Daftar Isi
“Rindu di Ujung Pelangi” adalah cerpen romansa yang memikat hati, mengisahkan perjalanan cinta Kayla dan Ezra yang diuji oleh jarak, luka masa lalu, dan harapan yang rapuh. Dengan detail narasi yang mendalam dan emosi yang menyentuh, cerita ini membawa pembaca ke desa kecil Sumber Rejo, tempat cinta mereka bertahan di tengah badai kehidupan. Artikel ini akan mengupas keindahan cerita, pesan emosionalnya, dan mengapa cerpen ini wajib dibaca oleh pecinta sastra romansa.
Rindu di Ujung Pelangi
Janji di Bawah Pohon Akasia
Matahari pagi itu bersinar lembut di sebuah desa kecil bernama Sumber Rejo, Jawa Tengah, menyelinap melalui celah-celah daun pohon akasia yang sudah tua. Di bawah pohon itu, Kayla duduk di atas akar yang menonjol, memandang ke arah sawah yang membentang hijau di depannya. Rambutnya yang panjang dan ikal dibiarkan tergerai, sesekali tertiup angin sepoi-sepoi yang membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam. Wajahnya yang manis dengan lesung pipi kecil di sisi kiri tampak muram, matanya yang cokelat muda berkaca-kaca, seolah menyimpan luka yang tak terucapkan.
Kayla, seorang gadis berusia 24 tahun, mengenakan kemeja putih sederhana dengan lengan digulung hingga siku, dipadukan dengan rok panjang berwarna krem yang sedikit kusut di ujungnya. Di tangannya, ia memegang sebuah buku tua berjudul Kisah untuk Gita karya Sutan Takdir Alisjahbana—buku yang dulu sering ia baca bersama Ezra, cinta pertamanya. Buku itu penuh coretan pensil di pinggir halaman, catatan-catatan kecil yang mereka tulis bersama: “Ezra bilang ini romantis banget” di halaman 32, atau “Kayla, kamu mirip Gita, keras kepala!” di halaman 87. Setiap coretan itu seperti pintu menuju masa lalu, membawa Kayla kembali ke empat tahun lalu, ketika hidupnya masih penuh warna.
Pohon akasia ini bukan sembarang pohon baginya. Di sini, di bawah naungan daun-daun yang bergoyang pelan, Ezra pernah berjanji padanya. Saat itu, mereka baru lulus SMA, duduk berdampingan di akar yang sama, memandang pelangi yang muncul setelah hujan reda. Ezra, dengan rambutnya yang sedikit berantakan dan senyumnya yang selalu membuat Kayla deg-degan, memegang tangannya erat. “Kay, kalau aku lulus kuliah dan punya kerjaan bagus, aku bakal balik ke sini. Kita nikah, ya? Kita bikin rumah kecil di deket sawah ini,” katanya, suaranya penuh keyakinan. Kayla hanya tertawa kecil, pipinya memerah, tapi hatinya penuh harap. “Janji, ya?” tanya Kayla, menatap mata Ezra yang cokelat tua. “Janji,” jawab Ezra, lalu mencium keningnya dengan lembut.
Tapi janji itu kini terasa seperti angin—hadir, lalu pergi tanpa jejak. Setelah Ezra pergi ke Yogyakarta untuk kuliah arsitektur, komunikasi mereka perlahan memudar. Awalnya, mereka masih sering telepon, mengirim pesan tentang keseharian mereka—Ezra cerita tentang dosennya yang galak, Kayla cerita tentang panen di desa. Tapi setahun kemudian, pesan Ezra semakin jarang. Telepon tak lagi dijawab, dan akun media sosialnya tiba-tiba menghilang. Kayla mencoba mencarinya, bahkan pernah pergi ke Yogyakarta dengan tabungan yang ia kumpulkan dari menjual kue di pasar, tapi Ezra seperti lenyap ditelan bumi.
Hari ini, Kayla kembali ke pohon akasia itu karena sebuah surat. Pagi tadi, saat ia membantu ibunya menyapu halaman, seorang tukang pos tua bernama Pak Sutejo datang membawa amplop cokelat sederhana dengan tulisan tangan yang langsung dikenali Kayla—tulisan Ezra. Jantungnya berdegup kencang saat membukanya. Isi surat itu singkat, tapi cukup untuk membuat dunia Kayla bergetar:
“Kay, aku di desa. Aku mau ketemu kamu di pohon akasia, jam 10 pagi. Aku minta maaf. – Ezra”
Kayla menatap jam tangan tua di pergelangan tangannya. Pukul 10:15. Ezra terlambat, atau mungkin ia tak akan datang sama sekali. Hatinya berkecamuk antara harapan dan ketakutan. Ia ingin memeluk Ezra, mendengar penjelasannya, tapi di saat yang sama, ia juga ingin berteriak, menanyakan mengapa ia ditinggalkan begitu saja. Air mata mulai menggenang di matanya, tapi ia buru-buru mengusapnya, tak ingin terlihat lemah jika Ezra benar-benar datang.
Angin bertiup lebih kencang, membawa daun-daun akasia berjatuhan di sekitar Kayla. Ia menutup buku di pangkuannya, jari-jarinya mengelus sampulnya yang sudah mulai mengelupas. “Ezra, kamu beneran bakal datang, kan?” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara angin.
Tiba-tiba, dari kejauhan, ia mendengar suara langkah kaki di atas tanah berkerikil. Kayla mendongak, jantungnya seperti berhenti berdetak. Seorang pria tinggi dengan jaket denim tua berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi pasti. Rambutnya masih berantakan seperti dulu, tapi wajahnya lebih tirus, dan matanya—mata yang dulu penuh semangat—kini menyimpan penyesalan yang dalam. Itu Ezra.
“Kayla…” panggilnya, suaranya serak, penuh emosi.
Kayla bangkit, tangannya gemetar. Ia ingin berlari memeluknya, tapi kakinya terasa berat. Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya. “Ezra, kenapa kamu baru datang sekarang?” tanyanya, suaranya pecah, penuh campuran antara rindu dan luka.
Ezra berhenti beberapa langkah di depan Kayla, matanya tak sanggup menatap langsung ke mata gadis itu. “Aku… aku minta maaf, Kay. Aku harus ceritain semuanya,” katanya, suaranya bergetar.
Pagi itu, di bawah pohon akasia yang menjadi saksi janji mereka, Kayla bersiap mendengar kebenaran yang selama ini ia tunggu—kebenaran yang mungkin akan menyembuhkan, atau justru menghancurkan hatinya lebih dalam.
Luka yang Tersimpan
Angin pagi di desa Sumber Rejo masih bertiup lembut, membawa aroma bunga akasia yang manis bercampur dengan tanah basah. Kayla berdiri di bawah pohon akasia tua, tubuhnya terasa kaku, seolah tak siap menerima apa yang akan Ezra katakan. Matanya yang cokelat muda berkaca-kaca, air mata yang ia usap tadi kini kembali mengalir pelan di pipinya, meninggalkan jejak basah yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Kemeja putihnya sedikit kusut, rok kremnya bergoyang pelan tertiup angin, dan tangannya mencengkeram buku Kisah untuk Gita dengan erat, seolah buku itu adalah satu-satunya yang menahannya agar tidak runtuh.
Ezra berdiri beberapa langkah di depannya, jaket denim tuanya tampak usang, seolah telah menemani perjalanan panjang yang penuh liku. Rambutnya yang pendek dan sedikit berantakan dulu selalu membuat Kayla tersenyum, tapi kini wajahnya yang tirus dan matanya yang penuh penyesalan membuat Kayla merasa asing. Ezra tak lagi seperti pemuda ceria yang dulu sering mencuri pandang ke arahnya saat mereka belajar bersama di balai desa. Pria di depannya ini terlihat seperti seseorang yang telah kehilangan banyak hal—mungkin termasuk dirinya sendiri.
“Kay, duduk dulu, yuk,” kata Ezra, suaranya serak, penuh beban. Ia menunjuk akar pohon akasia yang dulu sering mereka duduki bersama. Tapi Kayla menggeleng pelan, tubuhnya tetap teguh berdiri, seolah tak ingin mengulang kenangan itu sekarang. “Nggak, Ezra. Aku mau dengerin semuanya sekarang. Kenapa kamu ninggalin aku? Kenapa kamu nggak pernah kasih kabar?” tanya Kayla, suaranya bergetar, penuh campuran antara amarah dan rindu yang telah ia pendam selama empat tahun.
Ezra menghela napas panjang, tangannya masuk ke saku jaket, seolah mencari kekuatan untuk berkata. Ia akhirnya duduk di akar pohon itu, menatap tanah di bawahnya, seolah tak sanggup menatap langsung ke mata Kayla. “Aku… aku nggak ninggalin kamu karena aku mau, Kay,” katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara angin. “Aku… aku kena masalah besar di Yogya.”
Kayla mengerutkan kening, hatinya berdegup kencang. “Masalah apa, Ez? Kamu bilang kamu kuliah, kamu bilang kamu baik-baik aja! Aku percaya semua kata-katamu, tapi kamu tiba-tiba hilang!” Suaranya meninggi, emosinya meluap, dan air mata yang ia tahan akhirnya jatuh lebih deras. Ia mengusap wajahnya dengan lengan kemeja, tapi itu tak cukup menghentikan tangisnya.
Ezra menunduk lebih dalam, tangannya mencengkeram lututnya sendiri, seolah menahan beban yang terlalu berat. “Aku… aku kecelakaan, Kay,” akunya akhirnya, suaranya penuh penyesalan. “Semester tiga, aku nabrak motor pas pulang dari kerja paruh waktu. Aku nyaris mati, Kay. Kaki kananku patah parah, dan aku koma selama sebulan.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah langit cerah. Kayla terdiam, mulutnya sedikit terbuka, tak tahu harus berkata apa. Ia ingin memeluk Ezra, ingin menghapus semua rasa sakit yang ia dengar dari nada suaranya, tapi ada bagian dirinya yang masih terluka, yang masih menuntut penjelasan lebih. “Tapi… tapi kenapa kamu nggak bilang apa-apa? Aku kan bisa ke sana, Ez! Aku kan bisa jagain kamu!” tanyanya, suaranya pecah, penuh campuran antara rasa bersalah dan kemarahan pada diri sendiri karena tak tahu apa-apa.
Ezra mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tersenyum—senyum yang pahit dan penuh luka. “Aku nggak mau kamu lihat aku kayak gitu, Kay. Aku nggak mau kamu lihat aku yang… yang nggak bisa apa-apa. Aku nggak bisa jalan selama setahun, aku harus operasi berkali-kali, dan kuliahku berantakan. Aku malu, Kay. Aku nggak mau jadi beban buat kamu.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Kayla. Ia melangkah maju, berlutut di depan Ezra, tangannya gemetar saat ia memegang lengan pria itu. “Ezra, kamu pikir aku peduli sama itu? Aku cuma butuh kamu bilang, cuma butuh tahu kamu masih ada! Aku… aku mikir kamu udah nggak cinta sama aku, aku mikir kamu nikah sama orang lain, atau… atau lebih buruk lagi!” Suaranya penuh isak, air matanya jatuh ke tanah, meninggalkan titik-titik kecil di atas rerumputan.
Ezra akhirnya menatap Kayla, matanya penuh penyesalan. Ia mengangkat tangan, ingin menyentuh wajah Kayla, tapi ia menahannya, takut gadis itu akan menolak. “Aku salah, Kay. Aku tahu aku salah. Aku cuma… aku cuma nggak mau kamu sia-siain hidupmu buat aku yang nggak pasti. Aku pikir, kalau aku pergi dari hidupmu, kamu bakal lebih bahagia.”
Kayla menggeleng keras, tangannya mencengkeram lengan Ezra lebih erat. “Bahagia? Ezra, aku nggak pernah bahagia sejak kamu pergi! Setiap hari aku ke sini, ke pohon ini, berharap kamu bakal balik. Aku baca buku ini berulang-ulang, nyanyi lagu-lagu yang kita suka, cuma buat ngerasa kamu masih ada!” Ia menunjuk buku Kisah untuk Gita yang kini tergeletak di tanah, sampulnya sedikit basah karena air matanya.
Ezra tak bisa menahan air matanya lagi. Ia menarik Kayla ke dalam pelukannya, memeluknya erat seperti dulu, seolah tak ingin kehilangan gadis itu lagi. “Maaf, Kay. Maaf aku bikin kamu ngerasa sendiri,” bisiknya, suaranya bergetar. Kayla membalas pelukan itu, menangis di dada Ezra, merasakan kehangatan yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Tapi di balik kehangatan itu, ada luka yang masih terasa—luka yang tak akan sembuh hanya dengan sebuah pelukan.
Matahari pagi kini naik lebih tinggi, sinarnya menyelinap melalui daun-daun akasia, menciptakan bayangan bergoyang di tanah. Di kejauhan, sawah hijau tampak berkilau karena embun pagi, dan suara burung-burung kecil terdengar seperti nyanyian yang lembut. Tapi bagi Kayla, dunia di sekitarnya terasa hening, hanya ada suara tangisnya dan detak jantung Ezra yang berdetak cepat di dadanya.
Setelah beberapa saat, Kayla melepaskan pelukan, mengusap wajahnya, dan menatap Ezra dengan mata yang penuh pertanyaan. “Ez, kamu sekarang… kamu baik-baik aja? Kaki kamu? Kuliah kamu?” tanyanya, suaranya masih parau karena menangis.
Ezra mengangguk pelan, menggulung celananya sedikit untuk memperlihatkan bekas luka operasi yang memanjang di kaki kanannya. “Aku udah bisa jalan lagi, meskipun nggak sebagus dulu. Kuliah… aku akhirnya lulus, tapi aku nggak jadi arsitek, Kay. Aku kerja di toko buku kecil di Yogya, sambil bantu adikku sekolah,” jelasnya, nadanya penuh kerendahan hati.
Kayla menatap bekas luka itu, jantungnya terasa perih membayangkan betapa sakitnya Ezra waktu itu. Tapi ada bagian dirinya yang masih bertanya-tanya: apakah mereka masih bisa melanjutkan cinta mereka setelah semua yang terjadi? Atau apakah luka ini terlalu dalam untuk disembuhkan?
Pagi itu, di bawah pohon akasia yang menjadi saksi bisu rindu mereka, Kayla dan Ezra mulai membuka lembaran baru—lembaran yang penuh dengan kebenaran, penyesalan, dan harapan yang rapuh.
Cahaya di Balik Retakan
Pagi di desa Sumber Rejo mulai beranjak menuju siang, matahari kini bersinar lebih terik, menyelinap melalui daun-daun akasia yang bergoyang pelan di atas Kayla dan Ezra. Udara terasa hangat, bercampur dengan aroma tanah kering dan rumput liar yang mulai menguning di tepi sawah. Kayla duduk di akar pohon akasia, jaraknya sedikit dari Ezra, tangannya masih memegang buku Kisah untuk Gita yang kini tergeletak di pangkuannya, sampulnya sedikit basah karena air matanya tadi. Kemeja putihnya yang sedikit kusut kini terasa lengket di kulitnya, dan rok kremnya masih bergoyang pelan tertiup angin. Matanya yang cokelat muda menatap Ezra dengan campuran rasa ingin tahu dan ketakutan, menunggu kelanjutan cerita yang baru saja ia dengar.
Ezra duduk di sampingnya, kakinya yang kanan tampak sedikit kaku saat ia mencoba mengatur posisinya. Jaket denim tuanya terbuka, memperlihatkan kaos polos yang sedikit usang, dan tangannya yang kasar—mungkin karena kerja keras di toko buku—beristirahat di pangkuannya. Bekas luka operasi di kaki kanannya masih terlihat samar di bawah celananya yang digulung, dan wajahnya yang tirus kini menunjukkan ekspresi campur aduk—penyesalan, harap, dan sedikit rasa malu. Ia menghela napas dalam, seolah mencari keberanian untuk melanjutkan ceritanya.
“Kay, setelah kecelakaan itu, hidupku benar-benar berubah,” kata Ezra pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin. “Aku nggak cuma kehilangan kemampuan jalan sementara, tapi juga harapan buat jadi arsitek. Dokter bilang aku harus rehab lama, dan biayanya… biayanya jauh di luar jangkauan keluargaku. Ayahku akhirnya jual sawah kecil kita buat bayar operasi pertama, dan ibuku mulai jahit di malam hari buat tambah penghasilan.”
Kayla mendengarkan dengan hati yang bergetar. Ia membayangkan keluarga Ezra, yang dulu hidup sederhana tapi penuh tawa, kini harus berjuang mati-matian. Ia ingat ibu Ezra, Bu Sari, yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat dan kue lumpur buatannya, atau ayah Ezra, Pak Joko, yang sering mengajarinya memancing di sungai. Air matanya kembali menggenang, tapi ia menahannya, ingin mendengar lebih banyak.
“Terus, kenapa kamu nggak bilang apa-apa sama aku?” tanya Kayla, suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu. “Aku kan bisa bantu, Ez. Aku bisa kerja, aku bisa—”
Ezra menggeleng cepat, memotong kata-kata Kayla. “Nggak, Kay. Aku nggak mau kamu ikut susah. Aku tahu keluargamu juga nggak punya banyak. Ayahmu sakit, ibumu cuma jualan sayur di pasar, dan kamu… kamu punya mimpi buat kuliah. Aku nggak mau aku jadi alasan kamu nyia-nyiain itu semua.”
Kayla menunduk, tangannya menggenggam buku lebih erat. Ia ingat mimpinya dulu—ingin jadi guru bahasa Indonesia, mengajar di sekolah desa, dan membantu anak-anak seperti dirinya yang tak punya banyak kesempatan. Tapi setelah Ezra pergi, motivasinya hilang, dan ia malah membantu ibunya di pasar setiap hari, menabung sedikit demi sedikit untuk biaya kuliah yang tak kunjung tercapai. “Tapi aku nggak bahagia, Ez,” katanya pelan, suaranya bergetar. “Aku ngerasa kehilangan bagian dari diriku sejak kamu pergi.”
Ezra menatap Kayla, matanya penuh rasa bersalah. Ia mengulurkan tangan, ragu-ragu, lalu akhirnya memegang tangan Kayla dengan lembut. Tangan kasarnya kontras dengan kulit halus Kayla, dan kehangatan itu membuat hati Kayla bergetar. “Aku tahu, Kay. Aku salah. Aku pikir kalau aku hilang dari hidupmu, kamu bakal lupa aku dan cari kebahagiaan lain. Tapi aku salah besar. Aku malah ngerasa hampa tanpa kamu,” katanya, suaranya penuh emosi.
Kayla menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Terus, kenapa kamu balik sekarang? Apa yang bikin kamu berani ketemu aku lagi?” tanyanya, matanya meneliti wajah Ezra, mencari jawaban di balik tatapan pria itu.
Ezra menghela napas, tangannya yang memegang Kayla sedikit mengencang. “Aku… aku denger kabar dari ibuku. Dia bilang kamu masih nunggu aku, masih ke pohon ini setiap minggu. Aku nggak tahan lagi, Kay. Aku kerja keras buat sembuh, buat bisa jalan lagi, dan aku tabung uang dari toko buku buat balik ke sini. Aku… aku mau nyoba baikin semua, kalau kamu masih mau nerima aku.”
Kata-kata itu membuat hati Kayla bergetar. Ia menarik tangannya perlahan, berdiri, dan berjalan beberapa langkah menjauh dari Ezra. Ia memandang ke arah sawah, matahari siang yang terik menciptakan pantulan di permukaan air yang tenang. Di dalam hatinya, ada perang batin—bagian dirinya ingin memeluk Ezra, memaafkannya, dan memulai lagi. Tapi bagian lain masih terluka, masih takut kehilangan lagi.
“Ezra, aku… aku nggak tahu,” katanya akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Aku masih cinta sama kamu, tapi aku takut. Takut kamu pergi lagi, takut aku nggak cukup kuat buat lewatin semua ini lagi. Aku butuh waktu, Ez.”
Ezra bangkit, meskipun dengan sedikit kesulitan karena kakinya, dan mendekati Kayla dari belakang. “Aku ngerti, Kay. Aku nggak akan maksa. Aku cuma minta kesempatan buat buktiin bahwa aku serius. Aku mau tinggal di desa ini, bantu ibuku di rumah, dan… kalau kamu mau, kita bisa mulai dari awal,” katanya, suaranya penuh harap.
Kayla menoleh, menatap Ezra dengan mata penuh emosi. Ia melihat ketulusan di wajah pria itu, tapi juga bekas luka yang sama seperti yang ia miliki. Di kejauhan, angin membawa suara tawa anak-anak yang bermain di tepi sawah, dan untuk pertama kalinya sejak lama, Kayla merasa ada sedikit cahaya di tengah kegelapan hatinya.
“Baiklah, Ez,” katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Tapi kita mulai pelan-pelan. Aku nggak mau janji besar lagi, cuma… cuma buktikan dulu.”
Ezra tersenyum, senyum kecil yang penuh haru, dan mengangguk. “Terima kasih, Kay. Aku janji, aku nggak akan kecewain kamu lagi.”
Siang itu, di bawah pohon akasia yang menjadi saksi rindu dan luka mereka, Kayla dan Ezra mulai melangkah menuju jalan baru—jalan yang penuh ketidakpastian, tapi juga penuh harapan yang rapuh. Di tangan Kayla, buku Kisah untuk Gita terbuka lagi, dan untuk pertama kalinya, ia merasa siap menulis cerita baru di halaman kosongnya.
Pelangi di Ujung Hujan
Pagi hari di desa Sumber Rejo, Senin, 19 Mei 2025, terasa segar setelah hujan deras semalam menyapu bersih debu di jalanan tanah. Jam menunjukkan pukul 10:47 WIB ketika Kayla berjalan perlahan menuju pohon akasia tua, langkahnya terdengar pelan di atas kerikil basah. Pakaiannya sederhana—kemeja putih yang sedikit longgar dan celana jeans biru tua—tampak basah di bagian bawah karena genangan air yang tak bisa dihindari. Rambut panjangnya yang ikal dibiarkan tergerai, beberapa helai menempel di pipinya karena uap panas yang naik dari tanah. Di tangannya, ia membawa buku Kisah untuk Gita, sampulnya kini lebih usang, tapi halaman-halaman di dalamnya telah ia isi dengan catatan baru selama beberapa bulan terakhir.
Sejak pertemuan terakhir dengan Ezra di bawah pohon akasia tiga bulan lalu, hidup Kayla berubah perlahan. Ezra memilih tinggal di desa, membantu ibunya menjahit dan sesekali bekerja di toko buku kecil yang ia dirikan di ujung desa. Kakinya yang masih sedikit kaku tak menghentikan semangatnya untuk membuktikan janjinya pada Kayla. Ia sering mengunjungi Kayla di rumahnya, membawakan bunga liar yang ia petik di tepi sawah atau buku-buku bekas yang ia temukan, dan mereka mulai menghabiskan waktu bersama—berbicara tentang hari ini, bukan hanya kenangan kemarin. Tapi hati Kayla masih penuh ragu, luka lama itu tak sepenuhnya sembuh, dan ia membutuhkan waktu untuk mempercayai lagi.
Hari ini, Ezra mengajak Kayla bertemu di pohon akasia lagi, dengan pesan singkat yang membuat jantungnya berdegup kencang: “Kay, aku punya kejutan buat kamu. Datang jam 10:45, ya.” Kayla tak tahu apa yang Ezra rencanakan, tapi ada perasaan campur aduk di dadanya—harap, takut, dan rindu yang tak pernah benar-benar pergi. Saat ia sampai di bawah pohon, ia terdiam. Di sana, Ezra berdiri dengan jaket denim tuanya, tapi kali ini ia memegang sebuah kotak kayu kecil yang diukir sederhana. Di sekitar akar pohon, ia telah menaburkan kelopak bunga kamboja yang masih segar, dan di tangannya yang lain, ia memegang seikat bunga liar yang biasanya ia bawa untuk Kayla.
“Kayla,” panggil Ezra, suaranya lembut tapi penuh kehangatan. Ia tersenyum, senyum yang dulu selalu membuat hati Kayla bergetar, tapi kini ada kedalaman baru di matanya—kedalaman yang datang dari pengalaman dan penyesalan yang telah ia lalui. “Terima kasih udah kasih aku kesempatan ini. Aku tahu aku nggak bisa hapusin luka yang aku bikin, tapi aku mau coba kasih kamu sesuatu yang baru.”
Kayla mendekat, matanya meneliti wajah Ezra. Ia melihat bekas luka di kaki kanannya yang kini tersembunyi di balik celananya, dan tangan kasarnya yang memegang kotak kayu itu dengan hati-hati. “Apa ini, Ez?” tanyanya, suaranya pelan, penuh rasa ingin tahu.
Ezra membuka kotak itu perlahan, memperlihatkan sebuah kalung sederhana dengan liontin berbentuk pelangi kecil yang terbuat dari kaca berwarna. Di sampingnya, ada surat lipat yang terlihat usang, tulisannya sudah memudar di beberapa bagian. “Ini… ini aku buat buat kamu,” kata Ezra, suaranya bergetar. “Aku mulai bikin kalung ini pas aku masih rehab, tiap malam aku ukir pelanginya, bayangin wajah kamu. Surat ini… ini surat yang aku tulis buat kamu waktu aku koma, tapi nggak pernah aku kirim. Aku pikir, mungkin sekarang saatnya kamu baca.”
Kayla mengambil kalung itu dengan tangan gemetar, jari-jarinya menyentuh liontin pelangi yang berkilau di bawah sinar matahari. Ia membuka surat itu, dan huruf-huruf yang tergores dengan pena hitam muncul di hadapannya:
“Kay, kalau kamu baca ini, berarti aku selamat. Aku minta maaf nggak bisa jaga janji kita. Aku takut, Kay. Takut aku nggak bisa jadi laki-laki yang kamu harapkan. Tapi aku cinta kamu, selalu. Kalau aku bangun, aku bakal balik ke kamu, dan aku bakal buktikan aku layak buat kamu.”
Air mata Kayla jatuh, membasahi kertas tua itu, membuat tinta memudar lebih jauh. Ia menatap Ezra, yang kini berlutut di depannya, matanya penuh harap. “Ezra… kenapa kamu nggak kirim ini?” tanyanya, suaranya pecah.
Ezra mengangguk, menunduk sejenak sebelum menatap Kayla lagi. “Aku takut kamu datang dan lihat aku dalam kondisi terburuk. Tapi sekarang, aku mau hadapin semuanya sama kamu. Kay, aku nggak bisa janji besar lagi, tapi aku janji aku bakal ada buat kamu, setiap hari, sampai aku nggak bisa lagi. Maukah kamu… maukah kamu kasih aku kesempatan buat jadi bagian hidupmu lagi?”
Kayla terdiam, tangannya memegang kalung pelangi itu erat. Di kejauhan, langit yang tadi kelabu kini mulai terbelah, menunjukkan warna-warni pelangi yang samar setelah hujan reda. Angin bertiup pelan, membawa suara tawa anak-anak yang bermain di tepi sawah, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Kayla merasa hatinya hangat. Ia mengangguk perlahan, air mata mengalir di pipinya, tapi kali ini penuh haru. “Iya, Ez. Aku mau. Tapi kita mulai dari nol, ya?”
Ezra tersenyum lebar, bangkit dengan sedikit kesulitan, dan memeluk Kayla erat. Kehangatan pelukan itu terasa berbeda—bukan lagi pelukan penuh janji kosong, tapi pelukan yang penuh pengertian dan kerja keras untuk masa depan. Ia mengambil kalung dari tangan Kayla, mengenakannya di leher gadis itu dengan hati-hati, dan mereka berdiri bersama di bawah pohon akasia, memandang pelangi yang semakin jelas di langit.
Di tangan Kayla, buku Kisah untuk Gita terbuka, dan ia mulai menulis di halaman kosong terakhir: “19 Mei 2025. Hari ini, aku nemuin Ezra lagi, dan kita mulai cerita baru di ujung pelangi.” Di dekatnya, Ezra mengambil pena dari tangannya, menambahkan tulisan kecil di samping: “Aku janji, Kay. Aku nggak akan pergi lagi.”
Pagi itu, di bawah pohon akasia yang telah menyaksikan rindu dan luka mereka, Kayla dan Ezra melangkah menuju masa depan—bukan dengan janji besar, tapi dengan langkah kecil yang penuh harap. Pelangi di langit menjadi saksi bisu bahwa cinta mereka, meski retak, kini menemukan cara untuk bersinar kembali.
“Rindu di Ujung Pelangi” bukan hanya cerita cinta biasa, melainkan perjalanan penyembuhan dan harapan yang menyentuh jiwa. Dengan alur yang penuh emosi dan akhir yang memikat, cerita ini mengajarkan kita tentang kekuatan cinta untuk menyatukan kembali yang terpisah. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca cerpen ini dan temukan inspirasi dari perjuangan Kayla dan Ezra yang penuh makna.