Daftar Isi
Selami kisah mendalam dalam cerpen “Rindu yang Tak Pernah Padam”, sebuah perjalanan emosional yang menggambarkan kerinduan seorang anak terhadap kasih sayang ibunya yang telah tiada. Dengan latar Desa Cempaka Wulan yang penuh kenangan, cerpen ini menghadirkan alur yang kaya akan detail, emosi, dan rahasia keluarga yang terungkap secara perlahan. Ditulis dengan penuh kepekaan, cerita ini mengajak Anda merasakan cinta abadi seorang ibu melalui sketsa, lukisan, dan harta tersembunyi yang penuh makna. Cocok untuk Anda yang mencari cerita panjang, menyentuh, dan penuh inspirasi, cerpen ini akan meninggalkan kesan mendalam di hati setiap pembaca.
Rindu yang Tak Pernah Padam
Bayang-Bayang di Pagi yang Kelabu
Pagi di Desa Cempaka Wulan, Jawa Tengah, pada tahun 2024, selalu dimulai dengan kabut tipis yang melayang di antara pohon kelapa dan sawah yang membentang hijau. Di ujung desa, sebuah rumah kayu bercat putih yang sudah mulai mengelupas berdiri di tepi jalan tanah. Rumah itu milik Sarwono, seorang pemuda berusia 27 tahun dengan rambut ikal yang selalu tampak acak-acakan dan mata cokelat yang menyimpan rahasia. Sarwono, atau yang biasa dipanggil Wono, bukanlah sosok yang banyak bicara. Ia lebih suka menyapa dunia dengan caranya sendiri: melalui sketsa-sketsa pensil di buku catatannya, yang penuh dengan gambar wajah-wajah yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.
Hari itu, seperti biasa, Wono terbangun sebelum matahari benar-benar muncul. Ia duduk di beranda rumahnya, memandangi sawah yang masih diselimuti embun. Di tangannya, secangkir kopi tubruk yang sudah mulai dingin mengeluarkan aroma pahit yang menyatu dengan udara pagi. Di depannya, sebuah buku sketsa terbuka, menampilkan gambar seorang perempuan dengan rambut panjang tergerai dan senyum lembut yang tampak begitu hidup, namun penuh kerinduan. Itu adalah wajah ibunya, Sasmaya, yang telah meninggalkannya tujuh tahun lalu. Wajah yang hanya bisa ia temui dalam mimpi dan sketsa-sketsa yang ia buat berulang-ulang.
Sasmaya adalah sosok yang penuh kasih dalam ingatan Wono. Ia ingat betul bagaimana ibunya selalu menyanyikan lagu-lagu daerah dengan suara yang lembut, bagaimana tangannya yang halus namun kuat menenun kain di beranda rumah saat malam tiba, dan bagaimana ia selalu menyisipkan sehelai daun kemangi di setiap piring makan Wono karena tahu anaknya menyukai aroma itu. Namun, kenangan itu kini bercampur dengan rasa sakit yang tak pernah benar-benar pergi. Sasmaya meninggal secara tiba-tiba, dalam kecelakaan tragis di pasar desa, ketika sebuah truk pengangkut beras kehilangan kendali dan menabrak kios tempat ia berdagang. Wono, yang saat itu baru berusia 20 tahun, tak pernah benar-benar pulih dari kehilangan itu.
Desa Cempaka Wulan adalah tempat yang sederhana, di mana kehidupan berjalan lambat seperti aliran sungai kecil yang membelah sawah. Rumah-rumah di desa ini kebanyakan terbuat dari kayu, dengan atap genteng merah yang sudah mulai ditumbuhi lumut. Jalan-jalan tanah di desa ini selalu ramai dengan suara ayam berkokok, anak-anak yang berlarian menuju sekolah, dan para petani yang berjalan menuju sawah dengan cangkul di pundak. Namun, bagi Wono, desa ini terasa seperti labirin kenangan yang tak pernah membiarkannya melangkah maju. Setiap sudut desa mengingatkannya pada ibunya: pohon mangga di depan rumah tempat mereka pernah duduk bersama, warung kecil di ujung gang tempat Sasmaya sering membeli ikan segar, hingga jembatan bambu di tepi sungai tempat ibunya mengajarkannya cara memancing.
Hari itu, Wono memutuskan untuk berjalan ke pasar desa, tempat yang selama bertahun-tahun ia hindari. Pasar itu, meski telah direnovasi sejak kecelakaan itu, masih menyimpan bayang-bayang yang membuat dadanya sesak. Ia berjalan perlahan, menyusuri jalan tanah yang berdebu, sambil membawa buku sketsanya. Di pasar, ia melihat para pedagang yang sibuk menata dagangan mereka: ikan segar yang masih menggeliat, sayuran hijau yang baru dipetik, dan tumpukan kain batik yang berwarna-warni. Bau pasar—campuran aroma ikan, rempah, dan tanah basah—menggugah memorinya. Ia teringat bagaimana ia kecil dulu sering membantu Sasmaya menata dagangan di kios kecil mereka, bagaimana ibunya selalu tersenyum meski lelah, dan bagaimana ia selalu menyisihkan sepeser keuntungan untuk membeli permen kesukaan Wono.
Di sudut pasar, Wono berhenti di depan sebuah kios kecil yang kini dikelola oleh seorang wanita tua bernama Mbok Sari. Wanita itu mengenal Sasmaya dengan baik, dan setiap kali Wono lewat, Mbok Sari selalu menyapanya dengan tatapan penuh kasih, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak pernah tahu caranya. Wono hanya mengangguk kecil, lalu melanjutkan langkahnya. Ia tak ingin berlama-lama di tempat itu, tapi ada sesuatu yang membuatnya terus kembali: sebuah kotak kayu kecil yang dulu digunakan Sasmaya untuk menyimpan uang dagangan. Kotak itu kini teronggok di sudut kios Mbok Sari, penuh debu, tapi masih utuh. Wono pernah meminta kotak itu, tapi Mbok Sari menolak, mengatakan bahwa kotak itu adalah peninggalan Sasmaya yang harus tetap di pasar, sebagai pengingat akan kebaikan hati perempuan itu.
Wono melanjutkan perjalanannya, menyusuri tepi sungai yang membelah desa. Air sungai mengalir tenang, memantulkan cahaya matahari pagi yang mulai naik. Ia duduk di sebuah batu besar di tepi sungai, membuka buku sketsanya, dan mulai menggambar. Kali ini, ia menggambar pemandangan sungai yang dulu sering ia kunjungi bersama ibunya. Dalam sketsanya, ia menambahkan sosok Sasmaya yang berdiri di tepi sungai, memegang jaring ikan, dengan senyum yang begitu nyata hingga membuat matanya berkaca-kaca. Setiap goresan pensilnya terasa seperti upaya untuk menangkap kembali waktu yang telah hilang, untuk menghidupkan kembali sosok yang kini hanya tinggal bayang-bayang.
Hari itu, saat matahari mulai tinggi, Wono memutuskan untuk mengunjungi makam ibunya di ujung desa. Makam itu terletak di sebuah pemakaman kecil yang dikelilingi pohon pisang dan bambu. Nisan sederhana dari batu bertuliskan nama Sasmaya berdiri di antara rumput liar yang tumbuh tak terurus. Wono duduk di samping makam, memandangi nama ibunya yang mulai memudar di batu nisan. Ia tak tahu mengapa ia terus kembali ke tempat ini, meski setiap kunjungan selalu meninggalkan luka baru di hatinya. Mungkin karena di sinilah ia merasa paling dekat dengan ibunya, meski hanya melalui keheningan dan angin yang bertiup pelan.
Saat ia duduk di sana, sebuah kenangan tiba-tiba muncul di benaknya. Ia ingat malam-malam ketika ia masih kecil, ketika ia dan Sasmaya duduk di beranda rumah, memandangi bintang-bintang. Sasmaya selalu bercerita tentang mimpinya: ingin melihat Wono menjadi pelukis terkenal, ingin membawa Wono ke kota besar, dan ingin membangun rumah yang lebih baik untuk mereka berdua. Namun, mimpi-mimpi itu kini hanya tinggal cerita, terkubur bersama Sasmaya di bawah tanah. Wono merasa dadanya sesak. Ia ingin menangis, tapi air matanya seolah telah kering bertahun-tahun lalu. Yang tersisa hanyalah rindu yang tak pernah padam, rindu yang terasa seperti pisau yang perlahan memotong hatinya setiap hari.
Sore itu, saat Wono kembali ke rumah, ia menemukan sebuah amplop tua di bawah tumpukan buku di kamarnya. Amplop itu sudah menguning, dengan tulisan tangan Sasmaya yang khas di bagian depannya: “Untuk Wono, anakku tersayang.” Jantung Wono berdegup kencang. Ia tak pernah tahu ada amplop seperti itu di rumahnya. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu dan menemukan selembar surat yang ditulis dengan tinta biru yang mulai memudar. Surat itu berisi pesan singkat dari Sasmaya, ditulis beberapa hari sebelum kecelakaan itu terjadi. Isinya sederhana, namun setiap kata terasa seperti pelukan yang hangat:
“Wono, anakku, jika suatu hari Ibu tak lagi di sisimu, ingatlah bahwa Ibu selalu mencintaimu. Jangan pernah berhenti melukis, karena di situlah hatimu hidup. Ibu percaya, kau akan menemukan jalanmu sendiri.”
Wono memegang surat itu erat-erat, seolah takut surat itu akan lenyap. Air matanya akhirnya jatuh, membasahi kertas yang rapuh. Surat itu seperti suara Sasmaya yang kembali memanggilnya, mengingatkannya pada kasih sayang yang tak pernah pudar, meski waktu telah memisahkan mereka. Malam itu, Wono tak bisa tidur. Ia duduk di beranda, memandangi langit yang penuh bintang, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa ada secercah harapan di hatinya. Mungkin, di antara rindu yang menyakitkan itu, ada cara untuk melanjutkan hidup—untuk menghidupkan kembali mimpi-mimpi yang pernah ibunya titipkan kepadanya.
Namun, di balik harapan itu, ada rahasia lain yang belum Wono ketahui. Surat itu bukan satu-satunya peninggalan Sasmaya. Di suatu tempat di desa itu, ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan mengubah cara Wono memandang ibunya dan masa lalunya. Dan perjalanan untuk menemukan kebenaran itu baru saja dimulai.
Jejak di Balik Kotak Kayu
Hari-hari setelah menemukan surat Sasmaya, Wono merasa seperti hidup di antara dua dunia: dunia nyata yang penuh dengan rutinitas desa dan dunia kenangan yang terus memanggilnya kembali ke masa lalu. Setiap pagi, ia bangun dengan perasaan yang sama: rindu yang bercampur dengan keinginan untuk memahami lebih dalam tentang ibunya. Surat itu, meski singkat, telah membuka pintu ke pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ia pendam. Mengapa Sasmaya menulis surat itu? Apakah ia tahu bahwa ajalnya sudah dekat? Dan mengapa surat itu tersembunyi begitu lama di bawah tumpukan buku?
Desa Cempaka Wulan tetap berjalan seperti biasa. Para petani masih berangkat ke sawah sebelum fajar, anak-anak masih berlarian di jalan-jalan tanah, dan suara adzan dari masjid kecil di tengah desa masih menggema setiap waktu salat tiba. Namun, bagi Wono, desa ini kini terasa seperti teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang selama ini ia abaikan: tatapan penuh makna dari Mbok Sari di pasar, bisik-bisik tetangga saat ia lewat, dan bahkan kotak kayu tua di kios Mbok Sari yang seolah menyimpan rahasia.
Pagi itu, Wono memutuskan untuk kembali ke pasar. Ia ingin berbicara dengan Mbok Sari, meski ia tahu wanita tua itu tak pernah banyak bicara soal Sasmaya. Dengan buku sketsa di tangan dan surat Sasmaya di saku bajunya, Wono berjalan menyusuri jalan tanah yang masih basah oleh embun. Pasar sudah mulai ramai ketika ia tiba. Bau ikan segar, rempah-rempah, dan asap dari tungku-tungku kecil pedagang makanan menciptakan aroma khas yang begitu akrab baginya. Di sudut pasar, kios Mbok Sari berdiri sederhana, dengan tumpukan sayuran dan kain batik yang tersusun rapi. Kotak kayu tua itu masih ada di sudut, seperti penjaga bisu yang setia.
Wono mendekati kios itu dengan langkah ragu. Mbok Sari, dengan rambut putih yang diikat konde dan wajah penuh keriput, sedang menata dagangannya. Ia mengangkat kepala saat melihat Wono, dan matanya yang kecil menyipit, seolah mencoba membaca niat pemuda itu. Wono mengangguk sopan, lalu menunjuk kotak kayu di sudut kios.
“Mbok, kotak itu… masih punya Ibu, kan?” tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara keriuhan pasar.
Mbok Sari berhenti sejenak, memandang Wono dengan tatapan yang sulit diartikan. “Itu peninggalan Sasmaya. Aku cuma menjaganya,” jawabnya singkat, lalu kembali menata dagangannya.
Wono tak menyerah. Ia mengeluarkan surat dari saku bajunya dan menunjukkannya kepada Mbok Sari. “Aku menemukan ini di rumah. Ibu pernah menulis ini untukku. Aku… aku ingin tahu lebih banyak tentang Ibu. Apakah Mbok tahu sesuatu?”
Mbok Sari memandang surat itu lama, seolah kertas itu membawa kenangan yang berat. Ia menghela napas panjang, lalu berjalan menuju kotak kayu itu. Dengan tangan yang gemetar, ia mengambil kotak itu dan meletakkannya di atas meja. “Kotak ini bukan cuma tempat menyimpan uang dagangan,” katanya pelan. “Sasmaya pernah bilang, kalau sesuatu terjadi padanya, kotak ini harus diberikan kepadamu. Tapi… aku ragu. Kau masih terlalu muda saat itu, dan aku takut kau tak bisa menangani apa yang ada di dalamnya.”
Jantung Wono berdegup kencang. Ia tak pernah menduga bahwa kotak kayu sederhana itu menyimpan sesuatu yang begitu penting. Dengan hati-hati, Mbok Sari membuka kotak itu, memperlihatkan isinya: beberapa lembar kertas tua, sebuah liontin kecil berbentuk bunga cempaka, dan sebuah buku catatan kecil yang tampak usang. Wono meraih buku catatan itu dengan tangan gemetar. Di sampulnya, tertulis nama Sasmaya dengan tulisan tangan yang sama seperti di suratnya.
Malam itu, di bawah lampu minyak di beranda rumahnya, Wono membuka buku catatan itu. Setiap halaman penuh dengan tulisan tangan Sasmaya, bercerita tentang hidupnya, mimpinya, dan rahasia yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun, termasuk Wono. Ia menulis tentang masa mudanya, tentang perjuangannya membesarkan Wono sendirian setelah ayah Wono meninggal saat ia masih bayi, dan tentang sebuah rahasia besar: Sasmaya pernah menjadi bagian dari sebuah kelompok seniman rahasia di desa itu, yang menyimpan karya-karya mereka di sebuah tempat tersembunyi di hutan dekat desa.
Wono tertegun. Ia tak pernah tahu ibunya memiliki sisi seperti itu. Dalam buku catatan itu, Sasmaya juga menulis tentang sebuah lukisan yang ia ciptakan, sebuah karya yang ia anggap sebagai puncak dari hidupnya. Lukisan itu, menurut catatannya, disembunyikan di suatu tempat di hutan, bersama karya-karya seniman lain. Sasmaya menulis bahwa ia ingin Wono suatu hari menemukan lukisan itu, karena di dalamnya terkandung semua cinta dan harapannya untuk anaknya.
Malam semakin larut, tapi Wono tak bisa berhenti membaca. Setiap kata dalam buku catatan itu seperti membuka jendela ke jiwa Sasmaya, ke sisi ibunya yang tak pernah ia kenal sepenuhnya. Ia merasa campur aduk antara kagum, sedih, dan marah. Mengapa ibunya tak pernah menceritakan ini semua kepadanya? Mengapa ia harus mengetahui semua ini setelah ibunya tiada?
Keesokan harinya, Wono memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang kelompok seniman yang disebutkan dalam buku catatan itu. Ia mulai dengan mengunjungi Pak Joko, seorang tetua desa yang dikenal sebagai pelukis tua yang kini hidup menyendiri di pinggir hutan. Pak Joko adalah sosok yang misterius, dengan wajah penuh keriput dan mata yang selalu tampak melihat jauh ke masa lalu. Rumahnya, sebuah gubuk kecil yang dikelilingi tanaman liar, penuh dengan kanvas-kanvas tua yang berdebu.
Wono mengetuk pintu gubuk itu dengan ragu. Ketika Pak Joko membuka pintu, ia memandang Wono dengan tatapan yang penuh curiga. “Kau anak Sasmaya, bukan?” tanyanya tanpa basa-basi.
Wono mengangguk, lalu menunjukkan buku catatan Sasmaya. “Aku menemukan ini. Ibu menulis tentang kelompok seniman… dan sebuah lukisan. Apa yang Pak Joko tahu tentang ini?”
Pak Joko menghela napas panjang, lalu mengundang Wono masuk. Di dalam gubuk, aroma cat minyak dan kayu tua memenuhi udara. Pak Joko mulai bercerita tentang masa lalu, tentang kelompok seniman yang dulu aktif di desa itu. Mereka adalah sekelompok orang yang mencintai seni, tapi harus menyembunyikan karya mereka karena dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai desa saat itu. Sasmaya, menurut Pak Joko, adalah salah satu yang paling berbakat. Lukisannya penuh dengan emosi, menceritakan kisah-kisah yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
“Lukisan yang kau cari itu ada di hutan, di sebuah gua kecil yang kami gunakan sebagai tempat persembunyian,” kata Pak Joko. “Tapi kau harus berhati-hati. Tempat itu bukan cuma menyimpan lukisan, tapi juga kenangan… dan mungkin rahasia yang lebih besar.”
Wono pulang ke rumah dengan pikiran yang kalut. Ia tak tahu apakah ia siap untuk menghadapi apa yang ada di hutan itu. Tapi satu hal yang pasti: ia ingin menemukan lukisan ibunya, ingin melihat apa yang begitu penting sehingga Sasmaya menyembunyikannya dari dunia. Malam itu, ia duduk di beranda, memandangi liontin bunga cempaka yang ditemukannya di kotak kayu. Liontin itu terasa hangat di tangannya, seolah membawa kehadiran Sasmaya kembali ke sisinya.
Perjalanan Wono baru saja dimulai. Hutan itu, dengan segala rahasianya, menunggunya. Dan di balik lukisan itu, ada kebenaran yang akan mengubah segalanya—tentang ibunya, tentang dirinya sendiri, dan tentang cinta yang tak pernah benar-benar pergi.
Hutan yang Berbisik
Pagi di Desa Cempaka Wulan pada tahun 2024 masih membawa aroma tanah basah dan embun yang menempel di dedaunan. Sarwono, atau Wono, bangun dengan perasaan yang bercampur antara tekad dan ketakutan. Buku catatan Sasmaya, liontin bunga cempaka, dan cerita Pak Joko tentang gua di hutan telah mengubah caranya memandang dunia. Hutan yang selama ini hanya ia lewati sebagai jalan pintas menuju sawah kini terasa seperti labirin yang menyimpan jawaban atas rindu yang selama ini menggerogotinya. Ia ingin menemukan lukisan ibunya, ingin melihat apa yang begitu berharga sehingga Sasmaya menyembunyikannya dari dunia, termasuk dari anaknya sendiri.
Wono berdiri di beranda rumahnya, memandangi horizon tempat sawah bertemu dengan garis hutan yang lebat. Pohon-pohon kelapa berdiri tegak, daunnya bergoyang pelan ditiup angin pagi. Di tangannya, ia memegang buku catatan Sasmaya, yang halaman-halaman kuningnya penuh dengan tulisan tangan ibunya yang rapi namun penuh emosi. Di salah satu halaman, Sasmaya menulis tentang gua itu: sebuah tempat tersembunyi di balik air terjun kecil, di mana kelompok seniman menyimpan karya-karya mereka. “Di sana, aku menyimpan hatiku,” tulis Sasmaya. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Wono, seperti mantra yang mendorongnya untuk melangkah, meski kakinya terasa berat.
Ia mempersiapkan diri dengan sederhana: sebuah ransel tua milik ayahnya yang sudah usang, berisi buku sketsa, pensil, senter, sebotol air, dan liontin bunga cempaka yang ia masukkan ke saku bajunya. Sebelum berangkat, ia berhenti di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya yang tirus dan matanya yang cokelat tua memandang kembali, seolah mencerminkan keraguan yang masih tersisa. “Bu, apa yang akan aku temukan di sana?” gumamnya pelan, seolah Sasmaya bisa mendengarnya dari alam lain.
Perjalanan menuju hutan dimulai saat matahari baru saja naik. Wono menyusuri jalan setapak yang membelah sawah, melewati petak-petak padi yang mulai menguning dan genangan air yang memantulkan langit biru. Burung-burung kecil beterbangan di atas kepalanya, dan sesekali ia mendengar suara katak dari rawa-rawa kecil di pinggir jalan. Hutan itu terletak di ujung desa, di mana tanah mulai menanjak dan vegetasi menjadi lebih lebat. Pohon-pohon jati dan mahoni menjulang tinggi, dengan akar-akar besar yang mencuat dari tanah seperti tangan-tangan raksasa. Di antara pepohonan, sinar matahari hanya masuk dalam semburat-semburat kecil, menciptakan pola bayang yang menari di tanah.
Wono mengikuti petunjuk dari buku catatan Sasmaya, yang menyebutkan sebuah pohon beringin tua sebagai penanda masuk ke jalur menuju air terjun. Ia menemukan pohon itu setelah berjalan selama satu jam: sebuah beringin raksasa dengan akar gantung yang menjuntai seperti tirai alami. Di bawah pohon itu, ia menemukan tanda kecil yang diukir di batangnya—sebuah simbol bunga cempaka yang hampir tak terlihat karena ditumbuhi lumut. Jantung Wono berdegup kencang. Ia tahu ia berada di jalur yang benar.
Jalur menuju air terjun semakin sulit. Tanah menjadi licin karena lumut dan akar-akar pohon yang berserakan. Wono harus berhati-hati agar tak tersandung. Suara air mulai terdengar, samar pada awalnya, lalu semakin jelas seiring ia mendekat. Bau tanah basah bercampur dengan aroma dedaunan yang segar memenuhi udaranya. Ketika ia akhirnya sampai di air terjun, pemandangan itu membuatnya terpana. Air terjun itu kecil, mungkin hanya setinggi sepuluh meter, tapi airnya jernih, mengalir dengan lembut ke kolam kecil di bawahnya. Batu-batu besar yang ditumbuhi lumut mengelilingi kolam, dan sinar matahari yang masuk melalui celah-celah pohon menciptakan pelangi kecil di sela-sela kabut air.
Wono membuka buku catatan Sasmaya lagi. Di salah satu halaman, ada sketsa kasar dari air terjun ini, dengan anak panah yang menunjuk ke sebuah celah di antara dua batu besar di sisi kiri air terjun. Wono mendekati celah itu, meraba-raba dinding batu yang dingin dan basah. Di balik celah itu, ia menemukan sebuah lorong sempit yang tersembunyi oleh semak-semak. Dengan senter di tangan, ia masuk ke dalam lorong itu, merasa jantungnya berdetak semakin kencang. Lorong itu gelap dan pengap, dengan bau tanah dan lumut yang menyengat. Dindingnya kasar, penuh dengan akar-akar kecil yang menjalar seperti urat nadi.
Setelah beberapa menit berjalan dalam kegelapan, lorong itu membuka ke sebuah gua kecil. Cahaya dari senter Wono memantul di dinding gua, memperlihatkan tumpukan kanvas tua yang disusun rapi di sudut. Ada juga beberapa peti kayu yang sudah lapuk, beberapa alat lukis yang berkarat, dan sebuah meja kecil yang penuh debu. Wono mendekati tumpukan kanvas itu, tangannya gemetar saat ia mengambil salah satunya. Kanvas itu memperlihatkan lukisan pemandangan desa dengan warna-warna lembut, tapi ia tahu itu bukan karya Sasmaya. Ia terus mencari, menggeser kanvas demi kanvas, hingga akhirnya ia menemukan satu lukisan yang membuatnya terpaku.
Lukisan itu besar, hampir seukuran tubuhnya, dan dilindungi oleh kain tua yang sudah compang-camping. Ketika Wono membuka kain itu, ia merasa napasnya terhenti. Lukisan itu memperlihatkan seorang anak kecil yang sedang melukis di beranda rumah, dengan seorang perempuan yang berdiri di belakangnya, tersenyum lembut. Anak itu adalah Wono kecil, dan perempuan itu adalah Sasmaya. Warna-warna dalam lukisan itu begitu hidup: kuning lembut matahari pagi, hijau sawah di kejauhan, dan biru langit yang memantul di mata Sasmaya. Di sudut kanvas, ada tulisan kecil dengan tangan Sasmaya: “Untuk Wono, hatiku yang selalu melukis.”
Wono merasa air matanya mengalir tanpa ia sadari. Ia menyentuh lukisan itu, merasakan tekstur cat yang sudah mengering bertahun-tahun lalu. Setiap goresan kuas seolah bercerita tentang cinta Sasmaya, tentang mimpinya untuk anaknya, tentang harapan yang ia titipkan dalam setiap warna. Wono duduk di lantai gua, memeluk lukisan itu, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia menangis dengan suara yang keras, seolah semua rindu dan rasa sakit yang selama ini ia pendam akhirnya pecah.
Namun, di tengah emosinya, Wono menyadari ada sesuatu di balik lukisan itu. Ia membalikkan kanvas dan menemukan sebuah amplop kecil yang ditempel di bagian belakang. Dengan tangan yang masih gemetar, ia membuka amplop itu dan menemukan selembar kertas dengan tulisan tangan Sasmaya. Kertas itu berisi petunjuk baru: sebuah peta kecil yang menunjukkan lokasi lain di hutan, di mana Sasmaya menyimpan “harta terakhirnya.” Wono tak tahu apa yang dimaksud, tapi ia merasa ada sesuatu yang lebih besar menunggunya, sesuatu yang akan membawanya lebih dekat pada ibunya.
Hari itu, Wono memutuskan untuk tidak langsung kembali ke desa. Ia ingin menjelajahi hutan lebih jauh, mengikuti peta itu. Peta itu membawanya ke sebuah pohon kelapa tua yang berdiri sendirian di tengah hutan, dengan akar-akarnya yang mencuat dari tanah seperti tangan yang merangkul. Di bawah pohon itu, Wono menemukan sebuah peti kayu kecil yang terkubur setengah di dalam tanah. Dengan hati-hati, ia menggalinya dan membuka peti itu. Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku harian lain milik Sasmaya, beberapa sketsa tua, dan sebuah kotak kecil yang berisi cincin sederhana dengan batu kecil berwarna biru.
Buku harian itu berbeda dari yang pertama. Jika buku catatan sebelumnya penuh dengan cerita tentang seni dan mimpinya, buku harian ini lebih personal, penuh dengan curahan hati Sasmaya tentang perjuangannya sebagai ibu tunggal, tentang rasa takutnya bahwa ia tak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Wono, dan tentang cintanya yang begitu besar untuk anaknya. Di halaman terakhir, Sasmaya menulis: “Wono, jika kau menemukan ini, ketahuilah bahwa Ibu tak pernah ingin meninggalkanmu. Cincin ini adalah janjiku padamu, bahwa cinta Ibu akan selalu ada, di mana pun kau berada.”
Wono memegang cincin itu erat-erat, merasakan dinginnya logam di tangannya. Ia tak tahu bagaimana Sasmaya bisa menyembunyikan semua ini, bagaimana ibunya bisa menjalani hidup dengan begitu banyak rahasia. Tapi satu hal yang ia tahu: setiap benda yang ia temukan—lukisan, buku harian, cincin—adalah bagian dari Sasmaya yang ingin tetap hidup untuknya. Malam itu, saat ia kembali ke desa dengan membawa lukisan dan peti kecil itu, Wono merasa lebih dekat dengan ibunya daripada sebelumnya. Namun, di balik semua penemuan itu, ia juga merasa ada sesuatu yang belum selesai, sebuah rahasia terakhir yang masih tersembunyi.
Pelukan di Ujung Rindu
Kembali di Desa Cempaka Wulan, malam menyelimuti desa dengan keheningan yang hanya dipecah oleh suara jangkrik dan angin yang bertiup pelan. Wono duduk di beranda rumahnya, ditemani lampu minyak yang berkedip-kedip. Di depannya, lukisan Sasmaya berdiri tegak, bersandar pada dinding kayu yang sudah tua. Cahaya lampu memantul pada warna-warna lukisan itu, membuat wajah Sasmaya dalam kanvas itu seolah hidup kembali. Wono memandang lukisan itu lama, seolah mencoba menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang masih menggantung di hatinya. Buku harian kedua, cincin, dan sketsa-sketsa tua tergeletak di sampingnya, masing-masing membawa potongan kenangan yang membuatnya merasa semakin dekat, namun juga semakin jauh dari ibunya.
Hari-hari setelah kembali dari hutan terasa seperti mimpi yang tak nyata. Wono menghabiskan waktu membaca ulang buku harian Sasmaya, mencoba memahami setiap kata, setiap emosi yang tersembunyi di balik tulisan tangan yang mulai memudar. Ia mulai menyadari bahwa Sasmaya bukan hanya ibunya, tapi juga seorang perempuan dengan mimpi, ketakutan, dan rahasia yang tak pernah ia bagikan. Buku harian itu menceritakan tentang masa muda Sasmaya, tentang bagaimana ia jatuh cinta dengan ayah Wono, seorang pelukis amatir yang meninggal terlalu cepat, tentang perjuangannya membesarkan Wono sendirian, dan tentang kelompok seniman yang menjadi tempat pelariannya dari kerasnya hidup.
Namun, ada satu halaman dalam buku harian itu yang membuat Wono tak bisa tidur. Sasmaya menulis tentang sebuah “hadiah terakhir” yang ia tinggalkan untuk Wono, sesuatu yang bukan hanya benda, tapi juga sebuah kebenaran tentang keluarga mereka. Ia menulis bahwa hadiah itu tersembunyi di “tempat di mana kita pertama kali belajar tentang cinta.” Wono bingung. Ia tak tahu tempat apa yang dimaksud Sasmaya. Apakah itu beranda rumah mereka, tempat mereka sering duduk bersama? Atau sungai tempat mereka memancing? Atau mungkin makam ayahnya, yang tak pernah Wono kunjungi karena terlalu kecil untuk mengingatnya?
Wono memutuskan untuk kembali ke Pak Joko, berharap tetua desa itu bisa memberikan petunjuk. Ia berjalan ke gubuk Pak Joko di pinggir hutan, membawa buku harian dan lukisan itu. Pak Joko, dengan wajahnya yang penuh keriput dan mata yang selalu tampak menyimpan rahasia, menyambut Wono dengan senyum tipis. Ketika Wono menunjukkan buku harian dan menceritakan tentang “hadiah terakhir,” Pak Joko mengangguk pelan, seolah sudah menduga pertanyaan itu.
“Sasmaya pernah bilang padaku tentang sesuatu yang ia tinggalkan untukmu,” kata Pak Joko, suaranya pelan namun penuh makna. “Tapi ia juga bilang, kau harus menemukannya sendiri. Tempat itu… itu adalah tempat yang paling berarti baginya, tempat di mana ia merasa paling utuh sebagai ibu.”
Wono merasa frustrasi, tapi ia tahu Pak Joko tak akan memberikan jawaban langsung. Ia pulang ke rumah dengan pikiran yang semakin kalut. Malam itu, ia duduk di beranda, memandangi lukisan Sasmaya dan mencoba mengingat setiap momen yang mereka habiskan bersama. Ia teringat malam-malam ketika Sasmaya mengajarinya melukis, bagaimana ibunya dengan sabar membimbing tangannya untuk menggoreskan kuas di kanvas. Ia teringat tawa Sasmaya yang lembut, aroma kemangi yang selalu ada di setiap masakan ibunya, dan pelukan hangat yang selalu membuatnya merasa aman.
Tiba-tiba, sebuah ingatan muncul di benaknya. Ada satu tempat yang selalu Sasmaya sebut sebagai “tempat kita belajar tentang cinta.” Itu adalah pohon mangga tua di depan rumah mereka, tempat mereka sering duduk bersama saat Wono masih kecil. Di bawah pohon itu, Sasmaya mengajarinya cara menggambar, menceritakan dongeng, dan berbicara tentang mimpi-mimpi mereka. Wono berlari ke luar, menuju pohon mangga itu, meski malam sudah larut dan hanya diterangi oleh cahaya bulan.
Di bawah pohon mangga, Wono mulai menggali tanah dengan tangan kosong, merasakan dinginnya tanah yang basah. Setelah beberapa menit, ia menemukan sebuah kotak logam kecil yang terkubur di antara akar-akar pohon. Dengan jantung berdegup kencang, ia membuka kotak itu dan menemukan sebuah surat, beberapa foto lama, dan sebuah sketsa kecil yang memperlihatkan Wono dan Sasmaya duduk di bawah pohon mangga. Surat itu ditulis dengan tangan Sasmaya, dengan tinta yang masih jelas meski kertasnya sudah menguning.
“Wono, anakku,” tulis Sasmaya. “Jika kau menemukan ini, berarti kau telah menempuh perjalanan panjang untuk memahami Ibu. Hadiah terakhir ini adalah kebenaran tentang keluarga kita. Ayahmu, yang kau pikir telah meninggal saat kau masih bayi, sebenarnya meninggalkan sesuatu untukmu. Ia adalah bagian dari kelompok seniman kami, dan ia meninggalkan sebuah lukisan yang ia ciptakan untukmu dan Ibu. Lukisan itu ada di rumah Mbok Sari, di loteng kiosnya. Temukan lukisan itu, Wono, dan kau akan mengerti cinta yang selalu menyatukan kita.”
Wono merasa dunianya berputar. Ayahnya, yang selama ini hanya ia kenal dari cerita Sasmaya, ternyata juga seorang seniman? Dan ada lukisan lain yang menunggunya? Keesokan paginya, ia berlari ke pasar, menuju kios Mbok Sari. Wanita tua itu sedang menyapu lantai kios ketika Wono tiba, napasnya tersengal-sengal. Tanpa banyak kata, ia menceritakan tentang surat itu dan meminta izin untuk memeriksa loteng kios.
Mbok Sari mengangguk pelan, lalu menunjukkan tangga kayu tua di belakang kios. Wono naik ke loteng, yang penuh dengan debu dan barang-barang tua. Di sudut loteng, ia menemukan sebuah kanvas besar yang ditutupi kain usang. Ketika ia membuka kain itu, ia melihat lukisan yang membuat hatinya terhenti. Lukisan itu memperlihatkan keluarga kecil: Sasmaya, ayah Wono, dan Wono yang masih bayi, duduk di bawah pohon mangga. Di sudut kanvas, ada tulisan kecil: “Untuk keluargaku, cinta yang tak pernah usai.”
Wono membawa lukisan itu ke rumah, menempatkannya di samping lukisan Sasmaya. Ia duduk di beranda, memandangi kedua lukisan itu, dan merasa air matanya mengalir lagi. Untuk pertama kalinya, ia merasa utuh. Ia merasa Sasmaya dan ayahnya ada di sisinya, melalui lukisan-lukisan itu, melalui cinta yang mereka tinggalkan untuknya. Rindu yang selama ini menyiksanya kini terasa seperti pelukan hangat, sebuah pengingat bahwa cinta mereka tak pernah benar-benar pergi.
Hari-hari berikutnya, Wono mulai melukis lagi. Ia mengambil inspirasi dari lukisan-lukisan orang tuanya, menciptakan karya-karya yang penuh dengan warna dan emosi. Desa Cempaka Wulan, yang selama ini terasa seperti penjara kenangan, kini menjadi kanvas baginya. Ia mulai mengajar anak-anak desa melukis, berbagi cerita tentang Sasmaya dan ayahnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia telah menemukan jalan yang ibunya inginkan untuknya.
Di bawah pohon mangga, di beranda rumahnya, Wono sering duduk memandangi langit malam. Ia tahu bahwa Sasmaya dan ayahnya sedang memandangnya dari tempat yang jauh, tersenyum melihat anak mereka yang akhirnya menemukan kedamaian. Rindu itu masih ada, tapi kini ia tak lagi menyakitkan. Ia telah menjadi bagian dari dirinya, sebuah kekuatan yang mendorongnya untuk terus melangkah, untuk terus melukis, dan untuk terus mencintai.
“Rindu yang Tak Pernah Padam” bukan sekadar cerpen, melainkan sebuah cerminan cinta abadi antara ibu dan anak yang mampu menginspirasi siapa saja untuk menghargai kenangan dan kasih sayang dalam hidup. Dengan narasi yang mendalam dan penuh emosi, cerpen ini mengajak Anda untuk merenungkan makna kehilangan, penem,Rindu yang Tak Pernah Padam akan membawa Anda pada perjalanan yang tak hanya menghibur, tetapi juga menyentuh jiwa. Jangan lewatkan kisah ini untuk menemukan kehangatan dalam setiap halaman yang penuh makna.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang “Rindu yang Tak Pernah Padam”! Semoga artikel ini menginspirasi Anda untuk menyelami cerpen ini dan merasakan sendiri keindahan kisahnya. Sampai jumpa di ulasan berikutnya, dan jangan lupa untuk terus mengeksplorasi cerita-cerita yang penuh makna bersama kami!


