Romansa SMA: Kisah Laras Mengejar Cinta Kian

Posted on

Siapa bilang cinta remaja itu cuma soal naksir diam-diam? Laras, cewek yang nggak kenal kata menyerah, berani habis-habisan buat ngejar Kian, cowok paling cuek seantero sekolah.

Meski udah ditolak berkali-kali, Laras tetap nggak mundur. Siap-siap, kisah mereka bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri sambil mikir, apa sih yang nggak bisa dilakukan demi cinta di masa SMA? Yuk, ikuti perjalanan cinta penuh liku dan kejutan ini!

 

Romansa SMA

Melodi Pertama

Hari itu cerah dan penuh semangat di Sekolah Menengah Atas Cempaka. Laras Aruna, dengan rambut panjang yang diikat rapi dan kaos kaki berwarna-warni, tampak bergegas menuju kelasnya dengan gitar kesayangannya tergantung di punggungnya. Sambil melangkah, dia tidak bisa menahan senyum lebar di wajahnya. Rencana hari ini adalah bagian dari strategi besarnya untuk mendekati Kian Rayhan, cowok pendiam yang sudah lama menarik perhatiannya.

Di depan kelas, Laras sudah melihat Kian duduk di tempat duduknya yang biasa, di pojok belakang, asyik membaca buku catatan. Laras merapikan gitar di bahunya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mulai berdetak kencang. Dia berusaha keras agar Kian bisa melihat usaha dan dedikasinya.

“Eh, Kian!” sapa Laras dengan ceria saat dia melangkah masuk kelas. “Lagi baca apa, sih?”

Kian menoleh pelan, mata coklatnya yang tajam menatap Laras sejenak sebelum kembali ke bukunya. “Hanya beberapa puisi. Kamu?”

“Aku?” Laras bertanya sambil mengeluarkan gitar dari tasnya. “Aku ada rencana kecil-kecilan. Aku mau main gitar di acara ulang tahun sekolah minggu depan. Mungkin kamu mau datang dan lihat?”

Kian mengangkat alisnya, tampak sedikit terkejut. “Kamu main gitar? Aku gak tahu kalau kamu jago bermain alat musik.”

“Yup, sudah beberapa tahun aku main,” jawab Laras sambil menunjukkan senyum penuh percaya diri. “Aku akan main lagu favoritku. Dan, siapa tahu, mungkin bisa membuat suasana lebih seru.”

Kian hanya mengangguk, sepertinya tidak terlalu tertarik, tapi dia berusaha untuk tersenyum. “Bagus deh. Aku akan coba datang.”

Laras merasa sedikit lega mendengar balasan itu. “Bagus! Aku harap kamu suka. Tapi jangan bilang kalau aku bakal baper ya,” dia tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

Sehari sebelum acara ulang tahun sekolah, Laras terlihat sibuk mempersiapkan semua. Di rumah, dia berlatih tanpa henti, memastikan setiap nada dan akord gitar-nya sempurna. Ibunya, yang penasaran, sering datang dan bertanya tentang persiapan Laras.

“Sayang, besok kan acara besar di sekolah. Apa kamu yakin sudah siap?” tanya Ibunya sambil mengawasi Laras yang asyik berlatih.

“Tenang aja, Bu. Aku sudah siap,” jawab Laras dengan percaya diri. “Aku hanya perlu memastikan kalau penampilanku kali ini benar-benar istimewa.”

Hari H tiba dengan segala keramaian dan kebisingan yang menyertai ulang tahun sekolah. Aula utama sekolah didekorasi dengan balon warna-warni dan spanduk bertuliskan “Selamat Ulang Tahun, Sekolah Cempaka!” Laras berdiri di belakang panggung, memegang gitarnya, sementara siswa-siswa lain sibuk mempersiapkan berbagai penampilan dan acara.

“Laras, kamu siap?” tanya teman dekatnya, Maya, sambil melihat Laras dengan penuh semangat.

“Siap banget!” jawab Laras. “Kamu jangan lupa, ya, rekam penampilanku nanti.”

Maya mengangguk, lalu merapatkan kamera ponselnya. “Pasti! Semoga Kian juga datang.”

Saat gilirannya tiba, Laras melangkah ke atas panggung dengan percaya diri. Dia duduk di kursi yang sudah disediakan, dan mulai memainkan gitarnya dengan lembut. Suasana hening dan semua mata tertuju padanya. Lagu pertama yang dia pilih adalah salah satu lagu pop yang sedang hits, dan dia memainkan dengan penuh perasaan.

Dari sudut aula, Laras bisa melihat Kian duduk di barisan belakang, tampak tertarik dengan penampilannya. Ini adalah momen yang sangat penting baginya, dan dia berusaha keras untuk memberikan yang terbaik.

Ketika lagu terakhir berakhir, tepuk tangan riuh menggema di aula. Laras berdiri dan membungkuk, merasa puas dengan penampilannya. Dia melangkah turun dari panggung dan melihat Kian mendekat.

“Luar biasa, Laras!” kata Kian, tampak serius namun tulus. “Aku tidak menyangka kalau kamu bisa main gitar sebaik itu.”

“Terima kasih, Kian!” Laras menjawab dengan senyum lebar. “Aku sangat senang kamu datang.”

Kian mengangguk, lalu berkata, “Aku harus pergi sekarang. Ada beberapa hal yang harus aku kerjakan.”

Laras merasa campur aduk—bahagia karena Kian datang dan menghargai penampilannya, tapi juga sedikit kecewa karena Kian tidak menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Namun, dia berusaha untuk tetap positif.

“Aku harap kita bisa ngobrol lebih banyak lain kali,” kata Laras sambil tersenyum. “Selamat malam, Kian.”

“Selamat malam, Laras,” balas Kian sebelum pergi.

Setelah acara, Laras kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Dia tahu usaha kerasnya belum sepenuhnya membuahkan hasil seperti yang dia harapkan, tetapi dia merasa bangga dengan apa yang telah dia capai. Laras memutuskan untuk tidak menyerah dan terus berusaha, meskipun jalan ke depan mungkin masih panjang.

Dengan penuh semangat dan harapan, Laras menatap ke depan dan siap menghadapi tantangan berikutnya dalam pencariannya akan cinta dan pengakuan.

 

Langkah Berani

Minggu demi minggu berlalu setelah acara ulang tahun sekolah, dan Laras Aruna tidak bisa berhenti memikirkan Kian Rayhan. Meskipun Kian datang dan memberikan pujian singkat, Laras merasa perasaannya masih belum diterima sepenuhnya. Dia memutuskan bahwa tidak ada salahnya untuk mencoba satu kali lagi, meskipun ini mungkin terlihat seperti usaha yang sia-sia.

Di kantin sekolah, Laras duduk bersama teman-temannya, Maya dan Arif. Mereka sedang menikmati makan siang mereka ketika Laras tiba-tiba berbisik dengan semangat.

“Eh, guys, aku ada rencana,” kata Laras dengan nada penuh rahasia. “Aku mau bikin kejutan untuk Kian.”

“Lagi? Kamu sudah cukup ngotot dengan usahamu,” Arif menjawab sambil tertawa kecil. “Apa kali ini yang bakal kamu lakukan?”

“Aku pikir aku bakal bikin kue dan bawa ke kelasnya,” jawab Laras sambil menunjukkan senyum nakal. “Kalian tahu, kue yang enak bisa jadi cara yang bagus untuk membuka percakapan.”

Maya menatap Laras dengan ekspresi setengah khawatir. “Kamu yakin ini ide yang bagus? Kian kan pendiam, dia mungkin tidak terlalu tertarik dengan hal-hal seperti ini.”

“Tapi aku harus mencoba,” kata Laras mantap. “Aku nggak mau menyerah sebelum mencoba segalanya.”

Setelah beberapa hari mempersiapkan kue, Laras mengemasnya dengan hati-hati dan menyiapkan kartu kecil bertuliskan “Semoga hari ini menyenangkan, Kian!” dengan pena berwarna-warni. Dia membawa kue tersebut ke sekolah dan memasukannya ke dalam kotak dengan penuh harapan.

Saat istirahat siang, Laras mengambil napas dalam-dalam dan menuju kelas Kian. Dia melihat Kian sedang duduk sendiri di bangkunya, asyik membaca buku. Laras merasa jantungnya berdebar kencang, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang. Dia mengetuk pintu kelas pelan-pelan.

“Selamat siang, Kian,” sapa Laras dengan senyuman cerah saat Kian menoleh ke arahnya. “Aku bawa sesuatu untukmu.”

Kian tampak terkejut, tetapi dia tersenyum ramah. “Oh, Laras. Ada apa?”

Laras meletakkan kotak kue di meja Kian. “Ini kue yang aku buat sendiri. Aku cuma mau mengucapkan terima kasih karena kamu sudah datang ke acara ulang tahun sekolah kemarin.”

Kian memandang kotak kue dengan rasa ingin tahu. “Terima kasih, Laras. Aku akan mencobanya nanti.”

“Jangan lupa, ya, bilang kalau enak atau enggak,” Laras menggodanya dengan nada bercanda. “Dan kalau kamu ada waktu, kita bisa ngobrol-ngobrol. Aku penasaran dengan puisi yang kamu baca.”

Kian mengangguk, dan Laras merasa sedikit lega melihat respons positifnya. “Mungkin nanti kita bisa ngobrol,” kata Kian. “Aku harus kembali ke buku ini sekarang.”

Dengan penuh harapan, Laras meninggalkan kelas Kian dan kembali ke kantin. Dia berbagi cerita dengan Maya dan Arif tentang bagaimana pertemuan itu berlangsung.

“Gimana, sukses?” tanya Arif dengan antusias.

“Rasanya oke,” jawab Laras dengan senyum lebar. “Kian terlihat tertarik, meskipun dia masih sibuk dengan bukunya.”

Beberapa hari kemudian, Laras melihat Kian sedang duduk di perpustakaan. Dia memutuskan untuk mendekati Kian dan mengajak berbicara.

“Hai, Kian,” kata Laras, mencoba terlihat santai. “Gimana kue-nya? Ada feedback?”

Kian menatap Laras dengan senyum kecil. “Kuenya enak sekali, terima kasih. Aku benar-benar menghargainya.”

Laras merasa senang mendengar pujian itu. “Aku senang kamu suka. Aku mau tahu lebih banyak tentang puisi yang kamu tulis. Bisa kita ngobrol tentang itu?”

Kian tampaknya berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Aku memang punya beberapa puisi yang ingin aku bagikan. Mungkin kita bisa bicara setelah pelajaran selesai.”

Setelah pelajaran selesai, Laras dan Kian duduk di taman sekolah, tempat yang tenang dan nyaman. Kian mulai membaca beberapa puisinya dengan lembut, dan Laras mendengarkan dengan penuh perhatian. Puisi-puisi Kian menggambarkan perasaan dan pengalaman pribadi dengan cara yang indah dan mendalam.

“Wah, puisi-puisimu benar-benar mengesankan,” kata Laras setelah mendengarkan beberapa puisi. “Kamu punya bakat yang luar biasa.”

Kian tersenyum malu-malu. “Terima kasih, Laras. Aku tidak banyak berbagi ini dengan orang lain.”

“Kenapa?” tanya Laras penasaran. “Kamu harus bangga dengan karya kamu.”

“Kadang aku merasa sulit untuk berbagi hal-hal pribadi,” jawab Kian. “Tapi aku senang bisa berbicara denganmu.”

Laras merasa ada kemajuan kecil dalam hubungan mereka. Meskipun dia tahu perasaan Kian mungkin belum sepenuhnya sama, dia merasa semakin dekat dan lebih memahami Kian sebagai pribadi.

Laras terus berusaha, mengadakan pertemuan-pertemuan kecil dan mendengarkan puisi Kian dengan penuh perhatian. Meskipun dia belum bisa sepenuhnya memenangkan hati Kian, dia merasa langkah-langkah kecil ini adalah awal yang baik.

Seiring waktu berlalu, Laras semakin yakin bahwa meskipun jalan menuju cinta tidak selalu mulus, setiap langkah dan usaha yang dia lakukan membawa pengalaman dan pelajaran berharga. Dan dengan semangat yang tak pernah pudar, Laras terus melangkah maju, siap menghadapi tantangan berikutnya.

 

Ketulusan di Balik Senyuman

Hari-hari berlalu, dan Laras Aruna semakin sering menghabiskan waktu bersama Kian Rayhan. Mereka tidak lagi hanya bertemu di perpustakaan atau kantin, tapi juga di tempat-tempat lain di sekitar sekolah. Laras sering mengajak Kian berjalan-jalan di taman sekolah atau duduk di bangku di bawah pohon besar yang rindang. Mereka berbicara tentang banyak hal—dari puisi hingga mimpi masa depan.

Meskipun Kian masih cenderung pendiam dan tertutup, dia mulai terbuka sedikit demi sedikit. Laras merasa ada perkembangan dalam hubungan mereka, meski kadang Kian masih terlihat ragu untuk benar-benar membuka diri. Namun, Laras tak pernah berhenti mencoba. Dia yakin bahwa di balik sikap dingin Kian, ada seseorang yang sangat menarik untuk dikenali.

Suatu hari, saat mereka sedang duduk di bawah pohon besar, Kian tiba-tiba bertanya, “Laras, kenapa kamu begitu gigih mendekatiku?”

Pertanyaan itu membuat Laras terkejut. Dia tidak menyangka Kian akan bertanya hal seperti itu, apalagi dengan nada serius seperti sekarang.

“Kenapa, ya?” Laras mencoba mencari jawaban yang tepat. “Aku cuma merasa ada sesuatu yang menarik dari kamu. Kamu beda dari orang lain. Kamu punya kedalaman yang tidak semua orang miliki.”

Kian menatap Laras dengan tatapan penuh tanya. “Maksudmu?”

“Kamu mungkin tidak menyadarinya,” jawab Laras pelan, “tapi kamu punya cara melihat dunia yang unik. Puisi-puisi kamu menunjukkan itu. Aku rasa, aku hanya ingin lebih dekat dengan seseorang yang bisa membuat aku melihat dunia dengan cara yang berbeda.”

Kian terdiam sejenak, lalu menundukkan kepalanya. “Aku tidak pernah berpikir ada yang bisa melihat aku seperti itu. Kebanyakan orang menganggap aku aneh atau terlalu tertutup.”

“Menurutku itu bukan hal yang buruk,” kata Laras dengan senyum hangat. “Setiap orang punya cara masing-masing dalam menjalani hidup. Kamu hanya perlu menemukan orang yang bisa mengerti kamu.”

Kian tersenyum kecil. “Dan kamu pikir kamu orang itu?”

Laras tertawa pelan, merasa sedikit gugup tapi tetap percaya diri. “Mungkin saja. Tapi aku nggak akan tahu kalau aku nggak mencoba, kan?”

Kian tersenyum lagi, kali ini dengan lebih tulus. “Kamu memang keras kepala, ya?”

Laras mengangguk dengan bangga. “Itulah yang membuat hidup lebih menarik. Kalau semua mudah, kita nggak akan belajar apa-apa.”

Percakapan itu membuat hubungan mereka semakin akrab. Kian mulai lebih sering tersenyum dan terlihat lebih nyaman berada di dekat Laras. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal yang lebih pribadi—keluarga, teman, dan bahkan ketakutan mereka.

Namun, meskipun hubungan mereka semakin erat, Laras merasakan bahwa ada sesuatu yang masih ditahan oleh Kian. Seperti ada rahasia yang belum Kian ceritakan, sesuatu yang membuatnya tetap menjaga jarak tertentu.

Suatu sore, setelah mereka selesai berbicara di taman, Laras memberanikan diri untuk bertanya tentang hal itu. “Kian, ada sesuatu yang selalu aku ingin tanyakan. Kamu terlihat seperti memikirkan sesuatu yang berat. Apa kamu punya masalah yang bisa aku bantu?”

Kian terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Sebenarnya, ada beberapa hal yang membuat aku tidak mudah percaya pada orang lain. Aku… punya masa lalu yang sulit.”

Laras menunggu dengan sabar, tidak ingin menekan Kian untuk berbicara lebih jauh dari yang dia mau.

“Aku tidak ingin membebani orang lain dengan masalahku,” lanjut Kian. “Tapi, kalau kamu benar-benar ingin tahu, aku akan ceritakan. Tapi mungkin nanti, saat aku siap.”

Laras mengangguk dengan pengertian. “Aku akan selalu ada kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, Kian. Aku tidak akan memaksa, tapi aku akan selalu di sini.”

Kian menatap Laras dengan mata yang menunjukkan rasa terima kasih yang mendalam. “Terima kasih, Laras. Itu berarti banyak bagiku.”

Percakapan mereka hari itu berakhir dengan perasaan yang lebih dalam di hati Laras. Meskipun Kian belum sepenuhnya membuka diri, Laras merasa bahwa mereka semakin dekat. Dia tahu bahwa jalan menuju hati Kian masih panjang dan penuh dengan rintangan, tapi dia tidak akan menyerah. Laras percaya bahwa dengan ketulusan dan kesabaran, dia bisa membantu Kian mengatasi masa lalunya dan membuka hatinya untuk cinta.

 

Melodi Hati yang Terungkap

Waktu terus berlalu, dan kedekatan antara Laras Aruna dan Kian Rayhan semakin terasa nyata. Kian, yang dulu terlihat begitu tertutup dan dingin, kini mulai menunjukkan sisi lembutnya yang hanya diketahui oleh Laras. Namun, meski mereka semakin dekat, ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Laras. Dia tahu bahwa Kian masih menyimpan sebuah rahasia besar yang belum diungkapkan.

Suatu malam, sekolah mengadakan acara penutupan festival tahunan. Semua siswa berkumpul di lapangan sekolah yang dihiasi lampu-lampu indah. Ada berbagai penampilan seni, mulai dari tari, drama, hingga musik. Laras duduk di barisan depan, menunggu giliran penampilan berikutnya, sambil menikmati suasana hangat di sekitar.

Tiba-tiba, terdengar suara yang sangat familiar dari pengeras suara.

“Selamat malam, semua. Nama saya Kian Rayhan,” suara Kian menggema di seluruh lapangan, membuat Laras terkejut. “Malam ini, saya ingin memainkan sebuah lagu. Lagu ini… untuk seseorang yang telah mengajarkan saya banyak hal tentang hidup, tentang ketulusan, dan tentang cinta.”

Laras terdiam, matanya tertuju pada panggung tempat Kian berdiri dengan gitar di tangannya. Ini adalah pertama kalinya Kian berbicara di depan banyak orang, dan Laras tahu bahwa ini bukan hal yang mudah baginya.

Kian mulai memetik gitarnya, memainkan melodi yang lembut namun penuh dengan emosi. Suaranya yang dalam dan merdu memenuhi ruangan, membuat semua orang terdiam dan mendengarkan dengan seksama. Lirik-lirik lagu itu menceritakan tentang perjalanan hati yang penuh dengan keraguan, kesepian, dan akhirnya, menemukan seseorang yang bisa membuat segalanya lebih baik.

Laras merasa setiap kata dalam lagu itu seperti ditujukan untuknya. Matanya mulai berkaca-kaca, menyadari betapa dalamnya perasaan Kian yang selama ini dia coba sembunyikan. Kian menatap Laras di antara lirik-lirik lagu yang dia nyanyikan, seolah ingin menyampaikan perasaannya secara langsung.

Setelah lagu itu selesai, lapangan terdiam sejenak sebelum akhirnya meledak dengan tepuk tangan yang meriah. Tapi bagi Laras, semuanya terasa seperti mimpi. Dia tidak percaya bahwa Kian baru saja mengungkapkan perasaannya dengan cara yang begitu indah.

Setelah acara selesai, Laras berjalan ke arah Kian yang sedang merapikan gitarnya di belakang panggung. Kian tersenyum canggung saat melihat Laras mendekat.

“Kian…” Laras memulai dengan suara yang sedikit gemetar. “Itu tadi… sangat indah.”

Kian menatapnya, kali ini tanpa ragu. “Aku hanya ingin kamu tahu apa yang aku rasakan, Laras. Selama ini, aku selalu menahan diri, takut untuk percaya, tapi kamu membuatku percaya lagi.”

Laras merasa dadanya berdebar kencang. “Kian, aku juga merasakan hal yang sama. Aku selalu ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendiri. Aku ada di sini, dan aku akan selalu ada untukmu.”

Kian mengulurkan tangannya, dan Laras menyambutnya dengan hangat. Di balik genggaman tangan itu, Laras merasakan kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Itu bukan hanya sekadar sentuhan, tapi juga janji bahwa mereka akan menghadapi segala sesuatu bersama.

“Aku mungkin tidak sempurna,” kata Kian dengan suara lembut. “Aku punya banyak kekurangan, dan masa lalu yang mungkin sulit untuk dihadapi. Tapi aku akan mencoba untuk menjadi seseorang yang layak untukmu.”

Laras menggelengkan kepalanya, tersenyum sambil menatap Kian. “Kamu sudah lebih dari cukup, Kian. Yang penting, kita ada untuk satu sama lain. Itu yang terpenting.”

Kian tersenyum, kali ini dengan penuh keyakinan. “Terima kasih, Laras. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi selama kamu ada di sisiku, aku tahu semuanya akan baik-baik saja.”

Malam itu, di tengah lapangan sekolah yang mulai sepi, Laras dan Kian berjalan berdampingan, meninggalkan semua kenangan buruk di masa lalu dan melangkah ke masa depan yang lebih cerah. Mereka tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan selalu mudah, tapi dengan ketulusan dan cinta yang mereka miliki, mereka siap menghadapi apapun yang akan datang.

 

Dan begitulah, di balik semua drama dan usaha tanpa henti, Laras dan Kian akhirnya menemukan ritme yang sama di hati mereka. Kadang, cinta remaja memang nggak bisa ditebak—suka bikin kita senyum sendiri, kadang malah bikin nangis.

Tapi satu hal yang pasti, perjalanan mereka di SMA ini bakal jadi kenangan yang nggak akan terlupakan. Karena pada akhirnya, cinta memang tentang menemukan seseorang yang mau berjalan di sisimu, apa pun yang terjadi.

Leave a Reply