Daftar Isi
“Rindu yang Tak Pernah Usai” adalah sebuah cerpen panjang yang menggugah emosi, mengisahkan perjalanan Lintang Saraswati dalam merindu dan menghidupkan kembali kenangan bersama sahabatnya, Galang Wicaksana, yang telah tiada. Dengan latar Yogyakarta yang penuh nuansa, cerita ini merangkai detail kehidupan, kehilangan, dan cinta. Penuh dengan puisi, foto, dan melodi, cerpen ini akan membawa Anda ke dalam pusaran emosi tentang persahabatan yang abadi, membuat Anda menangis, tersenyum, dan merenung. Siapkah Anda menyelami kisah yang akan mengguncang hati Anda?
Rindu yang Tak Pernah Usai
Bayang di Antara Hujan
Langit Yogyakarta pada musim hujan 2024 tampak seperti kanvas kelabu yang tak pernah selesai dilukis. Awan-awan tebal bergulung di cakrawala, menggantung rendah seolah ingin menyentuh atap-atap joglo yang berjejer di kampung kecil di pinggiran kota. Hujan turun tanpa henti, menciptakan ritme lembut yang bercampur dengan aroma tanah basah dan daun-daun pisang yang bergoyang di halaman rumah. Di sudut sebuah gang sempit, di sebuah rumah bercat hijau toska yang sudah mulai mengelupas, duduk seorang perempuan muda bernama Lintang Saraswati. Matanya menatap kosong ke arah jendela, di mana tetesan air hujan mengalir seperti air mata yang tak pernah berhenti.
Lintang berusia 27 tahun, tapi wajahnya menyimpan beban yang jauh lebih tua. Rambutnya yang panjang dan lurus, biasanya diikat rapi, kini terurai acak-acakan, seolah mencerminkan kekacauan di dalam hatinya. Di tangannya, ia memegang sebuah buku catatan tua berwarna biru tua, sampulnya sudah pudar dan ujung-ujung halamannya mulai menguning. Buku itu adalah peninggalan sahabatnya, Galang Wicaksana, yang telah pergi selamanya setahun lalu. Setiap kali Lintang membuka buku itu, aroma kertas tua dan tinta pulpen yang samar seolah membawanya kembali ke masa-masa ketika dunia terasa lebih sederhana, ketika tawa Galang masih mengisi udara di sekitarnya.
Hari itu, 12 Oktober 2024, adalah hari ulang tahun Galang yang ke-28—atau seharusnya begitu, jika ia masih ada. Lintang sengaja mengambil cuti dari pekerjaannya sebagai editor di sebuah penerbitan kecil di Yogyakarta. Ia ingin hari ini menjadi miliknya dan Galang, meski hanya dalam kenangan. Di meja kecil di sampingnya, terdapat secawan kopi hitam yang sudah dingin dan sepiring pisang goreng yang tak disentuh. Di luar, hujan semakin deras, dan suara gemericik air di genting terasa seperti bisikan yang mencoba menghibur, tapi justru membuat hatinya semakin perih.
Lintang dan Galang bertemu pertama kali di bangku kuliah, di kelas sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada. Lintang, yang kala itu adalah mahasiswi pemalu dengan kacamata tebal, selalu duduk di baris belakang, mencatat setiap perkataan dosen dengan rapi. Galang, sebaliknya, adalah jiwa bebas yang selalu datang terlambat, kausnya sedikit kusut, tapi senyumnya mampu mencairkan suasana kelas yang membosankan. Mereka berbeda seperti langit dan bumi, tapi entah bagaimana, pertemuan kecil di sebuah diskusi kelompok tentang puisi Sapardi Djoko Damono menyatukan mereka. Galang, dengan caranya yang santai namun penuh semangat, membaca puisi “Hujan Bulan Juni” dengan nada yang begitu hidup, sehingga Lintang, yang biasanya pendiam, tak bisa menahan diri untuk ikut berbicara. Sejak saat itu, mereka menjadi tak terpisahkan.
Buku catatan biru tua itu adalah saksi bisu dari persahabatan mereka. Di dalamnya, Galang mencatat apa saja—puisi-puisi pendek yang ia tulis di sela-sela kuliah, sketsa wajah-wajah orang yang ia temui di angkot, hingga daftar lagu-lagu indie yang ia rekomendasikan untuk Lintang. Ada pula coretan-coretan kecil yang mereka buat bersama, seperti gambar bunga matahari yang Lintang gambarkan dengan pulpen merah, atau catatan lucu tentang dosen yang selalu lupa nama mahasiswa. Setiap halaman buku itu adalah fragmen dari hidup mereka, dari tawa di warung kopi kecil di pinggir Kali Code, hingga malam-malam panjang di perpustakaan kampus, ketika mereka saling membantu mengerjakan tugas akhir.
Namun, kenangan terindah sekaligus terpedih bagi Lintang adalah musim panas 2023, beberapa bulan sebelum Galang pergi. Mereka menghabiskan akhir pekan di Pantai Parangtritis, hanya berdua, tanpa rencana yang jelas. Galang membawa gitar akustiknya yang sudah tua, senarnya sedikit sumbang, tapi ia tetap memainkannya dengan penuh perasaan. Di bawah langit senja yang berwarna jingga, Galang menyanyikan lagu “Bintang di Surga” dari Peterpan, suaranya lembut namun penuh makna. Lintang hanya duduk di atas pasir, memeluk lututnya, mendengarkan dengan hati yang bergetar. Saat itu, Galang berkata, “Kalau suatu saat aku nggak ada, Lintang, cari aku di bintang-bintang, ya. Aku pasti di sana, nyanyi buat kamu.” Lintang tertawa, menganggap itu candaan biasa dari Galang yang selalu puitis. Tapi kini, kata-kata itu terasa seperti ramalan yang menyakitkan.
Kehilangan Galang bukanlah sesuatu yang Lintang duga. Ia masih ingat malam itu, 17 November 2023, ketika telepon berdering di tengah malam. Suara ibu Galang di ujung telepon terdengar parau, penuh isak. “Lintang, Galang… Galang kecelakaan. Motornya… dia nggak selamat.” Dunia Lintang seolah berhenti berputar. Ia tak ingat bagaimana ia sampai di rumah sakit, bagaimana ia berdiri di samping tubuh Galang yang sudah tak bernyawa, atau bagaimana ia menahan tangis saat melihat wajah sahabatnya yang tampak damai, seolah hanya tertidur. Yang ia ingat hanyalah rasa kosong yang menggerogoti dadanya, seperti lubang hitam yang menelan semua cahaya.
Sejak kepergian Galang, Lintang berubah. Ia masih menjalani hari-harinya—bekerja, bertemu teman, tersenyum saat diperlukan—tapi ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia sering mendapati dirinya menatap langit malam, mencari bintang yang Galang janjikan, meski ia tahu itu hanyalah khayalan. Buku catatan biru itu menjadi pelariannya. Setiap malam, ia membaca ulang puisi-puisi Galang, mencoba mencari jejak sahabatnya di antara baris-baris kata. Tapi semakin ia membaca, semakin ia merasa Galang begitu jauh, seperti bintang yang hanya bisa dilihat, tapi tak pernah disentuh.
Hari itu, di tengah hujan yang tak kunjung reda, Lintang memutuskan untuk pergi ke tempat yang paling banyak menyimpan kenangan mereka: sebuah pohon beringin tua di tepi Sungai Code. Pohon itu adalah tempat favorit mereka selama kuliah. Mereka sering duduk di bawahnya, berbagi cerita, makan bakpao murah dari pedagang keliling, atau sekadar diam, menikmati suara air sungai yang mengalir pelan. Galang pernah mengukir inisial mereka—L dan G—di batang pohon itu dengan pisau lipat kecil, sambil tertawa dan berkata, “Biar dunia tahu kita pernah ada di sini.” Lintang ingin kembali ke sana, ingin merasakan kehadiran Galang, meski hanya dalam bayangan.
Ia mengenakan mantel hujan berwarna kuning yang sudah sedikit usang, mengambil payung tua dari sudut ruangan, dan melangkah keluar. Hujan menyapa wajahnya, dingin dan menusuk, tapi ia tak peduli. Jalanan kampung yang biasanya ramai kini sepi, hanya sesekali terdengar suara motor yang melintas dengan cepat. Lintang berjalan menyusuri gang-gang kecil, melewati warung-warung yang tutup, hingga akhirnya sampai di tepi Sungai Code. Pohon beringin itu masih berdiri kokoh, meski ranting-rantingnya tampak lebih lelet karena hujan. Lintang mendekati pohon itu, tangannya menyentuh batang yang basah, mencari ukiran inisial mereka. Ketika jari-jarinya menemukan huruf L dan G yang sudah sedikit memudar, air matanya akhirnya jatuh, bercampur dengan tetesan hujan.
Ia duduk di bawah pohon itu, membiarkan hujan membasahi rambut dan wajahnya. Buku catatan biru ia peluk erat di dadanya, seolah takut kehilangan satu-satunya benda yang masih menghubungkannya dengan Galang. Di tengah kesunyian, ia tiba-tiba teringat sebuah puisi pendek yang Galang tulis di halaman terakhir buku itu:
Di ujung hujan, ada rindu yang menanti,
Tak terucap, tapi selalu ada,
Seperti bintang yang setia di malam kelam.
Lintang menutup matanya, membiarkan kata-kata itu mengalir dalam benaknya. Ia membayangkan Galang berdiri di sampingnya, tersenyum seperti dulu, dengan rambut acak-acakan dan kaus kusutnya. Tapi ketika ia membuka mata, hanya hujan dan kesunyian yang menyapa. Rasa rindu itu terasa begitu nyata, namun juga begitu jauh, seperti mimpi yang tak pernah bisa ia gapai.
Hari itu, Lintang menghabiskan waktu berjam-jam di bawah pohon beringin, membiarkan hujan menjadi saksi bisu dari kerinduannya. Ia tak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup tanpa Galang, tapi ia tahu ia harus mencoba—untuk dirinya sendiri, dan untuk mengenang sahabat yang telah memberinya begitu banyak warna dalam hidupnya.
Jejak di Balik Lensa
Hujan akhirnya mereda menjelang sore, meninggalkan udara yang dingin dan aroma tanah yang masih basah. Lintang kembali ke rumahnya dengan mantel yang kuyup dan buku catatan biru yang sedikit lembap di pinggirannya. Ia meletakkan buku itu di atas meja dengan hati-hati, mengelapnya dengan kain kering, seolah itu adalah benda paling rapuh di dunia. Di dalam hatinya, ia merasa sedikit lega setelah mengunjungi pohon beringin, tapi rindu itu masih menggenggam erat, tak pernah benar-benar pergi.
Malam itu, setelah mandi dan mengganti pakaiannya dengan kaus longgar dan celana jogger, Lintang duduk di sofa kecil di ruang tamunya. Di depannya, sebuah kotak kardus tua yang sudah lama tak disentuh menarik perhatiannya. Kotak itu berisi barang-barang peninggalan Galang yang diberikan oleh ibunya beberapa bulan setelah kecelakaan itu. Lintang belum pernah membuka kotak itu sejak ia menerimanya. Rasa takut kehilangan lebih banyak lagi membuatnya selalu menunda, tapi malam itu, entah karena hujan atau karena ulang tahun Galang, ia merasa perlu melihat apa yang ada di dalamnya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka kotak itu. Di dalamnya, ada beberapa barang yang begitu khas Galang: sebuah kaus band Radiohead yang sudah pudar, beberapa buku puisi yang penuh coretan, dan sebuah kamera analog tua, sebuah Canon AE-1 yang Galang beli dari pasar loak dengan harga murah. Kamera itu adalah salah satu harta karun Galang. Ia sering membawanya ke mana-mana, memotret apa saja yang menarik perhatiannya—dari anak-anak yang bermain di gang sempit hingga awan-awan aneh di langit senja. Lintang tersenyum kecil mengingat bagaimana Galang selalu bersikeras bahwa foto analog memiliki “jiwa” yang tak dimiliki foto digital.
Di dalam kotak, ia juga menemukan beberapa gulungan film yang belum dicuci. Jantung Lintang berdegup kencang. Ia tahu Galang selalu menunda mencuci film karena ia ingin menikmati proses menunggu, seperti menanti kejutan dari alam semesta. Tapi sekarang, film-film itu adalah misteri, mungkin menyimpan potongan-potongan terakhir dari dunia yang dilihat Galang. Lintang memutuskan untuk membawa film-film itu ke laboratorium foto keesokan harinya. Ia ingin melihat apa yang Galang abadikan, meski ia tak yakin apakah hatinya cukup kuat untuk menghadapi kenangan baru.
Pagi berikutnya, 13 Oktober 2024, Lintang berjalan menuju sebuah toko foto kecil di Jalan Kaliurang. Toko itu adalah tempat langganan Galang, di mana ia sering menghabiskan waktu mengobrol dengan pemiliknya, seorang pria tua bernama Pak Suryo yang selalu memakai topi fedora. Ketika Lintang masuk, Pak Suryo menyapanya dengan senyum hangat, meski ada sedikit kesedihan di matanya ketika melihat gulungan film di tangan Lintang. “Ini punya Galang, ya?” tanyanya lembut. Lintang hanya mengangguk, tak mampu berkata banyak.
Sambil menunggu film dicuci, Lintang duduk di sudut toko, memandangi rak-rak yang penuh dengan kamera-kamera tua dan bingkai foto. Ia teringat bagaimana Galang pernah membujuknya untuk mencoba fotografi analog, tapi Lintang selalu menolak, mengatakan bahwa ia lebih suka menulis daripada memotret. Sekarang, ia menyesal karena tak pernah mencoba memahami dunia yang begitu dicintai Galang. Setiap klik shutter, setiap gulungan film, adalah caranya menangkap waktu, menjadikan momen-momen kecil abadi.
Dua jam kemudian, Pak Suryo kembali dengan setumpuk foto. “Ada tiga gulungan yang masih bagus. Yang satu agak rusak, tapi masih bisa diselamatkan sebagian,” katanya sambil menyerahkan amplop cokelat berisi foto-foto itu. Lintang mengucapkan terima kasih, tangannya kembali gemetar saat menerima amplop itu. Ia memilih untuk tidak membuka foto-foto itu di toko. Ia ingin melakukannya di rumah, di tempat yang terasa aman, di mana ia bisa menangis tanpa malu jika kenangan itu terlalu berat.
Sesampainya di rumah, Lintang duduk di lantai ruang tamunya, amplop cokelat itu tergeletak di pangkuannya. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai membuka amplop itu. Foto pertama yang ia lihat adalah gambar senja di Pantai Parangtritis, tempat mereka menghabiskan waktu bersama di musim panas 2023. Langit berwarna jingga keemasan, dengan siluet ombak yang bergulung lembut. Di sudut foto, ada bayangan dua orang duduk di pasir—Lintang dan Galang. Lintang hampir tak bisa bernapas. Ia tak tahu Galang memotret momen itu, momen ketika mereka hanya diam, menikmati kebersamaan tanpa kata-kata.
Foto berikutnya menunjukkan seorang anak kecil yang sedang tertawa di tepi Sungai Code, mungkin salah satu anak kampung yang sering bermain di dekat pohon beringin. Ada pula foto seorang penjual jamu yang sedang mendorong gerobaknya, wajahnya penuh kerutan tapi matanya penuh kehangatan. Setiap foto terasa seperti jendela ke dunia Galang, ke cara ia melihat keindahan di hal-hal kecil yang sering diabaikan orang lain. Tapi yang membuat Lintang terhenti adalah sebuah foto dirinya sendiri. Ia sedang duduk di bawah pohon beringin, membaca buku, dengan sinar matahari yang menyelinap di antara daun-daun, menciptakan pola cahaya di wajahnya. Di belakang foto itu, Galang menulis dengan pulpen hitam: “Lintang, yang selalu jadi cahaya di hari kelabu.”
Air mata Lintang jatuh tanpa bisa dicegah. Ia merasa seperti Galang berbicara langsung kepadanya melalui foto-foto itu, melalui lensa yang pernah ia pegang, melalui mata yang selalu melihat dunia dengan penuh cinta. Ia menghabiskan waktu berjam-jam melihat setiap foto, mencoba merekonstruksi cerita di baliknya. Ada foto-foto pasar malam, lampion-lampion yang menggantung di antara kerumunan, dan bahkan sebuah foto buram yang tampak seperti Galang sendiri, tersenyum ke arah kamera, mungkin diambil dengan timer. Setiap gambar adalah serpihan dari hidup Galang, dan Lintang merasa seperti sedang menyusun puzzle yang tak akan pernah lengkap.
Malam itu, Lintang tak bisa tidur. Ia duduk di samping jendela, memandangi langit yang kini cerah, dengan bintang-bintang yang berkelip lemah. Ia membayangkan Galang di antara bintang-bintang itu, seperti yang ia janjikan. Tapi rindu itu terasa semakin dalam, seperti luka yang tak pernah sembuh. Foto-foto itu membawa Galang kembali kepadanya, tapi juga mengingatkannya bahwa ia tak akan pernah bisa menyentuh sahabatnya lagi. Ia merasa bersalah karena tak pernah cukup menghargai waktu yang mereka miliki, karena terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri sehingga lupa bertanya apa yang sebenarnya dirasakan Galang di bulan-bulan terakhir hidupnya.
Lintang mengambil buku catatan biru dan menuliskan sesuatu untuk pertama kalinya sejak kepergian Galang. Ia menulis sebuah puisi pendek, bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk Galang:
Di setiap klik lensa, kau abadikan dunia,
Di setiap detik, kau tinggalkan rindu,
Aku mencarimu di foto-foto ini,
Tapi kau hanya bayang, yang tak pernah pulang.
Ia menutup buku itu, memeluknya erat, dan menangis dalam diam. Di luar, angin malam membawa aroma bunga kamboja dari halaman tetangga, seolah membawa pesan dari Galang, pesan yang tak pernah terucap tapi selalu terasa.
Melodi di Antara Sunyi
Langit Yogyakarta di pertengahan Oktober 2024 mulai menunjukkan tanda-tanda peralihan musim. Hujan masih sering turun, tapi kini diselingi dengan sinar matahari yang lembut, menciptakan pelangi tipis yang sesekali menghias cakrawala. Lintang Saraswati duduk di beranda rumahnya, sebuah rumah kecil bercat hijau toska yang kini terasa terlalu sepi tanpa kehadiran Galang Wicaksana. Di pangkuannya, tergeletak buku catatan biru tua milik Galang, yang kini tak hanya berisi kenangan, tapi juga puisi pendek yang Lintang tulis sebagai caranya berkomunikasi dengan sahabat yang telah pergi. Di sampingnya, amplop cokelat berisi foto-foto dari film analog Galang masih terbuka, beberapa foto terserak di meja kayu kecil yang sudah usang. Setiap foto adalah pintu menuju masa lalu, ke dunia yang dulu mereka bagi bersama.
Hari itu, 15 Oktober 2024, Lintang memutuskan untuk menjelajahi lebih dalam jejak Galang. Setelah menemukan foto-foto itu, ia merasa ada bagian dari sahabatnya yang masih hidup, tersimpan dalam benda-benda yang ia tinggalkan. Di antara barang-barang di kotak kardus peninggalan Galang, Lintang menemukan sebuah USB kecil berwarna merah, terselip di antara lipatan kaus Radiohead yang sudah pudar. USB itu tak memiliki label, hanya sebuah benda plastik sederhana yang mungkin terlupakan oleh Galang sendiri. Dengan rasa penasaran bercampur takut, Lintang membawa USB itu ke laptopnya, sebuah perangkat tua yang sering macet tapi masih setia menemaninya bekerja.
Ketika ia membuka isi USB, ia menemukan folder bernama “Melodi untuk Lintang”. Jantungnya berdegup kencang. Galang selalu punya cara untuk membuatnya terkejut, bahkan setelah ia tiada. Di dalam folder itu, ada beberapa file audio, masing-masing diberi nama dengan tanggal dan judul sederhana seperti “Senja di Parangtritis” atau “Malam di Beringin”. Ada pula satu file berjudul “Untuk Lintang, Kalau Aku Pergi”. Lintang menahan napas, tangannya ragu-ragu di atas mouse. Ia tahu file ini akan membawanya ke tempat yang menyakitkan, tapi juga ke tempat yang penuh cinta. Dengan jari yang gemetar, ia mengklik file itu.
Suara gitar akustik Galang mengalir lembut dari speaker laptop, senarnya sedikit sumbang tapi penuh perasaan, seperti yang ia mainkan di Pantai Parangtritis setahun lalu. Lalu, suara Galang terdengar, sedikit serak tapi hangat, seperti pelukan di tengah malam yang dingin. “Lintang, kalau kamu dengar ini, mungkin aku udah nggak ada. Tapi aku pengen kamu tahu, kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya. Aku bikin lagu ini buat kamu, supaya kamu nggak lupa senyum, meski hidup kadang berat.” Lalu, ia mulai menyanyikan sebuah lagu sederhana, dengan lirik yang ditulisnya sendiri:
Di ujung langit, ada cerita kita,
Di bawah bintang, kita pernah tertawa,
Kalau rindu datang, dengar lagu ini,
Aku di sini, meski kau tak melihatku.
Lintang tak bisa menahan air matanya. Lagu itu sederhana, hanya gitar dan suara Galang, tapi setiap nada terasa seperti tusukan lembut di hatinya. Ia membayangkan Galang duduk di kamarnya, mungkin di malam yang sunyi, merekam lagu ini dengan penuh cinta, tahu bahwa waktunya mungkin tak banyak. Lintang memutar lagu itu berulang-ulang, membiarkan suara Galang mengisi ruangan, mengisi kekosongan yang ditinggalkannya. Setiap kata dalam lirik itu terasa seperti pesan yang Galang tinggalkan untuknya, sebuah pengingat bahwa ia tak pernah benar-benar pergi.
Setelah beberapa waktu, Lintang memutuskan untuk mendengarkan file-file lain di USB itu. Ada rekaman suara Galang yang menceritakan hari-harinya, seperti curhatan kecil yang ia simpan untuk dirinya sendiri. Dalam satu file, ia bercerita tentang pagi di Pasar Beringharjo, bagaimana ia memotret seorang nenek yang menjual jamu dengan senyum penuh kehidupan. Dalam file lain, ia merekam suara anak-anak yang bermain di tepi Sungai Code, tawa mereka bercampur dengan gemericik air. Tapi yang paling menyentuh hati Lintang adalah rekaman di mana Galang berbicara tentang mimpinya. “Aku pengen bikin pameran foto kecil, Lintang. Nggak perlu mewah, cuma pengen orang-orang lihat dunia yang aku lihat. Mungkin suatu hari kamu bisa bantu aku wujudin ini, ya?” Suaranya penuh harap, tapi ada nada rapuh di ujung kalimatnya, seolah ia tahu mimpinya mungkin tak akan pernah terwujud.
Lintang menutup laptopnya, dadanya terasa sesak. Ia merasa seperti Galang meninggalkan begitu banyak bagian dirinya—di foto, di lagu, di kata-kata—tapi juga seperti ia meninggalkan beban yang tak pernah Lintang minta. Ia ingin marah pada Galang karena pergi begitu cepat, karena meninggalkan mimpinya, karena meninggalkan dirinya. Tapi lebih dari itu, ia ingin memeluk sahabatnya sekali lagi, ingin mengatakan bahwa ia akan melakukan apa saja untuk menjaga kenangannya tetap hidup.
Hari-hari berikutnya, Lintang mulai terobsesi dengan ide untuk mewujudkan mimpi Galang. Ia ingin mengadakan pameran foto kecil, seperti yang Galang impikan. Ia menghubungi Pak Suryo, pemilik toko foto, yang dengan senang hati menawarkan ruang kecil di tokonya untuk pameran. Lintang menghabiskan waktu berjam-jam memilih foto-foto dari gulungan film Galang, mencetaknya dengan hati-hati, dan merangkai cerita di balik setiap gambar. Ia juga memutuskan untuk memasukkan beberapa puisi dari buku catatan biru Galang, mencetaknya dalam bingkai sederhana untuk menemani foto-foto itu. Setiap langkah dalam proses ini terasa seperti perjalanan emosional, membawa Lintang kembali ke momen-momen yang ia dan Galang lalui bersama.
Pameran itu direncanakan pada 17 November 2024, tepat setahun setelah kepergian Galang. Lintang ingin hari itu menjadi penghormatan untuk sahabatnya, sebuah cara untuk membuatnya hidup kembali melalui karya-karyanya. Ia menghubungi beberapa teman lama dari kampus, termasuk Dika, seorang teman dekat Galang yang kini bekerja sebagai desainer grafis, dan Mira, yang dulu sering ikut nongkrong bersama mereka di warung kopi. Mereka semua setuju untuk membantu, meski Lintang bisa melihat kesedihan yang sama di mata mereka setiap kali nama Galang disebut.
Proses persiapan pameran bukan tanpa tantangan. Lintang harus berhadapan dengan keraguannya sendiri, dengan rasa takut bahwa ia tak akan bisa memberikan keadilan pada karya Galang. Ia sering terbangun di tengah malam, bermimpi tentang Galang yang tersenyum kepadanya, lalu menghilang ke dalam kabut. Dalam mimpinya, Galang selalu berkata, “Lanjutkan, Lintang. Aku percaya sama kamu.” Tapi setiap kali ia bangun, hanya kesunyian yang menyapa, dan rasa rindu yang semakin dalam.
Hari pameran akhirnya tiba. Toko foto Pak Suryo dihias sederhana dengan lampu-lampu kecil dan kain putih yang digantung di dinding. Foto-foto Galang dipajang dengan rapi, masing-masing ditemani oleh puisi atau catatan kecil dari buku birunya. Di sudut ruangan, sebuah meja kecil menampilkan kamera Canon AE-1 milik Galang, diletakkan di atas kain beludru sebagai pusat perhatian. Lintang juga memutar rekaman lagu Galang dari USB itu melalui speaker kecil, suaranya mengalir lembut di antara para pengunjung yang datang.
Pameran itu kecil, tapi penuh makna. Teman-teman lama Galang datang, begitu pula beberapa warga kampung yang mengenalnya. Ada pula beberapa mahasiswa seni yang tertarik setelah melihat pengumuman pameran di media sosial. Lintang berdiri di sudut ruangan, memandangi orang-orang yang berjalan dari satu foto ke foto lain, membaca puisi-puisi Galang, dan mendengarkan lagunya. Ia merasa seperti Galang ada di sana, tersenyum di antara kerumunan, bangga dengan apa yang telah Lintang lakukan.
Tapi di tengah kehangatan itu, Lintang merasa ada sesuatu yang kurang. Ia merindukan Galang lebih dari sebelumnya, merindukan tawa dan candaannya, merindukan cara ia membuat dunia terasa lebih ringan. Ketika pameran selesai dan semua orang pulang, Lintang duduk sendirian di toko yang kini sepi. Ia memandangi foto dirinya di bawah pohon beringin, foto yang Galang beri keterangan “Lintang, yang selalu jadi cahaya di hari kelabu”. Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini ada sedikit kelegaan di hatinya. Ia tahu ia telah melakukan sesuatu untuk Galang, sesuatu yang membuat kenangannya tetap hidup.
Bintang yang Tak Pernah Padam
Tanggal 18 November 2024, sehari setelah pameran, Lintang bangun dengan perasaan yang berbeda. Ada kelelahan yang menyenangkan di tubuhnya, seperti setelah menempuh perjalanan panjang yang penuh makna. Pameran kemarin telah menguras tenaganya, tapi juga memberinya sesuatu yang tak bisa ia jelaskan—seperti secercah cahaya di tengah kegelapan yang selama ini mengurungnya. Ia duduk di beranda rumahnya, memandangi langit pagi yang masih diselimuti kabut tipis. Secawan kopi panas ada di tangannya, uapnya mengepul lembut, membawa aroma yang menenangkan.
Pagi itu, Lintang memutuskan untuk kembali ke pohon beringin di tepi Sungai Code, tempat yang telah menjadi semacam kuil baginya, tempat di mana ia merasa paling dekat dengan Galang. Ia membawa buku catatan biru, kamera Canon AE-1, dan amplop berisi foto-foto Galang. Ia ingin menghabiskan hari itu di sana, merenungi perjalanan yang telah ia lalui sejak kepergian sahabatnya, dan mencoba memahami apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Sungai Code mengalir tenang, airnya berkilau di bawah sinar matahari pagi. Pohon beringin berdiri kokoh seperti biasa, daun-daunnya bergoyang lembut ditiup angin. Lintang duduk di akar pohon yang menonjol, membuka buku catatan biru, dan membaca ulang puisi-puisi Galang. Kali ini, ia tak menangis. Ia merasa seperti sedang berbicara dengan Galang, seperti dulu, ketika mereka duduk di tempat yang sama, berbagi cerita tentang mimpi dan ketakutan mereka.
Lintang lalu mengambil kamera Canon AE-1. Ia tak pernah benar-benar belajar fotografi, tapi ia ingin mencoba, untuk Galang. Ia mengarahkan lensa ke sungai, ke pohon, ke langit, mencoba melihat dunia seperti yang Galang lihat. Setiap kali ia menekan tombol shutter, ia membayangkan Galang di sisinya, mengajarinya cara menemukan keindahan dalam hal-hal kecil. Ia memotret seorang anak yang berlari di tepi sungai, seorang ibu yang mencuci pakaian, dan bahkan seekor burung kecil yang hinggap di ranting. Ia tak tahu apakah foto-fotonya akan bagus, tapi ia merasa seperti sedang melanjutkan warisan Galang, menangkap momen-momen yang akan menjadi kenangan.
Setelah beberapa waktu, Lintang membuka amplop foto dan meletakkannya di atas rumput. Ia memandangi setiap gambar, mencoba menghidupkan kembali cerita di baliknya. Ada foto pasar malam yang penuh warna, foto anak-anak yang tertawa, dan foto dirinya sendiri di bawah pohon beringin. Di antara foto-foto itu, ia menemukan satu yang belum ia perhatikan sebelumnya: sebuah foto Galang yang tampak diambil dengan timer, di tepi sungai ini, dengan pohon beringin di belakangnya. Galang tersenyum lebar, matanya penuh kehidupan, tangannya memegang gitar tua. Di belakang foto itu, ia menulis: “Lintang, jangan lupa hidup. Aku selalu di sini.”
Kata-kata itu seperti pukulan lembut di hati Lintang. Selama ini, ia terjebak dalam rindu, dalam rasa bersalah karena tak bisa menyelamatkan Galang, karena tak cukup menghargai waktu yang mereka miliki. Tapi sekarang, ia mulai memahami bahwa Galang tak ingin ia hidup dalam kesedihan. Ia ingin Lintang melanjutkan, ingin ia menemukan kebahagiaan, seperti yang mereka temukan bersama di bawah pohon ini, di pantai, di warung kopi kecil.
Lintang mengambil buku catatan biru dan menulis lagi, kali ini bukan puisi, tapi surat untuk Galang:
Galang,
Aku nggak tahu apakah kamu bisa baca ini, tapi aku pengen bilang terima kasih. Terima kasih karena udah jadi sahabatku, karena udah ngajarin aku cara lihat dunia dengan mata yang penuh cinta. Aku janji, aku bakal coba hidup seperti yang kamu mau—dengan tawa, dengan mimpi, dengan keberanian. Aku bakal bawa kamu di hati aku, di setiap langkah, di setiap foto, di setiap lagu.
Sampai ketemu lagi, di antara bintang-bintang.
Lintang.
Ia menutup buku itu, memeluknya erat, dan memandangi langit. Matahari kini naik lebih tinggi, sinarnya menerobos kabut, menciptakan pola cahaya di permukaan sungai. Lintang tersenyum kecil, untuk pertama kalinya dalam setahun, merasa bahwa ia bisa melangkah maju. Rindu itu masih ada, dan mungkin akan selalu ada, tapi kini ia tahu bahwa rindu itu adalah bagian dari cinta, bagian dari Galang yang akan selalu hidup di dalam dirinya.
Malam itu, Lintang kembali ke rumah dengan hati yang lebih ringan. Ia menyimpan buku catatan biru, kamera, dan foto-foto Galang di tempat yang mudah dijangkau, bukan untuk disimpan sebagai kenangan yang menyakitkan, tapi sebagai pengingat akan kehidupan yang telah mereka bagi. Ia mulai merencanakan pameran foto berikutnya, mungkin dengan fotonya sendiri, sebagai cara untuk melanjutkan apa yang Galang mulai. Ia juga mulai menulis lagi, bukan hanya puisi, tapi cerita-cerita kecil tentang kehidupan, tentang keindahan yang ia temukan di sekitarnya, seperti yang Galang ajarkan.
Di bulan-bulan berikutnya, Lintang menemukan dirinya lebih sering tersenyum. Ia mulai berkumpul lagi dengan teman-teman lamanya, mengunjungi tempat-tempat yang dulu ia hindari karena terlalu banyak kenangan. Ia bahkan mulai belajar fotografi dengan serius, membawa kamera Canon AE-1 ke mana-mana, menangkap momen-momen kecil seperti yang Galang lakukan. Setiap kali ia merasa rindu, ia memandang langit malam, mencari bintang yang paling terang, dan membayangkan Galang di sana, tersenyum kepadanya.
Lintang tahu bahwa kehilangan Galang akan selalu menjadi bagian dari hidupnya, tapi ia juga tahu bahwa Galang telah memberinya hadiah terbesar: cara untuk melihat dunia dengan hati yang terbuka, untuk menemukan keindahan di tengah kesedihan, untuk hidup dengan penuh cinta. Dan di setiap langkahnya, ia membawa Galang bersamanya, seperti bintang yang tak pernah padam, selalu bersinar di malam yang kelam.
“Rindu yang Tak Pernah Usai” bukan sekadar cerpen, melainkan sebuah perjalanan emosional yang mengajarkan kita tentang arti kehilangan, kenangan, dan kekuatan untuk melanjutkan hidup. Melalui setiap foto, puisi, dan nada yang ditinggalkan Galang, Lintang menemukan cara untuk menjaga sahabatnya tetap hidup dalam hatinya. Cerita ini adalah pengingat bahwa cinta dan rindu adalah dua sisi dari koin yang sama, yang membuat kita manusia. Jangan lewatkan kisah ini yang akan meninggalkan jejak di hati Anda, seperti bintang yang tak pernah padam di langit malam.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang “Rindu yang Tak Pernah Usai”. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menghargai setiap momen bersama orang-orang tersayang. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk terus menjelajahi cerita-cerita yang menyentuh hati!


