Daftar Isi
Pernahkah Anda merasakan rindu yang begitu dalam hingga terasa seperti bagian dari diri Anda? Rindu di Balik Gerbang Sekolah adalah cerpen emosional yang mengajak Anda menyelami kisah Alina, seorang siswi SMA yang bergulat dengan kehilangan sahabatnya, Raka. Dengan latar sekolah yang penuh nostalgia, cerita ini menggambarkan perjalanan menyentuh tentang luka, persahabatan, dan keberanian untuk melangkah maju. Simak ulasan lengkapnya dan temukan mengapa cerpen ini wajib dibaca bagi Anda yang mencari inspirasi dan kehangatan di tengah rindu!
Rindu di Balik Gerbang Sekolah
Bayang di Pagi yang Kelabu
Pagi itu, langit di atas SMA Harapan Jaya kelabu, seolah menahan napas. Awan tebal menggantung rendah, menyembunyikan sinar matahari yang biasanya menyapa halaman sekolah dengan hangat. Di sudut gerbang besi yang mulai berkarat, seorang gadis berdiri sendirian, memandang ke arah lapangan upacara yang kini sepi. Namanya Alina, siswi kelas 12 yang selalu datang lebih awal, bukan karena rajin, tetapi karena hanya di sini, di keheningan pagi, ia bisa mendengar suara hatinya sendiri.
Alina mengenakan seragam putih abu-abu yang sedikit kusut, rambutnya yang panjang dikuncir asal-asalan. Di tangannya, ia memegang sebuah buku catatan kecil, sampulnya sudah usang, penuh coretan tinta dan lipatan di sudut-sudutnya. Buku itu bukan buku pelajaran, melainkan tempat ia menuliskan setiap detik yang ingin ia ingat—dan yang ingin ia lupakan. Matanya yang cokelat tua menatap kosong ke arah tiang bendera di tengah lapangan, tempat kenangan itu pernah bertahta.
Tiga tahun lalu, di lapangan yang sama, Alina bukanlah gadis pendiam seperti sekarang. Ia adalah bintang kelas, selalu tersenyum, dikelilingi tawa teman-temannya. Ada satu sosok yang membuatnya merasa dunia ini penuh warna: Raka, sahabatnya sejak SMP, yang selalu ada di sisinya. Raka dengan senyum lebarnya, yang bisa membuat hujan reda di hati Alina. Mereka berjanji akan menaklukkan SMA bersama, menjadi legenda di sekolah ini, mungkin dengan memenangkan lomba debat atau membuat band yang lagunya akan dikenang selamanya. Tapi janji itu kini hanya debu, tertiup angin, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh.
Alina menghela napas, uap tipis keluar dari mulutnya karena udara pagi yang dingin. Ia membuka buku catatannya, menelusuri halaman yang sudah ia baca ratusan kali. Di sana, dengan tulisan tangan Raka yang khas—huruf-hurufnya besar dan sedikit miring—tertulis: “Al, kalau suatu hari aku nggak di sini, jangan lupa senyum, ya. Dunia terlalu suram tanpa senyummu.” Air mata Alina menetes, membasahi kertas itu, membuat tinta biru sedikit luntur. Ia buru-buru mengusap matanya, tak ingin ada yang melihatnya menangis. Tapi di pagi yang sepi ini, tak ada siapa-siapa, hanya dia dan bayang-bayang masa lalu.
Tiba-tiba, suara derit gerbang membuyarkan lamunannya. Pak Yanto, satpam sekolah yang sudah bekerja puluhan tahun, muncul dengan sapu di tangan. Wajahnya yang keriput penuh kehangatan, tapi matanya seolah bisa melihat luka yang disembunyikan Alina. “Pagi, Nak. Lagi nunggu siapa? Kok sendirian?” tanya Pak Yanto dengan suara serak yang lembut.
Alina tersenyum kecil, pura-pura baik-baik saja. “Nggak nunggu siapa-siapa, Pak. Cuma suka pagi di sini. Tenang.” Ia menutup buku catatannya, memasukkannya ke dalam tas dengan hati-hati, seolah itu harta karun terakhirnya.
Pak Yanto mengangguk, tak memaksa bertanya lebih jauh. “Sekolah ini penuh cerita, Nak. Ada yang indah, ada yang sedih. Tapi semua cerita itu bikin kita jadi manusia.” Ia tersenyum, lalu berjalan menyapu daun-daun kering yang berserakan di halaman.
Alina memandang punggung Pak Yanto yang menjauh, kata-katanya menggema di pikirannya. Penuh cerita. Ya, sekolah ini adalah kanvas raksasa, penuh coretan suka dan duka. Tapi baginya, cerita terindahnya telah berakhir, dan yang tersisa hanyalah penyesalan. Ia ingin sekali kembali ke masa itu, ke hari-hari ketika Raka masih ada, ketika tawa mereka menggema di koridor kelas, ketika dunia terasa begitu sederhana.
Bel masuk berbunyi, memecah keheningan. Suara riuh siswa mulai memenuhi halaman. Alina menarik napas dalam-dalam, menegakkan punggungnya, dan melangkah menuju kelas. Tapi di dalam hatinya, ia tahu: pagi ini, seperti setiap pagi lainnya, ia tak hanya berjalan menuju kelas, tetapi juga menuju kenangan yang tak pernah bisa ia lepaskan.
Jejak di Koridor yang Sunyi
Kelas 12 IPA 2 sudah mulai ramai ketika Alina melangkah masuk. Cahaya matahari pagi yang mulai menembus awan kelabu menyelinap melalui jendela-jendela besar, menerangi meja-meja kayu yang penuh goresan inisial dan coretan tinta. Bau kapur dari papan tulis bercampur dengan aroma buku pelajaran yang baru dibuka, menciptakan suasana khas ruang kelas yang begitu familiar bagi Alina, namun kini terasa asing. Ia berjalan menuju bangku di pojok dekat jendela, tempat yang selalu ia pilih sejak tahun lalu—tempat yang memberinya pandangan ke luar, ke dunia yang seolah tak pernah berubah, meski hatinya telah retak.
Di sekitarnya, teman-teman sekelas mulai berbincang riuh. Ada yang membahas soal ujian matematika yang katanya sulit, ada yang tertawa keras karena lelucon absurd tentang guru fisika yang selalu lupa nama siswa. Tapi bagi Alina, suara-suara itu hanya seperti dengungan samar, terpisah oleh dinding tak kasat mata yang ia bangun di sekitar dirinya. Ia mengeluarkan buku catatannya dari tas, meletakkannya di atas meja, dan menelusuri sampulnya dengan jari-jarinya, seolah menyapa kenangan yang tersimpan di dalamnya.
“Al, lo nggak bosen bawa buku tua itu kemana-mana?” Suara ceria menyela lamunannya. Alina mendongak, mendapati Sita, teman sekelasnya, berdiri di depan mejanya. Sita, dengan rambut pendek sebahu dan senyum yang selalu lebar, adalah satu-satunya yang masih berusaha mendekati Alina meski ia sering menutup diri. Di tangan Sita, ada sebotol teh manis dingin yang ia pegang erat, tetesan air di botol itu membasahi lantai.
Alina tersenyum tipis, lebih karena sopan santun daripada keinginan. “Buku ini… penting,” jawabnya singkat, suaranya lembut tapi datar. Ia tak ingin menjelaskan lebih jauh, tak ingin Sita—orang lain—mengintip luka yang ia simpan dalam lipatan-lipatan kertas itu.
Sita mengangguk, tak memaksa, tapi matanya yang cerdas seolah mencoba membaca sesuatu di balik ekspresi datar Alina. “Oh ya, lo tahu nggak, tadi aku dengar kabar dari Bu Rina. Katanya, minggu depan ada acara perpisahan buat kelas 12. Kayaknya bakal ada pentas seni, lomba, gitu deh. Lo ikut nggak?” Sita duduk di bangku di depan Alina, memutar tubuhnya agar bisa menghadap temannya.
Alina menggeleng pelan. “Nggak tahu. Belum kepikiran.” Kata-katanya terdengar seperti akhir dari percakapan, tapi Sita tak menyerah.
“Yah, sayang banget, Al. Dulu lo kan paling heboh kalau ada acara gini. Ingat nggak, pas kelas 10, lo dan…” Sita tiba-tiba berhenti, kata-katanya tercekat. Wajahnya memerah, seolah baru menyadari bahwa ia hampir menyebut nama yang tak seharusnya. “Maaf, Al. Aku nggak sengaja.”
Alina menunduk, tangannya mencengkeram erat buku catatannya. Nama itu, meski tak terucap, terasa seperti pisau yang menusuk dadanya. Raka. Ia bisa melihat bayangannya di benaknya: Raka yang berdiri di panggung aula sekolah dua tahun lalu, memainkan gitar dengan penuh semangat, menyanyikan lagu ciptaannya sendiri yang sederhana tapi penuh jiwa. Alina ada di sampingnya saat itu, memainkan keyboard, tersenyum lebar karena merasa dunia adalah milik mereka. Tapi itu dulu, sebelum semuanya berubah.
“Gak papa, Sit,” gumam Alina, suaranya hampir tak terdengar. Ia memaksakan senyum, tapi matanya berkaca-kaca. Sita tampak ingin berkata sesuatu, tapi bel pelajaran berbunyi, memaksa semua siswa kembali ke tempat duduk mereka.
Guru matematika, Pak Budi, masuk dengan langkah cepat, membawa setumpuk kertas ulangan. Pelajaran dimulai, tapi pikiran Alina melayang jauh. Ia menatap jendela, ke pohon beringin besar di ujung lapangan yang dulu sering menjadi tempat ia dan Raka menghabiskan waktu. Di bawah pohon itu, mereka pernah berbagi mimpi—Raka ingin menjadi musisi terkenal, sementara Alina bermimpi jadi penulis yang karyanya menginspirasi dunia. Mereka berjanji akan saling mendukung, tak peduli apa pun yang terjadi. Tapi hidup, seperti yang Alina pelajari dengan cara paling pahit, tak pernah mempedulikan janji.
Tiba-tiba, sebuah kenangan lain muncul, begitu jelas hingga membuat dadanya sesak. Itu adalah sore di koridor sekolah, beberapa bulan sebelum semuanya berubah. Raka berlari ke arahnya, wajahnya penuh semangat, memegang selembar kertas. “Al, dengar ini! Aku bikin lagu baru. Judulnya ‘Jejak di Langit’. Ini buat kita, lo tahu nggak?” katanya sambil tertawa. Alina masih ingat bagaimana ia merebut kertas itu, pura-pura kesal tapi sebenarnya bahagia, lalu membaca lirik yang ditulis Raka dengan tulisan tangannya yang khas. Lagu itu bercerita tentang dua sahabat yang meninggalkan jejak di dunia, tak peduli seberapa kecil langkah mereka.
Alina tak sadar air matanya jatuh, menetes ke buku matematikanya yang terbuka. Ia buru-buru mengusapnya, berharap tak ada yang memperhatikan. Tapi Sita, yang duduk tak jauh, melihatnya. Gadis itu menulis sesuatu di secarik kertas, lalu menyelinapkannya ke meja Alina saat Pak Budi membalikkan tubuh untuk menulis di papan tulis. Alina membuka kertas itu perlahan. Di sana, dengan tulisan tangan Sita yang rapi, tertulis: “Al, aku tahu lo sedih. Tapi lo nggak sendirian. Aku di sini, oke?”
Alina menatap kertas itu lama, hatinya terasa hangat sekaligus perih. Ia ingin percaya pada kata-kata Sita, ingin membuka diri lagi, tapi luka di hatinya terlalu dalam. Ia melipat kertas itu dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam buku catatannya, di samping halaman yang berisi tulisan Raka. Dua jejak dari dua orang berbeda, satu dari masa lalu yang hilang, satu dari masa kini yang masih mencoba menjangkaunya.
Saat pelajaran berakhir, Alina tetap duduk di bangkunya, menatap koridor di luar kelas yang kini mulai sepi. Di ujung koridor itu, ia hampir bisa melihat bayangan Raka berlari, memanggil namanya dengan tawa. Tapi bayangan itu lenyap, meninggalkan Alina dengan pertanyaan yang sama yang selalu menghantuinya: Mengapa kau pergi, Ka? Dan mengapa aku tak bisa melupakanmu?
Gema di Bawah Pohon Beringin
Sore itu, SMA Harapan Jaya terasa seperti lukisan yang mulai memudar. Matahari merangkak turun di ufuk barat, melemparkan cahaya jingga yang lembut ke halaman sekolah, menyapu lapangan upacara dan koridor-koridor yang kini sepi. Alina berdiri di bawah pohon beringin besar di ujung lapangan, tempat yang dulu menjadi saksi tawa dan mimpi-mimpinya bersama Raka. Angin sore membelai daun-daun beringin yang bergoyang pelan, menciptakan suara desir yang seolah berbisik, memanggil kenangan yang Alina coba kubur dalam-dalam.
Hari ini, pelajaran berakhir lebih awal karena rapat guru, dan sebagian besar siswa sudah pulang. Tapi Alina memilih tinggal, bukan karena tugas atau kegiatan ekstrakurikuler, melainkan karena ia merasa pohon beringin ini adalah satu-satunya tempat di sekolah yang masih menyimpan jejak Raka. Ia duduk di akar pohon yang menonjol dari tanah, tasnya diletakkan sembarangan di sampingnya. Di tangannya, buku catatan usang itu terbuka pada halaman yang berisi lirik lagu “Jejak di Langit” karya Raka. Matanya menelusuri setiap baris, setiap kata yang ditulis dengan penuh semangat oleh sahabatnya dulu.
“Kita tinggalkan jejak di langit, Al, meski dunia lupa,” begitu kata Raka suatu sore, di tempat yang sama, sambil menunjuk ke langit yang berwarna merah muda. Alina masih ingat bagaimana matanya berbinar, penuh harapan, seolah dunia tak bisa menghentikannya. Tapi dunia, dengan caranya yang kejam, ternyata punya rencana lain.
Tiba-tiba, suara langkah kaki memecah keheningan. Alina menoleh, sedikit tersentak, dan melihat Sita mendekat dengan langkah ragu. Gadis itu membawa sebuah kotak kecil dari karton, mungkin bekas kotak kue, yang dipegangnya dengan hati-hati. “Al, aku tahu lo pasti di sini,” kata Sita, suaranya lembut tapi penuh tekad. Ia duduk di samping Alina tanpa menunggu izin, meletakkan kotak itu di pangkuannya.
Alina mengatupkan buku catatannya, sedikit canggung. “Lo nggak pulang, Sit?” tanyanya, mencoba mengalihkan perhatian dari sorot mata Sita yang seolah ingin menggali sesuatu darinya.
Sita menggeleng, tersenyum kecil. “Nggak, aku pengen ngobrol sama lo. Udah lama kita nggak ngobrol beneran, tahu nggak?” Ia membuka kotak karton itu perlahan, mengeluarkan beberapa foto lama yang sudut-sudutnya sudah menguning. “Tadi aku beresin gudang OSIS, nemu ini. Foto-foto pas kita kelas 10. Aku pikir… mungkin lo mau lihat.”
Alina menatap foto-foto itu dengan hati yang berdegup kencang. Di salah satu foto, ia melihat dirinya dan Raka berdiri di panggung aula, tersenyum lebar setelah penampilan band mereka di acara pensi. Raka memegang gitar, rambutnya yang sedikit acak-acakan diterpa angin kipas panggung, sementara Alina berdiri di sampingnya, memegang mikrofon dengan wajah penuh percaya diri. Di foto lain, mereka berdua duduk di bawah pohon beringin ini, bersama Sita dan beberapa teman lain, tertawa karena sesuatu yang kini terasa begitu jauh.
Air mata Alina menggenang, tapi ia menahannya dengan susah payah. “Kenapa lo bawa ini, Sit?” suaranya parau, hampir menyerupai bisik. Ada sedikit nada menyalahkan dalam pertanyaannya, seolah Sita sengaja membuka luka yang ia coba tutup.
Sita menunduk, jari-jarinya memainkan sudut salah satu foto. “Aku tahu lo masih sedih soal Raka, Al. Aku juga sedih. Dia sahabat kita semua. Tapi… aku nggak mau lo terus-terusan tenggelam di masa lalu. Raka pasti nggak mau lihat lo gini.” Kata-katanya tulus, tapi bagi Alina, setiap syllable terasa seperti pukulan.
Alina menggenggam buku catatannya lebih erat, seolah itu tamengnya. “Lo nggak ngerti, Sit,” katanya, suaranya gemetar. “Raka bukan cuma sahabat. Dia… dia yang bikin aku percaya aku bisa jadi sesuatu. Dan sekarang, dia nggak ada. Aku nggak tahu caranya buat lanjut tanpa dia.” Air matanya akhirnya jatuh, menetes ke tanah di bawah pohon beringin, menyatu dengan debu.
Sita terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia meraih tangan Alina, memegangnya dengan lembut. “Aku nggak bilang aku ngerti, Al. Tapi aku tahu Raka nggak akan mau lo nyerah. Ingat nggak, dia selalu bilang kalau lo punya cerita yang harus ditulis? Lo pernah bilang lo mau jadi penulis. Mungkin… mungkin itu caranya buat ngelanjutin jejak dia.”
Kata-kata Sita seperti petir di tengah keheningan. Alina teringat malam-malam ketika ia dan Raka duduk di kamarnya, menulis cerita pendek bersama, tertawa karena ide-ide konyol mereka. Raka selalu bilang bahwa kata-kata Alina punya kekuatan untuk mengubah hati orang. Tapi setelah Raka pergi, Alina tak pernah lagi menyentuh pena untuk menulis. Setiap kali ia mencoba, rasa bersalah menghantuiny—rasa bersalah karena ia masih bisa bermimpi, sementara Raka tidak.
Tiba-tiba, sebuah ingatan lain muncul, begitu tajam hingga membuat napas Alina tersengal. Itu adalah hari terakhir ia melihat Raka, di koridor sekolah, dua tahun lalu. Raka tampak pucat, lebih kurus dari biasanya, tapi senyumnya tetap sama. “Al, aku mungkin harus istirahat sebentar,” katanya, suaranya lemah tapi berusaha ceria. “Tapi lo janji, ya, tetep nulis. Ceritain dunia buat aku.” Alina mengangguk saat itu, tak tahu bahwa itu adalah janji yang tak akan pernah ia tepati—karena seminggu kemudian, Raka pergi selamanya, dikalahkan oleh penyakit yang ia sembunyikan dari semua orang.
Alina tersadar dari lamunannya ketika Sita menyentuh bahunya. “Al, lo dengar aku nggak?” tanya Sita, suaranya penuh kekhawatiran.
Alina mengangguk pelan, tapi hatinya terasa seperti pecahan kaca yang tak bisa disatukan lagi. Ia menatap foto-foto di tangan Sita, lalu ke pohon beringin yang menjulang di atas mereka. “Sit, lo pernah nggak… ngerasa bersalah karena masih hidup, sementara orang yang lo sayang nggak ada?” Pertanyaannya keluar begitu saja, mentah dan penuh luka.
Sita terkejut, tapi ia tak menjawab segera. Ia hanya memeluk Alina, erat, seolah ingin menahan pecahan-pecahan hati temannya agar tak tercerai-berai. Di bawah pohon beringin, di tengah gema kenangan, mereka duduk dalam diam, ditemani angin sore yang membawa aroma tanah dan daun kering.
Jauh di kejauhan, bel sekolah berbunyi pelan, menandakan akhir hari. Tapi bagi Alina, hari ini bukan akhir—melainkan langkah kecil menuju pertanyaan yang lebih besar: bisakah ia menemukan cara untuk hidup dengan luka ini, atau akankah ia selamanya terjebak di bawah bayang-bayang pohon beringin?
Jejak yang Tak Pernah Hilang
Hari perpisahan kelas 12 di SMA Harapan Jaya tiba dengan langit cerah yang tak biasa. Sinar matahari pagi menyapu halaman sekolah, memantul di gerbang besi yang kini dihias pita-pita warna-warni. Aroma bunga melati dari karangan bunga ucapan selamat berbaur dengan suara riuh siswa yang berkumpul di aula, bercampur tawa, tangis, dan lagu-lagu perpisahan yang mengalun dari speaker. Tapi di tengah keramaian itu, Alina berdiri di sudut lapangan, dekat pohon beringin, memandang kerumunan dengan mata yang penuh keraguan. Buku catatan usang itu masih ada di tangannya, seperti jangkar yang menahannya agar tak hanyut dalam arus emosi.
Seminggu telah berlalu sejak percakapan dengan Sita di bawah pohon beringin. Kata-kata Sita terus bergema di pikirannya: “Raka pasti nggak mau lihat lo gini.” Alina tahu Sita benar, tapi melepaskan luka itu terasa seperti mengkhianati Raka, sahabat yang telah memberinya begitu banyak warna dalam hidup. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya sejak sore itu—sebuah dorongan kecil, hampir tak terasa, untuk melangkah maju, meski hanya setapak.
Pagi ini, sebelum acara perpisahan dimulai, Alina melakukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Di kamarnya, di bawah cahaya lampu meja yang redup, ia membuka buku catatannya dan mulai menulis. Bukan sekadar catatan acak, tapi sebuah cerita pendek—tentang seorang anak laki-laki yang bermimpi meninggalkan jejak di langit, dan seorang gadis yang belajar hidup dengan rindu. Cerita itu adalah cerminan dirinya dan Raka, ditulis dengan air mata dan keberanian yang ia kira telah hilang. Ia tak tahu apakah cerita itu bagus, tapi untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa hidup.
Sekarang, berdiri di bawah pohon beringin, Alina merasakan jantungan di dadanya. Sita, yang menjadi panitia acara perpisahan, telah memintanya untuk berbagi sesuatu di panggung—mungkin sebuah kenangan, sebuah lagu, atau apa saja yang bisa menjadi bagian dari perpisahan ini. Alina awalnya menolak, tapi Sita, dengan kegigihannya yang khas, berkata, “Al, ini bukan cuma buat lo. Ini buat kita semua, yang pernah kenal Raka.” Kata-kata itu menghantam Alina seperti angin kencang, dan akhirnya ia setuju, meski dengan hati yang gemetar.
“Al, ayo! Udah waktunya!” Sita muncul dari kerumunan, wajahnya berseri meski sedikit kelelahan karena mengurus acara. Ia mengenakan seragam dengan lencana panitia di dada, rambutnya diikat rapi dengan pita merah. Alina menarik napas dalam-dalam, mengangguk, dan mengikuti Sita menuju aula, buku catatannya digenggam erat seperti perisai.
Aula sekolah penuh sesak. Siswa kelas 12 duduk berderet, beberapa menangis, beberapa tertawa, sementara guru-guru berdiri di samping dengan senyum bangga bercampur haru. Di panggung, sebuah layar besar menampilkan slideshow foto-foto tiga tahun terakhir: momen lomba, pensi, hingga foto-foto candid di koridor. Ketika sebuah foto muncul—Alina dan Raka di bawah pohon beringin, tertawa dengan wajah penuh semangat—hati Alina terasa seperti diremas. Tapi kali ini, ia tak menunduk. Ia menatap foto itu, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum kecil, bukan karena sedih, tapi karena bersyukur pernah memiliki momen itu.
Sita naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. “Teman-teman, sebelum kita tutup acara ini, ada seseorang yang ingin berbagi sesuatu. Dia adalah salah satu dari kita, yang mungkin selama ini kita lihat pendiam, tapi punya cerita yang layak didengar. Ayo, Alina, ke sini!” Sorak sorai dan tepuk tangan menggema, membuat wajah Alina memanas. Ia melangkah ke panggung dengan kaki yang terasa seperti kapas, tapi matanya penuh tekad.
Berdiri di depan mikrofon, Alina merasa ribuan pasang mata menatapnya. Ia membuka buku catatannya, tangannya sedikit gemetar. “Aku… aku nggak pandai bicara di depan orang banyak,” katanya, suaranya pelan tapi jelas. “Tapi hari ini, aku ingin cerita tentang seseorang yang pernah buat hidupku penuh warna. Namanya Raka.”
Ruangan menjadi hening. Nama Raka seperti mantra yang membawa semua orang kembali ke masa lalu. Alina menarik napas, lalu mulai membacakan cerita pendek yang ia tulis. Kata-katanya sederhana, tapi setiap kalimat dipenuhi emosi: tentang anak laki-laki yang bermimpi besar, tentang lagu yang tak pernah selesai, tentang rindu yang terasa seperti lubang di dada. Ia menceritakan bagaimana Raka, meski hanya sebentar di dunia ini, telah meninggalkan jejak yang tak akan pernah hilang—di hatinya, di sekolah ini, di setiap orang yang pernah mendengar tawanya.
Saat ia membaca kalimat terakhir—“Dan gadis itu belajar, bahwa rindu bukan untuk dilupain, tapi untuk dirangkul, karena di dalam rindu, ada cinta yang abadi”—air mata mengalir di wajahnya, tapi ia tak menghapusnya. Ia mendongak, melihat wajah-wajah teman-temannya, beberapa menangis, beberapa tersenyum, dan di antara mereka, ia merasa Raka ada di sana, tersenyum lebar seperti dulu.
Tepuk tangan membahana, tapi Alina tak mendengarnya. Ia turun dari panggung, dipeluk erat oleh Sita yang juga menangis. “Lo hebat, Al. Raka pasti bangga,” bisik Sita. Alina hanya mengangguk, dadanya terasa ringan untuk pertama kalinya dalam dua tahun.
Acara berakhir dengan lagu perpisahan yang dinyanyikan bersama. Alina berdiri di antara teman-temannya, menyanyi pelan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bukan hanya bayang-bayang masa lalu, tapi juga bagian dari masa kini. Saat ia melangkah keluar aula, menuju gerbang sekolah, ia berhenti sejenak di bawah pohon beringin. Ia membuka buku catatannya, menulis satu kalimat terakhir di halaman kosong: “Ka, aku akan lanjut nulis, buat kita berdua.”
Angin sore membelai wajahnya, membawa aroma daun beringin dan kenangan. Alina tersenyum, lalu melangkah melewati gerbang, menuju dunia yang masih penuh luka, tapi juga penuh harapan. Di belakangnya, SMA Harapan Jaya berdiri kokoh, menyimpan cerita-cerita yang tak pernah benar-benar berakhir.
Rindu di Balik Gerbang Sekolah bukan sekadar cerita, melainkan cerminan dari perjuangan batin yang kita semua pernah rasakan. Melalui perjalanan Alina, kita diajak untuk merangkul rindu sebagai bagian dari cinta, bukan beban yang menghambat. Cerpen ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap luka, ada harapan yang menanti untuk ditemukan. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca karya ini dan biarkan kisahnya menginspirasi Anda untuk menemukan kekuatan dalam kenangan.