Roti Hangat di Tengah Hujan: Kisah Anara, Dion, dan Cinta yang Hilang”

Posted on

Kadang, cinta nggak melulu tentang romansa, tapi juga tentang menemukan keluarga yang sempat hilang. Di tengah rintik hujan dan wangi roti yang baru matang, ada kisah yang nggak cuma nyentuh hati, tapi juga bikin kamu kepikiran tentang arti pulang.

Ini bukan sekadar cerita biasa—ini kisah tentang kehilangan, kesempatan kedua, dan keberanian seorang bocah untuk memilih masa depannya sendiri.

 

Roti Hangat di Tengah Hujan

Hujan di Ujung Senja

Hujan turun sejak sore, membasahi jalan-jalan kecil di sudut kota. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menambah suasana syahdu di depan sebuah toko roti yang hampir tutup. Aroma manis dari adonan yang baru matang masih samar-samar tercium, berpadu dengan udara lembap setelah hujan.

Di depan toko, seorang pria tua berdiri dengan payung lusuhnya. Tangannya yang keriput menggenggam erat gagang payung, tubuhnya sedikit membungkuk, seolah menahan udara dingin yang menerpa. Pakaiannya sederhana—kemeja biru tua yang warnanya mulai pudar dan celana panjang yang sudah usang di bagian lutut. Hujan tak membuatnya beranjak. Ia berdiri di sana, menatap ke seberang jalan dengan tatapan yang sulit diterka.

Dari dalam toko, seorang gadis muda bernama Anara memperhatikan pria tua itu. Sejak beberapa bulan terakhir, ia sering melihatnya datang menjelang malam, membeli roti termurah yang tersedia. Kadang hanya sepotong kecil, kadang lebih banyak jika recehannya cukup. Tapi yang aneh, pria itu selalu menunggu di depan toko sebelum pergi, seolah ada sesuatu yang sedang dinantikannya.

Anara menghela napas pelan. Hujan makin deras, dan pria itu tetap berdiri di sana. Tak banyak pelanggan yang tersisa, hanya satu-dua orang yang bergegas pulang.

Ia melirik ke arah bosnya, Pak Surya, yang sedang sibuk menghitung uang di balik meja kasir. Setelah ragu beberapa detik, ia memutuskan untuk keluar.

“Hujan makin deras, Pak,” kata Anara sambil melangkah mendekat. “Kenapa belum pulang?”

Pak Raka—begitu pria tua itu biasa dipanggil—menoleh perlahan. Keriput di wajahnya bertambah jelas di bawah cahaya lampu jalan. Ia tersenyum kecil.

“Aku nunggu seseorang, Nak,” jawabnya dengan suara serak, tapi tetap terdengar ramah.

Anara mengernyit. Sejauh yang ia tahu, pria tua ini tinggal sendirian di rumah kecil di ujung gang. Tak ada istri, tak ada anak, tak pernah terlihat ada kerabat yang datang menjenguk. Lalu, siapa yang ia tunggu?

“Kamu nunggu siapa?” tanyanya hati-hati.

Pak Raka hanya tertawa kecil, tapi tak menjawab. Ia kembali menatap ke seberang jalan, di mana hujan masih deras mengguyur trotoar yang kosong.

Anara menggigit bibirnya. Pria ini sudah tua, tubuhnya tak setegar dulu, dan hujan malam bisa jadi sangat dingin. Tanpa pikir panjang, ia berbalik masuk ke dalam toko, mengambil sekotak roti yang belum terjual, lalu kembali menghampiri pria itu.

“Nih, buat kamu,” katanya sambil menyodorkan kotak roti itu.

Pak Raka menatap kotak di tangannya, lalu kembali menatap Anara. Ada sesuatu di matanya—bukan sekadar terkejut, tapi lebih seperti… kesedihan yang disamarkan oleh senyuman.

“Terima kasih, Nak,” katanya pelan. “Tapi ini bukan buat aku.”

Anara mengernyit. “Maksudnya?”

Sebelum Pak Raka sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara langkah kecil berlarian di tengah hujan. Seorang bocah kurus berusia sekitar tujuh atau delapan tahun berlari dari seberang jalan, tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat.

“Kakek!” seru bocah itu dengan napas tersengal, lalu langsung memeluk tubuh tua Pak Raka yang masih basah meski memegang payung.

Anara terkejut. Kakek? Bocah ini… cucunya?

Pak Raka menunduk, mengusap kepala bocah itu dengan lembut. “Kamu telat lagi,” katanya dengan nada penuh kasih sayang.

Bocah itu menunduk, seolah merasa bersalah. “Maaf… aku tadi kehujanan,” ujarnya pelan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Pak Raka membuka kotak roti yang tadi diberikan Anara. Tangannya gemetar saat ia menyodorkan sepotong kepada bocah itu.

“Makanlah, Nak,” katanya lembut.

Bocah itu menatap roti itu lama, lalu menggeleng. “Tapi… kakek belum makan…”

Pak Raka tersenyum. “Aku udah kenyang lihat kamu makan.”

Anara menahan napas. Tangannya yang masih menggenggam payung terasa dingin. Ia tak tahu harus berkata apa.

Hujan masih turun, lampu-lampu jalan masih bersinar samar, tapi di bawah cahaya itu, ia melihat sesuatu yang lebih hangat dari sekadar roti dalam kotak—cinta yang tak butuh balasan.

Malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa dunia ini masih punya cinta yang tulus.

Dan mungkin, besok, ia akan memastikan bahwa pria tua itu tidak perlu lagi berbagi roti dengan perut kosong.

 

Sekotak Roti dan Sebuah Senyuman

Keesokan harinya, langit masih mendung, seakan hujan semalam belum benar-benar pergi. Anara tiba di toko roti lebih awal dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Pak Raka dan cucunya yang berdiri di tengah hujan, berbagi sekotak roti dengan penuh kasih sayang.

Selama ini, ia selalu berpikir bahwa pria tua itu hanya seorang pelanggan biasa—seseorang yang sekadar membeli roti murah untuk dirinya sendiri. Tapi ternyata, ada sosok kecil yang ia lindungi.

Sambil mengikat apron di pinggangnya, Anara melirik ke luar jendela. Belum ada tanda-tanda Pak Raka. Entah kenapa, ada perasaan tidak tenang di hatinya.

“Nara, tolong susun roti di etalase, ya,” suara Pak Surya memecah lamunannya.

Anara segera mengangguk dan mulai bekerja. Namun, setiap beberapa menit, matanya tetap melirik ke luar. Hingga akhirnya, menjelang sore, sosok yang ditunggu muncul.

Pak Raka datang dengan langkah pelan, masih mengenakan kemeja biru tuanya. Tapi kali ini, ia tidak sendiri. Bocah kecil yang kemarin ikut bersamanya, menggenggam tangannya erat.

Anara buru-buru melepas apron dan keluar.

“Pak Raka!” panggilnya.

Pria tua itu menoleh dan tersenyum kecil, seperti biasa. “Ah, Nak Anara,” sapanya.

Anara berjongkok di depan bocah kecil yang berdiri di samping pria itu. “Siapa namamu?” tanyanya dengan lembut.

Bocah itu menatapnya ragu-ragu, lalu melirik Pak Raka, seolah meminta izin.

“Namanya Dion,” jawab Pak Raka menggantikan.

Anara tersenyum. “Dion, kamu kemarin pulang dengan selamat, kan?”

Dion mengangguk kecil. “Iya…” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Anara menghela napas lega. “Baguslah.”

Lalu, ia berdiri dan menatap Pak Raka. “Pak, masuk dulu, yuk. Aku mau ngobrol sebentar.”

Pak Raka tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. Mereka bertiga masuk ke dalam toko, duduk di salah satu meja kosong di sudut ruangan. Anara mengambilkan dua gelas teh hangat dari dapur.

Pak Raka meniup permukaan tehnya sebelum menyeruput sedikit. “Ada apa, Nak?” tanyanya.

Anara menggenggam tangannya sendiri di atas meja, menimbang-nimbang kata-kata yang tepat. “Pak, aku nggak pernah lihat Dion sebelumnya. Dia tinggal sama Bapak?”

Pak Raka terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Iya… sejak beberapa bulan lalu.”

Dion hanya menunduk, menggambar pola abstrak di permukaan meja dengan jari telunjuknya.

Anara menelan ludah. “Orang tuanya…?”

Pak Raka menghela napas panjang, seolah pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab. “Ibunya… anakku, dia pergi. Dion nggak punya siapa-siapa lagi, jadi aku rawat dia.”

Pergi? Anara tak berani bertanya lebih lanjut, tapi ia bisa menebak bahwa ‘pergi’ yang dimaksud bukan sekadar meninggalkan kota ini.

“Jadi, selama ini Bapak beli roti murah itu buat Dion?” tanyanya pelan.

Pak Raka tersenyum tipis. “Dia masih kecil, dia butuh makan lebih banyak daripada aku.”

Anara menggigit bibirnya. Ia sudah melihat banyak orang tua yang menyayangi anak-anak mereka, tapi pria ini… ia rela mengorbankan dirinya sendiri tanpa mengeluh sedikit pun.

Lalu, ia teringat sesuatu. “Pak, tunggu sebentar, ya.”

Ia bergegas ke dapur dan kembali dengan sebuah kantong kertas. “Ini roti buat kalian,” katanya sambil menyodorkan kantong itu.

Pak Raka menggeleng cepat. “Nggak, Nak. Kamu udah baik sekali kemarin.”

“Tapi roti di sini bakal dibuang kalau nggak terjual,” Anara berbohong sedikit. “Daripada terbuang, lebih baik kalian yang makan, kan?”

Dion menatap kantong itu dengan mata berbinar, tapi tetap diam, menunggu keputusan kakeknya.

Pak Raka akhirnya menghela napas dan menerimanya. “Terima kasih, Nak Anara. Aku nggak bisa bales kebaikan kamu.”

Anara tersenyum. “Bapak udah cukup bantu dengan ngajarin aku tentang cinta yang nggak perlu balasan.”

Pak Raka tertawa pelan, lalu mengacak rambut Dion dengan lembut.

Dion akhirnya membuka kantong itu dan mengambil sepotong roti. Saat ia menggigitnya, senyum kecil muncul di wajahnya.

Mungkin bagi orang lain, ini hanya sepotong roti. Tapi bagi bocah kecil itu, mungkin ini adalah cinta dalam bentuk yang paling sederhana.

Dan Anara tahu, ini bukan terakhir kalinya ia melihat mereka datang ke toko ini.

 

Hujan yang Membawa Kabar

Hari-hari berikutnya, Anara mulai terbiasa dengan kehadiran Pak Raka dan Dion. Mereka tak selalu datang setiap hari, tapi setiap kali mereka muncul, Anara selalu menyisihkan beberapa roti lebih banyak dari biasanya.

Dion mulai lebih nyaman dengannya. Bocah itu bukan tipe yang banyak bicara, tapi ia selalu tersenyum kecil saat menerima roti dari tangan Anara.

Sampai suatu hari, hujan kembali turun dengan derasnya. Malam itu, toko sudah hampir tutup. Anara merapikan meja ketika suara pintu berdenting pelan.

Ia menoleh, dan seketika tubuhnya menegang.

Bukan Pak Raka dan Dion yang datang, melainkan seorang pria tinggi dengan wajah kusut dan tatapan yang penuh kelelahan. Bajunya setengah basah oleh hujan, dan ada lingkar hitam pekat di bawah matanya.

“Selamat malam,” sapa pria itu, suaranya parau.

Anara berusaha tersenyum sopan. “Selamat malam. Mau pesan sesuatu?”

Pria itu ragu-ragu sejenak, lalu menggeleng. “Sebenarnya, aku lagi nyari seseorang. Aku dikasih tahu kalau dia sering ke toko ini.”

Anara mengernyit. “Siapa?”

“Dion… dan kakeknya, Pak Raka.”

Jantung Anara mencelos. Ia menatap pria itu lebih saksama. Rahang tajam, mata yang sama seperti Dion, tapi dengan pancaran yang lebih gelap.

Kecurigaannya perlahan muncul. “Kamu… siapa?”

Pria itu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku… ayahnya.”

Anara terdiam.

Selama ini, ia tak pernah berpikir bahwa Dion masih memiliki seorang ayah. Ia mengira bocah itu sudah benar-benar yatim piatu, hanya punya Pak Raka sebagai satu-satunya keluarga.

“Kamu tahu di mana mereka?” tanya pria itu lagi.

Anara masih ragu menjawab. Ada sesuatu dari sorot mata pria itu yang membuatnya gelisah.

“Kenapa kamu nyari mereka?” tanyanya hati-hati.

Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, seolah menahan emosi yang sudah lama terpendam. “Aku cuma… aku cuma mau ketemu anakku lagi.”

Nada suaranya terdengar tulus, tapi ada sesuatu yang membuat Anara tetap merasa waspada.

“Mereka sering datang ke sini,” jawabnya akhirnya. “Tapi aku nggak tahu di mana mereka tinggal.”

Pria itu menatapnya lama, sebelum akhirnya mengangguk. “Kalau gitu… kalau kamu ketemu mereka lagi, bisakah kamu bilang ke Pak Raka? Katakan bahwa Reza ingin bicara dengannya.”

Anara mencatat nama itu dalam pikirannya.

Reza.

Ayah Dion.

Setelah pria itu pergi, Anara masih berdiri di tempatnya, pikirannya berputar cepat.

Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?

Dan… apa yang harus ia lakukan jika Pak Raka dan Dion datang lagi?

 

Keputusan Terakhir

Keesokan harinya, hujan masih mengguyur jalanan dengan deras. Anara duduk di belakang meja kasir, tangannya mencengkeram erat cangkir teh yang sudah dingin. Matanya terus melirik ke arah pintu, menunggu dua sosok yang biasanya datang saat sore menjelang.

Dan benar saja, suara denting bel toko akhirnya terdengar.

Pak Raka masuk lebih dulu, menggoyangkan payung lipatnya untuk menyingkirkan sisa air hujan. Dion menyusul di belakangnya, jaket lusuhnya masih sedikit basah.

“Selamat sore, Anara,” sapa Pak Raka seperti biasa, senyumnya ramah.

Namun kali ini, Anara tak bisa membalas senyum itu dengan ringan.

Ia melirik Dion yang sedang mengeringkan tangannya dengan lengan jaketnya. Bocah itu tampak sama seperti biasanya—diam, tenang, dan tak banyak bicara.

Anara menarik napas, lalu memberanikan diri. “Pak Raka… kemarin ada seseorang datang ke sini. Dia mencari kalian.”

Gerakan tangan Pak Raka terhenti sejenak. Sorot matanya yang semula teduh kini mengeras.

“Siapa?” tanyanya, suaranya sedikit lebih berat.

Anara menelan ludah. “Reza.”

Dion yang sejak tadi diam, kini menoleh cepat. Matanya melebar, tubuhnya menegang.

Pak Raka menunduk sedikit, seolah sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya. “Apa katanya?”

“Ia ingin bertemu dengan kalian,” jawab Anara hati-hati. “Aku… aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Pak. Tapi dia tampak benar-benar ingin bicara.”

Pak Raka menatapnya lama, lalu menghela napas panjang. “Aku tahu hari ini akan tiba.”

Anara tak mengerti maksudnya. Tapi sebelum ia sempat bertanya, Pak Raka sudah menoleh ke arah Dion.

“Kamu masih ingat ayahmu, Nak?”

Dion diam. Ia menggigit bibirnya, seolah menahan sesuatu yang ingin ia katakan.

“Ayahmu… dia bukan orang jahat,” lanjut Pak Raka, suaranya lebih lembut kali ini. “Tapi dia pernah melakukan kesalahan yang sangat besar.”

Anara tak ingin menyela. Ia hanya mendengarkan, membiarkan Dion yang memproses semuanya.

Lama mereka terdiam. Lalu akhirnya, bocah itu berbicara pelan. “Kalau dia bukan orang jahat… kenapa dulu Kakek membawaku pergi?”

Pak Raka tersenyum kecil, tapi ada kesedihan di matanya. “Karena dia belum siap jadi ayah waktu itu, Nak. Tapi sekarang, mungkin dia sudah berubah.”

Dion menunduk.

Anara bisa melihat tangannya yang mengepal.

Hening kembali menyelimuti mereka, sebelum akhirnya bocah itu mengangkat wajahnya, menatap Pak Raka dengan mata penuh kebingungan.

“Kakek… aku harus bagaimana?”

Pak Raka tak menjawab langsung. Ia hanya mengusap kepala Dion dengan lembut. “Keputusan ada di tanganmu, Nak.”

Dion tampak berpikir keras.

Anara menahan napas, menunggu jawaban bocah itu.

Lalu akhirnya, suara Dion terdengar, pelan namun tegas.

“Aku… mau ketemu Ayah.”

Seketika, Anara merasa ada sesuatu yang menghangat di dadanya.

Pak Raka tersenyum, meski matanya terlihat basah. “Baiklah, Nak. Kita akan menemui Ayahmu.”

Hujan masih mengguyur di luar sana. Tapi entah kenapa, bagi Anara, dunia terasa lebih terang daripada sebelumnya.

 

Jadi, pada akhirnya, hidup nggak selalu ngasih kita jalan lurus yang gampang dilalui. Kadang, kita harus nyasar dulu, tersesat, bahkan kehilangan orang-orang yang kita sayang.

Tapi kalau kita cukup berani buat ngelangkah lagi, siapa tahu hujan yang deras justru ngebawa kita ke tempat yang lebih hangat? Seperti Dion, yang akhirnya berani melihat ke belakang, sebelum melangkah maju ke depan.

Leave a Reply