Rindu di Bangku Sekolah: Kisah Cinta dan Kehilangan yang Menyentuh Hati

Posted on

Pada suatu pagi yang dingin di bulan Mei 2021, di Desa Sukamaju yang dikelilingi pematang sawah dan bukit kecil, Dika seorang siswa kelas 11 SMA Harapan Desa berdiri di depan cermin kecil yang buram, merapikan seragamnya sambil bergulat dengan rindu mendalam akan ibunya yang telah tiada, hingga kehadiran Maya, teman sekelasnya yang lembut, perlahan membawa cahaya baru dalam hidupnya melalui kebersamaan di bawah pohon akasia, di tengah hujan, dan di lorong-lorong sekolah yang penuh kenangan.

Rindu di Bangku Sekolah

Bayangan Ibu di Pagi yang Sunyi

Aku masih ingat pagi itu, ketika matahari baru saja mengintip dari balik bukit kecil di belakang rumah. Udara di desa ini selalu terasa dingin, terutama di bulan Mei, ketika embun masih menempel di ujung-ujung rumput. Aku berdiri di depan cermin kecil yang sudah sedikit buram di sudut kamar, merapikan seragam SMA-ku yang agak kusut. Kancing baju yang paling atas susah dikaitkan, mungkin karena tanganku gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena aku tahu hari ini akan jadi hari yang berat. Ibu tak ada lagi di sampingku untuk membantu merapikan seragam, seperti yang biasa ia lakukan setiap pagi.

“Dika, jangan lupa sarapan, ya. Ibu masak nasi goreng kesukaanmu,” suara ibu seolah terdengar lagi di telingaku, meski aku tahu itu hanya bayangan. Sudah enam bulan sejak ibu pergi untuk selamanya, diambil oleh penyakit yang tak pernah ia ceritakan padaku. Aku masih ingat malam itu, ketika ia terbaring di ranjang rumah sakit, tangannya yang kurus memegang erat tanganku. “Jadi anak yang baik, ya, Dika. Ibu selalu sayang kamu,” katanya dengan suara yang lemah, tapi penuh cinta. Aku hanya bisa mengangguk, air mataku jatuh tanpa suara. Aku tak tahu itu adalah kata-kata terakhirnya.

Aku melangkah ke dapur, tempat yang kini terasa hampa tanpa aroma masakan ibu. Di atas meja, hanya ada sepiring nasi goreng yang aku masak sendiri tadi malam, dingin dan tak menggugah selera. Aku duduk, memandangi piring itu, dan tiba-tiba teringat kebiasaan ibu yang selalu menyisipkan sepotong telur dadar di samping nasi gorengku, meski aku sering bilang aku bukan anak kecil lagi. “Ibu tahu kamu suka telur, jadi makan yang banyak, ya,” katanya sambil tersenyum, matanya berbinar penuh kasih. Kini, meja itu kosong, hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah mengingatkanku bahwa waktu terus berjalan, meski hatiku terhenti di malam itu.

Aku menghela napas, memaksa diri untuk menyuap nasi itu. Aku harus kuat, aku tahu ibu pasti ingin melihatku melanjutkan hidup. Aku mengambil tas sekolahku, sebuah tas kain sederhana yang ibu jahit sendiri dua tahun lalu. Ada bordiran kecil di sudutnya, tulisan “Dika” dengan benang merah yang sedikit miring karena tangan ibu yang mulai gemetar saat itu. Aku mengelus bordiran itu, merasakan kehangatan yang dulu selalu ibu berikan. “Ibu, aku berangkat, ya,” gumamku pelan, meski aku tahu tak ada lagi yang akan menjawab, “Hati-hati, Nak.”

Jalan menuju sekolah terasa lebih panjang dari biasanya. Aku berjalan menyusuri pematang sawah, mendengar suara burung-burung kecil yang berkicau di sela-sela pohon bambu. SMA Harapan Desa, tempatku belajar, tak terlalu jauh dari rumah—hanya sekitar dua kilometer. Tapi hari ini, aku memilih berjalan lebih lambat, membiarkan pikiranku melayang. Aku teringat masa kecilku, ketika ibu sering mengantarku ke sekolah dasar dengan sepeda tua yang rodanya selalu berderit. “Ibu, cepetan, nanti aku telat!” keluhku dulu, tapi ibu hanya tertawa kecil, “Sabar, Nak. Yang penting kita sampai dengan selamat.”

Saat aku tiba di gerbang sekolah, lonceng pertama belum berbunyi. Halaman sekolah masih sepi, hanya ada beberapa siswa yang berjalan tergesa menuju kelas. Aku melangkah ke kelas 11 IPA 2, tempatku duduk di bangku paling belakang dekat jendela. Aku suka tempat itu, karena dari sana aku bisa melihat pohon akasia besar di tengah lapangan sekolah, pohon yang selalu jadi tempatku melamun. Aku meletakkan tas di atas meja, lalu menatap keluar jendela. Daun-daun akasia bergoyang perlahan ditiup angin, dan tiba-tiba aku teringat ibu lagi. Dulu, ibu pernah bilang, “Kalau kamu sedih, lihat pohon itu, Dika. Ia selalu berdiri tegak meski angin kencang, seperti kamu harus kuat meski hidup susah.”

Aku menunduk, mencoba menahan air-nya yang tiba-tiba terasa berat di dada. Aku merogoh saku seragamku, mengeluarkan sebuah foto kecil yang sudah agak kusut. Foto itu diambil saat aku masih SD, di mana aku berdiri di samping ibu, tersenyum lebar sambil memegang piala kecil dari lomba menggambar. Ibu memelukku erat, wajahnya penuh kebanggaan. Aku mengelus foto itu dengan jari, mataku mulai berkaca-kaca. “Ibu, aku kangen,” bisikku pelan, tak peduli jika ada yang mendengar.

Tiba-tiba, aku mendengar langkah kaki mendekat. Aku buru-buru menyeka air mataku, menyembunyikan foto itu kembali ke saku. Aku menoleh, dan di sana ada Maya, teman sekelasku yang selalu duduk di bangku depan. Maya adalah gadis pendiam dengan rambut panjang yang selalu dikuncir rapi. Matanya besar dan lembut, seperti mata rusa yang penuh kehangatan. “Pagi, Dika,” sapanya dengan suara kecil, hampir seperti bisikan. Aku mengangguk, berusaha tersenyum meski aku tahu senyumku pasti terlihat kaku. “Pagi, Maya,” balasku, suaraku sedikit serak.

Maya duduk di bangku depannya, tapi ia menoleh lagi ke arahku. “Kamu… baik-baik aja?” tanyanya, nadanya penuh perhatian. Aku terkejut, tak menyangka ia memperhatikan. Aku mengangguk cepat, tak ingin ia tahu apa yang kurasakan. “Iya, aku baik,” jawabku, tapi aku tahu ia tak begitu yakin. Maya hanya tersenyum kecil, lalu membuka bukunya, tapi matanya sesekali melirik ke arahku. Aku merasa ada kehangatan kecil di dadaku, sesuatu yang tak kurasakan sejak ibu pergi. Tapi aku cepat-cepat mengusir perasaan itu. Aku tak mau berharap terlalu banyak. Hidup sudah terlalu sering mengecewakanku.

Senyum Malu di Lorong Sekolah

Hari itu berjalan seperti biasa di SMA Harapan Desa, tapi entah kenapa aku merasa ada yang berbeda. Mungkin karena tatapan Maya tadi pagi yang seolah bisa melihat menembus dinding kesedihan yang selama ini aku bangun di sekitar hatiku. Aku duduk di bangku belakang, dekat jendela, memandang pohon akasia yang daun-daunnya bergoyang lembut ditiup angin siang. Guru matematika, Pak Budi, sedang menjelaskan rumus-rumus yang sama sekali tak bisa masuk ke kepalaku. Bukan karena aku tak mau belajar, tapi pikiranku terus melayang ke ibu, ke foto kecil di saku seragamku, dan… ke Maya.

Aku melirik ke arah Maya yang duduk di bangku depan, tepat di baris kedua dari meja guru. Rambutnya yang panjang dikuncir rapi dengan pita biru tua, dan ia sedang mencatat sesuatu dengan serius. Tangan kanannya memegang pensil dengan gerakan yang halus, seolah setiap goresan di bukunya adalah karya seni. Aku tak tahu kenapa, tapi aku suka melihat caranya menulis—tenang, teratur, seperti alunan lagu yang tak pernah salah nada. Tiba-tiba ia menoleh ke belakang, entah karena merasa ada yang memperhatikan atau hanya kebetulan. Matanya bertemu dengan mataku, dan aku buru-buru memalingkan wajah, pura-pura menatap pohon akasia di luar jendela. Jantungku berdegup kencang, dan aku merasa wajahku memanas. Apa yang aku lakukan, sih? Aku mengutuk diri sendiri dalam hati.

Setelah pelajaran selesai, lonceng istirahat berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar kelas, sebagian menuju kantin, sebagian lagi berkumpul di bawah pohon akasia untuk sekadar mengobrol. Aku memutuskan untuk tetap di kelas, tak ada mood untuk ramai-ramai. Aku mengeluarkan bekal yang aku bawa dari rumah—sepotong roti tawar dengan selai kacang yang aku oleskan tadi malam. Aku tahu rasanya tak akan seenak bekal yang dulu ibu siapkan, tapi aku tak punya pilihan. Aku menyuap roti itu perlahan, menatap meja kayu yang sudah penuh coretan-coretan tinta dari murid-murid sebelumnya. Ada sebuah tulisan kecil di sudut meja, “Jangan menyerah, hidup itu indah!” Aku tersenyum kecil, tapi senyum itu cepat hilang ketika aku teringat ibu lagi. Hidup memang indah, tapi kenapa rasanya begitu kosong tanpa ibu?

Aku terkejut ketika tiba-tiba sebuah buku catatan kecil diletakkan di atas mejaku. Aku menoleh, dan Maya berdiri di sana, membawa sebuah kotak bekal berwarna biru muda. “Dika, kamu nggak ke kantin?” tanyanya dengan suara yang lembut, hampir seperti bisikan. Aku menggeleng, sedikit bingung dengan kehadirannya yang tiba-tiba. “Nggak, aku… bawa bekal,” jawabku, menunjuk roti tawar di tanganku. Maya tersenyum kecil, tapi senyumnya kali ini terasa berbeda—ada sedikit rasa iba di matanya. “Oh, ya Tuhan, Dika, itu cuma roti tawar doang? Aku pikir kamu bawa nasi atau apa gitu,” katanya sambil terkekeh kecil, tapi aku tahu ia tak bermaksud mengejek.

Aku hanya mengangkat bahu, berusaha terlihat santai meski aku merasa sedikit malu. “Nggak apa-apa, lagian aku nggak terlalu lapar,” bohongku. Maya menggeleng pelan, lalu membuka kotak bekalnya. Aroma nasi kuning dengan potongan telur dadar dan ayam suwir langsung menguar, membuat perutku tiba-tiba keroncongan. Aku menelan ludah, berusaha menyembunyikan rasa lapar yang tiba-tiba muncul. “Makan bareng, yuk. Aku bawa banyak, kok. Ibu selalu masak berlebihan,” ajak Maya sambil mendorong kotak bekalnya ke arahku. Aku ragu sejenak, tapi matanya yang penuh keikhlasan membuatku tak bisa menolak.

Kami makan bersama di bangku itu, hanya berdua di kelas yang kini sepi. Aku menyuap nasi kuning itu perlahan, dan rasanya… seperti masakan ibu. Bumbunya sederhana, tapi ada kehangatan di setiap suapan, seperti pelukan ibu yang dulu selalu membuatku merasa aman. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang tiba-tiba menggenang di mataku. “Enak, ya?” tanya Maya, suaranya penuh harap. Aku mengangguk, tak berani menatapnya karena aku takut ia melihat mataku yang basah. “Iya, enak banget. Makasih, Maya,” jawabku, suaraku sedikit bergetar.

Setelah makan, Maya membantu merapikan sisa bekal, dan kami berjalan bersama ke lorong sekolah menuju tempat cuci piring kecil di dekat kantin. Lorong itu sepi, hanya ada suara langkah kami dan derit kayu tua di bawah lantai. Aku membawa kotak bekal Maya, sementara ia berjalan di sampingku, tangannya memegang buku catatan kecil yang tadi ia bawa. “Dika, aku boleh tanya sesuatu?” katanya tiba-tiba, suaranya ragu-ragu. Aku menoleh, sedikit terkejut. “Apa?” tanyaku, berusaha terdengar tenang meski aku merasa ada sesuatu yang berat di balik pertanyaannya.

Maya berhenti berjalan, lalu menatapku dengan mata yang penuh kelembutan. “Aku… tahu soal ibumu. Aku dengar dari Bu Guru waktu itu. Aku cuma mau bilang, kalau kamu butuh temen cerita, aku ada, ya,” katanya, nadanya tulus. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dadaku terasa sesak, tapi bukan karena sedih—ada kehangatan yang tiba-tiba mengalir, seperti angin sejuk di tengah terik. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan wajahku yang aku tahu pasti memerah. “Makasih, Maya. Aku… aku cuma butuh waktu,” jawabku pelan, suaraku hampir tak terdengar.

Maya tersenyum, tapi kali ini senyumnya malu-malu, seperti bunga yang baru mekar di pagi hari. “Aku ngerti, kok. Aku juga pernah kehilangan kakekku, orang yang paling deket sama aku. Jadi aku tahu rasanya,” katanya, lalu menunduk, jari-jarinya memainkan ujung buku catatannya. Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti. Aku ingin berkata lebih banyak, tapi aku tak tahu caranya. Aku hanya mengangguk, berusaha tersenyum meski aku tahu senyumku pasti terlihat kaku.

Kami melanjutkan perjalanan ke tempat cuci piring, dan saat Maya mencuci kotak bekalnya, aku berdiri di sampingnya, memandang air yang mengalir dari keran tua itu. Cahaya matahari siang menyelinap dari celah-celah atap, menyinari wajah Maya yang terlihat damai. Aku tak tahu kenapa, tapi saat itu aku merasa ada sesuatu yang berubah di dalam diriku—seperti ada secercah cahaya kecil yang mulai menyelinap ke dalam kegelapan yang selama ini menyelimuti hatiku.

Hujan di Bawah Pohon Akasia

Hari itu, langit Desa Sukamaju berubah lebih cepat dari biasanya. Sore yang seharusnya cerah tiba-tiba diselimuti awan kelabu tebal, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin ia bagi. Aku duduk di kelas, menatap keluar jendela, pohon akasia yang biasanya berdiri tegak kini tampak bergoyang ditiup angin yang semakin kencang. Pelajaran sejarah tengah berlangsung, tapi pikiranku tak fokus pada cerita Pak Hadi tentang perjuangan rakyat melawan penjajah. Aku malah memikirkan Maya—senyum malunya di lorong tadi pagi, cara ia menawarkan bekal nasi kuning, dan kata-kata tulusnya tentang kehilangan kakeknya. Ada sesuatu di dalam diriku yang mulai bergetar, seperti dawai gitar yang disentuh pelan, tapi aku tak berani memberi nama pada perasaan itu.

Lonceng istirahat kedua berbunyi, dan aku memutuskan untuk keluar kelas. Aku tak tahu kenapa, tapi kakiku membawaku ke arah pohon akasia di tengah lapangan sekolah. Mungkin karena ibu pernah bilang pohon itu bisa memberiku kekuatan, atau mungkin karena aku ingin melamun sendirian, menjauh dari hiruk-pikuk teman-temanku. Aku duduk di bawah pohon itu, bersandar pada batangnya yang kasar, merasakan tekstur kayu yang dingin di punggungku. Angin bertiup lebih kencang, membawa aroma tanah basah yang mulai tercium. Aku mengeluarkan foto ibu dari sakuku, memandang wajahnya yang tersenyum di sampingku dalam gambar itu. “Ibu, aku kangen banget,” gumamku pelan, jari-jari kuatiku mengelus permukaan foto yang sudah agak lusuh.

Tiba-tiba, tetesan air pertama jatuh, membasahi tanganku. Aku menoleh ke langit, dan hujan mulai turun perlahan, seolah menangis bersama denganku. Aku tak buru-buru mencari tempat berteduh; aku membiarkan air hujan membasahi wajahku, mencampur air mataku yang tak bisa kutahan lagi. Aku teringat malam terakhir ibu di rumah sakit, ketika ia memegang tanganku dan berkata, “Jangan menangis, Dika. Ibu selalu ada di hatimu.” Tapi rasanya sulit, Ibu. Tanpa kehadiranmu, aku seperti kehilangan separuh jiwaku.

Suara langkah kaki di atas rumput basah mengagetkanku. Aku menoleh, dan di sana berdiri Maya, membawa payung kecil berwarna biru yang hampir tak cukup menutupi tubuhnya yang kecil. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit basah, beberapa helai menempel di pipinya yang merona karena hujan. “Dika! Kamu kenapa di sini? Basah kuyup gitu!” serunya, nadanya penuh kekhawatiran. Aku cepat-cepat menyeka air mataku, berusaha tersenyum meski aku tahu wajahku pasti terlihat kacau. “Nggak apa-apa, aku suka hujan,” bohongku, suaraku parau.

Maya mendekat, membuka payungnya lebih lebar untuk menutupiku juga. Kami berdiri di bawah pohon akasia, terlindungi dari hujan yang kini turun lebih deras. Aku bisa mencium aroma sabun colek dari rambutnya, wangi yang sederhana tapi membuatku merasa nyaman. “Kamu… nangis?” tanyanya pelan, matanya menatapku dengan penuh kelembutan. Aku menunduk, tak tahu harus jawab apa. “Bukan, cuma… hujan masuk mata,” aku berbohong lagi, tapi kali ini suaraku terdengar lebih lelet. Maya tak berkata apa-apa, tapi ia mengeluarkan saputangan kecil dari saku roknya dan menyerahkannya padaku. “Keringin wajahmu, sebelum kamu sakit,” katanya, suaranya hangat seperti pelukan.

Aku mengambil saputangan itu, merasakan teksturnya yang lembut di jari-jari kuatiku. Aku mengelap wajahku, dan saat aku menatapnya lagi, Maya tersenyum—senyum yang berbeda dari sebelumnya, penuh rasa peduli yang membuat hatiku bergetar. “Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayang, Dika. Kalau kamu mau cerita, aku dengar,” katanya, nadanya tulus. Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada seseorang yang benar-benar ingin masuk ke dalam duniamu yang hancur. Aku mengangguk pelan, lalu duduk kembali di bawah pohon, mengundangnya untuk duduk di sampingku.

Kami duduk berdampingan, payung kecil itu masih menaungi kami dari hujan. Aku mulai bercerita—tentang ibu, tentang malam terakhirnya, tentang bagaimana aku merasa kosong tanpa kehadirannya. Maya mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk, matanya berkaca-kaca seolah ia merasakan setiap kata yang keluar dari mulutku. “Ibu selalu bilang aku harus kuat, tapi aku nggak tahu caranya, Maya. Aku takut aku bakal lupa wajahnya kalau aku nggak lihat foto ini setiap hari,” kataku, suaraku tersendat sambil menunjukkan foto ibu padanya.

Maya mengambil foto itu dengan hati-hati, memandangnya sejenak sebelum mengembalikannya padaku. “Dia cantik, Dika. Dan aku yakin dia bangga sama kamu. Kamu masih bertahan, kan? Itu artinya kamu kuat,” katanya, suaranya lembut tapi penuh keyakinan. Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa ada harapan. Hujan di luar semakin deras, tapi di bawah payung kecil itu, aku merasa hangat—hangat yang tak pernah aku rasakan sejak ibu pergi.

Tiba-tiba, Maya mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya. “Ini buku puisi yang kakekku tulis dulu. Dia suka nulis tentang hujan dan kenangan. Mungkin ini bisa bantu kamu,” katanya, membukakan halaman yang sudah sedikit lusuh. Ia mulai membaca dengan suara pelan, “Hujan turun membawa air mata, tapi juga membawa janji baru di setiap tetes.” Suaranya seperti alunan musik, membuatku terpaku. Aku menatapnya, dan untuk sesaat, aku lupa kesedihanku. Ada sesuatu di matanya—kelembutan yang membuatku ingin melindunginya, sekaligus ingin dilindungi.

Hujan mulai reda, dan kami memutuskan untuk kembali ke kelas. Tapi sebelum beranjak, Maya menatapku lagi, wajahnya sedikit memerah. “Dika, kalau hujan lagi, kita ketemu di sini, ya? Aku suka tempat ini,” katanya, nadanya malu-malu. Aku mengangguk, jantungku berdegup kencang. “Iya, aku juga suka,” jawabku, suaraku pelan tapi penuh makna. Kami berjalan kembali ke kelas, tapi di dalam hatiku, aku tahu sesuatu telah berubah. Maya bukan lagi sekadar teman sekelas—ia mulai menjadi cahaya yang perlahan menyelinap ke dalam kegelapan hatiku.

Janji di Atas Kertas Origami

Hari itu, 14 Mei 2021, langit Desa Sukamaju tampak berbeda. Pagi yang biasanya dingin kini terasa hangat, seolah alam turut merayakan sesuatu yang istimewa. Aku bangun lebih awal, memandang cermin kecil di kamar dengan seragam SMA yang sudah rapi. Tapi kali ini, ada senyum tipis di wajahku—sesuatu yang jarang kulihat sejak ibu pergi. Di sakuku, foto ibu masih tersimpan rapi, tapi di tanganku, ada sesuatu yang baru: sebuah kertas origami berbentuk bunga mawar, yang diberikan Maya kemarin sore di bawah pohon akasia setelah hujan reda.

Kami bertemu lagi di sana, seperti janji yang tak pernah diucapkan dengan kata-kata. Hujan sudah berhenti, meninggalkan jejak basah di rumput dan aroma tanah yang segar. Maya berdiri di bawah pohon, memegang origami itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Ini buat kamu, Dika. Aku buat semalam,” katanya, wajahnya memerah sambil menyerahkan bunga kertas itu padaku. Aku mengambilnya, merasakan tekstur kertas yang halus dan lipatan-lipatan kecil yang dibuat dengan hati-hati. Di dalamnya, ada catatan kecil bertulis tangan: “Janji aku akan selalu ada untukmu, seperti bunga ini tak layu meski hujan.” Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada cinta yang tumbuh di antara kesedihan yang selama ini mengikatku.

Sekarang, saat aku berjalan menuju sekolah, origami itu kusimpan di saku baju, dekat jantungku. Aku melangkah lebih ringan, meski pikiranku masih penuh dengan bayangan ibu. Di halaman sekolah, aku melihat Maya berdiri di dekat gerbang, memandang ke arahku dengan senyum yang hangat. Rambutnya dikuncir seperti biasa, tapi hari ini ada pita merah yang membuatnya terlihat lebih cerah. Aku mendekat, dan tanpa kusadari, jantungku berdegup lebih kencang. “Pagi, Dika,” sapanya, suaranya seperti angin sepoi-sepoi di pagi hari. “Pagi, Maya,” balasku, mencoba menyembunyikan kegugupan.

Kami berjalan bersama menuju kelas, dan di tengah lorong yang sepi, Maya berhenti. Ia menatapku dengan mata yang penuh arti, lalu berkata, “Dika, aku mau bilang sesuatu.” Aku menatapnya, merasa ada sesuatu yang besar akan terjadi. “Aku… aku suka sama kamu. Bukan cuma sebagai temen, tapi lebih dari itu. Aku tahu kamu masih sedih soal ibumu, dan aku nggak mau buru-buru. Tapi aku pengen kamu tahu, aku akan tunggu sampai kamu siap,” katanya, suaranya pelan tapi tegas. Wajahnya memerah, dan ia menunduk, jari-jarinya memainkan ujung roknya.

Aku terdiam, dunia seolah berhenti berputar. Aku tak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulutnya, tapi di dalam hatiku, ada kehangatan yang tak bisa kusebutkan. Aku mengingat ibu, wajahnya yang tersenyum di foto, dan kata-katanya, “Jadi anak yang baik, Dika.” Aku tahu ibu pasti ingin aku bahagia, dan untuk pertama kalinya, aku merasa mungkin aku bisa menemukan kebahagiaan itu bersama Maya. “Maya… aku juga suka sama kamu. Aku nggak tahu caranya bilang ini, tapi dari hari ke hari, kamu bikin aku merasa hidup lagi,” kataku, suaraku sedikit bergetar. Maya menatapku, matanya berkaca-kaca, lalu tersenyum—senyum yang membuatku ingin melindunginya selamanya.

Kami memutuskan untuk pergi ke pohon akasia setelah pelajaran selesai, membawa buku puisi kakek Maya dan foto ibuku. Di bawah pohon itu, kami duduk berdampingan, mendengarkan desau angin yang membawa aroma bunga liar. Maya membuka bukunya, membaca puisi tentang cinta dan kenangan, suaranya lembut seperti musik. Aku memandang foto ibu, lalu berkata, “Ibu, kalau kamu lihat ini, aku harap kamu seneng. Aku ketemu seseorang yang bikin aku mau coba bahagia lagi.” Air mataku jatuh, tapi kali ini bukan karena sedih—ada campuran haru dan harapan.

Tiba-tiba, Maya mengambil kertas dan pena dari tasnya, lalu mulai melipat origami lagi—kali ini berbentuk burung kecil. “Ini simbol kebebasan, Dika. Aku harap kamu bebas dari kesedihanmu, dan kita bisa terbang bareng,” katanya, menyerahkan burung kertas itu padaku. Aku mengambilnya, merasakan lipatan-lipatan kecil yang dibuat dengan cinta. Aku menatapnya, dan tanpa kusadari, aku memegang tangannya. Tangan Maya hangat, dan saat jari-jarinya berbalas erat dengan jemariku, aku merasa ada janji tak terucap di antara kami.

Malam itu, aku pulang dengan hati yang penuh. Di beranda rumah, aku duduk sendirian, memandang langit yang mulai bertabur bintang. Aku mengeluarkan foto ibu, origami bunga, dan burung dari sakuku, meletakkannya di atas meja kecil. “Ibu, aku ketemu seseorang yang baik. Aku janji akan jaga dia, seperti kamu jaga aku dulu. Dan aku janji akan terus inget kamu, selamanya,” gumamku, air mataku jatuh lagi, tapi kali ini dengan senyum di wajahku.

Di kejauhan, aku mendengar suara angin yang membawa bisikan lembut, seolah ibu menjawab, “Ibu bangga, Nak. Terus bahagia.” Aku menutup mata, membiarkan kenangan ibu bercampur dengan harapan baru bersama Maya. Di bawah pohon akasia, di antara hujan dan origami, aku menemukan cinta yang menyembuhkan, dan janji yang akan kutepati seumur hidupku.

Cerpen Rindu di Bangku Sekolah: Kisah Cinta dan Kehilangan yang Menyentuh Hati mengajak kita untuk merenung tentang kekuatan cinta dan harapan di tengah luka kehilangan. Melalui perjalanan emosional Dika dan Maya, kisah ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi pembaca untuk menghargai setiap momen bersama orang tercinta dan menemukan kekuatan untuk bangkit dari kesedihan. Jangan lewatkan cerita-cerita menyentuh hati lainnya di situs kami, dan temukan lebih banyak inspirasi untuk memperkaya jiwa Anda melalui literatur yang penuh makna!

Leave a Reply