Roket Kertas di Langit Kelabu: Cerpen Anak yang Bikin Nangis Diam-Diam dan Penuh Makna

Posted on

Pernah nggak sih kamu ngerasa masa kecil kamu menyimpan cerita yang terlalu dalam buat diceritain, tapi terlalu berharga buat dilupain? Nah, di cerpen Roket Kertas di Langit Kelabu ini, kamu bakal diajak balik ke masa kecil lewat kisah Elvano, seorang anak desa yang sederhana tapi punya mimpi setinggi langit.

Cerita ini nggak cuma bikin kamu senyum-senyum sendiri, tapi juga bisa nyentuh banget sampai bikin kamu mikir ulang tentang arti mimpi, kehilangan, dan cinta keluarga yang nggak pernah benar-benar pergi. Yuk baca sampai habis, dijamin nggak nyesel—karena ini bukan sekadar cerpen, tapi kenangan yang dikemas dalam kertas dan angin.

Roket Kertas di Langit Kelabu

Lipatan Langit di Bawah Kasur

Angin sore di desa Kertaningrum selalu datang dengan lembut, seolah tahu bahwa tempat itu tak butuh badai untuk menjadi sunyi. Di sebuah rumah kayu yang cat hijaunya mulai mengelupas, ada suara halus kertas dilipat, berulang kali, perlahan, seperti ritual yang hanya dimengerti oleh satu anak kecil bernama Elvano.

Elvano duduk bersila di lantai kamarnya, membungkuk nyaris seperti orang yang sedang berdoa. Tangannya sibuk membentuk ujung-ujung kertas bekas menjadi tajam dan simetris. Satu, dua, tiga… Sudah lebih dari dua puluh roket kertas tersusun rapi di bawah kolong kasur. Semua buatan tangannya sendiri, dari kertas-kertas tak terpakai, halaman belakang buku catatan, sampai sobekan majalah lusuh yang ia temukan di warung.

Ia melakukannya setiap sore. Bukan karena disuruh, bukan juga karena ikut tren seperti anak-anak lain. Tapi karena ia percaya, di balik lipatan-lipatan kertas itu, ada sesuatu yang lebih tinggi dari sekadar mainan. Ada langit yang ingin ia gapai, entah kenapa dan entah sejak kapan.

“Van, kamu udah makan?” suara itu datang dari dapur, terdengar lelah tapi hangat. Lastri, ibunya, baru saja selesai menjahit satu stel kebaya pesanan tetangga.

“Belum, Bu. Tapi aku mau makan nanti aja. Lagi ngerjain ini,” jawab Elvano sambil tetap fokus pada lipatan terakhir di roketnya.

“Kertas lagi?” Lastri muncul di ambang pintu kamar sambil menyeka tangannya dengan kain lap yang sudah pudar warnanya. “Kamu tuh aneh, Van. Anak-anak lain main layangan, main bola, kamu malah asik sama kertas-kertas kayak gitu.”

“Ini bukan sembarang kertas, Bu,” kata Elvano sambil menunjukkan roket kertas yang baru jadi. “Ini… ini roket. Bisa terbang kalau anginnya pas.”

Lastri mendekat, jongkok di samping anaknya, lalu mengelus rambut Elvano yang mulai panjang karena belum sempat dipotong. “Tapi kan nggak beneran terbang, Van.”

“Ya tapi… bisa mimpi kan?” jawabnya pelan.

Lastri diam. Matanya menatap roket-roket kecil yang tersusun rapi di bawah kasur, seperti koleksi masa depan yang belum sempat hidup. Dalam diam itu, pikirannya terbang ke masa lalu—ke hari ketika suaminya pulang membawa buku gambar, berkata kalau suatu saat nanti mereka akan pergi naik pesawat, bukan naik motor tua yang sering mogok di tanjakan.

Tapi pesawat itu tak pernah datang. Yang datang justru kabar duka dari tetangga, suara derit pintu yang dibuka paksa, dan malam panjang yang diisi tangis Elvano yang masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu kehilangan.

Sejak saat itu, Lastri bekerja siang malam menjahit apa saja yang bisa dijahit. Ia tak pernah mengeluh, tapi tubuhnya mulai bicara lewat punggung yang sering pegal dan mata yang kadang kabur kalau menjahit malam-malam. Ia tahu, Elvano bukan anak biasa. Tapi bukan berarti ia mengerti semua dunia yang dibangun anaknya dari kertas-kertas bekas.

“Bu…” Elvano tiba-tiba bersuara, memecah lamunan ibunya. “Aku bisa ikutan lomba bulan depan, kan? Di sekolah ada lomba bikin mainan dari barang bekas.”

Lastri menatap anaknya, lalu mengangguk pelan. “Bisa. Asal kamu juga bantu Ibu nyapu halaman, ya.”

“Tapi Bu, nanti kalau aku menang, hadiahnya katanya buku gambar baru…” Suaranya sedikit bergetar, matanya mengarah ke lemari kecil di pojok ruangan, tempat ia menyimpan harta paling berharga—buku gambar peninggalan ayahnya yang hanya tersisa beberapa lembar kosong.

Lastri terdiam, lalu berdiri perlahan. “Yaudah, kalau gitu bantu Ibu nyapu mulai besok pagi. Nanti kalau roket kamu menang, Ibu traktir es lilin dua.”

Elvano tertawa kecil. Suara tawanya terdengar ringan, seperti angin sore yang bermain di sela-sela genteng rumah.

Hari mulai gelap. Di luar, suara jangkrik bersahutan. Elvano merapikan roket-roketnya, satu per satu, menyusunnya di bawah kasur seperti biasa. Tapi kali ini, ia menyimpan satu roket di atas meja belajar kecilnya. Roket yang baru saja ia buat—yang ia beri sedikit warna dari potongan plastik merah, dan yang akan jadi harapannya saat lomba nanti.

Di luar kamar, Lastri berdiri menatap langit. Satu-satunya bintang terlihat samar di balik awan. Ia menghela napas, panjang dan berat.

“Terbanglah, Van…” bisiknya pelan. “Kalau Ibu nggak bisa ngasih kamu sayap, semoga mimpi-mimpi itu bisa jadi angin.”

Dan malam pun datang, menutup hari itu dengan sunyi yang tidak gelap. Karena di dalam kamar kecil yang sederhana, seorang anak sedang membangun langitnya sendiri—dari kertas, dari kenangan, dan dari cinta yang diam-diam menyala tanpa suara.

Kertas Terakhir dan Gambar Ayah

Pagi di hari Minggu selalu lebih lambat di desa Kertaningrum. Matahari seolah enggan naik tinggi, dan suara ayam tetangga menyambut hari dengan malas. Tapi pagi itu berbeda. Elvano sudah duduk di depan meja belajarnya bahkan sebelum matahari benar-benar muncul dari balik kebun singkong.

Tangannya menyusuri halaman demi halaman buku gambar yang mulai menguning. Di setiap lembarnya, ada sketsa-sketsa pesawat, roket, dan sayap-sayap aneh yang tampak seperti gabungan imajinasi dan harapan. Semua gambar itu buatan ayahnya, dulu, sebelum kecelakaan mengambilnya dari dunia ini.

Tak ada yang tahu betapa berharganya buku itu bagi Elvano. Ia tak pernah bercerita, bahkan ke ibunya sendiri. Tapi ia selalu melihat bagaimana ayahnya duduk di meja yang sama, menggambar dengan serius, lalu terkadang tersenyum kecil seperti baru menemukan cara menyentuh langit.

Kini hanya tersisa satu lembar kosong. Satu lembar terakhir yang belum terisi coretan apa pun. Dan Elvano sudah tahu akan ia gunakan untuk apa.

Ia mengeluarkan pensil yang tinggal separuh, mengukurnya dengan jari, lalu mulai menggambar pola roket. Tangannya bergerak pelan, sesekali ragu, tapi tetap melanjutkan. Goresannya tak sebaik ayahnya, tapi semangat yang ia tuangkan terasa sama besarnya. Kali ini bukan soal menang atau kalah di lomba sekolah. Ini tentang membuat sesuatu yang benar-benar berarti. Sesuatu yang bisa jadi jembatan antara dirinya dan kenangan yang nyaris pudar.

Di ruang tengah, Lastri sedang menjahit sarung bantal pesanan. Matanya sempat melirik ke kamar Elvano yang pintunya terbuka sedikit.

“Van, kamu sarapan dulu. Jangan gambar terus,” serunya.

“Ntar aja, Bu… ini lagi tanggung,” jawab Elvano dari dalam.

Lastri menggeleng pelan sambil tersenyum. Ia tahu kalau sudah begini, anaknya akan lupa waktu. Tapi ia juga tahu, ada yang sedang dikerjakan anak itu, sesuatu yang lebih dari sekadar gambar.

Menjelang siang, Elvano keluar kamar sambil membawa roket kertas yang sudah selesai. Kali ini, bentuknya lebih rapi. Di bagian ekornya, ia menyelipkan pita plastik merah dari kantong belanjaan yang sudah tak terpakai. Tapi yang paling istimewa adalah bagian dalam roket—ia menyelipkan secarik kertas kecil bertuliskan:

“Ayah, kalau aku besar nanti, aku ingin menerbangkan mimpi kita ke langit yang lebih tinggi.”

Ia tak tahu kenapa menulis itu. Tangannya menulis begitu saja, seperti ada dorongan dari dalam dada. Tulisan itu dilipat kecil dan dimasukkan ke dalam tubuh roket, sebelum ia menutupnya rapat.

Hari-hari berikutnya, Elvano menyimpan roket itu baik-baik di laci. Ia tak berani memainkan atau mencoba menerbangkannya, takut rusak. Setiap malam, ia mengecek ulang lipatannya, memastikan plastik di bagian ekor tak kusut, dan tulisan kecil di dalamnya tak jatuh.

Beberapa anak di sekolah mulai membicarakan lomba. Dama, seperti biasa, jadi yang paling ribut.

“Kalian tau nggak, aku bikin robot dari tutup botol. Bisa berdiri sendiri! Nanti aku pasang lampu kedip-kedip,” katanya sambil menunjukkan tangan yang penuh lem tembak.

“Wah, keren banget, Ma,” sahut anak lain.

“Kamu bawa apa, Van?” tanya Dama tiba-tiba, menoleh ke Elvano yang sedang duduk sendiri di bawah pohon beringin kecil dekat kantin.

Elvano mengangkat bahu. “Masih rahasia.”

“Jangan roket kertas lagi, ya. Itu mah mainan bocah TK.”

Elvano tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia tahu, tak ada yang bisa mengerti isi dari roket itu—dan memang tidak perlu.

Saat bel pulang berbunyi, Elvano berjalan sendirian menyusuri jalan tanah menuju rumah. Hujan sempat turun siang tadi, membuat genangan di beberapa sudut jalan. Tapi ia tak peduli. Roketnya aman di dalam tas, dibungkus dua lapis kertas cokelat. Ia menjaga benda itu seolah nyawa ayahnya tersimpan di sana.

Sore harinya, ia duduk di depan rumah bersama ibunya. Mereka tak bicara banyak, hanya menatap langit yang mulai oranye.

“Bu, ayah dulu… suka banget sama pesawat, ya?” tanya Elvano tiba-tiba.

Lastri menoleh pelan. “Suka banget. Dulu katanya pengen jadi insinyur, tapi ya… rejekinya di jalan lain.”

“Kenapa nggak pernah cerita?” Elvano menunduk, menatap kakinya sendiri.

“Karena Ibu takut kamu ngikutin mimpi yang bisa nyakitin kamu juga.”

Elvano mengangguk, pelan sekali. Tapi sore itu, angin berhembus lebih hangat. Ia merasa, untuk pertama kalinya, langit yang selama ini cuma ia lihat… akhirnya mulai membalas tatapannya.

Dan roket kertas di dalam tasnya menunggu hari besarnya—hari di mana ia akan dilempar, bukan sekadar untuk menghibur, tapi untuk menghormati.

Langit Berhenti Bercanda

Hari yang ditunggu akhirnya datang, dan udara pagi terasa lebih tebal dari biasanya. Awan menggantung rendah, seperti ikut menahan napas menanti sesuatu yang akan terjadi. Sekolah dipenuhi suara riuh anak-anak membawa kotak-kotak kreasi mereka, berbungkus plastik, kardus, dan penuh warna mencolok. Spanduk lusuh bertuliskan “Lomba Kreasi Mainan Daur Ulang” melambai-lambai di depan gerbang, ditopang bambu yang sudah mulai miring.

Elvano datang sendiri. Tidak ada ayah yang menggandeng tangannya, tidak ada ibu yang mengantar sambil membawa bekal tambahan. Hanya dirinya dan roket kertas di dalam tas—masih rapi, masih terbungkus dua lapis kertas cokelat, dan masih menyimpan secarik surat kecil yang tak pernah ia tunjukkan ke siapa pun.

Di lapangan belakang sekolah, meja-meja sudah disusun berjejer. Tiap anak diberi tempat untuk memajang mainannya. Dama duduk paling depan, seperti biasa, penuh percaya diri. Robot tutup botolnya kini dilengkapi kabel warna-warni dan lampu kecil dari bekas lampu natal. Anak-anak lain mulai berkerumun melihat, tak sedikit yang terkagum-kagum.

“Liat nih, Van! Robotku bisa nyala!” seru Dama sambil menekan tombol kecil di punggung robotnya. Lampunya berkedip sekali, lalu mati. “Eh… eh, tunggu… tadi bisa,” gumamnya panik, mencoba memperbaiki kabel yang copot.

Elvano hanya tersenyum kecil lalu berjalan ke meja paling ujung, tempat yang agak jauh dari keramaian. Ia mengeluarkan roket kertasnya, membuka bungkusnya dengan hati-hati, dan meletakkannya di atas meja. Roket itu tampak sederhana jika dibandingkan karya anak-anak lain—tidak ada warna mencolok, tidak ada hiasan mencuri perhatian, hanya bentuk yang rapi, bersih, dan ekor plastik merah yang bergoyang ditiup angin pelan.

Beberapa anak melirik ke arahnya, beberapa lainnya mengangkat alis, lalu kembali mengobrol. Tak ada yang benar-benar tertarik. Tapi Elvano tak masalah. Ia tidak datang untuk jadi pusat perhatian. Ia datang untuk melepaskan sesuatu yang selama ini ia simpan sendirian.

Guru kelas mereka, Bu Mira, berdiri di depan lapangan sambil membawa mikrofon kecil yang hanya berfungsi kalau ditiup dulu. Satu per satu peserta diminta maju, menjelaskan kreasinya, lalu mendemonstrasikan jika memungkinkan.

Dama maju lebih dulu, tentu saja. Ia memamerkan robotnya dengan bangga, meski lampunya tak kunjung menyala lagi. Semua anak tetap tepuk tangan, lebih karena kehebohan Dama ketimbang robotnya sendiri.

Lalu nama Elvano dipanggil. Suara Bu Mira terdengar agak ragu saat menyebutnya. “Elvano… silakan maju.”

Suasana sedikit hening saat anak itu berjalan pelan ke tengah lapangan, membawa roket kertasnya. Tak ada yang bertepuk tangan, tak ada yang berseru mendukung. Bahkan beberapa anak tertawa kecil.

“Elvano, mau jelaskan sedikit mainannya?” tanya Bu Mira.

Ia mengangguk. Tangannya sedikit gemetar saat menggenggam roket itu.

“Ini… roket kertas. Aku buat dari kertas bekas. Ekornya dari kantong plastik. Tapi yang paling penting, roket ini… bukan cuma mainan. Ini untuk mimpi.”

Beberapa anak mulai saling menatap, bingung. Tapi Elvano tetap melanjutkan.

“Dalamnya aku selipkan surat kecil. Untuk Ayah.”

Kini guru-guru mulai memperhatikan. Bahkan kepala sekolah yang duduk di bawah pohon dekat lapangan ikut mendongak.

Elvano menatap langit. Awan masih menggantung, tapi angin mulai bergerak. Ia menatap roket itu sejenak, lalu melemparkannya ke udara dengan satu gerakan penuh keyakinan.

Roket itu terbang—lebih tinggi dari yang dibayangkan siapa pun. Angin sore yang mulai datang membawanya jauh ke depan, menari pelan seperti tahu ke mana harus menuju. Semua mata mengikuti gerakannya. Tak ada suara, tak ada tawa, hanya hening yang terasa begitu dalam.

Roket itu akhirnya mendarat… tepat di depan kepala sekolah. Ia membungkuk, memungutnya, lalu membuka pelan tubuh roket itu yang mulai terbuka sedikit di bagian tengah.

Dan di sanalah, secarik kertas kecil itu ditemukan.

Ia membaca isinya dalam diam. Tak ada ekspresi berlebihan, hanya sepasang mata yang mendadak tenang dan hangat.

Kepala sekolah melipat ulang kertas itu, meletakkannya kembali di dalam roket, lalu berdiri dan menatap Elvano lama.

“Terima kasih, Elvano,” ucapnya pelan, tapi cukup keras untuk didengar semua orang. “Karya kamu sederhana, tapi… isinya besar.”

Elvano tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, lalu kembali ke tempat duduknya. Anak-anak masih diam, sebagian belum paham apa yang baru saja terjadi. Tapi suasana telah berubah. Tak ada lagi yang tertawa. Tak ada yang mencibir.

Langit mulai cerah. Awan menyingkir pelan-pelan, membuka jalan bagi matahari yang kembali menyala dari balik kabut.

Dan di sudut lapangan sekolah itu, seorang anak kecil akhirnya berhasil menyentuh langit—bukan dengan teknologi, bukan dengan bahan mahal, tapi dengan niat yang tak pernah berisik dan cinta yang tak pernah mati.

Tiket Menuju Langit yang Baru

Dua hari setelah lomba, suasana di kelas masih terasa berbeda. Anak-anak mulai memanggil Elvano bukan cuma karena ingin pinjam penghapus atau minta contekan, tapi karena penasaran. Tentang roket itu. Tentang surat di dalamnya. Tentang kenapa seorang anak bisa bikin orang dewasa diam lama tanpa tahu harus bilang apa.

Tapi Elvano tak banyak cerita. Ia tetap duduk di bangku dekat jendela, tetap menggambar di halaman belakang buku tugas, tetap menyimpan sisa-sisa kertas bekas di laci meja. Hanya satu yang berubah: matanya.

Matanya sekarang lebih hidup. Seperti punya cahaya kecil yang tumbuh dari dalam, diam-diam menyala di tengah hari-hari yang sebelumnya kelabu.

Di rumah, Lastri menyambut anaknya seperti biasa. Tapi kini ada semacam kehati-hatian di setiap geraknya. Ia mulai sering mengamati Elvano diam-diam, seperti sedang membaca buku yang pernah ia abaikan terlalu lama.

“Bu, tadi Pak Kepala Sekolah manggil aku ke ruangannya,” kata Elvano sore itu sambil melepas sepatunya.

Lastri berhenti melipat baju. “Kenapa? Kamu bikin masalah?”

“Nggak… malah dikasih surat.”

“Surat?”

Elvano mengangguk dan mengeluarkan amplop kecil dari tasnya. Lastri mengambilnya perlahan, lalu membuka. Isinya adalah selebaran pengumuman: lomba nasional untuk anak-anak dengan tema “Kreasi Impian Masa Depan”. Di pojok kanan bawah, ada tanda tangan kepala sekolah dan catatan kecil: “Saya sudah daftarkan Elvano sebagai peserta. Karyanya pantas lebih jauh dari sekadar lapangan belakang sekolah kita.”

Lastri tak langsung bicara. Ia membaca ulang surat itu, lalu menatap anaknya yang kini berdiri sambil tersenyum kecil.

“Van… kamu yakin mau ikut?”

“Iya, Bu.”

“Tapi itu di kota. Naiknya bis. Nginep di asrama. Kamu… kamu bisa?”

“Aku harus coba, Bu.”

Kalimat itu keluar tenang, tapi mengunci semua keraguan. Lastri memeluk anaknya lama, seperti ingin menahan waktu sebentar lebih banyak. Ada air mata yang tertahan, tapi ia tahu—ini bukan saatnya menangis karena takut kehilangan. Ini saatnya belajar melepaskan dengan bangga.

Hari keberangkatan tiba. Elvano berdiri di tepi jalan desa, mengenakan baju terbaik yang mereka punya. Tas kain kecil berisi roket kertas yang sudah dilaminasi ibunya ia peluk erat. Bis tua dari kabupaten berhenti perlahan, membuka pintunya dengan derit khas yang entah kenapa hari itu terdengar lebih megah dari biasanya.

Sebelum naik, Elvano menoleh ke ibunya.

“Bu…”

Lastri menunduk. “Iya?”

“Nanti kalau aku pulang… boleh ya, aku gambar ulang semua sketsa Ayah? Tapi pakai buku gambar baru.”

Lastri mengangguk, dan akhirnya membiarkan air matanya jatuh satu saja.

“Kamu gambar langit, Van. Tapi jangan lupa balik.”

Elvano naik ke dalam bis, duduk di dekat jendela. Saat bis mulai bergerak, ia membuka tasnya, mengeluarkan roket itu, dan meletakkannya di pangkuan.

Ia menatap ke luar, ke langit yang kini terang sepenuhnya. Tak ada awan, tak ada kabut. Hanya langit biru yang luas dan kosong, seolah menunggu digambar ulang dari awal.

Dan untuk pertama kalinya, Elvano merasa dunia ini tidak sebesar yang dulu ia kira—karena dalam genggamannya sekarang, ada roket kertas yang tak lagi hanya berisi harapan, tapi juga arah.

Di dalam bis yang melaju pelan ke kota, seorang anak kecil diam-diam menulis sejarah hidupnya sendiri. Tanpa sorak-sorai, tanpa kembang api. Hanya dengan selembar kertas, satu surat kecil, dan cinta dari dua dunia—yang satu sudah tiada, dan satu lagi menunggu di rumah.

Roket itu mungkin sederhana. Tapi ia telah menunjukkan satu hal penting:
Mimpi tak butuh mesin canggih untuk terbang.
Cukup cinta yang tulus, dan satu keberanian untuk melemparnya ke langit.

Itu dia kisah penuh makna dari Roket Kertas di Langit Kelabu, sebuah cerpen yang sederhana tapi nyentuh banget ke hati. Dari Elvano, kita belajar kalau mimpi nggak butuh modal besar—cukup niat, keberanian, dan cinta yang nggak gampang pudar.

Cerita ini cocok banget buat kamu yang lagi kangen masa kecil, atau sekadar pengen baca kisah yang bisa bikin hati hangat dan mata sedikit basah. Kalau kamu suka cerpen ini, jangan ragu buat share ke temanmu, karena siapa tahu… mereka juga butuh diingatkan tentang betapa berharganya mimpi masa kecil yang sering kita abaikan.

Leave a Reply