Roti Ketawa: Cerita Lucu yang Bikin Ngakak dan Bahagia!

Posted on

Kamu lagi butuh hiburan buat ngelepas penat? Gak perlu jauh-jauh nyari, karena ada cerita yang bisa bikin perut kamu sakit gara-gara ketawa!

Yuk, simak cerita tentang dua orang yang gak punya pengalaman, tapi punya satu hal yang bikin orang lain ketawa—roti! Iya, roti yang bisa bikin kamu lupa sama masalah dan cuma fokus buat senyum. Dijamin, abis baca ini, kamu bakal merasa lebih ringan dan siap menghadapi hari!

 

Roti Ketawa

Dompet Hilang, Roti Menyelamatkan

Siang itu, Wandi menatap matahari yang sudah mulai merayap terlalu tinggi, panasnya bahkan bisa bikin orang biasa pingsan kalau nggak hati-hati. Dia, yang selalu bisa menemukan cara untuk menjadikan setiap hari terlihat seperti hari libur, sedang berjuang di bawah terik. Sebagai pengangguran kelas profesional, aktivitas utamanya hari itu adalah membeli susu untuk ibunya yang katanya sudah menyiapkan bubur super spesial.

“Tapi, kenapa ya, ya?” gumam Wandi dalam hati sambil meraba-raba kantong celananya. Tentu saja, dia lupa membawa dompet.

Mungkin nggak masalah kalau cuma jalan-jalan biasa. Tapi untuk urusan super spesial seperti itu, dia benar-benar butuh uang. “Gimana nih? Bisa nggak ya, aku dapat uang dari langit?” pikir Wandi, berharap ada seseorang yang dengan ajaib bisa menyelamatkannya. Tapi kenyataannya, tidak ada yang datang membawa dompet sih. Yang ada malah suara Budi, temannya yang paling ‘bernyawa’ dalam hal humor aneh, muncul begitu saja di belakang.

“Haha! Dompetnya hilang ya?” tanya Budi, sambil melirik ke kantong celana Wandi yang kosong.

Wandi buru-buru menoleh, merasa semakin pusing. “Iya, Budi. Aku bener-bener nggak tahu dompetku ada di mana. Tadi pagi masih ada, sekarang hilang. Kayaknya dompetku bisa jadi pelarian ke luar angkasa, nggak ketemu lagi,” jawab Wandi dengan nada sedikit putus asa.

“Bisa aja ya! Seperti dompet punya rencana kabur. Mungkin dia capek dikerjain sama kamu!” jawab Budi sambil tertawa, jelas banget dia nggak serius. “Atau mungkin dompetnya itu lagi rekreasi, siapa tahu dia ke Bali,” tambahnya.

Wandi cuma bisa nyengir kecil. “Jangan becanda, Budi. Aku serius, nih. Itu dompet satu-satunya yang aku punya. Gimana ini, coba?”

Tiba-tiba, Budi menatap Wandi dengan ekspresi yang berubah, seakan-akan dia baru saja menemukan sebuah rahasia besar yang menyangkut hidup mati. “Gini deh, Wandi. Kita harus pergi ke toko roti di sana. Aku yakin roti-rotinya itu bisa nyelamatin keadaan,” katanya, mengisyaratkan ke arah toko roti kecil yang ada di pojokan jalan.

“Woi, kamu pikir roti bisa bayar hutang, Budi?” tanya Wandi dengan cemberut. “Gini deh, kalau roti itu bisa ngasih duit, aku bakal percaya sama dunia.”

“Tapi ini bukan roti biasa, ini roti spesial, loh. Kalau kamu udah nyobain, kamu bakal lupa sama semua masalah. Ayo deh, kita coba dulu!” jawab Budi sambil menarik tangan Wandi menuju toko roti tersebut, seolah-olah dia sudah yakin bakal ada keajaiban di dalamnya.

Mereka berdua masuk ke dalam toko roti yang kecil tapi tampak sangat nyaman. Begitu masuk, bau roti panggang langsung menyeruak dan membangkitkan selera. Semua masalah yang tadi rasanya berat, seakan menguap begitu saja. Wandi yang tadinya merasa dunia berat, tiba-tiba merasa seperti berada di tempat yang penuh dengan keajaiban.

Di depan rak roti, Budi langsung berhenti dan menatap sebuah roti besar dengan penuh perhatian. “Wandi, lihat tuh. Roti ini mirip banget sama wajah Pak Hadi yang suka ngambek kalau ada yang telat bayar,” katanya sambil menunjuk roti yang tampaknya memang sedikit aneh bentuknya.

Wandi yang awalnya bingung, lalu terbelalak melihat ekspresi serius Budi yang bahkan sepertinya tidak bercanda. “Ya ampun, Budi! Kamu ini kalau bikin jokes, kayaknya nggak ada habisnya deh,” jawab Wandi sambil tertawa pelan.

Saat itu, kasir yang sedang sibuk mengemas roti di depan mereka mendongak dan melihat dua orang ini tertawa terbahak-bahak. Dia tersenyum tipis, mungkin sudah terbiasa dengan kebiasaan aneh orang-orang yang datang ke toko roti itu.

“Jadi, kalian mau beli roti atau cuma mau nyari masalah?” tanya kasir itu dengan nada bercanda.

Budi nggak mau kalah. “Kita beli roti, tapi nanti kamu bakal lihat, ini roti bukan cuma buat makan. Ini roti yang bisa jadi penyelamat hidup!” jawabnya dengan penuh percaya diri, meskipun sebenarnya dia cuma berusaha menyelamatkan muka.

Wandi cuma menggelengkan kepala, sudah nggak tahu lagi harus berkata apa. “Tapi serius, Budi. Kalau nggak ada roti, aku nggak tahu harus gimana. Dompet hilang, uang nggak ada, ibuku mungkin bakal telpon nyuruh aku pulang bawa susu… Gimana ini?”

“Tenang aja, kamu nggak perlu khawatir. Kita harus mulai menikmati hidup dulu. Kalau ada roti, ada harapan!” jawab Budi sambil mengangkat sebuah roti besar ke arah Wandi.

Wandi yang awalnya ragu, akhirnya mengangguk pelan. “Oke deh, kalau gitu. Aku nggak punya pilihan lain. Bawa aja roti itu, kita makan bareng.”

Saat Wandi dan Budi melangkah keluar dari toko, mereka tidak lagi merasa terlalu khawatir tentang dompet hilang. Mungkin saja mereka hanya perlu sedikit kebodohan untuk melupakan semua masalah yang ada. Berbicara soal roti dan tawa, sepertinya hari itu adalah hari yang berbeda.

 

Kedai Roti, Tempat Para Penjual Tawa

Setelah keluar dari toko roti dengan dua roti besar yang kini jadi teman baru mereka, Wandi dan Budi berjalan pelan di trotoar, masih sesekali tertawa terbahak-bahak karena obrolan konyol yang baru saja mereka mulai.

Di tangan mereka, roti-rotinya terasa seperti harta karun yang lebih berharga daripada dompet yang hilang. Wandi bahkan merasa roti itu bisa mengubah nasibnya dalam sekejap, meskipun tahu itu cuma imajinasi liar.

“Roti ini, Budi… roti ini bikin aku merasa kaya!” ujar Wandi dengan gaya lebay, melirik roti yang ada di tangannya, seakan dia bisa menjualnya di pasar internasional dan dapat duit banyak.

“Yoi, kalau kamu jadi jualan roti kayak gini, mungkin kamu bisa jadi miliarder. Tapi ya, nggak tahu juga sih, roti ini kan bisa bikin orang ketawa juga,” jawab Budi, sambil melanjutkan langkah mereka yang semakin melambat, menikmati aroma roti yang makin menggoda.

Di sekitar mereka, jalanan kota terasa lebih cerah. Meski terik matahari masih menggelayuti, ada rasa ringan di udara. Semua masalah, dompet hilang, telfon ibunya yang belum dijawab, seolah tertinggal jauh di belakang. Semua itu terlupakan sejenak—dan itu berkat dua roti yang mereka gigit bareng.

Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba seorang pria tua yang duduk di bangku taman di pinggir jalan menatap mereka dengan tatapan tajam. Pria itu seperti baru saja melihat dua orang dengan misi penting: menyebarkan tawa. Dengan langkah mantap, pria tua itu berdiri dan menyapa mereka.

“Hei, anak-anak muda! Kenapa kalian pada ketawa terus? Apa ada yang lucu?” tanyanya, suaranya penuh rasa penasaran.

Budi langsung nyengir lebar. “Lah, Pak! Ini roti. Roti ini yang lucu!” jawab Budi sambil memegang roti di tangannya, seperti pengusaha yang sedang mempromosikan produk baru yang sangat luar biasa.

Pria tua itu mengerutkan kening, mungkin karena bingung dengan penjelasan Budi yang jauh dari serius. Tapi, entah kenapa, dia akhirnya ikut tertawa. “Ya, anak-anak zaman sekarang… Semua bisa lucu asal ada roti. Gimana kalau aku ikut makan satu?” tanya pria tua itu, sambil melangkah mendekat.

Wandi yang mulai merasa seperti tengah berada di sebuah festival aneh, hanya bisa mengangguk. “Tentu, Pak! Kalau roti ini bisa bikin kamu tertawa, berarti roti ini punya kekuatan luar biasa!”

Pria itu akhirnya ikut duduk bersama mereka di bangku taman. Tanpa basa-basi, dia mengambil sepotong roti dari Wandi, lalu menggigitnya dengan lahap. Sekejap, dia tertawa lepas. “Aduh, roti ini emang luar biasa. Pasti bikin suasana hati jadi ringan,” katanya sambil tersenyum puas.

Melihat itu, Wandi dan Budi merasa seperti dua pengusaha roti yang sedang membuka gerai pertama mereka. “Wah, Pak! Ini dia rahasianya. Roti yang bisa membuat hati senang!” kata Budi dengan bangga, merasa menjadi seorang jenius dalam bidang makanan ringan.

Tapi saat mereka tengah menikmati roti itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari belakang mereka. “Wandi! Budi! Kau di mana saja, ha?” Itu suara dari seorang ibu yang tak lain adalah ibu Wandi yang tiba-tiba muncul di tengah keramaian.

Wandi langsung panik. “Oh nggak! Itu ibuku, Budi! Jangan bilang kalau aku nggak bawa susu!” bisiknya panik. Budi yang masih nyantai hanya mengangkat bahu.

“Tenang aja, bro. Ini kan roti penyelamat hidup. Kalau ibu kamu marah, kita tinggal bilang kalau kita makan roti sambil nyari inspirasi buat bisnis masa depan,” jawab Budi sambil terkekeh, seolah-olah ini adalah rencana jenius yang bisa mengubah dunia.

Namun, ibunya sudah tiba di dekat mereka. Melihat Wandi yang sudah penuh tawa dan tanpa beban, ibu Wandi bertanya sambil mengerutkan dahi. “Kamu itu, Wandi, kenapa kelihatan santai banget? Mana susu yang aku suruh beli?”

Wandi nyengir lebar dan menggigit roti lagi. “Ibu, ibu… kita bisa kok bahagia tanpa susu. Coba deh roti ini, roti ini lebih menyenangkan dari susu!” jawabnya dengan nada penuh keyakinan.

Ibu Wandi cuma terdiam beberapa detik, lalu meletakkan tangan di pinggang, sepertinya sudah tahu ke mana arah percakapan ini. “Jangan cuma becanda, Nak. Tahu nggak sih, susu itu buat kesehatan kamu? Kalau roti sih bisa kenyangin, tapi nggak bisa bikin tubuh sehat,” kata ibunya sambil menatap mereka berdua.

“Tapi, Bu! Ini roti ada kekuatan magis. Kalau ibu makan satu, bisa bikin ibu lupa sama masalah-masalah hidup yang lain!” jawab Budi sambil memberikan potongan roti pada ibu Wandi.

Dengan ekspresi bingung yang berubah menjadi tersenyum, ibu Wandi akhirnya menerima potongan roti itu. Sekejap, wajahnya terlihat lebih rileks. “Baiklah, baiklah… tapi ingat ya, roti itu bukan pengganti susu!” kata ibu Wandi sambil mengulum senyum tipis.

Melihat ibunya akhirnya setuju, Wandi dan Budi merasa seperti pahlawan yang berhasil memenangkan peperangan dengan tawa dan roti. Di situlah mereka duduk bersama, menikmati keheningan sesaat, sambil menikmati roti yang ternyata lebih banyak memberi kebahagiaan daripada yang mereka kira.

Ketika semua mulai tenang, Wandi menatap langit yang cerah dan berkata dengan santai, “Kalau dipikir-pikir, nggak ada yang lebih hebat dari kebahagiaan sederhana kayak gini. Mungkin kita nggak perlu susu, Budi, kita cuma butuh tawa dan roti.”

Budi mengangguk setuju. “Bener banget, bro. Ini mungkin hal terbaik yang pernah kita alami. Gimana kalau kita buat bisnis roti? Namanya: Roti Ketawa!”

Wandi tertawa mendengarnya. “Setuju! Tapi nanti kita harus bikin cabang di luar negeri. Kalau nggak, kita bakal dianggap gila.”

Hari itu jadi hari yang penuh tawa, roti, dan kenyataan bahwa masalah bisa diselesaikan dengan cara yang paling tak terduga. Sementara itu, di kedai roti kecil, dunia terus berjalan seperti biasa. Tetapi untuk Wandi dan Budi, hari itu adalah momen yang akan mereka kenang selamanya.

 

Tawa Lebih Baik dari Uang

Setelah kejadian di taman yang penuh tawa dan roti, Wandi dan Budi merasa seperti dua orang yang baru saja menyelamatkan dunia. Satu-satunya yang mereka butuhkan sekarang adalah lebih banyak roti dan sedikit petualangan. Mereka berjalan menyusuri jalanan dengan langkah ringan, seolah-olah dunia ini milik mereka—atau setidaknya jalanan kecil itu.

“Lo nggak kebayang, Budi, ini pertama kalinya aku merasa kaya… meskipun dompet gue hilang, tapi roti ini lebih berharga dari semua uang yang ada di dunia!” kata Wandi, sambil menikmati gigitan besar dari potongan roti yang ia pegang.

Budi mengangguk dengan serius, walaupun ekspresinya jelas-jelas nggak serius. “Iya, iya. Bahkan, gue rasa roti ini bisa jadi penyelamat hidup kita. Siapa tahu nanti kita bisa buka bisnis roti, jadi bos roti terbesar se-Asia!” jawab Budi sambil berjalan dengan gaya seperti orang yang sudah punya perusahaan sendiri.

Di sepanjang jalan, mereka bertemu dengan berbagai orang yang entah kenapa ikut tertawa melihat mereka. Mungkin karena mereka berdua tampak seperti dua orang yang baru keluar dari rumah sakit jiwa—sangat bahagia, sangat bodoh, dan sangat aneh. Tapi, entah kenapa, itu justru membuat semua orang jadi merasa ikut bahagia juga.

Setengah jam kemudian, mereka sampai di sebuah taman kota yang cukup ramai. Ada yang berlari, ada yang duduk santai, dan ada juga yang sedang… berdebat soal siapa yang harus membeli kopi. Tentu saja, Wandi dan Budi memilih untuk duduk di bangku taman dengan sepotong roti di tangan, seolah-olah mereka adalah para ilmuwan yang sedang meneliti roti.

“Lo pernah mikir nggak, Budi, kenapa kita selalu mikirin uang? Kenapa kita nggak coba buat hidup tanpa itu?” tanya Wandi, dengan nada yang entah kenapa terasa penuh dengan pencerahan. “Kayak tadi aja, kita bisa bahagia cuma dengan roti, tanpa perlu pusing soal dompet.”

Budi mengangkat alisnya, memberi tanda bahwa dia sedang merenung. “Lo bener, sih. Gue pikir hidup itu nggak cuma soal duit, tapi soal bisa tertawa. Kalau kita bisa tertawa terus, itu kan udah kaya banget, kan?” jawabnya, sambil memandang ke langit yang mulai memerah.

Kemudian, tiba-tiba, seorang wanita paruh baya yang duduk di sebelah mereka menoleh. Dia tampak seperti orang yang serius—bukan tipe orang yang suka tertawa dengan orang asing di taman. Tapi entah kenapa, dia menyapa mereka.

“Hei, kalian berdua… kenapa sih ketawa terus? Ada yang lucu?” tanya wanita itu, tampak bingung tapi penasaran.

Wandi langsung nyengir lebar. “Lo nggak ngerti, Bu. Hidup itu nggak harus serius. Coba deh, cobain roti ini, roti ini bisa bikin lo lupa segala masalah!” jawabnya, dengan semangat yang hampir membuat wanita itu terkejut.

Wanita itu menatap Wandi sejenak, lalu memandang Budi yang justru mengangguk penuh keyakinan. “Kalian ini kayak orang gila, ya? Tapi… kalau roti bisa bikin ketawa, kenapa enggak?” katanya sambil akhirnya mengambil sepotong roti dari tangan Budi.

Begitu wanita itu menggigit roti, ekspresinya berubah. Dia mulai tertawa, pelan-pelan, lalu semakin keras. “Aduh, ini roti kenapa enak banget? Apa yang kalian taruh di dalamnya? Rasanya kayak ada keajaiban!” serunya, sambil terbahak-bahak.

Melihat reaksi itu, Wandi dan Budi merasa seperti dua orang yang baru saja menemukan kebijaksanaan tertinggi di dunia. Ternyata, keajaiban bukan datang dari uang, tapi dari tawa dan roti!

Sambil tertawa, wanita itu akhirnya bertanya, “Jadi, kalian ini beneran serius mau jadi pengusaha roti? Gimana kalau buka kedai roti di sini? Pasti banyak yang datang kalau roti kalian bisa bikin orang ketawa kayak gini.”

Budi dan Wandi saling memandang, seakan-akan mendengar suara hati mereka yang berteriak serentak, “Ini dia!”

“Gimana kalau kita coba buka kedai roti, Wandi? Roti Ketawa,” kata Budi dengan wajah penuh harapan, sudah melihat gambaran masa depan mereka sebagai bos roti.

Wandi yang tadinya ragu, akhirnya mengangguk. “Kenapa nggak? Kalau roti ini bisa bikin ibu-ibu di taman tertawa, kenapa enggak bisa bikin orang lain bahagia juga?”

Akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Dengan roti di tangan, mereka mulai berpikir serius untuk membuka usaha roti mereka. Tentu saja, mereka nggak punya uang dan nggak punya pengalaman, tapi mereka yakin—selama ada tawa, mereka pasti bisa sukses. Lagi pula, siapa yang bisa menolak roti yang bisa bikin orang ketawa?

Dan di hari itu, Wandi dan Budi merasa bahwa mereka tak perlu uang untuk merasa kaya. Tawa, roti, dan kebahagiaan kecil yang mereka bagi dengan orang lain ternyata sudah cukup untuk membuat hidup mereka lebih berarti.

 

Legenda yang Tercipta

Setelah memutuskan untuk membuka kedai roti mereka sendiri, Wandi dan Budi tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Mereka berdua tidak memiliki pengalaman dalam dunia kuliner—apalagi menjadi pengusaha. Namun, dengan roti di tangan dan tawa yang tidak pernah berhenti, mereka merasa siap menghadapi tantangan apapun.

Hari pertama mereka membuka kedai roti Roti Ketawa di sudut jalan yang tidak terlalu ramai, dimulai dengan keraguan. Mereka bahkan sempat berpikir, “Apakah ada yang bakal beli roti kita yang cuma bisa bikin orang ketawa?”

Namun, apa yang mereka lupa adalah satu hal: orang-orang butuh lebih dari sekadar roti untuk kenyang. Mereka butuh kebahagiaan. Dan, Roti Ketawa bukan hanya soal roti—itu adalah janji untuk membuat setiap orang yang memakannya tersenyum, tawa mereka meledak begitu gigitannya masuk ke mulut.

Hari pertama, Roti Ketawa tidak langsung sukses. Bahkan, ada satu ibu-ibu yang mencoba roti mereka dan kemudian menggeleng. “Gimana ya, rasanya agak aneh. Tapi lucu juga bisa bikin ketawa… Mungkin lebih enak kalau pake cokelat,” kata ibu itu sambil tertawa geli, dan itu sudah cukup bagi Wandi dan Budi.

Mereka tidak menyerah. Mereka berdua kembali ke dapur mereka yang sederhana dan mulai bereksperimen—menambah rasa, mengubah tekstur, menambah bahan, dan yang lebih penting, terus menjaga agar roti itu tetap bisa membuat orang tertawa. Hari demi hari, Roti Ketawa menjadi lebih berani. Mereka mulai mengenalkan berbagai rasa unik yang belum pernah ada sebelumnya, dan yang pasti, setiap potongan roti itu selalu ada unsur humor.

Suatu hari, datanglah seorang pria tua yang sudah sangat terkenal di daerah itu, yang selalu tampil serius dan jarang sekali menunjukkan ekspresi wajah selain datar. Pria itu datang dengan mata penuh penasaran, memandang kedai roti yang tampaknya “tidak biasa” ini.

“Roti ketawa, ya?” kata pria itu, melirik papan nama di atas kedai. “Apakah kalian yakin roti ini bisa bikin orang ketawa?”

Wandi yang sudah terlatih dengan pertanyaan semacam itu hanya tersenyum. “Tentu saja, Pak. Kami jamin, roti ini bisa bikin semua orang tertawa.”

Pria itu tidak langsung tersenyum, malah mendekati meja dan mengambil potongan roti yang sudah disiapkan. Begitu dia menggigitnya, seketika wajahnya berubah. Tidak ada senyuman yang muncul—tapi tawa lepas. Tawa yang keras, tawa yang penuh kegembiraan.

“Jangan-jangan kalian punya rahasia! Roti ini… ini benar-benar bisa bikin orang ketawa!” serunya sambil terpingkal-pingkal.

Dan itu adalah titik balik mereka. Pria tua itu ternyata seorang influencer kuliner yang punya ribuan pengikut. Setelah mencicipi roti mereka dan memberi review dengan tawa yang tidak bisa berhenti, berita tentang Roti Ketawa menyebar dengan sangat cepat.

Minggu pertama berlalu dengan cepat. Kedai mereka mulai ramai, orang-orang datang dari berbagai penjuru untuk merasakan roti yang katanya bisa bikin mereka tertawa. Mereka mulai merasa seperti selebriti, meski hanya sebatas di sudut jalan kecil itu.

Suatu sore, Wandi dan Budi duduk di belakang meja kasir, memandangi antrean panjang yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Mereka saling berpandangan, lalu tertawa keras, seperti orang gila.

“Gila, bro. Ini benar-benar terjadi,” kata Wandi, suaranya penuh keheranan.

“Ya, bro. Kita cuma butuh roti dan tawa. Siapa sangka itu bisa jadi bisnis?” jawab Budi sambil tertawa. “Kita berhasil, Wandi. Kita berhasil!”

Keduanya sudah tidak lagi cemas. Roti Ketawa bukan sekadar roti biasa. Itu adalah simbol kebahagiaan. Orang-orang datang bukan hanya untuk makan—mereka datang untuk merasakan sesuatu yang lebih, sesuatu yang sering terlupakan: tawa yang tulus dan kebahagiaan yang tidak memerlukan alasan.

Dan di tengah hiruk-pikuk dunia yang sibuk dan penuh tekanan, ada satu tempat kecil di sudut kota yang mengingatkan orang bahwa tawa adalah obat yang paling ampuh. Tidak peduli apakah kamu sedang memiliki masalah besar atau hanya merasa lelah, roti itu selalu berhasil membuatmu lupa sejenak, dan tertawa, dengan bebas, dengan ringan.

Hari demi hari berlalu, dan Roti Ketawa semakin dikenal luas. Banyak yang datang dengan senyuman lebar, sementara Wandi dan Budi terus berinovasi, tetap menjaga filosofi mereka: “Tawa itu gratis, dan roti itu selalu enak. Kombinasi keduanya adalah kebahagiaan.”

Mereka akhirnya mengerti, uang memang penting, tapi tidak bisa membeli kebahagiaan. Terkadang, hal yang paling sederhana justru yang paling berharga. Seperti roti yang bisa bikin orang tertawa, seperti kedai kecil mereka yang kini menjadi legenda, di mana setiap tawa yang tercipta adalah harta yang tidak ternilai.

Dan di situlah cerita mereka berakhir. Bukan dengan uang atau kesuksesan yang mereka raih, tetapi dengan sebuah roti yang tidak hanya mengenyangkan perut, tapi juga mengisi hidup dengan tawa yang tak terhitung jumlahnya.

 

Jadi, gimana? Ternyata, gak perlu uang banyak buat bikin orang bahagia. Cukup roti, tawa, dan sedikit keberanian buat mencoba hal baru. Siapa tahu, kamu juga bisa jadi bos roti yang bikin dunia ketawa.

Yang pasti, jangan lupa buat tertawa, karena di dunia ini, tawa itu adalah hadiah terbaik yang bisa kamu bagi. Semoga cerita ini ngasih kamu sedikit hiburan, dan kalau lagi bosen, ya tinggal ke kedai roti ketawa aja—siapa tahu, roti itu bakal bikin hari kamu lebih ceria!

Leave a Reply