Rumah dalam Tenunan: Kisah Turis Jadi Warga, Alam, dan Warisan yang Hidup

Posted on

Pernah ngebayangin datang ke desa kecil cuma buat liburan, tapi malah nemu rumah yang sebenarnya? Cerpen ‘Rumah dalam Tenunan’ bukan cuma soal turis yang jatuh cinta sama tempat asing, tapi tentang gimana budaya lokal, alam, dan kebaikan warga bisa bikin seseorang merasa punya akar baru.

Cerita ini ngajak kita menyelam ke kehidupan di balik kain tenun, kehangatan penduduk desa, sampai pergulatan menjaga budaya dari serbuan dunia luar. Nggak cuma seru dan menyentuh, tapi juga bikin mikir: kita udah cukup sayang belum sama warisan budaya kita sendiri?

Rumah dalam Tenunan

Benang Pertama di Tanah Asing

Langit Wae Lodo memancarkan warna emas yang lembut ketika sebuah kapal layar mungil perlahan mendekat ke pelabuhan. Angin pagi membawa bau asin laut, berpadu dengan aroma kayu basah dan tanah yang baru tersiram embun. Beberapa anak desa berlarian menyusuri dermaga kayu, menyoraki kedatangan sosok asing yang berdiri tenang di haluan kapal.

Orang asing itu adalah seorang perempuan, tubuhnya ramping dan tinggi, dengan rambut keemasan yang dikepang seadanya. Wajahnya kemerahan oleh matahari tropis, tapi ia tersenyum, seperti sudah mengenal tempat itu jauh sebelum kakinya menginjakkan diri di atas tanahnya.

Di bawah pohon waru, beberapa warga menatap dengan rasa ingin tahu. Salah satu dari mereka, perempuan tua dengan rambut disanggul ketat dan kain tenun cokelat-oranye yang membungkus tubuhnya, melirik ke arah kepala desa.
“Kayaknya dia bukan singgah biasa,” gumamnya pelan.

“Kalau dia mau numpang lewat, kita bantu. Tapi kalau mau tinggal, dia harus ngerti adat,” jawab kepala desa singkat.

Tak lama, perempuan asing itu pun melangkah turun, tas ransel besar di punggungnya dan sebuah buku catatan tebal dalam pelukannya. Ia berhenti di ujung dermaga, membungkuk sedikit—tanda hormat yang ia pelajari dari video sebelum datang ke Indonesia.

Namanya disebut setelah ia memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris yang patah-patah. “Mirka. Mirka Solberg… dari Norwegia,” katanya sambil menunjuk dadanya dan tersenyum canggung.

Mak Elemi—perempuan tua tadi—menatapnya tajam. Tapi bukan tajam yang mengancam, lebih seperti memeriksa niat di balik sorot mata. Ia maju, lalu bertanya dalam bahasa Indonesia pelan, “Kamu mau ngapain datang ke sini?”

“Aku mau belajar,” jawab Mirka. “Belajar tentang tenun… tentang desa ini. Aku nggak mau foto-foto atau… jual cerita. Aku cuma… pengen ngerti.”

Mak Elemi tertawa kecil. “Tenun bukan cuma soal kain, Nak. Itu sejarah, doa, aturan. Kamu kuat?” tanyanya sambil menatap lurus.

Mirka mengangguk. “Aku mau coba.”

Kepala desa akhirnya mengangguk pelan. “Kalau begitu, kamu tinggal dulu di rumah Mak Elemi. Nanti kamu pelan-pelan belajar cara hidup kami. Tapi ingat, desa ini bukan tempat untuk orang yang cuma datang lalu pergi.”

Sore itu, Mirka mulai tinggal di rumah kayu berdinding bambu milik Mak Elemi. Rumah itu wangi kayu manis dan asap dapur. Atap rumbia bergemerisik pelan diterpa angin. Di dinding, tergantung berpuluh gulungan kain tenun berwarna tanah, langit, dan darah. Setiap kain punya motif sendiri. Ada yang seperti ombak, seperti gunung, ada pula yang membentuk lingkaran matahari.

“Kain ini bukan buat dipakai gaya-gayaan, ya,” ujar Mak Elemi sambil mengelap tangannya. “Ini cerita. Kalau kamu tenun sembarangan, kamu bisa salah artikan sejarah.”

Mirka mendekati satu kain berwarna biru tua dengan motif garis bergelombang. “Yang ini cantik banget. Artinya apa?”

“Itu Ina Mare, lambang laut kami. Kalau kamu tenun itu, kamu harus puasa satu hari, terus niatnya harus jelas. Kamu tenun buat apa? Buat dagang? Buat hadiah? Atau buat ngebayar janji?”

Mirka menatap kain itu lama. “Kalau aku tenun buat belajar, boleh?”

Mak Elemi menoleh, lalu senyum kecil menghiasi wajah tuanya. “Boleh. Tapi kamu harus mulai dari nol. Dari motong benang.”

Esok paginya, Mirka mulai belajar menenun. Tapi sebelum itu, ia harus mencuci benang di sungai kecil yang mengalir dari gunung. Di sanalah ia bertemu beberapa gadis muda yang sedang tertawa sambil membilas kain.

Salah satu dari mereka, gadis berkulit sawo matang dengan mata tajam, menyapa dengan nada bercanda. “Kamu bule yang katanya mau jadi penenun, ya?”

Mirka tertawa kecil. “Iya. Aku bule gagal. Nggak bisa tenun.”

“Kamu udah gila sih. Tenun itu makan waktu, bikin pinggang sakit, mata sakit. Tapi ya… kalau kamu kuat, kamu bisa jadi bagian sini,” ujar gadis itu sambil tersenyum ramah. Namanya Liri.

Liri dan teman-temannya mulai akrab dengan Mirka. Mereka mengajarinya menyisir benang, memilih warna dari daun dan akar, bahkan memijat pundaknya saat tangannya gemetar karena salah teknik memintal.

Hari-hari berlalu, dan perlahan, langkah Mirka tidak lagi kaku. Ia mulai tahu waktu terbaik untuk naik ke bukit melihat matahari, kapan harus diam saat mendengar suara gong dari rumah adat, dan bagaimana cara meminta izin pada pohon sebelum memetik daunnya.

Namun tidak semua orang menyambutnya hangat.

Di kejauhan, seorang pria muda sering terlihat mengamati Mirka dari balik batang kelapa. Bahunya bidang, matanya tajam. Ia jarang bicara, tapi semua orang tahu siapa dia—La’ban Karu, penjaga adat yang keras dan tidak suka perubahan.

Saat melihat Mirka memegang alat tenun, ia mendekat dan bicara untuk pertama kalinya. Suaranya dalam, datar.
“Kamu tahu nggak, kalau salah tenun bisa dianggap menghina leluhur?”

Mirka menatapnya. “Aku tahu. Makanya aku belajar.”

“Lae, belajar itu nggak cuma soal lihat dan niru. Kamu harus ngerti hati orang sini, bukan cuma pola kainnya.”

“Aku ngerti. Tapi aku juga manusia. Aku bisa belajar kalau dikasih kesempatan,” jawab Mirka lembut.

La’ban Karu tidak membalas. Ia hanya menatap dalam, lalu pergi. Tapi dalam langkahnya, ada ragu—antara menolak dan penasaran.

Hari demi hari, satu helai benang demi benang disatukan. Kain pertama Mirka masih penuh celah. Warnanya tidak rata, dan ujungnya sedikit lepas. Tapi ketika ia menunjukkannya pada Mak Elemi, perempuan tua itu tersenyum.

“Jelek, tapi jujur,” katanya.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Mirka makan malam bersama warga desa. Mereka duduk melingkar, menyantap jagung bakar dan ikan panggang. Di tengah tawa dan cerita, Mirka menyadari bahwa ia sudah menenun sesuatu yang lebih penting daripada kain—sebuah hubungan.

Tapi ini baru awal. Tenun yang sebenarnya, bukan di tangan. Tapi di hati.

Dan di kejauhan, La’ban Karu masih mengamati. Masih diam. Masih belum percaya.

Tapi waktu akan berbicara. Dan Wae Lodo, desa yang tenang itu, bersiap menyambut perubahan dengan langkah hati-hati—satu benang demi satu benang.

Tarian di Antara Dua Dunia

Hujan pertama bulan itu turun pelan, membasahi daun kelapa dan memunculkan aroma tanah yang menenangkan. Di pendopo tengah desa, lantai kayu dipel dan disapu hingga mengilap. Malam itu bukan malam biasa. Kalender adat menunjukkan hari ketujuh setelah purnama, waktu di mana tari Topo Gane kembali digelar.

Mirka duduk di sudut ruangan, mengenakan kain tenun yang ia buat sendiri—belum sempurna, tapi cukup layak dipakai. Liri dan gadis-gadis lain mengenakan warna-warna tanah yang dalam, dengan rambut dikepang dan bunga liar terselip di telinga. Lampu minyak menggantung rendah, menyorot wajah mereka dalam kilau keemasan.

“Kalau kamu gugup, jangan liat orang. Liat langit-langit aja,” bisik Liri, mencoba menenangkan.

“Aku bukan gugup. Aku takut ganggu alur tari kalian,” bisik Mirka balik, jari-jarinya meremas bagian bawah kainnya.

Liri hanya nyengir. “Kamu penari sekarang. Bukan penonton.”

Di luar pendopo, warga desa mulai berdatangan. Mereka duduk melingkar, anak-anak di depan, orang tua di belakang. Gong dan gendang mulai berbunyi pelan, membentuk irama pelan seperti langkah kaki hewan hutan. Perlahan, para penari melangkah masuk, termasuk Mirka, yang mengambil tempat di belakang, mengikuti gerakan dengan hati-hati.

Malam itu, sesuatu berubah.

Gerakan kaki mereka adalah cerita. Tangan yang bergerak ke atas melambangkan daun yang tumbuh, ke bawah adalah akar yang menyatu dengan tanah. Dan ketika seluruh penari berputar ke kiri lalu ke kanan, itu adalah simbol air dan angin—dua elemen yang harus selalu berdampingan.

Mirka menari dengan pelan, mengikuti gerakan Liri yang ada di depannya. Meski tak seanggun yang lain, tapi langkahnya tidak salah. Ia mulai merasa, bukan hanya mengikuti. Ia tidak hanya melihat budaya—ia mulai menapaki jalan di dalamnya.

Namun saat prosesi hampir selesai, suara gong berhenti tiba-tiba. Keheningan menggantung di udara.

Dari arah barat pendopo, La’ban Karu berdiri tegak. Ia mengenakan ikat kepala merah dengan simbol keluarga. Matanya menatap lurus ke arah Mirka.

“Ada gerakan yang dilanggar,” katanya, lantang.

Suara-suara mulai berbisik. Beberapa warga saling pandang. Mak Elemi yang duduk di deretan depan menatap Karu, tapi tidak menyela.

Mirka berdiri kaku. Ia bingung. “Aku salah gerak?” tanyanya pelan ke Liri.

Liri tak sempat menjawab. La’ban Karu melangkah ke tengah lingkaran. “Gerakan keempat, putaran air dan angin, tidak boleh dilakukan kalau kamu belum ikuti ritual Wangi Tula. Itu aturan.”

Mirka menatapnya bingung. “Aku… aku nggak tahu. Nggak ada yang kasih tahu soal itu…”

“Kamu belajar banyak hal di sini, tapi kamu belum tanya mana yang boleh dan nggak. Belajar budaya itu bukan cuma ikut-ikut. Ada aturannya,” ujar Karu tajam.

Suasana menjadi tegang. Tapi sebelum ada yang menyela, Mak Elemi berdiri pelan. Suaranya tenang, tapi penuh wibawa.

“Karu, dia masih belajar. Kesalahan bisa dibetulkan, tapi niat baik nggak bisa dipalsukan. Kamu marah karena takut budaya ini rusak, aku ngerti. Tapi marah tanpa ngasih kesempatan? Itu bukan cara kita.”

Karu menahan napas, lalu mengangguk kecil dan mundur ke pinggir. “Kalau dia memang mau jadi bagian dari desa ini, dia harus ikut semua prosesnya. Jangan setengah-setengah.”

Malam itu, upacara ditutup lebih cepat. Tak ada senyum. Tak ada tawa. Tapi di benak Mirka, tidak ada marah. Hanya rasa ingin tahu—dan tanggung jawab yang tumbuh makin dalam.

Esoknya, ia mendatangi Mak Elemi sambil membawa sekeranjang daun dan akar warna. “Aku mau ikut Wangi Tula,” katanya mantap.

Mak Elemi menghela napas. “Itu bukan upacara kecil. Kamu harus bersih. Harus jujur. Harus rela melepaskan sesuatu.”

“Aku siap. Aku mau belajar, bukan sekadar lewat.”

Dan begitu dimulailah perjalanan baru untuknya. Ritual Wangi Tula bukan tentang upacara ramai-ramai. Itu perjalanan sunyi—menyendiri di rumah adat, berpuasa, bermeditasi, mendengarkan cerita leluhur dari para tetua. Mirka menjalani semua itu. Siang tanpa suara, malam hanya ditemani suara tonggeret.

Sementara itu, di luar rumah adat, La’ban Karu diam-diam memperhatikan. Ia mulai melihat—bahwa Mirka memang tidak seperti pelancong yang lain. Ia tidak lari saat salah. Ia tidak marah saat dihakimi. Ia tinggal. Ia belajar. Dan ia diam.

Satu malam sebelum ritual berakhir, Karu akhirnya datang, berdiri di depan pintu rumah adat.

“Aku pernah salah juga,” katanya tanpa menatap. “Dulu waktu kecil, aku pernah rusak alat tenun nenekku. Aku pikir, aku tahu segalanya. Tapi waktu aku ditegur, aku kabur. Kamu nggak kabur.”

Dari dalam, suara Mirka terdengar lirih. “Karena aku mau jadi bagian dari tempat ini. Bukan cuma pengunjung.”

Karu mengangguk kecil, lalu pergi tanpa banyak kata.

Saat fajar menyingsing keesokan harinya, Mirka keluar dari rumah adat. Wajahnya lelah tapi tenang. Di tangan kanannya, sehelai daun mangga muda—tanda bahwa ia telah selesai. Di tangan kirinya, sehelai benang merah yang ia simpulkan sendiri.

Desa menyambutnya kembali. Bukan dengan sorak, tapi dengan pelukan diam dan senyum yang hanya diberikan untuk mereka yang benar-benar dianggap keluarga.

Tapi perjalanan belum selesai.

Karena menjadi bagian dari budaya bukan akhir, tapi awal dari peran baru.

Dan di kejauhan, Pelabuhan Matahari Terbit kembali berkilau, seolah tahu bahwa tarian itu belum selesai—masih ada dunia yang harus dijahit, satu langkah dalam dua irama.

Dalam Tenunan, Ada Rumah

Musim panen di Wae Lodo tiba dengan riuh sederhana. Ladang-ladang jagung mulai menguning, dan anak-anak berlarian mengejar capung di antara pohon pisang. Di tengah geliat kecil desa itu, Mirka duduk di bale bambu, menenun dengan wajah serius. Tangannya sudah lebih cekatan dari sebelumnya, dan warna-warna yang ia pilih mulai membentuk motif yang dikenal oleh warga desa: Langi Nara, simbol rumah yang bersinar di kaki langit.

“Kamu nggak bikin motif asing hari ini?” tanya Liri sambil membawa dua gelas air kelapa.

Mirka tersenyum kecil. “Enggak. Hari ini aku bikin rumah. Rumah yang aku rasain di sini.”

Liri duduk di sampingnya, menatap tenunan itu pelan. “Rumah itu bukan bangunan, ya. Tapi orang-orangnya.”

“Dan benangnya,” balas Mirka.

Semenjak mengikuti Wangi Tula, hubungan Mirka dengan warga desa berubah perlahan. Ia tidak lagi dipandang sebagai orang asing, tapi juga belum sepenuhnya ‘orang sini’. Namun pergeseran itu justru menguatkan tekadnya: ia tidak mau jadi sekadar pengamat. Ia ingin menenun, bukan hanya kain, tapi juga hidup.

Mak Elemi, yang biasanya keras dan bicara seadanya, kini sering duduk di samping Mirka, mengajarkan cara membaca simbol-simbol tenun seperti membaca buku puisi. Kadang, mereka tidak bicara berjam-jam, hanya duduk berdampingan sambil membiarkan suara alat tenun dan dedaunan menjadi percakapan tersendiri.

Namun hari-hari damai itu perlahan terusik ketika sekelompok turis asing datang membawa kamera besar dan suara keras. Mereka datang melalui koneksi agen wisata dari kota. Warga tak bisa menolak, sebab mereka membawa ‘bantuan’, kata pihak luar.

Salah satu dari mereka bahkan mendekati Mirka saat ia tengah menenun di pendopo terbuka.

“Hey, can we buy that from you? We’ll pay good money,” ujar laki-laki berkacamata hitam sambil menunjuk tenunan Langi Nara yang belum selesai.

Mirka menatapnya sebentar. “Maaf. Ini bukan buat dijual.”

Laki-laki itu menyeringai. “Everything’s for sale, sweetheart. We’ll pay double. Triple if needed.”

La’ban Karu yang kebetulan lewat langsung berdiri di samping Mirka. Ia menatap si turis dengan dingin. “Kain itu punya arti. Bukan cuma warna dan garis.”

“Wow, relax dude. We’re just offering money. Chill.”

“Uangmu bisa beli barang, tapi bukan akar,” jawab Karu, lalu melirik Mirka. “Kamu harus hati-hati. Orang kayak gitu bisa bikin budaya kita jadi pajangan.”

Malam harinya, warga berkumpul di rumah kepala desa. Isu tentang tenun yang akan dijadikan produk komersial mulai merebak. Beberapa warga muda bahkan tergoda dengan bayaran dari pihak luar.

“Kita bisa bangun jembatan baru, beli alat tenun modern. Kenapa enggak?” ujar salah satu pemuda.

Mak Elemi berdiri perlahan. “Kalau kamu bikin kain cuma buat uang, kamu bakal lupa maknanya. Lama-lama kamu nggak tahu lagi tenun itu kenapa dulu dibuat.”

Semua hening. Lalu, Mirka angkat bicara. Suaranya tenang tapi jelas.

“Aku tahu aku bukan orang sini. Tapi kalau kalian izinkan, aku mau bantu bikin tempat belajar. Bukan toko, tapi rumah tenun. Supaya siapa pun yang datang, bisa tahu cerita di balik setiap benang. Dan biar anak-anak kalian nggak lupa… kenapa kain ini dibuat.”

Beberapa orang saling pandang. Karu duduk dengan tangan menyilang, tapi tidak menyela. Wajahnya tak berubah, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lain—pengakuan diam-diam.

Esoknya, Mirka dan beberapa warga mulai membersihkan rumah tua di tepi sungai. Di situlah rumah tenun pertama dibentuk—bukan sekadar tempat kerja, tapi tempat berkumpul, belajar, dan mendengar cerita. Anak-anak mulai datang tiap sore, duduk bersila sambil mendengar Mak Elemi bicara tentang motif yang mewakili hujan pertama, atau benang merah yang melambangkan janji.

Mirka tidak mengajar. Ia duduk di samping, menenun bersama. Ia bukan guru. Ia bukan tamu. Ia hanya satu dari mereka yang ingin menjaga.

Suatu malam, saat langit penuh bintang dan suara jangkrik menjadi irama, Karu datang ke rumah tenun. Ia membawa gulungan kain tua yang disimpan keluarganya selama puluhan tahun.

“Aku mau kamu lihat ini,” katanya pelan.

Mirka membuka gulungan itu perlahan. Di dalamnya, motif kuno yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Pola simetris seperti ombak dan matahari dalam satu garis, warnanya pudar tapi masih menyala.

“Kain ini cuma ditenun oleh keluarga lamaku. Tapi udah nggak ada yang bisa bikinnya sekarang. Mungkin kamu bisa bantu aku ngenalin lagi ke anak-anak.”

Mirka menatapnya. “Kamu yakin?”

Karu mengangguk. “Kamu orang luar. Tapi kamu nggak pernah berdiri di luar. Dan kamu ngerti… ini bukan tentang siapa kamu, tapi kamu mau ngapain.”

Di malam itu, di rumah tenun yang kecil tapi hangat, keduanya duduk di lantai kayu, menyatukan benang warna tanah dan langit.

Mereka tahu, kain tak bisa bicara. Tapi bisa menyimpan suara. Dan dalam tenunan itu, mereka menyimpan sesuatu yang jauh lebih dalam dari warna dan pola—rumah, harapan, dan warisan.

Wae Lodo mungkin desa kecil. Tapi di dalamnya, ada dunia yang sedang dirajut perlahan. Dan Mirka, yang dulu datang sebagai pelancong, kini menenun kehidupannya sendiri. Bukan untuk dipamerkan. Tapi untuk ditinggali.

Pelabuhan yang Tak Pernah Pergi

Matahari pagi menembus celah-celah atap rumbia, menyinari rumah tenun yang kini ramai suara. Anak-anak berlarian sambil membawa gulungan benang. Beberapa remaja sedang menyusun alat tenun baru dari bambu yang mereka potong sendiri. Tak ada lagi suara asing dari luar yang membingungkan—yang ada hanyalah irama kehidupan yang tumbuh dari dalam.

Mirka kini tinggal di rumah kecil di ujung jalan desa, tak jauh dari pelabuhan. Rumah itu dulunya kosong, dipenuhi semak dan kayu lapuk. Tapi setelah berbulan-bulan, perlahan ia dan warga merenovasinya bersama. Tanpa pagar tinggi, tanpa batas yang kaku—rumah itu terbuka, seperti hatinya.

Suatu sore, saat langit mulai jingga, perahu kayu dari kota kembali datang ke dermaga. Di dalamnya, beberapa wajah asing menuruni tangga dengan rasa penasaran. Kali ini, mereka tidak membawa kamera besar atau tawa keras. Mereka datang karena mendengar cerita tentang Rumah Tenun Wae Lodo, tempat di mana budaya tidak dijual, tapi dibagikan dengan cara yang paling manusiawi: lewat duduk bersama dan saling mendengar.

Mirka menyambut mereka seperti dulu ia disambut. Tak dengan pidato, tak dengan upacara, hanya senyum dan secangkir air jahe. Di rumah tenun, para pengunjung diminta melepaskan alas kaki, duduk bersila, dan memilih benang warna yang paling mereka suka. “Bukan buat dibawa pulang,” kata Mirka sambil tersenyum. “Tapi buat dikenang di dalam.”

Hari demi hari, desa berubah. Tapi bukan menjadi tempat wisata ramai yang dipoles demi tampilan luar. Wae Lodo tetap tenang, tetap sederhana, tetap bersahaja. Yang berubah adalah kesadaran—bahwa budaya mereka tidak lemah atau kuno, tapi kuat justru karena akar dan maknanya.

La’ban Karu kini sering mengajar di sore hari. Ia mengajarkan arti simbol-simbol lama yang nyaris punah. Liri membuka kelas tari kecil untuk anak-anak, membuat gerakan baru yang tetap setia pada dasar lama. Dan Mak Elemi, meski rambutnya kini sepenuhnya putih, tetap duduk di sudut bale, menjadi penjaga yang senyap namun tegas.

Suatu malam, saat bintang-bintang tampak begitu dekat, Mirka berdiri di dermaga, tempat di mana dulu ia pertama kali menjejakkan kaki. Angin laut membawa aroma garam dan suara ombak kecil yang memukul badan perahu.

Liri menghampirinya. “Kamu inget nggak, pertama kali kamu dateng ke sini, aku pikir kamu bakal pulang minggu depannya.”

Mirka tertawa pelan. “Aku juga pikir begitu, dulu.”

“Kamu tahu nggak?” lanjut Liri. “Sekarang anak-anak sini kalau main pura-pura, mereka suka bilang, ‘aku jadi Mirka, ya!’”

Mirka terdiam sejenak, lalu menatap langit.

“Aku bukan siapa-siapa, Ri. Aku cuma numpang tumbuh di tempat yang ngasih aku akar.”

Liri menoleh padanya. “Justru karena itu, kamu diinget.”

Pelabuhan itu, tempat yang dulu jadi awal perjalanannya, kini tak lagi tampak asing. Ia bukan tempat singgah—tapi cermin dari perjalanan yang telah ia jalani. Pelabuhan itu tak pernah pergi, karena sejatinya, ia hidup di hati setiap orang yang menemukan rumah bukan dari tempat mereka lahir, tapi dari tempat mereka memilih untuk tinggal, mencinta, dan menjaga.

Di akhir musim, saat hujan mulai turun lagi, tenunan Langi Nara yang pertama kali ditolak untuk dijual kini tergantung di rumah tenun, di bingkai kayu sederhana, di samping benang-benang yang masih terus dirajut.

Itu bukan pajangan.

Itu adalah penanda.

Bahwa rumah tidak harus dibangun dengan batu. Kadang, rumah adalah selembar kain yang diciptakan dengan cinta, kesabaran, dan keberanian untuk tinggal.

Dan di Wae Lodo, rumah itu tak pernah tertutup bagi siapa pun—selama mereka datang bukan untuk mengambil, tapi untuk belajar, menghargai, dan menenun bersama.

Cerpen ‘Rumah dalam Tenunan’ bukan cuma cerita fiksi, tapi juga cermin realita soal pentingnya ngerawat budaya lokal yang udah jadi bagian dari identitas kita.

Dari kisah Mirka dan warga Wae Lodo, kita belajar kalau budaya itu bukan cuma buat dipamerin, tapi buat dijaga, dicintai, dan diterusin bareng-bareng. Jadi, sebelum sibuk cari budaya luar, kenalan dulu yuk sama yang tumbuh di tanah kita sendiri. Siapa tahu, di balik tenunan itu… kamu juga nemu rumahmu.

Leave a Reply