Rumah Baru yang Ternyata Penuh Hantu: Cerpen Horor Misteri yang Menghantui

Posted on

Pernah gak sih, kamu beli rumah baru yang kelihatannya sempurna, tapi ternyata malah bikin bulu kuduk berdiri? Ini bukan cerita biasa tentang rumah yang indah, lho. Kalau kamu pikir rumah baru itu cuma soal cat baru, furnitur keren, dan kehidupan bahagia, siap-siap deh.

Soalnya, di balik tembok-tembok rumah ini ada rahasia kelam yang siap menunggu. Gak cuma hantu biasa, tapi juga misteri yang akan bikin kamu bertanya-tanya, Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Duh, siap-siap deh kalau kamu penasaran!

 

Rumah Baru yang Ternyata Penuh Hantu

Ketukan di Tengah Malam

Reyhan duduk di sofa baru mereka yang terletak tepat di tengah ruang tamu, menatap layar ponselnya. Alessa sibuk merapikan beberapa barang di meja makan, lalu tiba-tiba ia berhenti, memandangi rumah yang baru mereka beli dengan mata penuh kebanggaan. Pintu dan jendela besar menghadap taman depan yang rapi. Lampu-lampu temaram menciptakan suasana hangat di setiap sudut rumah.

“Akhirnya kita punya rumah sendiri, ya,” Alessa berkata sambil menyentuh ujung meja yang baru mereka beli.

Reyhan tersenyum, mengangguk ringan. “Iya, aku nggak nyangka bisa dapet rumah seindah ini, harga juga miring banget.”

“Semua karena keberuntungan,” jawab Alessa sambil berjalan ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

Reyhan melihat ke luar jendela besar, menikmati pemandangan malam yang tenang. Suara jangkrik terdengar samar dari luar, angin malam berhembus lembut, menyentuh daun-daun yang bergoyang. Semuanya terasa sempurna. Namun, malam itu, sesuatu yang tak terduga akan mengubah segalanya.

Jam menunjukkan pukul 2 dini hari ketika mereka berdua berbaring di tempat tidur. Di luar, hanya ada kesunyian yang menusuk. Reyhan mulai terlelap, tubuhnya dipenuhi rasa lelah setelah seharian sibuk mengatur barang-barang di rumah baru mereka. Alessa yang belum juga tidur, memandangi langit-langit kamar, entah apa yang dipikirkannya.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan keras dari pintu depan.

Tok! Tok! Tok!

Alessa terlonjak dari tiduran, jantungnya berdegup kencang. Reyhan yang sempat terjaga, langsung menoleh padanya.

“Ada apa?” tanya Reyhan, masih setengah terbangun.

Alessa menatap pintu kamar mereka, cemas. “Kamu dengar itu?”

“Dengar apa?” Reyhan menjawab dengan suara berat, berusaha mengusir rasa kantuk yang masih menggelayuti.

“Suara ketukan… dari pintu depan.”

Reyhan menatapnya sejenak, lalu menarik selimutnya lebih rapat. “Pasti cuma angin, sayang. Kamu tenang aja.”

Namun, Alessa tidak bisa menahan rasa takutnya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Suara ketukan itu bukan angin. Itu jelas suara ketukan yang datang dari pintu depan mereka, suara yang terlalu jelas dan keras untuk diabaikan.

“Rey, coba buka pintunya. Jangan bilang itu cuma angin,” desaknya, suara sedikit bergetar.

“Duh, yaudah deh, aku cek, tapi kamu di sini ya,” jawab Reyhan sambil bangkit dari tempat tidur.

Dengan langkah ragu, Reyhan membuka pintu kamar dan melangkah ke ruang tamu. Alessa mengikuti dengan mata yang tak lepas dari langkah suaminya.

Sampai di ruang tamu, Reyhan membuka pintu depan. Tak ada siapa pun di sana. Sepi. Hanya angin malam yang dingin berhembus ke dalam rumah.

“Lihat? Kan nggak ada siapa-siapa. Kamu kecapekan aja kali, tidur sana,” kata Reyhan sambil kembali menutup pintu.

Alessa berdiri di dekat pintu, matanya tajam mengamati sekitar. “Tapi aku yakin aku dengar… Ketukan itu nyata, Rey.”

Reyhan hanya mengangguk pelan dan kembali berjalan menuju kamar. “Sudahlah, itu nggak perlu dipikirin. Kamu butuh tidur.”

Namun, ketika ia berbalik untuk menutup pintu kamar, Alessa menunjuk ke cermin besar yang terpasang di dinding ruang tamu. Di sana, permukaan cermin yang tadinya mulus, kini tampak berembun. Ada jejak tangan kecil di permukaan cermin yang samar—seperti tangan seorang anak yang baru menyentuhnya.

Reyhan menatap cermin itu, rasa heran muncul di wajahnya. “Itu… apa?”

Alessa menggigit bibirnya, tak bisa berkata-kata. Ia melangkah lebih dekat ke cermin, jari-jarinya menyentuh jejak tangan yang ada di sana.

“Ini nggak mungkin, kan?” Alessa bergumam, hampir tak percaya.

Reyhan mendekat, mencoba menenangkan. “Ini mungkin cuma kelembapan cermin, atau… mungkin kucing. Kita kan baru pindah.”

Tapi entah kenapa, penjelasan itu tak mampu menghilangkan kegelisahan yang mulai merayapi Alessa. Mata Alessa terfokus pada cermin, wajahnya semakin pucat.

“Aku nggak bisa tidur di sini, Rey. Rasanya ada yang salah dengan rumah ini,” kata Alessa dengan nada yang tegang.

Reyhan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Sudah, kita coba tidur dulu. Nanti kita pikirkan lagi besok. Ini cuma pikiran kamu aja, kamu pasti kecapekan.”

Namun, Alessa tak bisa menutup rasa takutnya. Ketika ia berbaring kembali, suaranya hampir hilang dalam bisikan. “Aku nggak bisa… Ini bukan hanya kelelahan. Aku merasa ada yang mengawasi.”

Reyhan menghela napas panjang, memandangnya dengan khawatir. Meskipun ia berusaha meyakinkan Alessa, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan di dalam hatinya. Suasana malam itu terasa semakin mencekam.

Tiba-tiba, sebuah suara lagi, lebih jelas kali ini. Suara tangisan pelan terdengar dari arah loteng.

“Rey… Rey, kamu denger nggak itu?” suara Alessa terdengar sangat ketakutan.

Reyhan diam sejenak, mencoba mendengarkan. Perlahan, ia mulai menangkap suara itu—seperti tangisan seorang anak yang terperangkap dalam kegelapan.

“Dari loteng,” gumam Reyhan, suara serak.

Alessa menatap Reyhan dengan mata yang penuh ketakutan. “Rey… kita nggak sendirian di sini.”

Reyhan berdiri, mengambil napas dalam-dalam. “Aku akan cek loteng.”

Alessa menggenggam tangannya. “Tapi hati-hati. Jangan pergi sendirian.”

Reyhan mengangguk, langkahnya menuju tangga menuju loteng, sementara Alessa berdiri di belakangnya, tak berani beranjak jauh. Begitu tangga kayu berderit saat mereka naik, udara di rumah itu terasa semakin berat, seakan menekan mereka untuk tetap tinggal, atau pergi jauh, jauh dari tempat itu.

 

Jejak di Cermin

Langkah Reyhan terasa semakin berat saat ia menaiki tangga menuju loteng. Tangga kayu tua itu berderit setiap kali kakinya menginjaknya, mengeluarkan suara yang sangat keras di kesunyian malam. Alessa mengikutinya dari belakang, suaranya terdengar semakin tercekat, sementara udara di dalam rumah semakin dingin. Setiap langkah menuju loteng terasa lebih lama, seolah-olah rumah itu sedang menahan mereka, memaksa mereka untuk merasa takut.

“Rey, aku nggak suka ini,” suara Alessa terdengar serak, hampir berbisik.

“Aku juga nggak suka,” jawab Reyhan pelan, matanya tertuju ke tangga yang tak berujung. “Tapi kita harus tahu apa yang terjadi.”

Sesampainya di atas, mereka disambut oleh lorong kecil yang penuh debu. Lampu di langit-langit berkelap-kelip, seakan-akan ruangan itu juga berusaha menakut-nakuti mereka. Di ujung lorong terdapat pintu kayu yang terlihat sudah sangat tua dan usang. Bau lembab dan terkadang busuk tercium, mencampur dengan aroma debu yang menguar dari setiap sudut. Reyhan membuka pintu itu perlahan, memperlihatkan sebuah ruangan yang gelap.

Di dalamnya, ada sebuah kotak kayu tua yang terletak di tengah ruangan, dikelilingi oleh tumpukan benda yang tampak seperti barang-barang lama. Tapi yang membuat suasana semakin mencekam adalah suara tangisan itu. Suara yang kini terdengar semakin jelas, seakan berasal dari dalam kotak kayu itu.

“Alessa, kamu yakin mau masuk?” Reyhan menoleh, melihat ekspresi wajah Alessa yang pucat.

Alessa hanya mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. Ia tak bisa menjauh dari suara itu, dari sesuatu yang ingin ia temui, atau mungkin ia takut untuk mengetahui kebenaran. Mereka melangkah maju, mendekati kotak itu. Suara tangisan semakin terdengar jelas, namun tak ada satu pun yang terlihat di dalam ruangan itu selain kotak kayu dan barang-barang usang.

Reyhan membuka tutup kotak dengan hati-hati. Begitu tutupnya terangkat, bau busuk yang lebih menyengat keluar, membuat mereka berdua hampir terbatuk. Di dalam kotak itu, hanya ada sebuah boneka kecil yang tampaknya sudah sangat tua, dengan pakaian yang kotor dan robek. Mata boneka itu, yang dulunya mungkin cantik, kini tampak rusak, dan warna matanya sudah pudar.

“Ini… boneka siapa?” Alessa bertanya, suara masih gemetar.

“Aku nggak tahu,” jawab Reyhan. Ia memeriksa boneka itu lebih dekat, merasakannya sejenak. Boneka itu terasa sangat dingin, seakan-akan sudah terkontaminasi oleh sesuatu yang lebih besar dari sekedar usia.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara keras dari lantai bawah. Suara pintu yang terbanting, dan diikuti dengan suara langkah kaki berat. Reyhan dan Alessa saling pandang.

“Ada yang turun ke sini,” kata Reyhan, panik.

Mereka berdua bergegas keluar dari loteng dan menuruni tangga, tetapi ketika sampai di bawah, rumah itu terasa sangat sepi. Mereka kembali ke ruang tamu, dan ternyata, pintu depan rumah sudah terbuka lebar. Seperti ada yang baru saja keluar, atau mungkin masuk.

“Ini nggak bener, Rey,” Alessa menggigil. “Aku merasa sesuatu yang jahat ada di sini.”

Reyhan berusaha menenangkan diri, tapi matanya mulai melihat sesuatu yang berbeda di ruangan itu. Di cermin besar yang dulu tampak biasa saja, kini ada gambar samar yang mulai terbentuk—seperti jejak tangan kecil yang menempel di permukaan kaca, mengarah ke pintu keluar. Jejak tangan itu tampak basah, dan ada tetesan air yang mengalir ke lantai, seakan darah yang menyusup ke dalam rumah.

“Apa ini?” Reyhan mendekat, matanya menyipit melihat jejak tangan itu semakin jelas.

“Apa yang terjadi di sini?” Alessa berbisik, wajahnya kini terbalut oleh ketakutan yang semakin dalam.

Mereka melangkah maju, mencoba untuk mencari tahu, tetapi seolah rumah itu semakin menjadi ancaman. Setiap suara yang terdengar membuat mereka semakin cemas. Hanya ada rasa dingin yang menyesakkan di udara.

“Rey, ini bukan rumah biasa,” Alessa berseru, tak mampu menahan ketakutannya.

“Mungkin ini hanya kesalahan kita… hanya kebetulan,” Reyhan mencoba menyakinkan dirinya sendiri. Tetapi semakin ia berkata demikian, semakin gelisah ia merasa.

Sementara mereka berdiri di ruang tamu, Alessa menoleh ke belakang, matanya terfokus pada bayangan samar yang melintas di jendela. Sekilas, ia melihat seorang wanita mengenakan pakaian putih yang melayang di udara, berjalan ke arah mereka dengan langkah-langkah yang tak bersuara.

“Rey… lihat!” Alessa menunjuk ke luar jendela.

Reyhan mengikuti arah jari Alessa, dan matanya terbelalak ketika melihat bayangan itu dengan jelas. Wanita itu berhenti tepat di depan jendela, matanya kosong, wajahnya hancur, seperti wajah yang tidak lagi mengenal dunia ini.

“Siapa itu?” tanya Alessa, suaranya tercekat.

Namun sebelum Reyhan bisa menjawab, wanita itu menghilang begitu saja, meninggalkan keheningan yang memekakkan. Mereka berdua saling berpandangan, perasaan cemas dan ketakutan semakin menguasai diri mereka.

Alessa berpegangan erat pada Reyhan. “Aku nggak bisa terus tinggal di sini, Rey. Ini… ini bukan rumah yang kita inginkan. Ini rumah hantu.”

Reyhan menatap kosong ke luar jendela, memikirkan apa yang telah mereka temui. Rumah ini, yang sebelumnya tampak begitu sempurna, ternyata menyimpan sesuatu yang gelap—sesuatu yang terperangkap di masa lalu, dan kini mulai merayap keluar.

Alessa menarik napas panjang. “Aku nggak tahu apakah kita bisa selamat dari ini.”

 

Suara dari Dinding

Pagi datang dengan udara yang terasa lebih berat dari biasanya. Namun, tidak ada yang berubah di dalam rumah itu. Reyhan dan Alessa terjaga dalam keheningan, terperangkap dalam ketakutan yang semakin menjerat. Mereka duduk di ruang tamu, saling melirik dengan tatapan kosong. Mata mereka bengkak, lelah karena semalam tidak tidur dengan tenang. Tiap sudut rumah terasa seperti menatap balik, seperti ada sesuatu yang mengamati mereka dari balik bayangan.

“Aku nggak bisa tahan lebih lama di sini,” kata Alessa, suaranya hampir berbisik. “Aku merasa sesuatu mengawasi kita… setiap detik.”

Reyhan menatap ke lantai, berusaha menenangkan dirinya. Dia tahu, di dalam rumah ini, sesuatu yang tak terlihat sedang mengintai mereka. Namun, dia tidak bisa begitu saja meninggalkan rumah. Ada hal yang lebih besar yang harus mereka temui. Ada sesuatu yang harus mereka ungkap, meskipun itu berarti berhadapan dengan ketakutan mereka sendiri.

“Mungkin kita bisa cari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini,” jawab Reyhan dengan nada datar, meskipun hatinya juga dipenuhi kecemasan yang sulit disembunyikan.

Ketika mereka berbicara, tiba-tiba terdengar suara gesekan keras dari dinding sebelah. Suara itu begitu mendalam, seolah ada sesuatu yang bergerak di dalamnya, berusaha keluar. Reyhan dan Alessa saling menatap, tubuh mereka membeku sejenak. Itu bukan suara biasa.

“Dengar itu?” tanya Reyhan, suaranya hampir tak terdengar.

Alessa hanya mengangguk, matanya melebar, dan mereka berdua berdiri perlahan. Suara itu semakin jelas, seperti suara kuku yang menggaruk-garuk permukaan dinding, tapi rasanya lebih mengerikan. Seperti ada sesuatu yang mencoba membebaskan diri dari dalam dinding rumah ini.

Dengan hati-hati, Reyhan mendekati dinding tempat suara itu berasal. Ketika ia menempelkan telinga ke dinding, suara itu tiba-tiba berhenti. Segalanya menjadi sunyi.

“Apa itu?” Alessa berbisik, ketakutan.

“Aku nggak tahu,” jawab Reyhan, suaranya bergetar. “Tapi aku rasa kita harus cari tahu.”

Reyhan kemudian mengambil palu kecil dari lemari alat di dekatnya dan mulai mengetuk dinding. Setiap ketukan terdengar membosankan, hingga satu bagian dinding terasa sedikit lebih lunak dari bagian lainnya. Dia menghentikan palu sejenak, menilai arah ketukan selanjutnya. Saat itu, Alessa berdiri di belakangnya, wajahnya pucat, matanya penuh rasa takut.

“Rey… ini gila,” kata Alessa. “Jangan… jangan buka itu.”

Tapi Reyhan tidak menghiraukan peringatan Alessa. Rasa penasaran menguasai dirinya. Dengan sekali ketuk, bagian dinding yang lunak itu akhirnya pecah. Debu beterbangan, dan ada suara gemerisik dari dalamnya. Reyhan menarik sebagian besar potongan dinding itu, membuka celah yang cukup besar untuk melihat ke dalam.

Di dalamnya, tak ada apa-apa selain kegelapan. Namun, ketika Reyhan menatap lebih dalam, sesuatu mulai terlihat. Ada sebuah pintu kayu kecil yang tersembunyi di balik dinding itu, terkunci rapat. Pintu itu terlihat lebih tua dari seluruh bagian rumah ini, dan ada sesuatu yang sangat aneh dari pintu itu. Rasanya seperti sebuah rahasia yang sangat gelap tersembunyi di dalamnya.

“Rey… apa yang ada di balik pintu itu?” Alessa bertanya, suaranya bergetar.

“Aku nggak tahu,” jawab Reyhan dengan napas yang berat. “Tapi kita harus masuk dan melihatnya.”

Mereka berdua menatap pintu itu dalam diam, menyadari bahwa mereka telah membuka jalan untuk sebuah kebenaran yang lebih mengerikan. Reyhan mencoba memutar gagang pintu, namun terkunci rapat. Tidak ada kunci di sana, hanya pintu yang tampak tak terjangkau oleh waktu.

“Harusnya kita nggak datang ke sini,” kata Alessa, ketakutan semakin mendalam. “Ada sesuatu yang salah. Aku merasa kita nggak akan keluar hidup-hidup dari rumah ini.”

Namun, Reyhan tidak mundur. Ia sudah terlalu jauh untuk berhenti sekarang. Dia mengambil sebatang besi dari salah satu alat di sekitar mereka dan mulai memaksakan pintu itu terbuka. Pintu itu berderit keras, seakan menahan mereka untuk tidak masuk. Namun, Reyhan tidak peduli. Ia terus berusaha hingga akhirnya pintu itu terbuka sedikit.

Di dalam ruangan itu, terdapat sebuah tangga sempit yang mengarah ke bawah, ke dalam kegelapan. Suasana semakin mencekam, udara di dalam ruangan itu terasa berat, penuh dengan bau busuk yang semakin menyengat. Reyhan dan Alessa saling berpandangan, dan tanpa kata-kata lebih lanjut, mereka mulai menuruni tangga itu.

Saat mereka melangkah turun, terdengar suara gemerisik di sekitar mereka, seperti ada sesuatu yang bergerak, mengikuti setiap langkah mereka. Suara napas berat yang terdengar sangat dekat, seolah ada yang mengintai mereka di dalam kegelapan itu.

“Tunggu… apa itu?” Alessa tiba-tiba berhenti.

Reyhan menoleh ke belakang, matanya melebar ketika melihat sosok gelap berdiri di ujung tangga. Bayangan itu tak bergerak, hanya berdiri di sana dengan tatapan kosong yang tak bisa dijelaskan. Reyhan menarik Alessa kembali ke belakang, tubuhnya bergetar hebat.

“Apa itu?” Alessa berbisik, suaranya hampir tak terdengar.

“Tunggu, jangan bergerak,” jawab Reyhan, suaranya tegang.

Bayangan itu mulai bergerak maju, seolah-olah mendekat ke arah mereka, dan ketika ia semakin dekat, Reyhan bisa melihat dengan jelas wajahnya—wajah hancur, penuh luka, dengan mata yang kosong dan mulut yang terbuka lebar, seolah ingin berteriak.

Namun, tak ada suara yang keluar.

“Apa yang kau inginkan?” Reyhan berteriak, meskipun suaranya terpecah-pecah karena ketakutan yang mendalam.

Sosok itu tetap diam, namun ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya—sesuatu yang tidak manusiawi. Seolah ia menginginkan mereka untuk datang lebih dekat.

“Rey… kita harus pergi, sekarang!” Alessa hampir menangis, tarikannya semakin kuat.

Namun, sebelum Reyhan bisa bergerak, sosok itu tiba-tiba menghilang begitu saja, meninggalkan mereka dalam kebingungan dan ketakutan yang semakin mendalam.

 

Rahasia yang Terungkap

Keheningan yang menyelimuti rumah itu terasa semakin menyesakkan, seolah dunia luar pun ikut menghilang. Reyhan dan Alessa berdiri diam, seolah terjebak dalam ruang waktu yang terhenti. Hati mereka berdegup kencang, napas mereka terengah-engah, dan setiap detik yang berlalu terasa seperti ribuan tahun. Sosok itu telah menghilang, tetapi rasa takut yang tertinggal justru semakin mendalam.

“Apa yang baru saja kita lihat?” suara Alessa terputus-putus, wajahnya pucat pasi.

Reyhan tidak bisa menjawab. Matanya kosong, seolah masih mencoba mencerna apa yang barusan mereka alami. Dia memandang ke sekitar, merasa terperangkap. Ruangan bawah tanah yang gelap itu semakin mencekam. Tangganya sempit, dan udara terasa semakin berat.

“Apa yang harus kita lakukan?” Alessa melangkah mundur sedikit, berusaha menjauh dari area yang penuh dengan kegelapan itu.

Reyhan menghirup napas dalam-dalam. “Kita harus tahu apa yang terjadi di sini. Ini bukan hanya sekadar rumah kosong, Alessa. Ada sesuatu yang lebih dari itu, sesuatu yang mengikat semua ini bersama.”

Namun, setiap langkah mereka menuju ujung tangga sepertinya semakin dipenuhi dengan bayangan gelap yang tidak terlihat, tapi jelas ada. Mereka merasa seolah dinding-dinding itu mulai mengepung mereka, dan tak ada jalan keluar.

Reyhan memutar tubuhnya dan berjalan menuju ruangan yang lebih luas, mencari petunjuk lebih lanjut. Sebuah meja kayu tua terletak di tengah ruangan, berantakan dengan surat-surat dan benda-benda yang tampak usang. Salah satu surat itu tampaknya menarik perhatian Reyhan—sebuah surat lama yang sudah menguning, tertulis dengan tinta yang hampir memudar.

“Lihat ini,” Reyhan berkata, membuka surat itu perlahan. “Ini… ini surat dari penghuni sebelumnya. Tulisannya sudah sangat usang, tapi ada satu kalimat yang terlihat jelas.”

Alessa mendekat, matanya tertuju pada tulisan yang masih terlihat. “Apa itu?”

Reyhan membaca dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. “‘Jangan pernah membuka pintu itu. Mereka akan kembali untuk menuntut apa yang telah mereka hilangkan.’”

“Siapa yang menulis ini?” tanya Alessa dengan nada cemas.

Reyhan hanya bisa menggelengkan kepala. “Aku nggak tahu. Tapi ini… ini mungkin terkait dengan yang kita lihat tadi.”

Mereka berdua merasa terdiam sejenak, mencoba menyerap kenyataan bahwa rumah yang mereka huni bukanlah rumah biasa. Ini adalah rumah yang terperangkap dalam kisah yang lebih gelap, yang melibatkan entitas yang mungkin lebih tua dari rumah itu sendiri.

Tak ada jalan lain, hanya jalan ke bawah. Mereka memutuskan untuk menuruni tangga lagi. Kali ini, langkah mereka lebih mantap, meski rasa takut masih menyelimuti mereka. Ketika mereka mencapai ujung tangga, sebuah pintu besar yang tersembunyi di balik bayangan muncul di hadapan mereka. Pintu itu terlihat sama seperti pintu yang mereka lihat sebelumnya, tapi lebih besar, lebih menakutkan, dan rasanya seolah menunggu untuk dibuka.

“Ini pasti pintu yang dimaksudkan dalam surat itu,” Reyhan bergumam.

Alessa tidak berkata apa-apa. Matanya hanya menatap pintu itu dengan penuh ketakutan. Mereka tahu bahwa di balik pintu itu ada jawaban, dan juga kemungkinan terburuk yang bisa mereka bayangkan. Namun, mereka tidak bisa mundur lagi. Terlalu banyak yang terungkap, terlalu banyak yang harus diketahui.

Reyhan menarik napas dalam-dalam dan menggenggam gagang pintu. Ketika ia memutar kunci pintu itu, seakan ada suara yang menahan setiap gerakan. Rasanya seperti waktu itu sendiri sedang berusaha menahan mereka. Ketika pintu itu terbuka, mereka disambut oleh sebuah ruang gelap yang sangat luas. Namun, di tengah-tengah ruangan itu ada sebuah meja batu besar, dan di atasnya, sebuah patung manusia yang tampak mengerikan—matanya kosong, wajahnya hancur, dan tubuhnya dililit rantai yang sepertinya telah ada sejak berabad-abad lalu.

Dan di sekitar meja itu, sesuatu mulai bergerak. Sebuah suara gemerisik, seolah ada tubuh yang meluncur di atas batu. Tiba-tiba, suara itu terdengar sangat dekat, dan dari dalam bayangan, sosok yang sama yang mereka lihat tadi muncul lagi—tanpa suara, tanpa kata-kata, hanya tatapan kosong yang menembus kedalaman jiwa mereka.

Tapi kali ini, Reyhan merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka dengan sosok itu—sebuah perasaan yang lebih dari sekadar takut. Ada penyesalan, kesedihan, dan… permintaan.

“Apa yang kamu inginkan?” Reyhan berteriak, kali ini lebih tegas, lebih berani.

Sosok itu tidak menjawab. Namun, sebuah suara berbisik, meskipun sangat lemah, hampir tak terdengar. “Bantu aku.”

Reyhan merasa tubuhnya kaku. Alessa menggenggam tangannya dengan erat. Suara itu, walaupun pelan, mengandung kekuatan yang besar. Sesuatu yang memaksa mereka untuk mendekat, sesuatu yang mengikat mereka pada masa lalu rumah ini—masa lalu yang menyedihkan, penuh dengan pengkhianatan dan penderitaan.

“Bantu aku untuk bebas,” bisik suara itu lagi, kali ini lebih jelas, lebih mendalam.

Alessa menatap Reyhan, dan mereka tahu mereka harus membuat pilihan. Mungkin ini adalah kesempatan mereka untuk menghentikan kutukan ini, untuk membebaskan jiwa-jiwa yang terperangkap. Tapi apakah mereka siap untuk membayar harga yang harus dibayar?

Di depan mereka, patung itu mulai bergerak, rantai yang membelit tubuhnya mulai terlepas satu per satu. Tanda-tanda kebangkitan, pertanda bahwa rahasia yang ada di rumah ini akhirnya mulai terungkap. Namun, apakah kebangkitan itu akan membawa kebebasan, atau justru membawa mereka pada kehancuran yang lebih besar?

Mereka tidak punya jawaban. Semua yang bisa mereka lakukan adalah melangkah maju, menelusuri jalan yang sudah dipilih untuk mereka—jalan yang penuh dengan kegelapan, misteri, dan ketakutan yang tak terelakkan.

 

Jadi, gimana? Sudah siap mengungkap rahasia gelap yang tersembunyi di balik dinding rumah itu? Kadang, rumah bukan cuma soal tempat tinggal, tapi juga tentang masa lalu yang gak pernah bisa lepas. Siapa sangka, sebuah rumah baru bisa membawa lebih banyak ketakutan daripada kebahagiaan?

Dan kadang, setelah kita tahu semuanya, kita baru sadar—ada hal-hal yang lebih baik tetap dibiarkan terkubur. Kalau kamu berani, mungkin kamu akan menemukan jawabannya. Tapi, hati-hati, karena misteri ini bisa saja lebih dari sekadar cerita horor.

Leave a Reply