Daftar Isi
“Riwayat Negeri yang Haru” adalah cerpen memukau yang membawa Anda ke Yogyakarta tahun 2024, mengisahkan perjalanan emosional Tirtasari Wulan dalam menghormati leluhurnya, Darmo Santoso, seorang pejuang yang gugur di lereng Merapi. erita ini merinci perjuangan, kehilangan, dan ketahanan di tengah asap dan abu, diwarnai oleh simbolisme buku tua dan medali peninggalan. Penuh dengan emosi mendalam dan detail sejarah, cerpen ini mengajak Anda menyelami kekuatan jiwa di balik luka negeri. Siapkah Anda terhanyut dalam kisah heroik ini?
Riwayat Negeri yang Haru
Bayang Api di Lembah Sunyi
Langit Yogyakarta pada akhir Agustus 2024 tampak kelabu, diselimuti asap tipis yang berasal dari kebakaran hutan di lereng Merapi yang telah berlangsung selama berminggu-minggu. Di sebuah desa kecil bernama Kaliurang, berdiri sebuah rumah kayu sederhana yang atapnya ditutupi jerami, tempat seorang wanita bernama Tirtasari Wulan duduk di ambang pintu. Usianya 34 tahun, dengan rambut panjang yang telah memutih di ujung-ujungnya akibat duka yang ia pikul sejak kecil. Matanya yang dalam menatap ke arah gunung yang menjulang, seolah mencari jejak masa lalu yang hilang dalam asap itu. Di tangannya, ia memegang sebuah buku tua berlumut, penuh dengan tulisan tangan yang hampir tak terbaca, peninggalan dari leluhurnya yang pernah menjadi saksi sejarah negeri.
Desa Kaliurang terletak di kaki Gunung Merapi, dikelilingi oleh ladang tebu yang kini terbakar di beberapa bagian, meninggalkan bau hangus yang menusuk hidung. Rumah Tirtasari berdampingan dengan sebuah sumur tua yang airnya telah surut, dikelilingi oleh rumput liar yang menguning akibat kekeringan musiman. Di dalam rumah, terdapat sebuah meja kayu yang penuh goresan, di atasnya tergeletak peta usang yang menunjukkan jalur-jalur lama yang dulu digunakan oleh para pejuang saat perang kemerdekaan. Tirtasari sering duduk di sana, memandangi peta itu, merenungkan cerita-cerita yang diturunkan oleh kakeknya, Darmo Santoso, seorang pejuang yang gugur di medan perang pada tahun 1948.
Tirtasari lahir pada 1990, di tengah desa yang masih menjaga tradisi lisan tentang perjuangan leluhur. Kakeknya, Darmo, dikenal sebagai sosok yang pemberani, sering bercerita tentang pertempuran di sekitar Merapi, tentang bagaimana ia dan teman-temannya berlari di bawah hujan peluru sambil membawa senjata seadanya. Setiap malam, sebelum tidur, Darmo duduk di beranda rumah, mengisahkan bagaimana desa mereka pernah menjadi benteng terakhir melawan penjajah, dan bagaimana api perang membakar ladang-ladang tebu hingga rata dengan tanah. Tirtasari, yang kala itu masih kecil, mendengarkan dengan mata terbelalak, memeluk boneka kain yang diberikan oleh kakeknya.
Kehilangan pertama datang pada 15 September 2006, ketika Tirtasari berusia 16 tahun. Gunung Merapi meletus dengan dahsyat, mengguncang desa dan mengubur sebagian rumah di lumpur panas. Darmo, yang kala itu berusia 78 tahun, memilih untuk tetap di rumah, menjaga buku tua dan peta itu, sementara keluarga Tirtasari dievakuasi ke pengungsian. Ketika letusan reda, Tirtasari kembali ke desa dan menemukan rumah mereka hancur, dengan hanya reruntuhan kayu dan abu yang tersisa. Di tengah puing, ia menemukan buku tua itu, tergeletak di dekat sumur, basah oleh lumpur tapi masih utuh. Darmo tak pernah ditemukan, dan sejak hari itu, Tirtasari merasa seperti kehilangan separuh jiwanya.
Buku tua itu menjadi penjaga kenangan Tirtasari. Ia membukanya setiap hari, membaca tulisan-tulisan Darmo tentang perjuangan, tentang bagaimana desa mereka pernah menjadi saksi darah dan air mata. Ada catatan tentang pertempuran di Lembah Sunyi, sebuah tempat di kaki Merapi yang kini ditutupi hutan lebat, di mana Darmo dan pasukannya bertahan selama tiga hari tanpa makanan. Ada juga sketsa sederhana sebuah pedang tua yang pernah digunakan oleh kakeknya, serta puisi pendek yang ditulis dengan tinta hitam: “Api membakar, tapi jiwa tetap berdiri.”
Hari-hari setelah letusan, Tirtasari hidup dalam kesunyian. Ia membantu tetangga membangun kembali desa, membawa ember air dari sumur tua yang tersisa, dan menanam kembali tebu di ladang yang hangus. Tapi di malam hari, ia sering duduk di ambang pintu, memandangi Merapi yang masih mengeluarkan asap, dan merasa seperti Darmo menatapnya dari balik kabut. Buku tua itu menjadi temannya, dan ia mulai menulis di halaman-halaman kosong, mencatat kenangan tentang kakeknya, tentang desa yang pernah ramai, dan tentang luka yang tak pernah sembuh.
Pada 20 Agustus 2024, kebakaran hutan kembali melanda, membakar sebagian ladang tebu yang baru tumbuh. Tirtasari berdiri di tepi ladang, memandangi api yang menjilat rumput kering, dan merasa seperti sejarah berulang. Ia membawa buku tua itu, berjalan menuju Lembah Sunyi, tempat yang sering diceritakan oleh Darmo. Perjalanan itu memakan waktu dua jam, melewati jalan setapak yang licin dan pohon-pohon yang terbakar setengah. Di lembah itu, ia menemukan sebuah batu besar yang ditandai dengan goresan pedang, tanda yang disebutkan dalam catatan kakeknya.
Tirtasari duduk di depan batu itu, membuka buku tua, dan membaca puisi Darmo berulang-ulang. Angin bertiup kencang, membawa asap ke wajahnya, dan ia merasa seperti kakeknya ada di sisinya, berdiri tegak dengan pedang di tangan. Ia menulis di buku itu: “Darmo, aku di Lembah Sunyi. Aku lihat bayang api kamu, tapi aku takut aku nggak sekuat kamu.” Air matanya jatuh, bercampur dengan abu di tanah, dan ia merasa seperti desa itu menangis bersamanya.
Malam itu, Tirtasari kembali ke rumah dengan langkah berat. Ia meletakkan buku tua di meja, menyalakan lilin sederhana, dan memandangi peta usang. Api di ladang masih terlihat dari jendela, dan ia merasa seperti jiwa leluhurnya masih berkeliaran, menjaga desa dari kehancuran. Rasa haru mengisi dadanya, bercampur dengan kesedihan yang dalam, dan ia tahu perjalanannya untuk menghormati Darmo baru saja dimulai.
Jejak Darah di Lereng Merapi
Langit Kaliurang pada awal September 2024 tampak lebih gelap, dengan awan tebal yang menggantung rendah di atas Gunung Merapi. Tirtasari Wulan masih tinggal di rumah kayu sederhana yang kini diperbaiki dengan bantuan tetangga, meski atap jerami itu mulai bocor saat hujan turun. Di tangannya, ia memegang buku tua berlumut, membukanya perlahan untuk membaca catatan-catatan Darmo Santoso yang semakin memudar. Hari ini, 5 September 2024, terasa seperti hari yang berat, sebuah pengingat akan perjuangan leluhurnya yang kini hanya tersisa dalam kenangan.
Desa Kaliur mulai pulih setelah kebakaran, dengan ladang tebu yang ditanam ulang dan sumur tua yang dibersihkan. Tirtasari sering membantu warga, membawa air dalam ember besar dan menggali tanah untuk saluran irigasi. Tapi di hatinya, ada kekosongan yang tak bisa diisi. Setiap kali ia memandangi Merapi, ia melihat bayang Darmo, berdiri dengan gagah di tengah asap dan api, seperti yang pernah diceritakan kakeknya. Buku tua itu menjadi saksi bisu, menyimpan cerita tentang darah yang tumpah di lereng gunung itu.
Tirtasari memutuskan untuk mendaki Merapi, mengikuti jejak yang disebutkan dalam peta usang—jalur lama yang digunakan oleh Darmo dan pasukannya. Ia membawa buku tua, sebuah senter tua yang ditemukan di reruntuhan rumah, dan sebotol air, lalu berjalan perlahan menuju lereng gunung. Jalan itu terjal, dipenuhi batu-batu vulkanik dan rumput kering yang mudah terbakar. Angin bertiup kencang, membawa bau belerang yang menyengat, dan Tirtasari merasa seperti melangkah ke masa lalu.
Setelah dua jam mendaki, ia tiba di sebuah celah kecil di lereng Merapi, tempat yang disebut “Pos Darah” dalam catatan Darmo. Di sana, ia menemukan reruntuhan dinding batu yang ditutupi lumut, serta sebuah lubang kecil yang tampak seperti bekas peluru. Di tanah, ia menemukan sebuah medali tua berbentuk bintang, bertatahkan nama “Darmo Santoso” di bagian belakang. Air matanya jatuh, membasahi medali itu, dan ia merasa seperti menyentuh jiwa kakeknya.
Tirtasari duduk di dekat dinding itu, membuka buku tua, dan membaca cerita tentang pertempuran di Pos Darah. Darmo menulis tentang bagaimana ia dan lima temannya bertahan selama dua hari, menghadapi serangan musuh dengan senjata yang hampir habis. Ada sketsa sederhana sebuah api unggun, dengan tulisan: “Kami hangatkan jiwa di tengah dinginnya maut.” Tirtasari membayangkan kakeknya duduk di sana, menggambar dengan tangan gemetar, dikelilingi asap dan darah teman-temannya.
Ia menghabiskan waktu berjam-jam di Pos Darah, menelusuri setiap sudut, mencari jejak lain. Di balik batu besar, ia menemukan sebuah kain lusuh yang tampak seperti bagian dari seragam lama, dengan noda darah yang telah mengering. Ia membungkus medali itu dengan kain itu, menyimpannya di saku jaketnya, dan menulis di buku tua: “Darmo, aku nemuin medali kamu. Aku merasa kamu di sini, tapi aku takut aku nggak bisa lanjutkan perjuangan kamu.” Angin bertiup lebih kencang, membawa debu ke wajahnya, dan ia merasa seperti Darmo menjawab dengan bisikan lembut.
Kembali ke desa, Tirtasari membawa medali dan kain itu ke rumah, meletakkannya di meja kayu bersama buku tua dan peta. Ia mulai menulis lagi, mencatat setiap detail dari perjalanan ke Pos Darah, tentang dinding batu, lubang peluru, dan medali yang dingin di tangannya. Malam itu, hujan turun lembut, dan Tirtasari duduk di beranda, memandangi Merapi yang terselimuti kabut. Ia merasa seperti kakeknya ada di sisinya, berdiri tegak dengan pedang di tangan, menjaga desa dari bayang api.
Hari-hari berikutnya, Tirtasari mengumpulkan cerita dari warga tua di desa, mencatat kenangan tentang Darmo dan perjuangan leluhur. Ia mengunjungi rumah-rumah, duduk di dapur-dapur sederhana, dan mendengarkan kisah tentang pertempuran, tentang darah yang tumpah, dan tentang api yang membakar. Setiap cerita membuatnya semakin dekat dengan Darmo, dan ia mulai merasa seperti membawa beban sejarah di pundaknya.
Pada 10 September 2024, Tirtasari kembali ke Lembah Sunyi, membawa medali dan kain itu. Ia meletakkannya di depan batu bertanda pedang, membiarkan hujan membasuhinya, dan menulis di buku tua: “Darmo, aku janji bakal jaga riwayat negeri ini. Aku harap kamu bangga.” Ia memandang Merapi, merasa seperti kakeknya menatapnya dari balik asap, dan haru mengisi dadanya, bercampur dengan luka yang tak pernah sembuh.
Panggilan dari Abu Merapi
Langit Kaliurang pada pertengahan September 2024 tampak dipenuhi oleh lapisan asap tebal yang berasal dari sisa-sisa kebakaran hutan di lereng Gunung Merapi. Tirtasari Wulan berdiri di beranda rumah kayu sederhana, memandangi gunung yang menjulang dengan penuh keheningan, seolah menyimpan rahasia masa lalu di balik kabutnya. Usianya 34 tahun, dan rambut panjangnya yang mulai memutih di ujung-ujungnya bergoyang tertiup angin dingin. Di tangannya, ia memegang buku tua berlumut yang penuh dengan catatan Darmo Santoso, sementara medali bintang dan kain lusuh dari Pos Darah tersimpan dengan hati-hati di saku jaketnya. Hari ini, 18 September 2024, terasa seperti panggilan dari abu Merapi, sebuah dorongan untuk menggali lebih dalam jejak leluhurnya.
Desa Kaliur mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan setelah kebakaran. Ladang tebu yang baru ditanam hijau lagi di beberapa bagian, dan sumur tua kini mengeluarkan air yang cukup untuk menyiram tanaman. Tapi di hati Tirtasari, ada rasa berat yang tak kunjung hilang. Setiap kali ia memandangi Merapi, ia melihat bayang Darmo, berdiri tegak dengan pedang di tangan, dikelilingi asap dan darah teman-temannya. Buku tua itu menjadi panduannya, dan medali itu seperti jembatan menuju masa lalu yang penuh luka.
Tirtasari memutuskan untuk mendaki lebih tinggi ke Merapi, menuju puncak yang disebut “Bukit Jiwa” dalam catatan Darmo. Ia membawa buku tua, medali, kain lusuh, sebuah tas kecil berisi roti dan air, serta senter tua yang ditemukan di reruntuhan. Perjalanan itu dimulai pagi hari, saat kabut masih tebal, dan jalan setapak dipenuhi batu-batu vulkanik yang tajam. Angin bertiup kencang, membawa bau belerang yang menyengat, dan Tirtasari merasa seperti melangkah ke dunia lain, tempat jiwa leluhurnya masih berkeliaran.
Setelah empat jam mendaki, ia tiba di Bukit Jiwa, sebuah dataran kecil di lereng Merapi yang dikelilingi oleh tebing-tebing batu hitam. Di sana, ia menemukan sebuah altar sederhana yang terbuat dari batu, ditutupi lumut dan ditandai dengan goresan pedang yang dalam. Di depan altar, terdapat sebuah gua kecil yang penuh dengan abu vulkanik, dan di dalamnya, ia menemukan sebuah kotak kayu tua yang hampir hancur. Dengan hati-hati, ia membukanya dan menemukan selembar kertas yang dilindungi oleh kulit kayu, ditulis dengan tinta hitam yang hampir pudar: “Untuk generasi setelahku, jaga negeri ini dengan jiwa, bukan hanya darah.”
Tirtasari menangis, memeluk kertas itu seolah itu adalah Darmo sendiri. Ia membayangkan kakeknya duduk di altar itu, menulis dengan tangan gemetar di tengah asap dan api, mencoba meninggalkan pesan untuknya. Di buku tua, ia menulis: “Darmo, aku nemuin pesan kamu di Bukit Jiwa. Aku nggak tahu aku cukup kuat buat jaga negeri ini.” Angin bertiup lebih kencang, membawa abu ke wajahnya, dan ia merasa seperti Darmo menjawab dengan bisikan lembut dari dalam gua.
Ia menghabiskan waktu berjam-jam di Bukit Jiwa, menelusuri setiap sudut altar dan gua. Di dalam gua, ia menemukan sisa-sisa tulang kecil yang tampak seperti bagian dari senjata atau alat, serta sebuah kalung tali yang terbuat dari akar pohon, bertatahkan batu hitam kecil. Ia mengambil kalung itu, memakainya di leher, dan merasa seperti membawa jiwa Darmo bersamanya. Malam tiba, dan Tirtasari terpaksa tidur di dekat altar, dilindungi oleh jaket tebal dan selimut kecil yang ia bawa, sambil memandangi langit yang dipenuhi asap.
Keesokan harinya, Tirtasari kembali ke desa dengan langkah berat, membawa kotak kayu, kertas, dan kalung itu. Ia meletakkannya di meja kayu bersama buku tua, medali, dan kain lusuh, menciptakan semacam altar kecil untuk menghormati Darmo. Ia mulai menulis lagi, mencatat setiap detail dari perjalanan ke Bukit Jiwa, tentang altar, gua, dan pesan yang ditinggalkan. Hujan turun lembut malam itu, dan Tirtasari duduk di beranda, memandangi Merapi yang terselimuti kabut, merasa seperti kakeknya ada di sisinya.
Hari-hari berikutnya, Tirtasari mengumpulkan benda-benda lama dari warga desa, seperti senjata kayu, pakaian lusuh, dan foto-foto hitam putih yang menunjukkan pertempuran. Ia mengunjungi rumah-rumah, duduk di dapur-dapur sederhana, dan mendengarkan cerita tentang Darmo dan pasukannya, tentang darah yang tumpah, dan tentang api yang membakar. Setiap cerita membuatnya semakin dekat dengan masa lalu, dan ia mulai merasa seperti membawa beban sejarah di pundaknya.
Pada 25 September 2024, Tirtasari mengadakan ritual kecil di Lembah Sunyi, membawa semua benda yang ia temukan—medali, kain, kertas, kalung, dan kotak kayu. Ia meletakkannya di depan batu bertanda pedang, membiarkan hujan membasuhinya, dan menulis di buku tua: “Darmo, aku kumpulin jejak kamu. Aku harap aku bisa jadi penjaga negeri ini seperti kamu.” Ia memandang Merapi, merasa seperti kakeknya menatapnya dari balik asap, dan haru mengisi dadanya, bercampur dengan luka yang semakin dalam.
Cahaya di Atas Abu
Langit Kaliurang pada akhir September 2024 mulai menunjukkan tanda-tanda kejelasan, dengan kabut yang perlahan surut dan asap yang menipis di lereng Gunung Merapi. Tirtasari Wulan berdiri di beranda rumah kayu, memandangi gunung yang kini tampak damai, seolah menyembuhkan luka-lukanya sendiri. Usianya 34 tahun, dan rambut panjangnya yang memutih di ujung-ujungnya bergoyang tertiup angin sepoi-sepoi. Di tangannya, ia memegang buku tua berlumut, penuh dengan catatan baru yang ia tulis selama berminggu-minggu. Hari ini, 30 September 2024, terasa seperti penutup perjalanan emosionalnya, sebuah hari untuk mengucapkan selamat tinggal sekaligus menyambut harapan baru.
Rumah Tirtasari kini menjadi pusat kenangan, dengan meja kayu yang dipenuhi benda-benda leluhur—medali bintang, kain lusuh, kertas dari Bukit Jiwa, kalung tali, dan kotak kayu. Dinding rumah dihias dengan foto-foto hitam putih yang dikumpulkan dari warga, menunjukkan wajah-wajah pejuang, termasuk Darmo Santoso yang tersenyum tipis di tengah asap. Tirtasari sering duduk di sana, menulis dan menggambar, merasa seperti Darmo ada di sisinya, membimbing setiap langkahnya.
Pagi itu, Tirtasari memutuskan untuk melakukan perjalanan terakhir ke Merapi, menuju puncak untuk meletakkan semua jejak yang ia temukan sebagai penghormatan. Ia membawa buku tua, medali, kain, kertas, kalung, kotak kayu, dan sebuah lilin sederhana, lalu berjalan perlahan menuju lereng gunung. Perjalanan itu memakan waktu enam jam, melewati jalan setapak yang licin dan tebing-tebing yang curam. Di puncak, ia tiba di kawah Merapi, sebuah tempat yang dipenuhi abu dan uap panas, namun juga menawarkan pemandangan luas desa di bawahnya.
Tirtasari duduk di dekat kawah, meletakkan semua benda di depannya, dan membukanya satu per satu. Ia mengeluarkan medali dari saku, meletakkannya di atas kain lusuh, dan membaca kertas dari Bukit Jiwa berulang-ulang. Ia memakai kalung tali, membuka kotak kayu untuk mengeluarkan sisa-sisa tulang kecil, dan menyalakan lilin di tengah angin yang kencang. Ia menulis di buku tua: “Darmo, aku di puncak Merapi. Aku lepaskan kamu hari ini, tapi aku janji bakal jaga riwayat negeri ini.” Angin bertiup, membawa asap ke wajahnya, dan ia merasa seperti Darmo menatapnya dari balik uap.
Hujan turun lembut, rintik-rintik yang terasa seperti berkah. Tirtasari membiarkan air membasahi wajahnya, bercampur dengan air matanya, dan merasa seperti Darmo ada di sisinya, tersenyum dengan bangga. Ia meninggalkan puncak dengan hati yang lebih ringan, membawa buku tua dan lilin yang masih menyala, tapi meninggalkan semua jejak di kawah sebagai tanda perpisahan. Di perjalanan turun, ia berhenti di Bukit Jiwa, menyalakan lilin di altar, dan menulis lagi: “Darmo, terima kasih buat jiwa kamu yang kuat.”
Kembali di desa, Tirtasari mulai menulis riwayat lengkap tentang Darmo dan pejuang lainnya. Ia menamakan tulisannya “Riwayat Negeri yang Haru,” sebuah kisah tentang perjuangan, kehilangan, dan keberanian. Ia menghabiskan hari-hari berikutnya dengan menulis, menggambar, dan berbagi cerita kepada warga desa, mengajarkan anak-anak tentang leluhur mereka. Setiap kali hujan turun, ia duduk di beranda, memandang Merapi, dan merasa seperti Darmo masih ada, di setiap rintik, di setiap angin, di setiap nafas yang ia ambil.
Pada suatu malam yang cerah, Tirtasari berdiri di beranda, memandang langit yang penuh bintang. Ia mencari bintang paling terang, seperti yang pernah Darmo katakan: “Kalau aku nggak ada, cari aku di bintang, Sari.” Ia tersenyum, merasa bahwa Darmo memang ada di sana, mengamatinya dengan senyum hangat. Riwayat negeri itu tak lagi terasa seperti beban, tapi seperti cahaya yang mengiringi hidupnya, sebuah pengingat bahwa keberanian dan cinta tak pernah benar-benar hilang.
“Riwayat Negeri yang Haru” adalah perjalanan epik yang menggabungkan keberanian, duka, dan harapan, mengisahkan bagaimana Tirtasari menjaga warisan Darmo dengan penuh cinta dan pengorbanan. Dari Bukit Jiwa hingga puncak Merapi, cerita ini menawarkan pelajaran abadi tentang ketahanan jiwa di tengah kehancuran, meninggalkan kesan mendalam yang menginspirasi Anda untuk menghargai sejarah dan keberanian leluhur. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan kekuatan emosional dari karya ini!
Terima kasih telah menjelajahi ulasan tentang ‘Riwayat Negeri yang Haru’. Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kekuatan dalam hati Anda, mengajak Anda menghormati warisan masa lalu. Sampai jumpa di petualangan cerita berikutnya, dan tetaplah menjaga api keberanian dalam jiwa Anda!


