Daftar Isi
Jadi, pernah nggak sih, kamu ngerasain rasa kangen yang udah numpuk banget, sampai akhirnya kamu harus menghadapi kenyataan bahwa waktu dan jarak itu nggak bisa dihindarin?
Nah, cerpen ini bakal bawa kamu masuk ke dalam kisah dua orang yang akhirnya belajar kalau kadang, buat ngerasain kebahagiaan, kita nggak bisa cuma ngejar waktu, tapi harus mau merelakan apa yang nggak bisa kita kontrol. Siapin tisu, karena mungkin kamu bakal nyadar kalau mereka yang kamu cari, ada di depan mata, tapi kadang kita cuma perlu waktu untuk ngeliatnya.
Cerpen Drama Tomorrow With You
Peluit yang Membawa Rindu
Pagi itu, stasiun kecil di pinggiran kota terlihat tenang, hanya dihiasi langkah beberapa penumpang yang turun dari kereta pertama hari itu. Sinar matahari yang lembut menyapa peron, memantulkan kehangatan yang perlahan merayap di udara. Di antara hiruk pikuk kecil itu, seorang pria berdiri di ujung peron, tubuhnya tegap, tapi matanya sibuk memandang ke arah rel yang masih kosong.
Raka menggenggam tiket di tangannya. Tiket itu sudah ia beli dua hari lalu, bukan untuk perjalanan, tetapi hanya sebagai akses untuk menunggu di peron. Di dadanya, perasaan bercampur aduk—rindu, cemas, dan sedikit ketakutan.
Peluit kereta terdengar. Suara itu membelah udara, diiringi gemuruh roda besi yang mendekat. Kereta berhenti perlahan, pintu-pintunya terbuka, dan orang-orang mulai turun. Raka mengedarkan pandangan, matanya menyisir satu per satu wajah yang muncul dari dalam gerbong.
Lalu dia melihatnya.
Lia melangkah keluar dari gerbong ketiga, membawa tas kecil di tangan kirinya. Rambutnya yang hitam legam diikat sederhana, menyisakan beberapa helai yang tergerai di samping wajahnya. Sweater abu-abu kebesaran yang ia kenakan tampak melindungi tubuh mungilnya dari udara pagi yang dingin. Dia berdiri di sana, matanya mencari, sampai akhirnya bertemu dengan pandangan Raka.
Mereka diam sejenak. Langkah Lia terhenti, sementara Raka hanya bisa berdiri kaku, seperti bumi di bawahnya mendadak berhenti berputar.
“Lia,” panggil Raka akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk penumpang.
Lia tersenyum kecil, lalu mulai melangkah mendekat. “Raka.”
Hanya namanya. Tapi ada begitu banyak cerita yang tersembunyi di balik cara Lia mengucapkannya. Empat tahun tanpa pertemuan, tanpa sentuhan, hanya berbagi waktu melalui layar ponsel yang tak pernah benar-benar cukup.
Raka menarik napas panjang, lalu berkata, “Kamu terlihat… tidak berubah.”
“Dan kamu terlalu jujur untuk bilang aku kelihatan lelah,” jawab Lia, mencoba bercanda meski matanya masih menyimpan kehangatan yang menyesakkan.
“Kamu lelah?” Raka menatapnya penuh perhatian.
Lia hanya menggeleng. “Sedikit. Perjalanan malam itu selalu membuatku sulit tidur.”
“Ayo duduk sebentar.” Raka mengarahkan Lia ke sebuah bangku kayu di sudut peron yang tidak terlalu ramai.
Mereka duduk bersebelahan, tapi tidak ada percakapan selama beberapa saat. Hanya suara burung dan gemuruh kereta yang mulai bergerak kembali memenuhi udara di sekitar mereka.
“Jadi, apa kabarmu?” Lia memecah kesunyian, suaranya lembut, hampir seperti bisikan.
“Baik, aku rasa,” jawab Raka, lalu menoleh ke arahnya. “Tapi sepertinya lebih baik sekarang.”
Lia tersenyum kecil. Tapi senyum itu tidak penuh, seolah ada sesuatu yang menahannya. Dia menunduk, mengamati jemarinya yang saling bertaut.
“Aku benar-benar tidak menyangka kamu akan datang,” lanjut Raka.
“Aku juga,” Lia mengangkat wajahnya, tatapannya jauh. “Kadang aku berpikir, mungkin aku terlalu pengecut selama ini.”
“Pengecut? Lia, kamu sudah menghadapi banyak hal sendirian di sana. Itu bukan pengecut. Itu kuat.”
“Tapi aku tetap lari, kan?” Mata Lia berkilat sejenak, seperti hendak menangis, tapi dia menahan dirinya. “Aku meninggalkan segalanya. Kamu.”
“Lia.” Raka menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. “Kita semua punya alasan. Aku tahu kamu tidak pergi karena ingin. Aku tahu kamu pergi karena kamu harus.”
Lia menatap Raka lama, seolah mencari sesuatu di dalam dirinya. “Kamu selalu seperti ini, ya? Selalu mencoba memaafkan aku, bahkan sebelum aku minta maaf.”
“Karena aku tahu kamu.”
Lia tersenyum kecil lagi, kali ini lebih tulus. Namun, senyum itu tak bertahan lama. Dia berdiri, menatap ke arah rel yang kosong.
“Raka,” panggilnya tanpa menoleh.
“Hm?”
“Kalau aku bilang aku ragu untuk datang hari ini, kamu bakal marah nggak?”
Raka berdiri dan mendekatinya, berdiri di sampingnya. “Aku nggak bisa marah sama kamu, Lia.”
“Tapi kamu kecewa?” Lia menoleh, matanya menunggu jawaban.
Raka mengangguk pelan. “Kecewa, karena aku tahu kamu nggak harus ragu. Aku selalu di sini, Lia.”
Angin pagi bertiup lembut, membawa suara bel peringatan kereta yang akan datang. Lia menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil. “Kamu benar. Mungkin aku memang terlalu sering takut.”
“Kamu di sini sekarang. Itu yang penting.”
Lia tidak menjawab, hanya menatap Raka seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Di dadanya, ada perasaan yang bertarung antara rindu dan keraguan. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa sedikit lebih ringan.
Di stasiun kecil itu, mereka berdiri berdampingan, tanpa kata-kata lagi. Hanya ada waktu yang berjalan perlahan, membawa mereka ke langkah berikutnya yang belum mereka pahami sepenuhnya.
Langkah di Antara Flamboyan
Setelah beberapa saat di stasiun, Raka mengajak Lia berjalan-jalan. Jalan setapak kecil di belakang stasiun, yang dipenuhi pohon flamboyan yang sedang berbunga, selalu menjadi tempat favorit Raka untuk menenangkan diri. Lia mengikutinya tanpa banyak bicara, hanya memperhatikan setiap langkah Raka yang terlihat tenang.
“Masih ingat jalan ini?” tanya Raka, memecah keheningan.
Lia mengangguk pelan. “Masih. Aku ingat kamu sering mengajakku ke sini dulu. Katamu, ini tempat terbaik untuk melupakan keramaian.”
“Dan sekarang kamu benar-benar butuh itu,” ujar Raka sambil tersenyum kecil, melirik Lia yang berjalan di sampingnya.
Lia hanya membalas dengan anggukan kecil, tetapi senyum di wajahnya mulai terlihat lebih tulus. Mereka melangkah perlahan, ditemani bayangan bunga flamboyan merah yang berjatuhan seperti hujan.
“Raka,” panggil Lia akhirnya, suaranya pelan.
“Hm?”
“Kenapa kamu nggak pernah marah sama aku?”
Pertanyaan itu membuat Raka berhenti melangkah. Dia menoleh, memperhatikan wajah Lia yang serius. “Kenapa kamu nanya itu?”
“Aku cuma merasa… aku sering bikin kamu nunggu. Aku pergi tanpa janji kapan balik, terus aku malah ragu buat datang hari ini. Kalau aku jadi kamu, aku pasti udah marah besar,” jawab Lia dengan nada yang sulit ditebak.
Raka tersenyum tipis, lalu menyandarkan tubuhnya ke batang pohon di dekatnya. “Kamu tahu kenapa aku nggak marah, Lia? Karena aku ngerti kamu. Aku ngerti kenapa kamu pergi, kenapa kamu ragu, kenapa kamu takut. Dan aku nggak mau kehilangan kamu hanya karena aku egois dengan perasaanku sendiri.”
Lia menunduk, memainkan ujung sweaternya yang kebesaran. “Aku nggak ngerti gimana caranya kamu bisa sabar sama aku. Aku bahkan sering nggak sabar sama diriku sendiri.”
Raka mendekat, berdiri di depan Lia. “Aku sabar karena aku percaya. Aku percaya sama kamu, Lia. Itu aja.”
Lia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Raka dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Raka… aku nggak tahu apa aku pantas buat semua ini.”
“Kamu pantas, Lia. Selalu pantas,” ujar Raka, suaranya penuh keyakinan.
Mereka terdiam lagi, membiarkan angin pagi membawa sisa bunga flamboyan yang berjatuhan. Di kejauhan, suara anak-anak kecil terdengar bermain di halaman rumah. Dunia seolah berjalan lambat, memberikan mereka waktu untuk menyusun kata-kata yang sulit diungkapkan.
“Jadi, gimana rasanya balik ke sini setelah empat tahun?” tanya Raka akhirnya, mencoba mencairkan suasana.
Lia tersenyum kecil. “Aneh. Rasanya kayak tempat ini berubah, tapi nggak berubah sekaligus.”
“Kayak kita, ya?” seloroh Raka.
Lia tertawa pelan, meski air mata masih membayang di sudut matanya. “Mungkin. Tapi aku rasa aku yang lebih banyak berubah.”
“Berubah gimana?”
“Aku lebih takut sekarang,” jawab Lia tanpa ragu. “Takut gagal, takut bikin kamu kecewa, takut nggak bisa bahagiain orang-orang yang aku sayang.”
Raka menarik napas panjang. “Lia, hidup itu nggak harus kamu atur semua. Kadang, kamu cuma perlu jalanin apa yang ada di depan kamu. Termasuk aku.”
Lia tertegun. Kata-kata Raka terasa begitu sederhana, tapi juga begitu dalam.
“Dan aku?” tanya Lia pelan. “Aku perlu jalanin apa?”
“Kamu cuma perlu percaya. Sama aku. Sama diri kamu sendiri.”
Lia mengangguk pelan. Mereka melanjutkan langkahnya, kali ini tanpa banyak bicara. Tetapi, langkah itu terasa berbeda. Tidak lagi dipenuhi ragu, meski belum sepenuhnya yakin.
Di ujung jalan kecil itu, mereka menemukan sebuah kursi kayu yang terbuat dari batang pohon besar. Lia duduk lebih dulu, sementara Raka tetap berdiri, menyandarkan tubuhnya ke batang pohon di dekatnya.
“Raka, aku ingin tahu satu hal,” ujar Lia, memecah keheningan.
“Apa?”
“Kalau aku nggak datang hari ini, apa kamu masih bakal nunggu?”
Pertanyaan itu membuat Raka tersenyum. Dia menatap Lia, memastikan bahwa gadis itu benar-benar ingin mendengar jawabannya.
“Aku bakal nunggu, Lia. Tapi aku juga bakal cari cara buat nemuin kamu.”
Lia terdiam, memandangi Raka dengan mata yang penuh emosi. Jawaban itu terasa seperti angin yang membelai luka di hatinya, membawa rasa lega yang sulit dijelaskan.
Hari itu, di bawah flamboyan yang bermekaran, mereka tidak hanya berbagi langkah, tetapi juga rasa. Rasa yang selama ini tertahan oleh jarak, perlahan menemukan jalannya kembali. Babak baru dari perjalanan mereka baru saja dimulai.
Di Balik Pertemuan yang Tak Terduga
Malam semakin larut ketika Lia dan Raka berjalan kembali menuju stasiun. Tidak ada kata-kata yang terlontar di antara mereka. Hanya langkah-langkah kaki yang saling mengikuti, saling mengisi ruang hening yang tiba-tiba terasa begitu nyaman. Lia menatap jalan yang terbentang di depan mereka, pikirannya berkecamuk antara rasa rindu yang tiba-tiba muncul dan ketakutan akan kenyataan yang belum sepenuhnya bisa dia terima.
“Kamu tahu nggak sih, kenapa aku tiba-tiba ke sini lagi?” tanya Lia setelah beberapa menit hening, suaranya terdengar pelan, namun cukup untuk membuat Raka menoleh.
Raka terdiam sebentar sebelum menjawab, “Aku rasa aku tahu, tapi aku nggak mau asal nebak. Kenapa?”
Lia tersenyum, namun senyum itu tak sepenuhnya sampai ke matanya. Ada sesuatu yang lebih dalam yang dia simpan, sesuatu yang tak mudah diungkapkan. “Karena aku ngerasa… aku nggak bisa terus menghindari ini. Menghindari kita.”
Raka berhenti sejenak, menatap Lia dengan serius. “Menghindari kita? Tapi kan… kita nggak pernah benar-benar berpisah.”
Lia menggigit bibirnya, sedikit bingung dengan kata-katanya sendiri. “Tapi kita nggak pernah benar-benar bersama juga, Raka. Aku selalu… aku selalu berusaha melupakan kita. Melupakan kamu, bahkan ketika aku tahu itu nggak bisa.”
Raka menghela napas. “Kita nggak perlu melupakan apa pun, Lia. Kita cuma perlu waktu untuk ngertiin apa yang kita rasain, tanpa harus buru-buru. Apa yang kita butuhkan bukan jarak, tapi waktu yang tepat.”
Lia menatapnya, sedikit terkejut. “Waktu yang tepat? Tapi kita udah terpisah cukup lama, Raka.”
“Dan kita baru ketemu lagi setelah itu,” jawab Raka pelan. “Kadang, waktu yang lama itu perlu supaya kita tahu apa yang sebenarnya kita inginkan. Kalau kita bertemu terlalu cepat, mungkin kita nggak bakal bisa ngeliat apa yang penting.”
Lia terdiam. Kata-kata itu membekas dalam hati, mengingatkannya bahwa terkadang segala sesuatu harus terjadi dengan cara yang tidak terduga, dan itu tidak harus selalu buruk.
“Mungkin kamu benar,” Lia akhirnya berkata, matanya menatap ke depan, mengikuti jejak langkah mereka yang semakin dekat dengan stasiun. “Mungkin kita butuh waktu untuk menyadari kalau kita memang seharusnya ada di sini, bersama.”
Raka mengangguk, namun kali ini, dia menggenggam tangan Lia dengan lembut, seperti memberinya sedikit kekuatan. “Dan sekarang, aku di sini. Kalau kamu mau, aku akan nunggu.”
Lia tersenyum. Senyumnya lebih lebar kali ini, lebih tulus. Seperti ada sesuatu yang cair di dalam dirinya, sebuah dinding yang perlahan runtuh setelah bertahun-tahun dibangun. “Aku nggak akan pergi lagi, Raka. Aku janji.”
Mereka berjalan berdua menuju stasiun, dan meskipun malam semakin larut, ada secercah cahaya yang muncul di dalam hati Lia. Cahaya yang selama ini dia cari, dan akhirnya, dia tahu persis di mana menemukannya.
Saat mereka berdua berdiri di pinggir rel, menunggu kereta yang akan membawa mereka ke destinasi selanjutnya, Lia merasakan perasaan yang sudah lama hilang—perasaan aman, tenang, dan penuh harapan.
“Besok, kita akan melihat semuanya berbeda, Lia,” kata Raka, memecah keheningan, dengan senyum penuh keyakinan.
Lia hanya mengangguk, sambil menatap langit malam yang mulai dipenuhi bintang. “Ya, besok… kita akan melihat semuanya berbeda.”
Hari Esok yang Baru
Pagi itu, udara terasa lebih segar, lebih cerah dari biasanya. Lia membuka matanya perlahan, menghirup udara pagi yang masuk melalui jendela kamar. Sesuatu dalam dirinya terasa berubah, seolah semalam adalah titik balik dari segala kebingungannya. Malam itu, mereka berdua telah menyepakati sesuatu yang tak terucapkan, namun begitu jelas dalam hati mereka—mereka siap untuk menghadapi apa pun yang datang.
Lia menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Ada pesan baru dari Raka yang baru saja masuk.
“Aku tahu, mungkin ini terasa cepat, tapi aku mau kamu tahu, aku nggak akan mundur. Aku mau kita mulai dari sini, mulai hari ini.”
Pesan itu sederhana, tapi entah kenapa, setiap kata seakan menyentuh relung terdalam hatinya. Lia tersenyum kecil, menahan perasaan hangat yang tiba-tiba muncul di dada. Selama ini, dia menghindari perasaan itu, berlari dari kenyataan yang datang begitu mendalam. Tapi kini, dia merasa lebih siap untuk menghadapi kenyataan itu. Untuk mereka berdua.
Saat Lia memasuki ruang kantor, dia menemukan Raka sudah duduk menunggunya di pojok ruangan, seperti biasa, dengan tatapan yang lebih tenang, lebih penuh makna. Wajahnya tidak tampak cemas atau gelisah, seolah-olah dia tahu apa yang harus dilakukan.
Lia berjalan mendekat, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kamu beneran yakin dengan semua ini?”
Raka mengangguk. “Lebih dari apapun, Lia. Kadang, kita nggak bisa tahu jawaban dari semua yang kita pertanyakan, tapi kita bisa merasakannya. Dan aku merasa ini benar.”
Lia menghela napas panjang, matanya sedikit basah, namun senyumnya tak terbendung. “Aku juga merasa begitu. Seperti aku akhirnya bisa melihat apa yang seharusnya aku lihat, meskipun aku sempat buta.”
“Ada hal-hal yang perlu kita pelajari dari perjalanan kita, Lia. Dan aku ingin terus belajar sama kamu.”
Lia duduk di samping Raka, memandangi dunia yang lewat di luar jendela. “Aku tahu kita nggak bisa mengubah masa lalu, Raka. Tapi aku percaya, kita bisa mulai dari sini.”
Mereka duduk diam dalam keheningan yang nyaman, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Waktu berjalan dengan tenang, dan meskipun perjalanan hidup tak selalu mulus, Lia merasa untuk pertama kalinya, dia tidak perlu takut lagi akan hari esok.
Karena hari esok, bagi mereka, sudah dimulai. Dan mereka siap untuk menjalaninya bersama.
Dan mungkin, seperti mereka, kita semua punya cerita tentang menunggu, tentang harapan yang kadang berlarut-larut. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang pasti—bahwa meski waktu terus berjalan dan jarak kadang menghalangi, perasaan yang tulus nggak pernah pergi begitu aja.
Jadi, kalau kamu masih merasa ada yang tertinggal, mungkin itu tandanya kamu sedang menunggu momen yang tepat. Karena dalam hidup, kadang hal terbaik datang bukan dari yang kita kejar, tapi dari yang kita izinkan untuk datang sendiri.