Daftar Isi
Hai, kalian pasti pernah ngalamin yang namanya suka sama temen sekelas, kan? Tapi nggak tahu gimana cara ngomongin itu karena takut rusak persahabatan.
Nah, cerpen ini pas banget buat kalian yang suka sama cerita manis dan lucu tentang cinta yang tumbuh di sekolah, antara dua orang yang awalnya cuma teman biasa. Baca sampai habis, deh! Dijamin, bikin senyum-senyum sendiri!
Romansa Cinta di Sekolah
Rumus Cinta dan Matematika
Pagi itu, kelas 11 IPA di SMA Cahaya Nusantara terasa lebih suram dari biasanya. Kaluna duduk di bangku paling depan, tepat di sebelah jendela yang sedikit berdebu. Tangan kanannya memegang selembar kertas penuh rumus matematika, namun matanya kosong, menatap angka-angka yang seolah bergerak menghindar dari pandangannya.
Tugas matematika yang diberikan Pak Arga pagi tadi terasa seperti musuh bebuyutan. Satu soal saja sudah cukup membuatnya ingin menyerah, apalagi kalau ditambah dengan lima soal lainnya. Kertas itu lebih mirip tulisan dari bahasa yang tak dikenal, dengan huruf-huruf yang saling berbenturan dan rumus yang membingungkan.
“Aku bisa mati gara-gara PR ini,” gumam Kaluna, setengah frustrasi.
Di belakangnya, Rafka duduk dengan tenang, seolah tidak peduli dengan suasana yang semakin kacau. Rafka, si jenius yang selalu duduk di belakangnya, tidak pernah terlihat kebingungan dengan tugas seperti ini. Bahkan, dia tidak pernah terlihat kesulitan dengan apapun—entah itu soal matematika atau masalah hidup.
Kaluna memutar kursinya sedikit dan menatapnya dengan penuh harap. “Rafka… bisa bantu aku, nggak?”
Rafka menoleh sekilas. Matanya seakan menilai seberapa besar keseriusan permintaannya. “Kamu nggak ngerti sama sekali?” tanyanya datar.
Kaluna mendengus. “Kamu kira?” Balasnya sambil mengangkat kertas yang penuh dengan angka, menggoyangkan tangan seakan memohon pertolongan.
Rafka melanjutkan menulis jawaban di bukunya dengan santai, seolah Kaluna tidak ada di sana. “Matematika itu gampang, kalau kamu tahu rumusnya.”
Kaluna mengernyitkan dahi. “Rumusnya? Sungguh? Kenapa aku nggak pernah tahu rumus untuk nggak bingung kayak gini?”
Sambil menghela napas, Rafka akhirnya menutup bukunya dan berbalik sedikit. “Oke, lihat ya. Kalau kamu punya masalah, fokus saja pada bagian yang perlu dipecahkan.”
Kaluna memperhatikan tangan Rafka yang mulai menggambar sesuatu di kertasnya, tangannya bergerak cepat, rapi, hampir seperti ahli seni. “Jadi, ini gimana? Aku nggak ngerti sama sekali,” katanya dengan nada lelah, hampir menyerah.
Rafka memutar pena di jarinya. “Simpel kok. Ini tinggal dipisahkan jadi dua bagian.”
Kaluna memandangnya penuh rasa ingin tahu, tapi masih bingung. “Tapi kan… ini soal pertumbuhan eksponensial, bukan pecahan biasa. Gimana bisa dipisah?”
Rafka hanya tersenyum kecil. “Banyak yang nggak ngerti, tapi kalau kamu belajar, kamu akan tahu cara melihat masalah dari sisi lain.”
Kaluna merenung sejenak. “Maksud kamu, bukan soal rumus doang ya, Rafka? Tapi soal cara pandang aku?”
Rafka mengangguk, sambil menyilangkan tangannya di depan dada. “Ya, begitulah.”
Kaluna mematung. Sejak kapan Rafka bisa ngomong dengan cara yang seperti itu? Sejak kapan dia seolah bisa membaca isi pikirannya tanpa bicara? Kaluna merasa seperti ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap Rafka yang dingin dan tenang itu.
“Jadi… kamu bisa bantu aku selesaiin PR ini?” tanya Kaluna sekali lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut.
Rafka menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Tapi, kamu harus fokus. Jangan cuma nanya, tapi coba cari sendiri cara kerjanya.”
Kaluna menggigit bibir bawahnya, menatap lembaran soal yang seolah semakin sulit dicerna. “Aku benci matematika,” keluhnya.
“Tapi kamu harus bisa. Ini bagian dari pelajaran.” Rafka berkata sambil menggerakkan pena di tangannya. “Kalau kamu nggak mau belajar, ya susah. Tapi kalau kamu nggak tahu, gimana bisa ngerjainnya?”
“Aduh, Rafka… semua orang juga tahu itu.” Kaluna mendengus, menyandarkan kepalanya di meja. “Aku butuh yang lebih dari sekadar motivasi basi.”
Rafka mengangkat bahunya. “Ya udah, kalau nggak mau coba, berarti kamu lebih memilih buat nggak selesaiin PR ini, kan?”
Kaluna merasa seperti dikejar-kejar kata-kata itu. Rasanya seperti ada tekanan berat yang mendorongnya untuk mencoba lebih. Tapi kemudian, dia menyadari satu hal—Rafka, si cowok yang selalu tenang itu, punya cara yang aneh untuk membuat segala sesuatunya terasa lebih rumit.
“Ya, ya… aku coba deh.” Kaluna menatap kertasnya lagi, kali ini lebih serius. Mungkin Rafka benar. Mungkin masalahnya bukan hanya soal rumus atau angka. Mungkin masalahnya adalah cara dia melihatnya.
Namun, beberapa menit kemudian, Kaluna mengerang keras. “Rafa… aku nggak ngerti, deh! Kenapa ini nggak bisa kelar?”
Rafka tersenyum tipis, akhirnya berdiri dan berjalan ke meja Kaluna. “Oke, sekarang aku ajarin, tapi kamu nggak boleh cengeng.”
Kaluna mendelik. “Aku cengeng?”
Rafka hanya mengangkat alis, dan mulai menunjukkan langkah-langkah dengan sabar. Kaluna melihat dengan seksama, mencoba memahami apa yang diajarkan. Meskipun susah, ada sesuatu yang membuatnya merasa lebih dekat dengan Rafka dari yang sebelumnya.
Tiba-tiba saja, kelas terasa lebih tenang, dan Kaluna bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar angka dan rumus—ada semacam koneksi yang belum bisa dia jelaskan.
Tugas, Angka, dan Rasa yang Tak Terucap
Beberapa hari setelah sesi “tugas matematika” yang memusingkan itu, Kaluna merasa sedikit lebih lega. Matematika masih menjadi musuh yang tak pernah hilang, tetapi ada satu hal yang mulai mengusik pikirannya. Setelah Rafka membantu menjelaskan soal-soal PR, ada rasa aneh yang menyelinap—sebuah rasa yang tidak bisa ia definisikan, namun jelas ada.
Kali ini, mereka berada di ruang kelas yang sama, namun tidak lagi sibuk dengan buku matematika. Kaluna lebih memilih duduk di dekat jendela, menatap langit yang sudah mulai mendung. Sementara Rafka, dengan gaya yang tetap tenang, duduk di belakangnya, membaca buku tentang fisika.
Kaluna terdiam, mengamati Rafka yang seolah tidak peduli dengan dunia di sekitarnya. Setiap kali dia melihat pemuda itu, hatinya terasa sedikit berdebar, seolah ada yang tertinggal di dalam dirinya yang belum sempat dia perhatikan.
“Rafka,” Kaluna memulai dengan suara lembut, melawan rasa gugup yang mulai merayap. “Kamu tahu nggak sih, kalau hidup ini bisa lebih rumit dari soal matematika?”
Rafka menurunkan bukunya perlahan dan menatapnya. “Tergantung dari mana kamu melihatnya.”
“Apa maksudnya?” Kaluna mendekat, penasaran.
Rafka menghela napas. “Hidup itu seperti kalkulus. Ada banyak variabel yang tidak kita tahu, tapi kalau kita fokus pada satu variabel, kita bisa memahami yang lainnya.”
Kaluna menatapnya bingung. “Kalkulus? Kok bisa?”
Rafka tersenyum tipis, lalu kembali menunduk pada bukunya. “Kamu belum cukup mengerti. Tapi, kalau kamu mau tahu, hidup itu soal pilihan. Seperti di matematika, selalu ada solusi untuk setiap masalah.”
Kaluna mengerutkan kening. “Tapi apa solusinya, kalau masalahnya tentang… perasaan?”
Rafka terdiam sejenak, seakan mencerna pertanyaan itu. “Kalau kamu merasa bingung, artinya kamu belum menemukan jawabannya. Tapi kalau kamu terus mencari, jawabannya akan datang dengan sendirinya.”
Kaluna memandangnya lama, merasa kalimat-kalimat Rafka semakin membuatnya bingung, tapi juga sedikit lega. Ada sesuatu dalam diri pemuda itu yang selalu membuatnya merasa lebih baik, meskipun tidak bisa diajelaskan.
Sementara itu, waktu pelajaran berlanjut, Kaluna mendapati dirinya merasa tidak fokus. Matematika yang biasanya membuatnya terjerat dalam kebingungannya, kini mulai terasa lebih ringan. Bukan karena tugasnya jadi lebih mudah, tapi karena ada Rafka yang duduk di belakangnya, dengan cara yang selalu membuatnya merasa lebih tenang.
Ketika bel istirahat berbunyi, Kaluna segera berdiri, berjalan ke luar kelas, dan sedikit melirik ke arah Rafka yang masih duduk dengan tenang, memeriksa catatan-catatan yang dia buat. Tanpa sadar, langkah Kaluna berhenti di pintu.
“Rafka,” panggilnya.
Rafka menoleh, dengan mata yang sama sekali tidak menunjukkan keheranan. “Ada apa?”
Kaluna memandangnya, namun kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa tertahan di tenggorokannya. “Gimana kalau… kita makan bareng?” ujarnya akhirnya, dengan nada yang sedikit ragu.
Rafka hanya mengangguk pelan. “Oke.”
Sederhana, namun cukup membuat hati Kaluna berdegup lebih cepat dari biasanya. Selama ini, dia jarang sekali mengajak Rafka untuk bergaul, apalagi makan bersama. Selalu ada jarak yang tak pernah bisa ia lewati. Namun, kali ini, entah mengapa, dia merasa cukup berani untuk melangkah lebih dekat.
Mereka duduk di kantin sekolah yang agak ramai. Kaluna memilih tempat di sudut, tempat yang tidak terlalu ramai, namun tetap cukup nyaman untuk berbicara tanpa gangguan. Mereka memesan makanan, lalu duduk berhadapan, sesekali saling melirik, namun tidak ada yang mengatakan apa-apa.
Kaluna memecah keheningan. “Rafka… kamu sering nggak sih merasa kayak… bingung dengan semua hal yang terjadi?”
Rafka menatapnya sejenak, kemudian mengangkat bahu. “Aku bingung, tapi itu normal. Semua orang pasti merasa begitu.”
Kaluna mengangguk pelan, lalu memainkan sendok di atas meja. “Aku cuma merasa… kadang-kadang, kita terlalu sibuk dengan tugas-tugas dan masalah yang nggak penting, sampai kita lupa sama apa yang benar-benar kita inginkan.”
Rafka menatapnya, kali ini lebih serius. “Jadi, kamu tahu apa yang kamu inginkan?”
Kaluna terdiam. Apakah dia tahu apa yang dia inginkan? Rasanya seperti ada sesuatu yang terpendam dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa diungkapkan begitu saja.
“Entahlah,” jawabnya akhirnya. “Aku cuma… merasa sesuatu yang beda, kalau sama kamu.”
Rafka tersenyum tipis, senyum yang selalu membuat Kaluna merasa jantungnya berdegup kencang. “Mungkin kamu hanya butuh waktu untuk mencari tahu.”
Kaluna mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. “Mungkin.”
Hari itu, mereka tidak lagi berbicara tentang soal-soal matematika atau PR yang menumpuk. Mereka lebih banyak diam, menikmati kebersamaan yang tak terucapkan. Namun, ada satu hal yang pasti—Kaluna merasa, mungkin saja, perasaan yang ia rasakan ini lebih rumit daripada angka-angka yang selalu menari di depan matanya. Dan mungkin, ini adalah hal yang harus ia pecahkan terlebih dahulu.
Ketika Cinta Tiba-tiba Jadi Tugas yang Tidak Bisa Dihindari
Hari-hari setelah pertemuan sederhana mereka di kantin, Kaluna mulai merasa perasaan yang tumbuh dalam dirinya semakin kuat. Semakin sering dia menghabiskan waktu bersama Rafka, semakin jelas pula ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, meski terkadang kalimat itu terasa seperti jebakan. Cinta bukanlah soal rumus yang bisa diselesaikan dengan logika, dan Kaluna mulai menyadari hal itu.
Kini, mereka sering berbicara—tentang segala hal. Dari tugas-tugas yang tidak ada habisnya, sampai rencana jangka panjang mereka setelah lulus. Namun, seiring berjalannya waktu, Kaluna semakin merasa ada yang berbeda di antara mereka. Rafka menjadi lebih dekat, lebih perhatian, lebih… nyata. Tidak seperti saat-saat pertama kali mereka bertemu, ketika Rafka hanya menjadi bagian dari kelas yang diabaikan, sekarang dia menjadi pusat perhatian Kaluna, entah dia sadar atau tidak.
Suatu sore setelah pelajaran selesai, Kaluna duduk di bangkunya, masih terbenam dalam tugas yang tak kunjung selesai. Di luar kelas, langit sudah mulai gelap. Tugas fisika yang diberikan oleh guru sangatlah memusingkan, dan Kaluna merasa hampir tidak ada waktu untuk menyelesaikan semuanya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Kaluna mengangkat wajahnya dan menemukan Rafka yang sudah berdiri di samping mejanya.
“Kamu nggak pulang?” tanya Kaluna sambil sedikit bingung, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul lima sore.
Rafka mengangguk, masih dengan ekspresi datarnya yang kalem. “Mau bantuin kamu nyelesain tugas, kalau kamu mau.”
Kaluna menatapnya sejenak, seolah ragu. “Masa? Kamu… tahu tugas ini?”
Rafka hanya tersenyum tipis. “Aku nggak terlalu paham sih, tapi nggak ada salahnya buat coba.”
Kaluna merasa perasaan aneh itu muncul lagi, kali ini lebih kuat. Kenapa, ya, setiap kali Rafka ada di dekatnya, hatinya seperti berdebar lebih cepat? Namun, dia menahan diri untuk tidak terlalu memperhatikannya.
“Makasih, tapi kayaknya kamu malah nanti yang bingung deh. Soalnya ini tugas fisika, dan ini bener-bener bikin kepala pusing.” Kaluna terkekeh sedikit, berusaha meringankan suasana yang agak tegang.
Rafka duduk di bangku sebelah Kaluna, mengeluarkan bukunya. “Aku juga suka fisika kok. Tapi kalau tugasnya bikin pusing, ya, kita selesaikan bareng aja. Kan dua kepala lebih baik daripada satu, kan?”
Kaluna menggelengkan kepala, meskipun senyum mulai terbentuk di bibirnya. “Kamu terlalu baik, Rafka. Bikin aku merasa kayak… nggak ada masalah di dunia ini.”
Rafka menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Itu karena kamu nggak pernah benar-benar mau mencari tahu kalau ada masalah,” jawabnya pelan.
Kaluna terdiam, kalimat itu tiba-tiba menyentuh dirinya. Kenapa Rafka bisa tahu hal itu, padahal mereka hanya teman biasa? Tiba-tiba saja rasa cemas itu muncul, seolah-olah Rafka bisa membaca pikirannya dengan sempurna.
Namun, dia berusaha menepis perasaan itu. Mereka memang belum berbicara banyak soal perasaan atau hubungan yang lebih dari teman. Tapi bukankah lebih baik kalau dia membiarkan semuanya mengalir?
Beberapa menit berlalu, dan mereka mulai serius mengerjakan soal-soal yang membingungkan itu. Kaluna merasa terkejut dengan cara Rafka memecahkan masalah. Dia ternyata lebih hebat dari yang dia kira. Setiap langkah Rafka menjelaskan soal fisika terasa begitu tenang, seolah semuanya menjadi mudah—padahal, sebenarnya tidak.
“Aku nggak ngerti deh, kamu bisa banget jelasin semua ini dengan gampangnya,” ujar Kaluna, setelah akhirnya mereka selesai dengan satu soal yang sebelumnya membuatnya frustasi.
Rafka hanya tersenyum dengan ringan. “Kadang-kadang, kamu cuma perlu orang yang bisa bantu lihat hal dari sudut pandang yang berbeda. Sama kayak hubungan, kan?”
Kaluna tersentak. Apa yang dia maksud dengan ‘hubungan’? Apakah dia berbicara soal mereka berdua? Apa yang Rafka coba katakan? Ada rasa cemas yang muncul di dada Kaluna, tapi dia mencoba untuk tetap tenang.
“Hubungan?” Kaluna bertanya, mencoba mengungkapkan rasa penasarannya.
Rafka menatapnya, matanya sedikit lebih serius dari sebelumnya. “Ya, hubungan antar manusia. Cinta, persahabatan, itu semua kan bagian dari hal yang harus dipahami. Tapi terkadang, kalau kamu cuma fokus sama masalah, kamu nggak akan pernah bisa lihat solusi yang lebih jelas.”
Kaluna menelan ludah, sejenak terdiam. Apakah ini berarti Rafka juga merasakan hal yang sama? Namun, dia tidak bisa mengungkapkannya begitu saja. Perasaan itu masih terjebak di dalam dirinya, seperti tugas fisika yang belum terselesaikan.
“Apa kamu…” Kaluna ragu, kata-katanya tersangkut di tenggorokan. “Apa kamu merasa nyaman jadi teman aku?”
Rafka mengangguk tanpa ragu, seolah pertanyaan itu sudah biasa baginya. “Kenapa nggak? Teman itu penting, Kaluna. Tanpa teman, kamu nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya punya seseorang yang bisa kamu andalkan.”
Kaluna mengangguk pelan. “Aku… aku suka kalau kita bisa jadi teman kayak gini. Tapi… ada satu hal yang masih bikin aku bingung.”
“Hal apa?” tanya Rafka, dengan suara yang penuh perhatian.
Kaluna menatap matanya yang dalam. “Kalau ini cuma soal teman, kenapa rasanya ada yang lebih, Rafka? Kenapa setiap kali aku deket sama kamu, hati aku selalu nggak tenang?”
Rafka terdiam sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya, menatap jendela yang mulai gelap. “Mungkin itu karena kita sama-sama belajar sesuatu yang lebih dari sekadar pelajaran, Kaluna.”
Kaluna merasa ada sesuatu yang menggelitik hatinya. Apakah dia benar-benar siap untuk mengungkapkan perasaannya? Atau apakah semua ini hanya ilusi dari perasaan yang membingungkan? Namun, satu hal yang pasti—Rafka telah membuka pintu menuju sebuah dunia baru yang penuh dengan kemungkinan.
Dan Kaluna merasa, entah bagaimana caranya, dia harus menemukan jawabannya.
Akhir yang Baru Dimulai
Kaluna menghabiskan malam itu dengan perasaan yang kacau. Tugas fisika yang mereka kerjakan bersama kini terasa tak berarti dibandingkan dengan kekacauan dalam pikirannya. Rafka—seperti yang ia duga, adalah sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Namun, apakah itu berarti mereka harus mengubah semuanya? Atau cukup dibiarkan mengalir begitu saja?
Pagi berikutnya, Kaluna merasa seperti ada sesuatu yang berbeda di udara. Bahkan sinar matahari yang masuk melalui jendela kelas terasa lebih hangat dari biasanya. Namun, rasa cemas itu tak kunjung hilang. Ia berjalan ke kelas dengan langkah yang lebih lambat, berusaha mengatur ulang pikirannya, hingga akhirnya tiba di depan pintu kelas.
Rafka sudah ada di sana, duduk di tempat biasa, membaca buku, seolah-olah tidak ada yang berubah. Namun, Kaluna tahu, semuanya berubah. Mereka berdua tahu itu. Ketika mata mereka bertemu, ada semacam ketegangan, seolah-olah mereka berdua menunggu sesuatu yang tak terucapkan.
Rafka mengangguk pelan saat Kaluna melangkah ke mejanya. “Pagi, Kaluna. Ada yang bisa dibicarain?” suaranya terdengar ringan, meski ada rasa kehangatan yang menembus kata-katanya.
Kaluna menundukkan kepala, sejenak terdiam. “Rafka… aku nggak bisa berhenti mikirin apa yang terjadi kemarin. Aku tahu kita ngomong soal teman, tapi aku… aku nggak bisa pura-pura kayak nggak ada apa-apa.”
Rafka menatapnya dalam-dalam, dan hanya ada senyum tipis di wajahnya. “Jadi… kamu sudah siap untuk bicara soal kita, ya?”
Kaluna mengangguk, meski terasa sedikit ragu. Semua yang dirasakannya memang tidak bisa hanya disembunyikan di dalam. Rafka selalu hadir dalam setiap momen, membuatnya berpikir tentang apa yang bisa lebih dari sekadar teman. Dan itu membuatnya bingung, cemas, namun juga bahagia. Semua perasaan itu tumpah begitu saja, seperti gelombang yang tak bisa dibendung.
“Rafka… aku nggak tahu gimana jelasin perasaan ini. Tapi sejak kita lebih sering bareng, aku merasa kayak ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan,” kata Kaluna dengan suara sedikit bergetar, meskipun ia mencoba untuk tidak terlihat terlalu cemas.
Rafka tersenyum lebih lebar, kali ini terlihat lebih lega. “Aku juga merasakannya, Kaluna. Tapi aku juga tahu, ini bukan tentang buru-buru. Aku ingin kita sama-sama ngerasain semuanya pelan-pelan, belajar dari satu sama lain.”
Kaluna merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, seolah sesuatu yang berat akhirnya terangkat dari hatinya. Mungkin mereka memang harus berjalan perlahan. Mungkin mereka perlu waktu untuk belajar. Tidak perlu terburu-buru, karena hubungan bukan soal hasil yang instan. Ini soal proses yang panjang, yang akan mereka jalani bersama.
“Aku nggak tahu kalau kita harus langsung ngomong begini. Tapi sekarang aku merasa lebih tenang,” jawab Kaluna, matanya berbinar sedikit. “Aku nggak tahu bagaimana ini akan berakhir, tapi aku tahu kita bisa jalani ini, kan?”
Rafka menunduk sedikit, lalu mengangguk dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. “Kita bisa, Kaluna. Kita bisa jalanin ini. Karena setiap perjalanan, ada langkah yang pertama, dan aku seneng banget kalau itu bisa dimulai dengan kamu.”
Kaluna merasa seperti beban berat yang selama ini ada dalam dirinya mulai terangkat. Ada rasa lega yang mengalir dalam dirinya, dan seolah-olah dunia ini menjadi sedikit lebih mudah untuk dijalani.
Hari-hari berikutnya, Kaluna dan Rafka melanjutkan rutinitas mereka seperti biasa—belajar bersama, bercanda, dan bahkan berbagi cerita tentang segala hal yang tak pernah mereka ceritakan sebelumnya. Meski mereka belum mengungkapkan semuanya, mereka tahu mereka berada di jalan yang sama, menuju ke arah yang lebih baik. Terkadang, cinta memang tidak perlu terburu-buru untuk diungkapkan. Kadang, hanya dengan berjalan bersama, semuanya akan terasa lebih indah.
Dan seperti itu, mereka berdua memulai sebuah perjalanan baru. Sebuah cerita yang belum terungkap, tapi terasa seperti sebuah awal yang manis. Sederhana, namun begitu berarti.
Karena kadang, cinta memang tak perlu dikejar. Ia akan datang, ketika kita benar-benar siap untuk menerimanya. Dan Kaluna dan Rafka, mereka siap.
Gimana, seru kan ceritanya? Kadang, cinta itu datang tanpa kita duga, di tempat yang nggak terduga pula. Gak perlu buru-buru, yang penting jalanin aja dengan hati yang tenang.
Kalau kamu suka sama cerpen ini, share dong ke temen-temen yang lagi ngalamin hal serupa! Siapa tahu mereka juga butuh cerita kayak gini. Jangan lupa balik lagi buat baca cerita lainnya, ya!


