Itu bukan suara di kepala mereka. Itu nyata. Itu datang dari kursi goyang itu.
Raka mencengkeram lengan Bram. “T-Tadi ada yang ngomong, kan?”
Bram mengangguk kaku. “Iya, tapi aku harap aku salah denger.”
Tanpa aba-aba, meja di tengah ruangan bergeser dengan keras, menciptakan suara seretan yang memekakkan telinga. Salah satu buku di lantai terangkat sendiri dan melayang di udara.
Lalu… BUG!
Buku itu jatuh tepat di kepala Edo.
Edo langsung melompat sambil mengusap kepalanya. “Sial! Hantu kurang kerjaan!”
Jaya menunjuk ke rak buku. “G-Guys… aku nggak suka ini…”
Rak buku yang sebelumnya penuh debu sekarang tampak berbeda. Beberapa buku tersusun membentuk kata-kata:
“PERMAINAN BARU DIMULAI.”
Bram tertawa kaku. “Oke, siapa di antara kita yang bisa nyusun buku secepat itu?”
Belum sempat ada yang menjawab, sesuatu terjadi lagi.
Kursi goyang itu mulai bergoyang lebih cepat, lalu tiba-tiba berhenti.
Seperti menahan sesuatu.
Lalu, suara tawa kembali terdengar.
“Hihihihihihihi…”
Tapi kali ini, suara itu tidak hanya terdengar dari satu arah.
Itu datang dari seluruh ruangan.
Dari balik rak buku. Dari sudut gelap di bawah meja. Dari langit-langit ruangan.
Tawa yang makin lama makin keras, semakin menyeramkan.
Jaya langsung panik. “Oke, cukup! Keluar dari sini!”
Mereka bergegas ke pintu, tapi…
BRAK!!
Pintu menutup sendiri dengan keras, seperti ditampar oleh sesuatu yang tak terlihat.
Raka menarik gagang pintu, tapi tidak bergerak. “Sial, dikunci dari luar!”
Bram mencoba menendangnya, tapi pintu itu tetap diam di tempatnya.
Tiba-tiba, suara berat dan serak terdengar di telinga mereka.
“Kenapa buru-buru pergi…?”
Mereka semua membeku.
Sebuah tangan pucat tiba-tiba menjulur keluar dari balik rak buku, jari-jari panjangnya mencakar kayu.
Mereka berteriak serempak dan langsung berhamburan ke sudut ruangan.
Sesuatu bergerak di bayangan.
Lalu, muncul sosok tinggi dengan rambut panjang menjuntai. Wajahnya samar karena tertutup gelap, tapi matanya—matanya berkilat merah di kegelapan.
Bram mencengkram bahu Raka. “B-Bro… itu bukan dekorasi rumah, kan?”
Sosok itu perlahan melangkah maju.
Tiba-tiba, rak buku bergeser ke samping, membuka sebuah lorong sempit yang gelap.
Mereka tidak punya pilihan.
“LARI!!!”
Mereka langsung masuk ke lorong itu tanpa pikir panjang.
Saat tubuh terakhir masuk ke dalam lorong… rak buku itu kembali bergeser, menutup mereka dalam kegelapan.
Dan suara tawa itu… masih mengikuti mereka.
Hantu Punya Selera Humor
Langkah kaki mereka menggema di lorong sempit yang pengap. Nafas mereka memburu, jantung berpacu seperti genderang perang. Lorong itu begitu gelap, hanya diterangi cahaya senter dari ponsel mereka yang mulai berkurang dayanya.
Edo menggerutu sambil berlari, “Kenapa rumah tua selalu punya lorong rahasia? Emang ini rumah atau wahana horor?”
“Udah diem aja dan terus lari!” Jaya menepis tangan Bram yang hampir terjatuh karena tersandung sesuatu di lantai.
Lalu, lorong itu tiba-tiba bercabang dua.
Mereka berhenti mendadak.
Raka menyorotkan senter ke kedua arah. “Kita ke kiri atau ke kanan?”
Suara tawa lirih terdengar lagi. Kali ini, suara itu terdengar di belakang mereka.
“Hihihihihihi….”
Edo langsung menunjuk ke kiri. “Pokoknya bukan ke arah suara itu!”
Tanpa debat lebih lanjut, mereka berempat serempak memilih lorong kiri dan berlari sekencang mungkin. Namun, baru beberapa langkah, Edo mendadak berhenti dan mengangkat tangannya.
“Wait, wait, wait! Aku denger sesuatu.”
Mereka semua terdiam, menajamkan telinga.
Suara itu terdengar dari dinding di samping mereka. Suara seperti… seseorang sedang mengetuk dari dalam dinding.
Tok… tok… tok…
Lalu, suara lirih menyusul.
“Kalian yakin nggak mau balik?”
Edo mendelik. “Oke, itu bukan suara perutku.”
Tiba-tiba, sesuatu menyentuh pundaknya dari belakang.
Dia menoleh—
“ARGGHHH!!!”
Sebuah kepala melayang, pucat dengan mata kosong dan mulut menyeringai lebar, melayang tepat di belakangnya!
Bram, Jaya, dan Raka tidak berpikir panjang. Mereka langsung kabur duluan, meninggalkan Edo yang masih shock.
“H-Hey! Tungguin, dasar nggak ada solidaritas!!” Edo langsung menyusul dengan kecepatan Usain Bolt versi ketakutan.
Mereka berlari tanpa arah sampai akhirnya lorong itu berakhir di sebuah ruangan luas yang tampak seperti ruang makan besar. Ada meja panjang di tengah, lengkap dengan kursi-kursi tua.
Yang lebih aneh lagi… meja itu sudah tertata rapi dengan hidangan lengkap. Ada ayam panggang, roti, sup dalam mangkuk porselen—seperti ada yang mengundang mereka untuk makan malam.
Jaya menatap ngeri. “Siapa yang nyiapin ini?”
Tiba-tiba, salah satu kursi bergerak sendiri, seperti ada yang duduk di sana.
Dan kemudian… terdengar suara.
“Kalian lapar, kan?”
Suara itu tidak berasal dari satu titik. Itu terdengar di seluruh ruangan, seolah-olah temboknya sendiri yang berbicara.
Bram memegang perutnya yang tiba-tiba berbunyi. “Oke, aku nggak bohong, perutku emang laper, tapi ya nggak gini juga!”
Tiba-tiba, sendok dan garpu di meja itu bergerak sendiri. Mereka mulai menyendok sup, memotong ayam, bahkan menuangkan anggur ke gelas tanpa ada yang menyentuhnya.
Edo menelan ludah. “Gue nggak mau jadi dessert-nya, cabut sekarang!”
Mereka berbalik menuju pintu di sisi lain ruangan, tetapi sebelum mereka bisa menyentuh gagangnya—
BRAK!!!
Pintu itu menutup sendiri dengan keras.
Dari seberang meja makan, sosok tinggi bergaun hitam perlahan muncul dari kegelapan. Wajahnya tertutup cadar kelam, tapi tangan pucatnya terulur ke arah mereka.
“Temani aku makan…”
Mereka semua mundur bersamaan.
Lalu, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.
Hidangan di meja itu membusuk dalam hitungan detik. Ayam panggang berubah menjadi tulang belulang, sup menghitam dan berbau busuk, anggur di gelas berbusa seperti darah kental.
Dan kursi-kursi di meja itu bergerak sendiri, seperti ada makhluk tak kasat mata yang sedang duduk di sana.
Bram hampir pingsan. “A-aku nggak tahan lagi. Ini gila…”
Sosok bergaun hitam itu mulai mendekat. Langkahnya tidak mengeluarkan suara, tapi hawa dinginnya terasa menusuk.
Jaya mengguncang gagang pintu, tapi tetap terkunci. “Cepat cari jalan keluar!!”
Raka melirik jendela di sisi ruangan. “Jendela! Lewat jendela!”
Mereka semua langsung bergegas ke jendela besar yang tampak sudah tua dan berdebu.
Namun, begitu mereka mencoba membuka jendela itu, mereka melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku.
Di balik kaca, ada refleksi mereka—tapi bukan mereka yang asli.
Itu mereka, tapi dengan wajah menyeramkan. Mata kosong, senyum lebar tak wajar, dan tubuh yang tampak seperti mayat hidup.
Dan refleksi itu… sedang menatap mereka balik, tertawa.
“Hihihihihihi….”
Panik, mereka langsung berbalik mencari jalan lain.
Namun, sosok bergaun hitam itu kini berdiri tepat di depan mereka.
Wajahnya masih tersembunyi, tapi dari balik cadar itu, terdengar suara yang lebih menyeramkan.
“Kalian pikir bisa pergi…?”
Ruangan tiba-tiba berputar. Lantai seperti bergerak sendiri, meja makan dan kursi berputar-putar, membuat mereka merasa seperti berada di dalam pusaran mimpi buruk.
Edo berteriak, “INI MAU BIKIN KITA GILA ATAU APA?!”
Jaya, yang sudah terlalu panik, langsung berteriak tanpa arah. “KALAU KITA NGGAK MATI MALAM INI, AKU JANJI BAKAL JADI ORANG BAIK!!!”
Tiba-tiba—
“CUKUP.”
Semua suara hening.
Ruangan berhenti berputar.
Dan sosok bergaun hitam itu lenyap begitu saja.
Mereka bertukar pandang. Apa yang baru saja terjadi?
Lalu, terdengar suara lain.
Suara seorang pria.
“Sudah lama tidak ada tamu di rumah ini…”
Mereka menoleh ke arah asal suara.
Di ujung ruangan, di dekat perapian yang kini menyala dengan api biru yang menyeramkan, berdiri seorang pria muda berpakaian ala bangsawan zaman dulu.
Dia tersenyum tipis.
“Selamat datang di rumahku.”
Tuan Rumah yang Sudah Lama Mati
Keheningan memenuhi ruangan. Api biru di perapian berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding batu. Empat sekawan itu berdiri kaku, napas mereka tersengal, otak mereka mencoba mencerna situasi.
Di depan mereka, pria muda berpakaian bangsawan itu tersenyum tipis. Matanya tajam, ekspresinya penuh teka-teki.
“Selamat datang di rumahku,” ulangnya dengan nada tenang, seolah mereka adalah tamu yang benar-benar diundang.
Edo menelan ludah. “K-Kamu siapa?”
Pria itu tidak langsung menjawab. Dia melangkah perlahan ke arah mereka, jubah panjangnya berdesir menyapu lantai berdebu. Tatapannya menusuk, seakan menelanjangi pikiran mereka satu per satu.
“Namaku Edgar Von Rivenheim,” ucapnya akhirnya. “Aku tuan rumah di tempat ini.”
Bram yang masih setengah pingsan tiba-tiba tersadar. “Von apa? Kayak nama karakter film horor Eropa!”
Jaya menampar pelan kepalanya. “Udah diem aja, jangan buat dia marah!”
Namun, Edgar justru terkekeh. “Ah, kalian manusia modern memang lucu.”
Raka akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Jadi… kamu ini hantu?”
Edgar tidak langsung menjawab. Dia memiringkan kepalanya sedikit, seperti mempertimbangkan jawaban yang tepat.
“Aku… sudah lama meninggal,” katanya pelan. “Tapi aku lebih suka menyebut diriku sebagai penjaga rumah ini.”
Edo mencelos. “Oke, jadi emang hantu.”
Bram langsung mundur selangkah. “K-Kalau gitu, kenapa kamu masih di sini?”
Edgar menghela napas. “Rumah ini sudah lama ditinggalkan, tapi aku tetap di sini, menjaga mereka yang masih ada.”
Mereka?
Sebelum ada yang sempat bertanya, suara tawa lirih terdengar lagi dari sudut ruangan.
“Hihihihihihi…”
Perlahan, bayangan mulai bermunculan di sekitar mereka. Kursi-kursi bergerak sendiri, cermin di dinding menampilkan sosok-sosok gelap yang bergeming menatap mereka.
Mereka baru sadar… ruangan ini masih penuh dengan penghuni tak kasat mata.
Jaya langsung pucat. “B-Banyak banget hantunya, anjir…”
Edo menahan diri untuk tidak pingsan di tempat. “Bisa nggak kita keluar baik-baik tanpa harus ikut jadi penghuni tetap?”
Edgar menatap mereka sejenak, lalu tersenyum kecil.
“Bisa,” katanya. “Tapi dengan satu syarat.”
Mereka menelan ludah bersamaan.
Bram mengangkat tangan dengan suara gemetar, “Syaratnya… nggak ada yang harus dikorbankan, kan?”
Edgar terkekeh. “Tentu saja tidak.”
Dia kemudian menunjuk ke tengah meja makan, ke satu gelas anggur yang masih utuh, tidak ikut membusuk seperti hidangan lainnya.
“Kalian hanya perlu minum dari gelas itu,” ujarnya.
Jaya mendengus. “Udah kayak tantangan minum racun di film horor.”
Raka mengamati gelas itu dengan curiga. “Kalau kita minum, apa yang bakal terjadi?”
Edgar tersenyum. “Kalian akan melupakan apa yang terjadi di rumah ini.”
Suasana hening.
Edo menatap gelas itu dengan perasaan campur aduk. “Jadi… kita nggak bakal ingat kejadian barusan? Semua hantu yang kita lihat?”
Edgar mengangguk. “Kalian akan pergi dengan selamat, tanpa rasa takut akan tempat ini. Tidak akan ada trauma, tidak akan ada mimpi buruk. Seolah-olah kalian tidak pernah datang.”
Mereka saling bertatapan.
Bram mengusap wajahnya. “Sebenarnya… itu bukan hal buruk. Aku juga nggak mau hidup dengan ingatan rumah neraka ini.”
Edo menghela napas berat. “Tapi aneh banget, masa kita keluar dari rumah ini terus tiba-tiba lupa?”
Jaya menatap Edgar tajam. “Kenapa kamu ngelakuin ini? Kenapa pengin kita lupa?”
Edgar tidak langsung menjawab. Tatapannya menerawang, seperti menyimpan sesuatu yang tidak bisa ia katakan.
“Ada hal-hal yang lebih baik tidak diingat,” ucapnya akhirnya. “Keberadaan rumah ini… rahasianya… biarkan tetap menjadi milik mereka yang tinggal di sini.”
Mereka kembali terdiam.
Lalu, satu per satu, mereka akhirnya mengalah. Dengan ragu, mereka mengambil gelas itu, meneguk isinya dengan harapan ini bukan taktik hantu untuk menjebak mereka selamanya.
Saat cairan itu melewati tenggorokan mereka, kepala mereka mendadak pusing. Pandangan mereka berputar. Ruangan di sekitar mereka mulai memudar.
Dan perlahan-lahan… segalanya menjadi gelap.
Ketika mereka membuka mata, mereka sudah berada di luar.
Mereka berdiri di depan gerbang besi tua, menghadap rumah besar itu yang kini tampak lebih suram daripada sebelumnya.
Mereka saling berpandangan, kebingungan.
“Uh… kenapa kita di sini?” Edo menggaruk kepalanya.
Jaya mengernyit. “Tadi kita ngapain, ya?”
Bram melihat jam tangannya. “Udah hampir tengah malam… kita ngapain di depan rumah kosong begini?”
Raka menatap rumah tua itu dengan perasaan aneh, seperti ada sesuatu yang menggelitik ingatannya, tapi tidak bisa ia jelaskan.
“Entahlah,” gumamnya. “Kayaknya kita harus pulang aja.”
Tanpa pikir panjang, mereka semua berbalik dan pergi.
Mereka tidak menyadari bahwa dari balik jendela lantai atas, seorang pria berpakaian bangsawan sedang mengawasi mereka, tersenyum tipis.
Edgar Von Rivenheim.
Dia berbisik pelan, “Sampai jumpa lagi.”
Di belakangnya, suara tawa lirih kembali terdengar.
“Hihihihihihi…”
Tirai jendela tertutup sendiri.
Dan rumah itu kembali sunyi.
TAMAT.
Yah, begitulah nasib anak-anak sok berani yang nggak sadar udah main ke rumah orang tanpa izin. Giliran diledekin balik sama penghuni aslinya, baru deh sadar kalau hantu bisa lebih niat ngerjain manusia daripada sebaliknya.
Tapi ya sudahlah, mereka selamat… atau setidaknya, mereka nggak ingat apa-apa. Kalian sendiri berani nggak masuk rumah tua yang katanya angker? Jangan-jangan hantunya malah lebih pinter dari kalian!


