Rindu di Balik Jubah Usang: Kisah Menyentuh tentang Cinta dan Rahasia Keluarga yang Terungkap

Posted on

Menyelami cerita penuh emosi dalam Rindu di Balik Jubah Usang, sebuah cerpen yang menggambarkan perjalanan Lara menguak rahasia ibunya melalui jubah tua yang menyimpan kenangan dan luka masa lalu. Dengan alur yang mendalam dan detail yang memikat, cerita ini mengajak Anda menyelami ikatan keluarga, cinta yang hilang, dan keberanian untuk menemukan kebenaran. Apa rahasia di balik alamat misterius yang ditemukan Lara, dan bagaimana pohon kenanga menjadi saksi bisu kisah ini? Temukan jawabannya dalam ulasan berikut!

Rindu di Balik Jubah Usang

Jubah di Ujung Gang

Di ujung gang sempit yang dipenuhi lumut dan aroma tanah basah, sebuah rumah kayu berdiri reyot, seolah menahan napas di bawah tekanan waktu. Dindingnya yang lapuk penuh tambalan papan tak seragam, dan atap sengnya berkarat, berderit setiap kali angin malam menyapa. Di depan rumah itu, sebuah jemuran bambu yang sudah miring menyangga sehelai jubah putih yang pudar, bergoyang pelan seolah menyanyikan elegi tanpa suara. Jubah itu milik Ibu, satu-satunya peninggalan yang masih menyimpan aroma tubuhnya—campuran sabun colek dan keringat yang begitu akrab bagi Lara.

Lara, gadis berusia delapan belas tahun dengan rambut ikal yang selalu diikat asal-asalan, duduk di beranda rumah itu. Matanya menatap jubah itu, tapi pikirannya melayang jauh, ke masa ketika Ibu masih ada, ketika tawa Ibu mengisi setiap sudut rumah yang kini terasa hampa. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kayu kecil, ukirannya sudah memudar, tapi Lara tahu setiap lekuknya karena Ibu yang mengajarinya cara membuka kunci rahasia kotak itu. Di dalamnya, tersimpan surat-surat tua dan sebuah liontin perak berbentuk setengah hati—janji Ibu yang tak pernah sempat ia tepati.

Hujan mulai turun, membasahi gang sempit itu dengan rintik-rintik yang lembut, tapi Lara tak bergeming. Ia ingat malam terakhir bersama Ibu, tiga tahun lalu, ketika badai mengamuk dan Ibu terbaring lemah di ranjang bambu. Wajah Ibu pucat, tapi matanya masih penuh cinta, seolah ingin menyerahkan seluruh dunianya kepada Lara. “Jaga jubah ini, Nak,” bisik Ibu dengan suara yang nyaris tak terdengar, “karena di dalamnya ada cerita kita.” Lara tak mengerti maksud Ibu saat itu. Ia hanya mengangguk, menahan tangis, berharap Ibu akan sembuh dan kembali menyanyikan lagu pengantar tidur seperti dulu.

Tapi Ibu tak pernah bangun lagi. Pagi itu, ketika matahari malu-malu muncul di balik awan kelabu, Lara mendapati tubuh Ibu sudah dingin. Tetangga datang, menangis bersama, tapi Lara hanya diam, memeluk jubah Ibu yang masih tergantung di jemuran. Ia tak tahu bagaimana cara menangis, tak tahu bagaimana cara menerima bahwa Ibu, satu-satunya orang yang pernah membuatnya merasa utuh, kini pergi untuk selamanya.

Kini, tiga tahun berlalu, Lara masih tinggal di rumah itu, sendirian. Ayahnya pergi entah ke mana sejak ia masih bayi, dan keluarga lain hanya kenangan samar yang tak pernah muncul. Ia bekerja sebagai penjahit keliling, meneruskan keterampilan yang diajarkan Ibu, meski jarum dan benang tak pernah bisa menjahit lubang di hatinya. Setiap malam, ia membuka kotak kayu itu, membaca surat-surat Ibu, mencoba memahami cerita yang tersembunyi di balik kata-kata sederhana yang ditulis dengan tangan gemetar.

Hujan semakin deras, dan Lara akhirnya bangkit, mengambil jubah itu dari jemuran sebelum air merusak kain yang sudah rapuh. Ia membawanya ke dalam, meletakkannya di atas meja kayu yang penuh goresan. Di bawah cahaya lampu minyak yang temaram, ia memperhatikan setiap jahitan pada jubah itu. Ada benang merah kecil di ujung lengan, hampir tak terlihat, yang sepertinya sengaja disembunyikan. Lara mengerutkan kening. Ia tak pernah memperhatikan detail itu sebelumnya. Dengan hati-hati, ia memegang benang itu, dan jantungnya berdetak kencang ketika ia menyadari benang itu bukan bagian dari jahitan biasa—ia seperti menutupi sesuatu.

Dengan tangan gemetar, Lara mengambil gunting kecil dari kotak jahitnya. Ia ragu sejenak, takut merusak jubah yang begitu berharga baginya. Tapi ada dorongan aneh di dalam dirinya, seolah Ibu sendiri yang berbisik agar ia melanjutkan. Ia memotong benang merah itu perlahan, dan di baliknya, terselip sehelai kain kecil yang dijahit rapi ke lapisan dalam jubah. Kain itu bertuliskan alamat yang asing, ditulis dengan tinta biru yang sudah memudar: Jalan Kenanga No. 12, Kota Lama.

Lara menahan napas. Alamat itu tak pernah disebutkan Ibu sebelumnya. Ia mencoba mengingat, tapi tak ada kenangan tentang Jalan Kenanga atau Kota Lama di hidupnya. Apakah ini bagian dari “cerita kita” yang Ibu maksud? Ia meraih kotak kayu, membuka surat-surat Ibu lagi, berharap menemukan petunjuk. Tapi tak ada apa-apa tentang alamat itu. Yang ada hanya kata-kata penuh cinta, nasihat sederhana, dan permintaan maaf yang tak pernah Lara pahami—maaf atas apa?

Malam semakin larut, dan hujan tak kunjung reda. Lara memeluk jubah itu, mencium aromanya yang kini bercampur dengan bau tanah basah. Air mata akhirnya jatuh, satu per satu, membasahi kain yang pernah melindungi Ibu dari dinginnya malam. “Ibu, apa yang kau sembunyikan dariku?” bisiknya, suaranya tenggelam di antara deru hujan. Ia tahu, alamat itu adalah awal dari sesuatu—mungkin jawaban atas pertanyaan yang selama ini menggerogoti hatinya, atau mungkin luka baru yang akan membuatnya semakin merindukan Ibu.

Di ujung gang, lampu jalan berkedip-kedip, seolah mengintip rahasia yang tersimpan di balik jubah usang itu. Lara menutup mata, membiarkan rindu mengalir bersama air mata, tapi di dalam hatinya, ia berjanji: besok, ia akan pergi ke Jalan Kenanga, mencari apa yang Ibu tinggalkan untuknya.

Perjalanan ke Jalan Kenanga

Pagi menyapa dengan kabut tipis yang menyelimuti gang sempit tempat Lara tinggal. Cahaya matahari baru saja menyelinap di antara celah-celah atap seng, menyinari rumah kayu yang kini terasa lebih sepi dari biasanya. Lara bangun dengan mata sembab, bekas tangis semalam masih membekas di pipinya. Di atas meja, jubah Ibu terlipat rapi, kain kecil dengan alamat Jalan Kenanga No. 12, Kota Lama diletakkan di sampingnya, seolah menantangnya untuk menguak misteri yang tersimpan. Lara menatap alamat itu lama, jantungnya berdetak di antara rasa takut dan harapan. Apa yang akan ia temukan di sana? Apakah ini hanya harapan kosong, atau benar-benar bagian dari “cerita kita” yang Ibu maksud?

Ia mengambil tas kain usang yang biasa ia gunakan untuk membawa alat jahit keliling. Di dalamnya, ia memasukkan jubah Ibu, kotak kayu berisi surat-surat, dan liontin perak berbentuk setengah hati. Sebelum berangkat, ia berdiri di depan cermin pecah yang tergantung di dinding kamar. Wajahnya pucat, rambut ikalnya kusut, tapi matanya—mata yang selalu dikatakan Ibu mirip dengan miliknya—penuh tekad. “Aku akan menemukan jawabannya, Bu,” bisiknya, seolah Ibu bisa mendengar dari tempat yang tak ia tahu.

Perjalanan ke Kota Lama bukan perkara mudah. Lara harus menempuh dua jam perjalanan dengan angkot tua yang berderit, melewati pasar yang bising dan jalan-jalan berlubang yang membuat perutnya mual. Ia duduk di sudut angkot, memeluk tasnya erat, mencium aroma jubah Ibu yang samar-samar tercium setiap kali ia menunduk. Di sekelilingnya, penumpang lain sibuk dengan urusan masing-masing: seorang pedagang membungkus ikan dalam daun pisang, seorang ibu menenangkan bayinya yang rewel, dan seorang pemuda dengan earphone menatap keluar jendela. Lara merasa sendiri di tengah keramaian, tapi entah mengapa, ia merasa Ibu ada di dekatnya, seperti dulu ketika mereka berjalan bersama ke pasar, tangan Ibu menggenggam tangannya erat.

Kota Lama adalah bagian kota yang asing bagi Lara. Ia turun di terminal kecil yang penuh debu, di mana bau minyak goreng dan asap knalpot bercampur menjadi satu. Papan-papan nama jalan sudah memudar, beberapa tiang lampu miring, dan bangunan-bangunan tua berdiri dengan cat mengelupas, seolah menyimpan rahasia yang terlupakan. Lara mengeluarkan kain kecil dari tasnya, memastikan alamatnya sekali lagi: Jalan Kenanga No. 12. Ia bertanya kepada seorang penjual kue di pinggir jalan, seorang nenek dengan kerudung lusuh yang tersenyum ramah. “Jalan Kenanga? Oh, itu di ujung sana, Nak. Lewat gang kecil di belakang toko kain, terus lurus sampai ketemu pohon kenanga besar. Rumahnya ada di sebelah pohon itu,” kata nenek itu sambil menunjuk ke arah timur.

Lara mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan melangkah dengan hati-hati. Gang yang dimaksud nenek itu sempit, hampir seperti lorong, dengan dinding bata yang dipenuhi coretan kapur dan poster usang. Bau sampah menyengat di beberapa sudut, tapi Lara tak peduli. Ia terus berjalan, tasnya semakin berat di pundaknya, sampai akhirnya ia melihat pohon kenanga yang dimaksud. Pohon itu berdiri megah di tengah gang, akar-akarnya mencuat dari tanah, dan bunga-bunganya yang kuning memenuhi udara dengan aroma manis yang lembut. Di samping pohon itu, sebuah rumah tua berdiri. Nomor 12 terpaku di pintu kayunya yang sudah retak, ditulis dengan cat merah yang nyaris tak terbaca.

Lara berhenti sejenak, napasnya tersengal. Rumah itu kecil, dengan jendela-jendela yang ditutup rapat oleh daun jendela kayu. Halamannya penuh rumput liar, dan sebuah ayunan tua berkarat bergoyang pelan ditiup angin. Ada sesuatu tentang rumah ini yang membuat bulu kuduk Lara berdiri—bukan karena menyeramkan, tapi karena rasanya begitu akrab, seolah ia pernah ada di sini sebelumnya, meski ia yakin tak pernah menginjakkan kaki di Jalan Kenanga. Ia mendekati pintu, tangannya gemetar saat mengetuk. Ketukan pertamanya pelan, hampir tak terdengar, tapi ia mengetuk lagi, lebih keras, berharap seseorang akan menjawab.

Pintu terbuka perlahan, dan seorang wanita tua muncul di ambang pintu. Rambutnya putih, diikat rapi ke belakang, dan wajahnya penuh kerutan, tapi matanya—mata itu begitu mirip dengan mata Ibu, penuh kehangatan dan sedikit kesedihan. Wanita itu menatap Lara, alisnya terangkat, dan selama beberapa detik, mereka hanya saling memandang dalam diam. “Kamu siapa, Nak?” tanya wanita itu akhirnya, suaranya lembut tapi penuh keheranan.

Lara menelan ludah, mencoba menemukan kata-kata. “Saya… saya Lara. Saya menemukan alamat ini di jubah Ibu saya. Nama Ibu saya Siti. Apakah… apakah Anda mengenalnya?” Suaranya bergetar, dan ia merasa air mata mulai menggenang di sudut matanya.

Wanita tua itu terdiam, matanya melebar, dan tangannya yang kurus mencengkeram kusen pintu seolah mencari pegangan. “Siti… Siti, anakku?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap Lara lebih seksama, seolah mencari sesuatu di wajahnya. “Kamu… kamu anak Siti?”

Lara mengangguk pelan, jantungnya berdetak kencang. “Ibu… Ibu sudah meninggal tiga tahun lalu,” katanya, suaranya pecah. “Tapi dia meninggalkan ini.” Ia mengeluarkan jubah Ibu dari tasnya, menunjukkan kain kecil dengan alamat yang terjahit di dalamnya.

Wanita tua itu menutup mulutnya dengan tangan, air mata mengalir di pipinya yang keriput. “Ya Tuhan… Siti…” Ia melangkah maju, memeluk Lara dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya. Lara terkejut, tapi ia tak melawan. Pelukan itu hangat, penuh rindu, dan entah mengapa, ia merasa seperti dipeluk Ibu lagi. “Masuklah, Nak,” kata wanita itu akhirnya, suaranya tersendat. “Ada banyak yang harus kita bicarakan.”

Lara melangkah masuk, hatinya penuh pertanyaan. Rumah itu kecil dan sederhana, dengan aroma kayu tua dan bunga kenanga yang samar-samar tercium. Di dinding, tergantung foto-foto tua, dan salah satunya menarik perhatian Lara: foto seorang wanita muda yang begitu mirip dengan Ibu, tersenyum di bawah pohon kenanga yang sama. Di sampingnya, ada seorang pria yang tak Lara kenal, memegang tangan wanita itu dengan penuh cinta. Lara menatap foto itu, dan tanpa sadar, tangannya meraih liontin perak di dalam tasnya. Setengah hati. Apakah ini bagian dari cerita yang Ibu sembunyikan?

Wanita tua—yang kini Lara tahu bernama Nenek Rahma—duduk di sofa tua, memegang tangan Lara erat. “Siti adalah anakku,” katanya, suaranya penuh penyesalan. “Tapi dia pergi dari rumah ini bertahun-tahun lalu, dan aku… aku tak pernah tahu apa yang terjadi padanya. Sampai sekarang.” Air mata Nenek Rahma jatuh lagi, dan Lara merasa hatinya hancur. Ibu tak pernah bercerita tentang keluarganya, tentang Nenek Rahma, tentang rumah ini. Apa yang membuat Ibu menyimpan rahasia ini? Dan mengapa ia meninggalkan alamat ini di jubahnya, seolah ingin Lara menemukan kebenaran setelah ia tiada?

Hari mulai gelap di luar, dan aroma bunga kenanga semakin kuat, seolah membawa kenangan yang tak pernah Lara miliki. Ia tahu, ini baru awal. Cerita Ibu, cerita yang tersembunyi di balik jubah usang, baru saja mulai terungkap.

Rahasia di Bawah Pohon Kenanga

Malam menyelimuti rumah tua di Jalan Kenanga No. 12 dengan keheningan yang hanya dipecah oleh suara jangkrik dan aroma bunga kenanga yang meruap dari pohon besar di halaman. Di dalam, lampu minyak tua menerangi ruang tamu kecil, memantulkan bayangan di dinding kayu yang penuh retak. Lara duduk di sofa usang, tangannya masih digenggam erat oleh Nenek Rahma, wanita yang baru saja mengaku sebagai ibu dari Ibu—neneknya yang tak pernah ia tahu keberadaannya. Jubah Ibu tergeletak di pangkuan Lara, kain kecil dengan alamat itu masih terbuka, seolah menjadi jembatan antara masa lalu yang tersembunyi dan kebenaran yang kini mulai terkuak.

Nenek Rahma menatap Lara dengan mata yang penuh kerinduan dan penyesalan, air matanya sudah kering, tapi wajahnya masih menyimpan luka yang dalam. “Kau begitu mirip dengan Siti,” katanya pelan, suaranya bergetar. “Matamu, cara kau memegang jubah itu… seperti melihat dia kembali.” Lara ingin bertanya banyak hal, tapi tenggorokannya terasa tercekat. Ia hanya mengangguk, mencoba mencerna kenyataan bahwa Ibu, yang selalu ia anggap sebagai satu-satunya keluarganya, menyimpan rahasia besar tentang keluarga yang ditinggalkannya.

Nenek Rahma bangkit perlahan, tubuhnya ringkih tapi gerakannya penuh tekad. Ia berjalan menuju lemari kayu tua di sudut ruangan, laci-lacinya berderit saat dibuka. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah kotak logam kecil, karatnya menunjukkan usia yang tak lagi muda. Ia kembali ke sofa, meletakkan kotak itu di meja di depan Lara. “Ini milik Siti,” katanya. “Dia meninggalkannya sebelum pergi dari rumah ini, dua puluh tahun lalu. Aku tak pernah berani membukanya, berharap suatu hari dia akan kembali dan membukanya sendiri. Tapi sekarang… mungkin kau yang harus melakukannya.”

Lara menatap kotak itu, jantungnya berdetak kencang. Kotak itu sederhana, tanpa ukiran atau hiasan, tapi ada sesuatu tentangnya yang membuat Lara merasa seperti sedang berdiri di ambang jurang. Dengan tangan gemetar, ia membuka kunci kecil yang sudah longgar. Di dalamnya, tersimpan beberapa benda: sebuah buku harian kecil dengan sampul kulit yang sudah usang, beberapa foto yang menguning, dan sebuah liontin perak berbentuk setengah hati—persis seperti yang ada di kotak kayu milik Lara. Ia menahan napas, mengeluarkan liontin miliknya dari tas, dan meletakkannya di samping liontin dari kotak. Keduanya cocok sempurna, membentuk satu hati utuh.

“Apa ini?” tanya Lara, suaranya hampir tak terdengar. Ia menatap Nenek Rahma, mencari jawaban.

Nenek Rahma menghela napas panjang, seolah melepaskan beban yang selama ini ia pikul. “Itu liontin yang Siti dan dia bagi,” katanya pelan. “Pria di foto itu… namanya Arif. Dia adalah cinta Siti, tapi juga alasan dia pergi dari rumah ini.”

Lara mengambil foto yang ada di dalam kotak. Itu foto yang sama yang ia lihat di dinding tadi: Ibu, masih muda, tersenyum di bawah pohon kenanga, tangannya digenggam oleh seorang pria dengan wajah lembut dan mata penuh harapan. Lara merasa ada sesuatu yang familier tentang pria itu, tapi ia tak bisa menjelaskan apa. “Siapa Arif?” tanyanya, suaranya penuh keingintahuan bercampur ketakutan.

Nenek Rahma menunduk, tangannya memainkan ujung kain kerudungnya. “Arif adalah anak dari keluarga miskin di ujung kota. Dia dan Siti bertemu di pasar, saat Siti masih kuliah. Aku dan ayah Siti… kami tidak setuju. Kami ingin Siti menikah dengan seseorang dari keluarga yang lebih baik, yang bisa menjamin masa depannya. Tapi Siti keras kepala. Dia bilang Arif adalah hidupnya, bahwa dia tak bisa hidup tanpa dia. Mereka diam-diam bertunangan, membagi liontin itu sebagai janji. Tapi kemudian…” Suara Nenek Rahma terhenti, air mata kembali menggenang di matanya.

“Kemudian apa?” desak Lara, hatinya terasa seperti dihimpit batu besar.

“Ayah Siti, kakekmu, memaksa Siti memilih: keluarga atau Arif. Siti memilih Arif. Dia pergi dari rumah ini, membawa sedikit pakaian dan jubah itu. Aku… aku tak bisa menghentikannya. Aku marah, Lara. Aku bilang dia bukan anakku lagi jika dia memilih pria itu. Itu kata-kata terakhirku padanya.” Nenek Rahma menutup wajahnya dengan tangan, isakannya pelan tapi penuh penyesalan. “Aku tak pernah tahu apa yang terjadi setelah itu. Aku pikir dia bahagia dengan Arif, tapi… jika dia sudah tiada, dan kau sendirian… apa yang terjadi dengan mereka?”

Lara merasa dunia di sekitarnya berputar. Ia tak pernah tahu Ibu punya kehidupan sebelumnya, cinta yang begitu kuat hingga ia rela meninggalkan keluarganya. Tapi jika Arif adalah cinta sejati Ibu, mengapa Ibu tak pernah menyebut namanya? Dan mengapa Lara tak pernah bertemu pria ini, yang seharusnya adalah ayahnya? Ia mengambil buku harian dari kotak, membukanya dengan hati-hati. Tulisan Ibu terpampang di sana, rapi dan penuh emosi, seperti surat-surat yang ia temukan di kotak kayu. Ia membaca halaman pertama yang terbuka:

“18 Mei 2002. Aku meninggalkan rumah hari ini. Maaf, Ibu, Ayah. Aku tahu kalian tak akan memaafkanku, tapi aku tak bisa hidup tanpa Arif. Dia adalah napasku, cahayaku. Kami akan mulai hidup baru, di tempat yang jauh, di mana tak ada yang mengenal kami. Aku tak tahu apa yang menanti, tapi selama dia di sisiku, aku tak takut.”

Lara menutup buku itu, air matanya jatuh ke sampul kulit yang sudah rapuh. Ia bisa merasakan cinta Ibu dalam setiap kata, tapi juga rasa sakit yang tersembunyi di baliknya. Apa yang terjadi setelah itu? Mengapa Ibu akhirnya sendirian, membesarkan Lara tanpa Arif, tanpa keluarga? Ia menatap Nenek Rahma, ingin bertanya lebih banyak, tapi wajah nenek itu penuh kepedihan, seolah ia juga tak tahu jawabannya.

“Lara,” kata Nenek Rahma setelah beberapa saat, suaranya lebih tenang. “Ada sesuatu yang harus kau lihat.” Ia bangkit lagi, mengajak Lara ke halaman belakang rumah. Di bawah pohon kenanga, di antara akar-akar yang mencuat dari tanah, ada sebuah batu kecil yang tersembunyi di balik rumput liar. Di atas batu itu, terukir nama Siti dengan tulisan sederhana. “Aku membuat ini setelah Siti pergi,” kata Nenek Rahma. “Aku tak tahu apakah dia masih hidup atau tidak, tapi aku ingin ada tempat untuk mengenangnya, untuk meminta maaf setiap malam.”

Lara berlutut di depan batu itu, tangannya menyentuh ukiran nama Ibu. Air matanya jatuh ke tanah, bercampur dengan aroma bunga kenanga yang begitu kuat. “Ibu tak pernah bilang apa-apa tentang ini,” bisiknya. “Mengapa dia menyimpan semuanya dariku?”

Nenek Rahma berlutut di sampingnya, tangannya memeluk pundak Lara. “Mungkin dia ingin melindungimu, Nak. Mungkin cerita itu terlalu berat baginya untuk diceritakan. Tapi dia meninggalkan alamat ini untukmu, bukan? Itu berarti dia ingin kau tahu, suatu hari nanti.”

Malam semakin larut, dan angin membawa aroma kenanga yang semakin pekat. Lara memeluk buku harian Ibu, liontin yang kini utuh, dan jubah yang masih menyimpan aroma Ibu. Ia tahu, rahasia Ibu belum sepenuhnya terungkap. Buku harian itu, foto-foto itu, dan liontin ini adalah kepingan-kepingan puzzle yang harus ia susun. Tapi untuk pertama kalinya, ia tak merasa sendirian. Di sampingnya, Nenek Rahma tersenyum tipis, dan di bawah pohon kenanga, Lara merasa Ibu sedang mengawasinya, menunggu ia menemukan akhir dari cerita mereka.

Hati yang Utuh

Cahaya bulan purnama menyelinap melalui celah-celah daun pohon kenanga, menerangi halaman belakang rumah tua di Jalan Kenanga No. 12. Lara duduk di dekat batu kecil bertulis nama Siti, buku harian Ibu terbuka di pangkuannya, dan liontin perak yang kini utuh tergenggam erat di tangannya. Aroma bunga kenanga memenuhi udara, seolah membawa bisikan Ibu dari masa lalu. Nenek Rahma duduk di sampingnya, tangannya yang keriput mengelus pundak Lara dengan lembut, memberikan kekuatan tanpa kata. Malam ini, Lara tahu, adalah malam di mana semua rahasia Ibu akan terungkap—atau setidaknya, ia akan menemukan cukup kepingan untuk memahami mengapa Ibu menyimpan cerita ini dalam diam.

Lara membuka buku harian itu lagi, jari-jarinya berhati-hati menyentuh halaman-halaman yang rapuh. Tulisan Ibu, yang awalnya penuh harapan, mulai berubah di halaman-halaman berikutnya. Lara membaca dengan napas tertahan, setiap kata seperti pisau yang menusuk hatinya, tapi juga seperti pelukan yang membawanya lebih dekat kepada Ibu.

“12 Oktober 2003. Aku hamil, Arif. Anak kita akan lahir di musim hujan. Aku tak pernah merasa begitu bahagia, tapi juga begitu takut. Kami tinggal di gubuk kecil di pinggir kota, jauh dari keluargaku, jauh dari segalanya. Arif bekerja sebagai kuli bangunan, pulang dengan wajah lelah tapi selalu tersenyum untukku. Aku tahu hidup ini berat, tapi selama dia ada, aku merasa bisa menghadapi apa saja.”

Lara menatap Nenek Rahma, matanya penuh pertanyaan. “Arif… dia ayahku, bukan?” tanyanya, suaranya bergetar. Nenek Rahma mengangguk pelan, tapi wajahnya menunjukkan bahwa cerita ini belum selesai. Lara kembali membaca, halaman demi halaman, hingga ia sampai pada entri yang membuat jantungnya hampir berhenti.

“3 Maret 2004. Arif pergi. Dia tak pulang setelah bekerja kemarin. Aku mencarinya ke mana-mana, ke proyek bangunan, ke teman-temannya, tapi tak ada yang tahu. Ada yang bilang dia tertimpa reruntuhan di lokasi kerja, tapi tak ada bukti. Tak ada tubuh, tak ada kabar. Aku tak percaya dia meninggalkanku, tapi setiap malam, aku menangis memeluk jubah ini, berharap dia akan kembali. Aku hamil tujuh bulan, Arif. Bagaimana aku bisa membesarkan anak kita sendirian?”

Air mata Lara jatuh ke halaman buku, membasahi tinta yang sudah memudar. Ia bisa merasakan keputusasaan Ibu, rasa sakit yang begitu dalam hingga Ibu memilih untuk tak pernah menceritakan ini kepadanya. “Jadi… Ayah tak sengaja meninggalkan kami,” bisik Lara, lebih kepada dirinya sendiri. “Ibu tak pernah tahu apa yang terjadi padanya.”

Nenek Rahma mengangguk, air matanya juga jatuh. “Siti pasti sangat menderita,” katanya. “Dia membesarkanmu sendirian, tanpa keluarga, tanpa Arif. Aku… aku seharusnya mencarinya, Lara. Aku seharusnya tak membiarkan amarahku menghalangi cinta untuk anakku.”

Lara menutup buku harian itu, hatinya penuh campuran emosi—sedih, marah, tapi juga lega. Ia akhirnya mengerti mengapa Ibu begitu pendiam tentang masa lalunya, mengapa ia selalu memeluk jubah itu di malam-malam yang dingin, mengapa ia menulis surat-surat penuh permintaan maaf. Ibu tak hanya meminta maaf kepada Nenek Rahma, tapi juga kepada Arif, kepada Lara, kepada dirinya sendiri karena tak bisa memberikan kehidupan yang lebih baik.

Tiba-tiba, Lara teringat sesuatu. Ia mengeluarkan kotak kayu dari tasnya, membuka surat terakhir yang selalu ia baca tapi tak pernah benar-benar ia pahami. Di bawah cahaya bulan, ia membaca lagi dengan mata baru: “Lara, anakku, maaf karena Ibu tak bisa memberimu semua yang kau inginkan. Tapi ketahuilah, kau adalah harta Ibu, bukti cinta yang tak pernah pudar. Jika suatu hari kau menemukan jubah ini, ikuti ceritanya. Temukan keluargamu, temukan kebenaran. Ibu akan selalu bersamamu, di setiap jahitan, di setiap rindu.”

Lara menangis, tapi kali ini tangisannya bukan hanya penuh duka. Ada kehangatan di dalamnya, perasaan bahwa Ibu, meski sudah tiada, telah merencanakan ini semua—meninggalkan petunjuk di jubah, di alamat, di liontin—agar Lara tak sendirian. Ia menatap Nenek Rahma, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum. “Nenek… aku tak sendiri lagi, kan?” tanyanya, suaranya penuh harapan.

Nenek Rahma memeluknya erat, air mata mereka bercampur di bawah pohon kenanga. “Kau punya aku sekarang, Nak. Dan kau punya Siti, selalu, di hatimu.”

Malam itu, Lara dan Nenek Rahma duduk lama di halaman, berbagi cerita tentang Ibu, tentang masa kecil Siti yang penuh tawa, tentang mimpi-mimpinya yang tak sempat terwujud. Lara menceritakan kenangannya bersama Ibu—bagaimana Ibu mengajarinya menjahit, menyanyikan lagu pengantar tidur, atau memeluknya saat badai mengamuk. Setiap cerita seperti menjahit kembali luka di hati mereka, membuatnya tak lagi berdarah, tapi menjadi bagian dari kain kehidupan yang indah.

Sebelum pulang, Lara melakukan sesuatu yang ia tahu harus ia lakukan. Ia mengambil jubah Ibu, liontin yang kini utuh, dan meletakkannya di atas batu kecil bertulis nama Siti. “Ibu, aku sudah menemukan ceritamu,” bisiknya. “Aku akan menjalani hidup ini untukmu, untuk Ayah, untuk kami semua.” Ia mencium jubah itu sekali lagi, lalu menyerahkan liontin kepada Nenek Rahma. “Simpan ini, Nek. Biar Ibu tahu kita bersama lagi.”

Nenek Rahma mengangguk, memeluk liontin itu ke dadanya. “Kau pulang ke sini kapan saja, Lara. Ini rumahmu sekarang.”

Ketika Lara akhirnya berjalan meninggalkan Jalan Kenanga, langkahnya terasa lebih ringan. Gang sempit itu tak lagi terasa menyeramkan, dan aroma bunga kenanga seolah mengikuti setiap langkahnya. Ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Ia bukan hanya Lara, anak yang ditinggal Ibu, tapi juga Lara, cucu Nenek Rahma, bukti cinta Siti dan Arif. Di tangannya, ia memegang buku harian Ibu, bukan lagi sebagai beban, tapi sebagai harta yang akan ia bawa seumur hidup.

Di ujung gang, Lara menoleh sekali lagi ke pohon kenanga yang berdiri megah. Cahaya bulan membuat bunga-bunganya berkilau, seolah Ibu tersenyum dari sana. Lara mengangguk pelan, lalu melangkah menuju angkot yang akan membawanya pulang. Di hatinya, ia membawa cerita Ibu, cerita keluarganya, dan janji untuk hidup dengan penuh cinta, seperti yang Ibu ajarkan.

Hujan mulai turun lagi, rintik-rintik lembut yang membasahi jalanan Kota Lama. Tapi kali ini, Lara tak merasa dingin. Ia merasa utuh, seperti liontin yang akhirnya menemukan pasangannya, seperti hati yang akhirnya pulang.

Rindu di Balik Jubah Usang bukan sekadar cerpen, melainkan sebuah pengalaman emosional yang mengingatkan kita akan kekuatan cinta dan pentingnya memahami akar keluarga. Kisah Lara yang menemukan kebenaran di balik jubah ibunya mengajarkan bahwa setiap rahasia, meski menyakitkan, dapat menyatukan hati yang terpisah. Jangan lewatkan untuk membaca cerpen ini dan rasakan sendiri kehangatan serta air mata yang tersembunyi di setiap jahitannya.

Leave a Reply