Daftar Isi
Masuki dunia penuh emosi dengan Rindu di Balik Hujan Abu, sebuah cerpen romansa remaja yang menggugah jiwa. Kisah ini mengikuti perjalanan Alevina dan Svarog, dua jiwa muda yang bertemu di bawah langit kelabu Kota Seravia, di mana hujan menjadi saksi bisu cinta mereka yang indah namun tragis. Penuh dengan detail yang merinci dan emosi yang mendalam, cerpen ini akan membawa Anda menyelami perasaan rindu, kehilangan, dan harapan yang rapuh. Siapkan hati Anda untuk terhanyut dalam alur cerita yang memikat dan puitis, menjadikan Rindu di Balik Hujan Abu bacaan wajib bagi pecinta kisah cinta yang tak terlupakan.
Rindu di Balik Hujan Abu
Pertemuan di Bawah Langit Kelabu
Langit Kota Seravia selalu kelabu, seolah-olah awan-awan itu enggan berpisah dari ciuman dinginnya. Di sudut kecil kota yang dipenuhi toko-toko antik dan kafe-kafe dengan lampu temaram, Alevina berdiri di depan etalase toko buku tua, memandangi tumpukan novel-novel berdebu. Rambutnya yang panjang, berwarna cokelat keemasan, menjuntai lembut di pundaknya, tergerai oleh angin musim gugur yang menusuk. Matanya, sepasang obsidian yang berkilau, menelusuri judul-judul buku dengan penuh kerinduan, seolah mencari sesuatu yang hilang dari hidupnya.
Alevina bukan gadis yang mudah tersenyum. Di usianya yang baru menginjak tujuh belas tahun, ia membawa beban yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Ibunya meninggal saat ia masih kecil, dan ayahnya, seorang pelukis yang tenggelam dalam alkohol, lebih sering menghilang daripada hadir. Alevina tinggal bersama neneknya, seorang wanita tua yang lembut namun penuh dengan cerita-cerita masa lalu yang kadang membuat Alevina merasa hidupnya hanyalah bayang-bayang dari kehidupan orang lain.
Hari itu, seperti biasa, Alevina melarikan diri dari rumah setelah pertengkaran kecil dengan neneknya. Bukan karena ia membenci neneknya, tetapi karena ia tak tahu bagaimana menjelaskan kegelisahan yang menggerogoti dadanya. Ia merasa seperti burung yang sayapnya patah, terjebak di sangkar yang tak terlihat. Toko buku tua itu, dengan aroma kertas tua dan tinta yang memudar, adalah tempat pelariannya. Di sana, ia bisa bersembunyi di antara rak-rak kayu yang berderit, membaca puisi-puisi kuno yang membuatnya merasa sedikit lebih utuh.
Saat ia hendak masuk, pintu toko berdenting pelan, dan seorang pemuda keluar dari dalam. Ia tinggi, dengan postur yang sedikit membungkuk, seolah dunia terlalu berat untuk ditopang oleh pundaknya. Rambutnya hitam legam, sedikit berantakan, dan matanya—oh, matanya—berwarna abu-abu seperti langit sebelum badai. Pemuda itu membawa sebuah buku tebal di tangannya, dan ketika pandangan mereka bertemu, dunia seolah berhenti sejenak.
“Maaf,” gumam pemuda itu, suaranya rendah namun hangat, seperti bara yang tersembunyi di bawah abu. Ia mundur selangkah, memberi jalan untuk Alevina.
“Tidak apa-apa,” jawab Alevina cepat, menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. Ia melangkah masuk, tetapi sesuatu membuatnya menoleh. Pemuda itu masih berdiri di sana, memandangnya dengan ekspresi yang sulit ditebak—antara rasa ingin tahu dan keraguan.
“Apa kau suka puisi?” tanyanya tiba-tiba, mengangkat buku yang dipegangnya. Itu adalah kumpulan puisi karya seorang penyair lokal yang tak begitu terkenal, tapi Alevina mengenalnya. Puisi-puisi itu penuh dengan metafora tentang kehilangan dan rindu, sesuatu yang selalu menyentuh hatinya.
Alevina terkejut dengan pertanyaan itu. Jarang sekali ada orang yang berbicara dengannya tentang puisi, apalagi seorang asing. “Ya,” jawabnya pelan, “aku suka. Terutama puisi yang… membuatmu merasa seperti kau kehilangan sesuatu, tapi entah apa.”
Pemuda itu tersenyum kecil, dan senyumnya itu seperti sinar matahari yang menerobos awan kelabu. “Aku Svarog,” katanya, memperkenalkan diri dengan nama yang terdengar asing namun indah di telinga Alevina. “Dan kau?”
“Alevina,” jawabnya, merasa nama itu terdengar terlalu sederhana dibandingkan dengan nama Svarog.
“Alevina,” ulang Svarog, seolah mencoba merasakan nama itu di lidahnya. “Keren. Kayak nama tokoh dalam novel fantasi.”
Alevina tertawa kecil, sesuatu yang jarang ia lakukan. “Dan Svarog kayak nama dewa dari mitologi kuno.”
Svarog mengangguk, matanya berbinar. “Tepat sekali. Orangtuaku penggemar mitologi Slavia. Aku kira aku akan jadi petarung hebat atau semacamnya, tapi ternyata aku cuma suka baca buku dan main gitar.”
Percakapan mereka mengalir begitu saja, seperti air yang akhirnya menemukan celah untuk mengalir setelah terbendung begitu lama. Mereka duduk di trotoar di depan toko buku, berbagi cerita tentang buku-buku favorit mereka, tentang puisi yang membuat mereka terjaga di malam hari, tentang lagu-lagu yang terasa seperti pelukan. Alevina merasa aneh—ia tak pernah merasa begitu nyaman dengan seseorang yang baru dikenalnya. Svarog punya cara berbicara yang membuat dunia terasa lebih ringan, seolah semua luka di hati Alevina bisa disembuhkan dengan kata-katanya.
Namun, ada sesuatu di mata Svarog yang membuat Alevina penasaran. Di balik senyumnya yang hangat, ada bayang-bayang kesedihan yang tak ia sembunyikan dengan sempurna. Ketika Alevina bertanya tentang keluarganya, Svarog hanya tersenyum tipis dan mengalihkan topik. “Aku tinggal sendiri,” katanya singkat, dan Alevina tahu untuk tidak bertanya lebih jauh.
Hujan mulai turun, gerimis halus yang membuat udara semakin dingin. Alevina dan Svarog berlari ke bawah tenda kafe di seberang jalan, tertawa seperti anak-anak yang baru saja menemukan petualangan. Di sana, mereka memesan dua cangkir cokelat panas, uapnya menari-nari di udara seperti asap kecil. Svarog mengeluarkan gitar kecil dari tasnya—sebuah gitar akustik yang sedikit usang, tapi terlihat sangat dicintai. Ia memetik beberapa nada, dan Alevina terpesona oleh melodi yang mengalir darinya.
“Mainkan sesuatu untukku,” pinta Alevina, hampir tanpa sadar.
Svarog memandangnya lama, seolah mencari sesuatu di wajahnya. Lalu, ia mulai memetik gitar, dan suaranya yang lembut mulai bernyanyi. Lagu itu bukan lagu yang terkenal, tapi kata-katanya penuh dengan rindu dan kehilangan, seperti puisi yang hidup. Alevina merasa air matanya naik, tapi ia menahannya. Ada sesuatu dalam lagu itu yang terasa begitu pribadi, begitu nyata, seolah Svarog menuangkan seluruh jiwanya ke dalam setiap nada.
Ketika lagu selesai, Alevina tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya memandang Svarog, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar dilihat—bukan sebagai gadis yang patah hati, bukan sebagai anak yang ditinggalkan, tetapi sebagai Alevina, dengan segala mimpi dan lukanya.
“Kenapa kau menulis lagu seperti itu?” tanyanya akhirnya, suaranya hampir berbisik.
Svarog menunduk, jari-jarinya masih memegang senar gitar. “Karena aku tahu rasanya kehilangan sesuatu yang kau sayangi,” jawabnya pelan. “Dan kadang, satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menuliskannya.”
Hujan semakin deras, dan mereka duduk dalam diam, mendengarkan suara air yang jatuh ke trotoar. Alevina merasa seperti dunia telah menyusut menjadi hanya mereka berdua, di bawah tenda kafe yang sederhana, dengan cokelat panas yang mulai mendingin di tangan mereka. Ia tak tahu bahwa pertemuan ini akan mengubah hidupnya, bahwa Svarog akan menjadi cahaya sekaligus bayang-bayang dalam hatinya.
Malam itu, ketika Alevina akhirnya pulang ke rumah, ia tak bisa tidur. Ia duduk di tepi jendela, memandang hujan yang masih turun, dan menulis nama “Svarog” di embun yang menempel di kaca. Di dadanya, ada perasaan yang asing—seperti harapan yang baru lahir, bercampur dengan ketakutan bahwa semua ini hanyalah mimpi yang akan segera memudar.
Melodi di Antara Kabut
Pagi di Kota Seravia selalu diselimuti kabut tipis, seperti selubung yang menyembunyikan rahasia-rahasia kecil kota itu. Alevina bangun dengan perasaan yang tak biasa—ada sesuatu yang berdesir di dadanya, seperti kupu-kupu yang baru belajar terbang. Malam sebelumnya, pertemuan dengan Svarog di depan toko buku tua terasa seperti mimpi, namun nama yang ia tulis di kaca jendela kamarnya masih ada, buram namun nyata. Ia menyentuh tulisan itu dengan ujung jari, merasakan dinginnya kaca, dan tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada alasan untuk menantikan hari ini.
Hari itu adalah hari Sabtu, dan Alevina tidak memiliki rencana selain kembali ke toko buku tua. Ia tak tahu apakah Svarog akan ada di sana, tetapi ia berharap. Ia mengenakan sweter cokelat tua yang sedikit kebesaran, peninggalan ibunya, dan celana jins yang sudah usang di bagian lutut. Rambutnya ia biarkan tergerai, hanya disisir sekilas, karena ia tak pernah suka menghabiskan waktu di depan cermin. Neneknya, yang sedang merajut di ruang tamu, memandangnya dengan tatapan penuh tanya.
“Ke mana lagi kau pergi, Alevina?” tanya neneknya dengan nada lembut namun penuh kekhawatiran. “Kau akhir-akhir ini sering keluar.”
Alevina ragu sejenak. Ia ingin bercerita tentang Svarog, tentang lagu yang ia nyanyikan, tentang matanya yang seperti langit sebelum badai. Tapi kata-kata itu terasa terlalu berat untuk diucapkan. “Cuma ke toko buku, Nek,” jawabnya singkat, lalu mencium pipi neneknya sebelum berlari keluar.
Jalanan Seravia pagi itu sepi, hanya ada beberapa pejalan kaki yang berjalan dengan mantel tebal, melawan angin musim gugur yang semakin dingin. Alevina berjalan dengan langkah cepat, tas kainnya bergoyang di sampingnya. Di dalam tas itu, ia membawa buku puisi yang sama dengan yang dipegang Svarog kemarin. Ia ingin menunjukkannya, mungkin untuk memulai percakapan, atau sekadar untuk merasa lebih dekat dengannya.
Ketika sampai di toko buku, jantungan Alevina berdetak kencang. Ia mengintip melalui etalase, berharap melihat sosok tinggi dengan rambut hitam berantakan itu. Tapi toko itu kosong, kecuali pemiliknya, seorang pria tua dengan kacamata tebal yang sedang menyusun buku di rak. Alevina menghela napas, mencoba menahan kekecewaan yang tiba-tiba menyesaki dadanya. Mungkin Svarog tidak akan datang. Mungkin pertemuan kemarin hanyalah kebetulan, sesuatu yang tidak akan terulang.
Ia memutuskan untuk masuk, berjalan di antara rak-rak kayu yang berderit, mencium aroma kertas tua yang selalu menenangkannya. Ia mengambil sebuah buku puisi dari rak, membukanya secara acak, dan membaca beberapa baris. Kata-kata itu indah, tapi entah kenapa, hari ini mereka terasa hampa. Pikirannya dipenuhi oleh Svarog—senyumnya, suaranya, dan lagu yang ia nyanyikan di bawah tenda kafe.
“Alevina?”
Suara itu membuatnya menoleh dengan cepat, hampir menjatuhkan buku yang dipegangnya. Svarog berdiri di ujung lorong, mengenakan jaket kulit hitam yang sedikit lusuh dan syal abu-abu yang melilit lehernya. Ia tersenyum, dan Alevina merasa jantungannya seperti berhenti sejenak.
“Kau di sini,” kata Alevina, suaranya terdengar lebih legaHobisitas daripada kegembiraan. “Keren, ya?”
Svarog tertawa kecil, mendekat ke arahnya. “Iya, keren. Aku kira aku yang terlambat datang ke sini.” Ia menunjuk ke arah pintu. “Mau jalan-jalan? Aku tahu tempat yang bagus di dekat sini.”
Alevina mengangguk, masih merasa sedikit tak percaya bahwa Svarog benar-benar ada di sana. Mereka keluar dari toko buku dan berjalan menyusuri trotoar, kabut pagi masih menggantung di udara seperti tirai tipis. Svarog membawanya ke sebuah taman kecil yang tersembunyi di antara bangunan-bangunan tua. Taman itu penuh dengan pohon-pohon yang daunnya sudah menguning, dan di tengahnya ada sebuah kolam kecil dengan air mancur yang berderit pelan.
Mereka duduk di bangku kayu yang menghadap kolam, dan Svarog mulai bercerita tentang masa kecilnya. Ia besar di kota lain, jauh dari Seravia, di mana langit selalu cerah dan laut hanya beberapa langkah dari rumahnya. “Tapi aku suka Seravia,” katanya, menatap ke arah kolam. “Ada sesuatu tentang kota ini… seperti ia punya jiwa.”
Alevina mendengarkan dengan penuh perhatian, terpesona oleh caranya bercerita. Svarog punya cara untuk membuat hal-hal sederhana terdengar puitis, seolah setiap kata yang ia ucapkan adalah bagian dari lagu. Ia menceritakan tentang gitar tuanya, hadiah dari kakaknya yang kini sudah tidak ada. Ketika Alevina bertanya apa yang terjadi pada kakaknya, Svarog hanya menunduk dan berkata, “Dia pergi terlalu cepat.” Nada suaranya penuh luka, dan Alevina tidak bertanya lagi.
Untuk mengalihkan perhatian, Alevina mengeluarkan buku puisinya dan menunjukkan sebuah puisi favoritnya. Svarog membacanya dengan suara pelan, dan Alevina merasa seperti ada sesuatu yang hidup di antara mereka, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Setelah selesai membaca, Svarog memandangnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kau benar-benar suka puisi yang sedih, ya?” katanya, setengah bercanda.
“Bukannya sedih,” jawab Alevina, “tapi… nyata. Puisi yang jujur tentang perasaan itu selalu terasa lebih hidup.”
Svarog mengangguk, seolah memahami sesuatu yang tak diucapkan. Mereka menghabiskan berjam-jam di taman itu, berbicara tentang segala hal—musik, buku, mimpi, dan ketakutan. Alevina menceritakan tentang ibunya, tentang betapa ia merindukannya, dan Svarog mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi. Ia hanya memegang tangannya, ringan namun penuh makna, dan Alevina merasa jantungannya berdetak lebih kencang.
Saat matahari mulai terbenam, langit berubah menjadi warna oranye yang lembut, dan Svarog mengeluarkan gitarnya. Ia memainkan sebuah lagu baru, kali ini tentang cinta yang tak pernah diucapkan, tentang dua orang yang bertemu di tengah badai dan berusaha saling menyelamatkan. Alevina mendengarkan dengan mata berkaca-kaca, merasa seperti lagu itu ditulis untuknya.
“Kenapa kau selalu menulis lagu yang begitu… patah hati?” tanya Alevina setelah lagu itu selesai.
Svarog tersenyum kecil, tapi ada kesedihan di matanya. “Karena hidupku penuh dengan patah hati,” jawabnya. “Tapi bertemu denganmu… entah kenapa, rasanya seperti ada harapan.”
Kata-kata itu membuat Alevina terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengakui bahwa ia merasakan hal yang sama, tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Sebelum ia sempat berbicara, Svarog berdiri dan mengulurkan tangannya. “Ayo, aku antar pulang.”
Mereka berjalan pulang dalam diam, tangan mereka sesekali bersentuhan, dan setiap sentuhan itu terasa seperti aliran listrik kecil. Ketika mereka sampai di depan rumah Alevina, Svarog berhenti dan memandangnya lama. “Boleh aku melihatmu lagi?” tanyanya, suaranya penuh harap.
Alevina tersenyum, untuk pertama kalinya tanpa beban. “Besok. Di toko buku, jam yang sama.”
Svarog tersenyum lebar, dan untuk sesaat, dunia terasa sempurna. Tapi di dalam hati Alevina, ada perasaan takut yang tak bisa ia jelaskan—seperti firasat bahwa kebahagiaan ini terlalu rapuh, terlalu indah untuk bertahan lama.
Retak di Bawah Cahaya Bulan
Kabut pagi di Kota Seravia perlahan menghilang, digantikan oleh sinar matahari yang malu-malu menerobos awan kelabu. Alevina berdiri di depan cermin kamarnya, memandang bayangannya dengan perasaan yang bercampur antara kegembiraan dan kecemasan. Hari ini adalah hari ketiga ia akan bertemu Svarog di toko buku tua, dan setiap pertemuan mereka sebelumnya terasa seperti halaman-halaman dari sebuah novel yang ia tak ingin selesai membacanya. Sweter cokelat tua yang biasa ia pakai terasa terlalu biasa hari ini, jadi ia memilih kemeja putih sederhana dengan syal hijau zaitun yang dulu ibunya rajut untuknya. Ia mengikat rambutnya setengah, membiarkan beberapa helai jatuh di samping wajahnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa ingin terlihat sedikit lebih baik.
Neneknya, yang sedang menyiram tanaman di teras, memandangnya dengan senyum kecil yang penuh makna. “Kau terlihat bahagia akhir-akhir ini, Alevina,” katanya, suaranya lembut namun penuh kehangatan. “Apa ada sesuatu yang ingin kau ceritakan?”
Alevina tersenyum tipis, wajahnya memanas. “Belum, Nek. Cuma… aku suka ke toko buku,” jawabnya, menghindari tatapan neneknya. Ia tahu neneknya bisa membaca lebih banyak dari kata-katanya, tapi ia belum siap untuk berbagi tentang Svarog. Bukan karena ia malu, tetapi karena ia takut mengucapkan nama Svarog akan membuat semua ini terasa terlalu nyata—dan terlalu rapuh.
Jalan menuju toko buku terasa lebih ringan hari ini. Angin musim gugur membawa aroma daun kering dan kopi dari kafe-kafe di sepanjang trotoar. Alevina mempercepat langkahnya, jantungannya berdetak kencang setiap kali ia membayangkan senyum Svarog atau suaranya yang rendah saat membaca puisi. Ketika ia sampai di depan toko buku, ia melihat Svarog sudah ada di sana, bersandar di dinding dengan gitar di sampingnya. Ia mengenakan jaket yang sama seperti kemarin, tapi syalnya kini berwarna biru tua, membuat matanya yang abu-abu tampak lebih dalam.
“Kau datang,” kata Svarog, tersenyum lebar saat melihat Alevina mendekat. “Aku kira kau bakal telat lagi.”
Alevina terkekeh, merasa wajahnya kembali memanas. “Aku yang selalu tepat waktu. Kau yang suka muncul tiba-tiba.”
Svarog mengangkat bahu, lalu mengambil gitarnya. “Ayo, hari ini kita ke tempat lain. Aku ingin tunjukkan sesuatu padamu.”
Mereka berjalan meninggalkan toko buku, menyusuri jalan-jalan kecil yang dipenuhi mural-mural tua dan lampu jalan yang mulai menyala di senja yang datang terlalu cepat. Svarog membawa Alevina ke sebuah bukit kecil di pinggir kota, tempat yang jarang dikunjungi orang. Di sana, ada sebuah pohon ek tua yang berdiri sendirian, cabang-cabangnya menjulang seperti tangan-tangan yang merindukan langit. Di bawah pohon itu, Svarog menggelar selimut tua yang ia bawa dari tasnya, dan mereka duduk bersama, memandang kota yang terhampar di bawah seperti lukisan yang diterangi cahaya bulan yang baru muncul.
“Ini tempat favoritku,” kata Svarog, suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Saat aku merasa dunia terlalu berat, aku datang ke sini. Hanya aku, gitar, dan langit.”
Alevina memandangnya, mencoba memahami bayang-bayang di matanya. “Kenapa kau merasa dunia terlalu berat?” tanyanya hati-hati, tak ingin mengorek luka yang mungkin belum siap ia sentuh.
Svarog menunduk, jari-jarinya memetik senar gitar secara acak, menghasilkan nada-nada yang lembut namun penuh emosi. “Kakakku… dia orang yang selalu membuatku merasa dunia ini layak untuk dijalani,” katanya akhirnya, suaranya bergetar. “Dia sakit, Alevina. Kanker. Dia bertahan selama dua tahun, tapi akhirnya…” Ia berhenti, menarik napas dalam-dalam. “Aku kehilangannya setahun lalu. Dan sejak itu, rasanya seperti ada lubang di dadaku yang nggak pernah bisa terisi.”
Alevina merasa air matanya naik, tapi ia menahannya. Ia tahu rasa kehilangan itu—ia merasakannya setiap kali ia memikirkan ibunya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih tangan Svarog, memegangnya erat. “Aku juga kehilangan ibuku,” katanya pelan. “Aku masih kecil waktu itu, tapi rasanya… rasanya seperti aku kehilangan bagian dari diriku sendiri. Aku tahu itu nggak sama, tapi… aku mengerti.”
Svarog memandangnya, matanya berkaca-kaca tapi penuh kehangatan. “Kau nggak harus bilang apa-apa, Alevina. Hanya… terima kasih karena ada di sini.”
Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat, hanya mendengarkan suara angin yang berbisik di antara daun-daun. Svarog mulai memainkan gitarnya lagi, kali ini sebuah melodi yang lebih lembut, hampir seperti lullaby. Alevina menutup matanya, membiarkan musik itu membawanya ke tempat yang aman, tempat di mana luka-luka mereka tak terasa begitu menyakitkan.
“Aku menulis lagu ini untuk kakakku,” kata Svarog setelah lagu itu selesai. “Tapi sekarang, setiap kali aku memainkannya, aku memikirkanmu.”
Alevina membuka matanya, terkejut. “Aku?”
Svarog tersenyum kecil, tapi ada keraguan di wajahnya. “Kau membuatku merasa… seperti aku nggak sendirian lagi. Seperti aku bisa bernapas lagi.”
Kata-kata itu menghantam Alevina seperti gelombang. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengakui bahwa ia merasakan hal yang sama, tapi ada ketakutan yang mengintai di sudut hatinya. Bagaimana jika semua ini hanya sementara? Bagaimana jika Svarog, seperti ibunya, seperti semua yang pernah ia sayangi, akhirnya pergi?
Sebelum ia bisa menjawab, Svarog mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya. Itu adalah buku catatan dengan sampul kulit yang sudah usang, penuh dengan coretan-coretan dan lirik-lirik lagu. “Aku ingin kau baca ini,” katanya, menyerahkan buku itu kepada Alevina. “Ini… seperti bagian dari diriku. Lirik-lirik yang aku tulis, puisi yang nggak pernah aku tunjukkan ke siapa pun.”
Alevina menerima buku itu dengan tangan gemetar. Ia membuka halaman pertama, membaca beberapa baris yang ditulis dengan tulisan tangan Svarog yang sedikit berantakan. Kata-katanya penuh dengan rindu, kehilangan, dan harapan yang rapuh. Ia merasa seperti sedang melihat ke dalam jiwa Svarog, dan itu membuatnya merasa takut sekaligus kagum.
“Kenapa kau mempercayakan ini padaku?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.
“Karena aku percaya padamu,” jawab Svarog sederhana. “Dan karena aku ingin kau tahu siapa aku sebenarnya.”
Malam semakin larut, dan udara semakin dingin. Mereka berjalan pulang bersama, tangan mereka hampir bersentuhan, tapi Alevina terlalu takut untuk menggenggam tangan Svarog. Di depan rumahnya, Svarog berhenti dan memandangnya dengan ekspresi yang penuh makna. “Besok lagi?” tanyanya, suaranya penuh harap.
Alevina mengangguk, tersenyum meskipun hatinya dipenuhi oleh campuran emosi yang tak bisa ia jelaskan. “Besok,” katanya.
Ketika ia masuk ke kamarnya malam itu, Alevina duduk di tepi ranjang, memeluk buku catatan Svarog di dadanya. Ia membaca beberapa halaman lagi, dan setiap kata terasa seperti pisau yang lembut, memotong hatinya dengan cara yang anehnya indah. Tapi di balik keindahan itu, ada firasat yang semakin kuat—seperti retakan kecil di permukaan kaca, yang perlahan menyebar, menunggu untuk menghancurkan segalanya.
Abu yang Tersisa
Hujan kembali turun di Kota Seravia, bukan gerimis lembut seperti biasanya, tetapi hujan deras yang membuat jalanan berkilau seperti cermin yang retak. Alevina berdiri di bawah payung tua neneknya, di depan toko buku yang kini terasa seperti rumah kedua baginya. Buku catatan Svarog masih ia genggam erat di dalam tas kainnya, halaman-halamannya sudah ia baca berulang-ulang hingga ia hafal setiap kata, setiap luka yang tersembunyi di balik lirik-lirik itu. Namun, hari ini, Svarog tidak ada di sana. Sudah dua hari sejak pertemuan terakhir mereka di bukit, dan Alevina merasa seperti ada lubang di dadanya yang semakin membesar dengan setiap menit yang berlalu.
Ia telah mencoba menghubungi Svarog melalui nomor yang ia berikan di hari kedua mereka bertemu, tapi panggilan itu selalu berakhir di pesan suara. Pesan-pesan yang ia kirim hanya ditandai sebagai “terkirim,” tanpa balasan. Alevina mencoba menenangkan dirinya, berpikir bahwa Svarog mungkin sibuk, mungkin gitarnya sedang diperbaiki, atau mungkin ia hanya butuh waktu sendiri. Tapi firasat buruk itu, yang seperti retakan di kaca, terus menggerogoti pikirannya.
Hari itu, Alevina memutuskan untuk tidak menunggu lagi. Ia ingat Svarog pernah menyebutkan sebuah kafe kecil di ujung kota, tempat ia kadang bermain gitar untuk pengunjung. Dengan payung di tangan dan hati yang penuh harap bercampur ketakutan, Alevina berjalan menyusuri jalanan basah, sepatunya mencipratkan air setiap langkah. Kafe itu bernama Lunaria, sebuah tempat kecil dengan jendela-jendela besar yang memantulkan cahaya lampu temaram ke trotoar. Ketika ia masuk, aroma kopi dan roti panggang menyambutnya, tapi suasana kafe terasa lebih sepi dari yang ia bayangkan.
Pemilik kafe, seorang wanita paruh baya dengan rambut dikuncir dan senyum ramah, menyapa Alevina. “Cari seseorang, Nak?” tanyanya, seolah bisa membaca kecemasan di wajah Alevina.
“Iya, Svarog,” jawab Alevina, suaranya sedikit gemetar. “Dia biasa main gitar di sini, kan?”
Wajah wanita itu berubah, senyumnya memudar menjadi ekspresi yang penuh simpati. “Oh, Nak… Svarog. Kau temannya, ya?” Ia menghela napas, lalu mengangguk ke arah meja kecil di sudut kafe. “Duduk dulu. Aku ceritakan sesuatu.”
Alevina merasa jantungannya berhenti sejenak. Ia duduk, tangannya menggenggam tasnya erat-erat, seolah buku catatan Svarog adalah satu-satunya yang menahannya agar tidak runtuh. Wanita itu, yang memperkenalkan diri sebagai Mira, mulai bercerita. “Svarog anak yang baik, tapi dia… dia nggak ceritain banyak tentang dirinya. Dia cuma bilang dia nggak punya banyak waktu.”
Alevina mengerutkan kening, tak mengerti. “Apa maksudnya?”
Mira menunduk, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Svarog sakit, Nak. Dia nggak bilang apa, tapi aku tahu dari caranya bicara, caranya main gitar, kayak dia coba ninggalin sesuatu di dunia ini sebelum dia pergi. Terakhir dia ke sini, tiga hari lalu, dia bilang dia mau ke rumah sakit buat cek apa lagi yang bisa dilakuin.”
Dunia seolah runtuh di sekitar Alevina. Hujan di luar terasa seperti ribuan jarum yang menusuk hatinya. “Rumah sakit?” ulangnya, suaranya hampir tak terdengar. “Dia nggak bilang apa-apa padaku.”
Mira mengangguk pelan. “Dia nggak suka orang kasihan sama dia. Tapi dia pernah bilang tentang seorang gadis, yang suka puisi dan punya mata yang bikin dia pengen nulis lagu lagi. Aku kira itu kamu.”
Alevina merasa air matanya mengalir, tapi ia tak peduli. Ia bangkit dari kursi, berterima kasih pada Mira dengan suara serak, dan berlari keluar kafe, payungnya terlupa di meja. Hujan membasahi wajahnya, mencampur air mata dengan air hujan, tapi ia terus berlari menuju rumah sakit kota, satu-satunya tempat yang ia tahu mungkin menjadi tujuan Svarog. Napasnya tersengal, sepatunya basah kuyup, tapi ia tak bisa berhenti. Ia harus menemukan Svarog, harus tahu bahwa ia baik-baik saja, bahwa semua ini hanya salah paham.
Ketika ia sampai di rumah sakit, resepsionis dengan ramah namun tegas meminta nama pasien. “Svarog… Svarog Varnov,” kata Alevina, menyadari bahwa ia bahkan tidak tahu nama keluarga Svarog sampai ia melihatnya tertulis di buku catatannya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti abad, resepsionis mengarahkan Alevina ke kamar di lantai tiga.
Alevina berlari menaiki tangga, tak sabar menunggu lift. Ketika ia sampai di depan kamar Svarog, ia berhenti, tangannya gemetar di pegangan pintu. Ia takut melihat apa yang ada di balik pintu itu, tapi ia lebih takut kehilangan Svarog tanpa pernah mengatakan apa yang ada di hatinya.
Svarog terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat namun matanya masih berkilau seperti langit sebelum badai. Gitarnya ada di sudut kamar, bersandar seperti sahabat setia. Ketika ia melihat Alevina, ia tersenyum, tapi senyum itu lemah, penuh penyesalan. “Alevina,” katanya, suaranya serak. “Kau datang.”
Alevina berjalan mendekat, air matanya mengalir tanpa henti. “Kenapa kau nggak bilang apa-apa?” tanyanya, suaranya pecah. “Kenapa kau biarkan aku berpikir… berpikir bahwa kita punya waktu?”
Svarog meraih tangannya, jari-jarinya dingin namun penuh kehangatan. “Aku nggak mau kau lihat aku kayak gini,” katanya. “Aku mau kau ingat aku sebagai orang yang nyanyi buatmu di bawah hujan, bukan… bukan ini.”
Alevina menggeleng, duduk di samping ranjangnya. “Aku nggak peduli, Svarog. Aku cuma ingin bersamamu. Aku…” Ia menarik napas, mencoba menemukan keberanian. “Aku sayang sama kamu.”
Svarog memandangnya, matanya berkaca-kaca. “Aku juga sayang sama kamu,” katanya pelan. “Makanya aku kasih buku catatan itu. Supaya kau punya sesuatu dari aku, kalau-kalau aku nggak bisa kasih lebih.”
Mereka duduk dalam diam, tangan mereka saling menggenggam, hujan di luar terus berderai seperti lagu yang tak pernah selesai. Svarog menceritakan bahwa penyakitnya, leukemia, sudah terdeteksi sejak ia kehilangan kakaknya, dan meskipun ia berjuang, dokter mengatakan waktunya tinggal sedikit. “Tapi bertemu sama kamu,” katanya, “itu kayak hadiah yang nggak aku minta, tapi aku syukuri setiap hari.”
Malam itu, Alevina tinggal di samping Svarog, membaca puisi dari buku catatannya, menyanyikan lagu-lagu yang Svarog tulis dengan suara yang gemetar. Ketika Svarog tertidur, Alevina menulis sebuah puisi di halaman terakhir buku catatannya, tentang cinta yang lahir di bawah langit kelabu, tentang hujan yang membawa mereka bersama, dan tentang abu yang tersisa ketika semua berakhir.
Pagi harinya, Svarog tak lagi membuka matanya. Alevina memeluk buku catatan itu, menangis hingga tak ada air mata yang tersisa. Di luar, hujan berhenti, dan langit Seravia, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, terlihat cerah. Tapi bagi Alevina, dunia telah kehilangan warnanya.
Beberapa minggu kemudian, Alevina kembali ke bukit dengan pohon ek tua. Ia membawa gitar Svarog, yang diberikan keluarganya kepadanya sebagai kenangan. Di bawah pohon itu, ia memetik senar-senarnya, mencoba memainkan melodi yang Svarog ajarkan. Ia tahu ia tak akan pernah bisa memainkannya seindah Svarog, tapi setiap nada terasa seperti percakapan dengannya, seperti ia masih ada di sisinya.
Alevina menutup buku catatan itu, menuliskan satu kalimat terakhir: “Cinta kita seperti hujan—singkat, indah, dan tak akan pernah kulupakan.” Ia meletakkan buku itu di bawah pohon, membiarkan angin membawa kenangan mereka ke langit. Dan di sana, di bawah cahaya bulan yang pucat, Alevina belajar bahwa cinta, meski penuh luka, adalah hal yang membuat hidupnya layak dijalani.
Rindu di Balik Hujan Abu bukan sekadar cerpen, melainkan sebuah perjalanan emosional yang mengajarkan kita tentang kekuatan cinta di tengah kepedihan. Dengan narasi yang kaya dan karakter yang hidup, kisah Alevina dan Svarog akan terus bergema di hati pembaca, mengingatkan kita bahwa bahkan cinta yang singkat dapat meninggalkan jejak abadi. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan keindahan dan luka dari cerita ini, yang menangkap esensi dari perasaan manusia dengan begitu sempurna.
Terima kasih telah menyelami keindahan Rindu di Balik Hujan Abu bersama kami. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menghargai setiap momen cinta dan kenangan dalam hidup. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan tetaplah menjelajahi cerita-cerita yang menyentuh hati!


