Razi dan Perubahan: Menjaga Lingkungan dengan Sentuhan Teknologi di Era Modern

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernah kamu ngerasain gabungan antara kecintaan pada lingkungan dan kemajuan pada teknologi? Cerita ini bakal bikin kamu terpukau sama perjuangan Razi, seorang siswa SMA yang super gaul dan punya banyak teman.

Dalam menciptakan sesuatu yang nggak hanya cuma bermanfaat untuk sekolahnya, tapi juga menginspirasi banyak orang. Yuk, baca kisah seru Razi di Eco-Tech Day, lengkap dengan tantangan yang bikin hati ikut berdebar!

 

Menjaga Lingkungan dengan Sentuhan Teknologi di Era Modern

Razi dan Dunia yang Berubah

Di tengah riuhnya suasana sekolah, Razi, anak laki-laki yang terkenal dengan keaktifan dan gaya hidup gaulnya, tampak sibuk dengan smartphone-nya. Dia memang selalu punya cara untuk menghibur dirinya dan teman-temannya dari berbagi meme lucu, video viral, sampai tips keren di media sosial. Teman-temannya selalu mencari dia kalau ada yang ingin dibahas soal tren terbaru atau gadget terbaru yang baru saja dirilis. Tapi, di balik semua keceriaan itu, Razi sebenarnya mulai merasakan ada yang kurang.

Suatu hari, saat sedang duduk di kantin dengan teman-temannya, Razi memperhatikan sampah yang berserakan di sekitar meja. Kantin sekolah mereka, yang biasanya penuh tawa dan obrolan, tiba-tiba terasa sedikit kacau. Plastik bekas makanan tercecer di mana-mana, dan botol-botol plastik tak terpakai berguling-guling di lantai. Razi sempat berfikir, “Kenapa ya, orang-orang nggak peduli banget dengan kebersihan? Padahal ini kan tempat kita makan dan bersantai setiap hari.”

Pikirannya melayang ke satu hal yang selalu dia ajarkan kepada dirinya sendiri—bahwa segala sesuatu, termasuk lingkungan, pasti bisa berubah, asal ada usaha. Tapi untuk memulai perubahan, dia butuh lebih dari sekadar niat. Razi tahu bahwa zaman sekarang ini teknologi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Hampir semua orang di sekolahnya memegang ponsel pintar, menggunakan aplikasi untuk hampir semua hal, dari belanja sampai belajar. “Kenapa nggak pakai teknologi untuk bantu lingkungan?” pikir Razi.

Keesokan harinya, Razi memutuskan untuk mencari solusi. Dia mulai membuka aplikasi di smartphone-nya, menjelajahi berbagai ide yang berkaitan dengan pengelolaan sampah dan pelestarian lingkungan. Setelah beberapa jam browsing, dia menemukan banyak aplikasi yang mengajak orang untuk lebih peduli terhadap lingkungan, seperti aplikasi yang bisa melacak penggunaan energi, aplikasi pemilahan sampah, hingga aplikasi yang membantu pengguna untuk mendaur ulang barang-barang bekas.

Razi semakin bersemangat. “Ini dia! Teknologi bisa jadi solusi yang seru untuk ngajak teman-teman peduli sama lingkungan!” Gumamnya dalam hati. Dia pun mulai merancang ide untuk membawa konsep ini ke sekolah, membuat sesuatu yang lebih dari sekadar ajakan biasa. Dia ingin memanfaatkan teknologi agar lebih banyak orang yang tahu dan ikut terlibat. Bukan cuma teman-temannya, tapi seluruh sekolah.

Hari Sabtu itu, Razi bertemu dengan beberapa temannya di taman sekolah. Mereka duduk di bawah pohon besar, sambil menyeruput minuman dari botol plastik yang sudah setengah kosong. Razi langsung membuka pembicaraan, “Gue punya ide nih. Gimana kalau kita mulai bikin gerakan peduli lingkungan di sekolah, tapi pake teknologi, biar lebih seru dan gampang buat diikuti?”

Teman-temannya yang biasanya lebih tertarik pada topik-tren terkini sempat melirik dengan bingung. “Gimana maksud lo, Razi?” tanya Dika, temannya yang selalu penasaran.

“Jadi gini, guys,” jawab Razi dengan bersemangat. “Kita bikin aplikasi khusus sekolah kita, yang bisa bantu kita memilah sampah, ngasih info tentang pentingnya menjaga kebersihan, dan bahkan kasih reward buat yang sering ikut ngelakuin hal-hal ramah lingkungan.”

“Aplikasi? Jadi kita bisa pakai ponsel buat ngajarin orang untuk buang sampah pada tempatnya?” tanya Dika, mulai tertarik.

“Iya, persis!” jawab Razi, “Kita bisa buat program pengumpulan sampah terpilah, dan kalau ada yang ikut, mereka bisa dapetin poin, dan siapa yang paling banyak poinnya bakal dapet hadiah. Bisa berupa voucher makan, atau tiket nonton bioskop, biar nggak cuma sekadar teori, tapi juga ada hadiahnya.”

“Wow, itu keren, Bro!” seru Nabila, teman ceweknya yang selalu mendukung ide-ide kreatif. “Tapi, ada tantangan nih, ya. Sekolah kita kan pasti nggak langsung setuju gitu aja.”

Razi mengangguk. “Pasti, makanya kita harus siapin semua data dan rencana dengan matang. Kita butuh dukungan dari guru-guru juga, biar mereka ikut ngajarin ke siswa-siswi lainnya. Kalau kita bisa meyakinkan mereka bahwa ini ide bagus, pasti bisa berjalan.”

Mereka semua sepakat untuk mencoba. Razi merasa ada sesuatu yang membara dalam dirinya. Tidak hanya tentang teknologi dan aplikasi, tapi juga tentang bagaimana dia bisa membuat teman-temannya melihat dunia dengan cara yang berbeda cara yang lebih peduli pada lingkungan.

Malam itu, Razi pulang ke rumah dengan semangat baru. Dia membuka laptop dan mulai membuat proposal kecil tentang aplikasi yang ingin mereka buat. Semakin dia menulis, semakin yakin bahwa ini adalah langkah pertama yang bisa mengubah banyak hal. Teknologi dan lingkungan bisa berjalan berdampingan, dan Razi, dengan segala ide kreatifnya, ingin menjadi bagian dari perubahan itu. Tapi dia tahu, perjalanan ini belum selesai ini baru permulaan. Razi siap untuk menghadapi tantangan besar yang akan datang.

“Langkah pertama sudah aku ambil,” pikirnya. “Sekarang waktunya untuk bergerak, untuk benar-benar membuat dunia lebih hijau, satu langkah kecil pada suatu waktu.”

 

Teknologi dan Lingkungan: Dua Hal yang Bisa Saling Mendukung

Hari Senin pagi, Razi berdiri di depan gerbang sekolah, memandangi teman-temannya yang berjalan masuk dengan penuh semangat khas anak SMA. Di satu sisi, dia merasa antusias karena akhirnya bisa membicarakan idenya kepada orang-orang yang mungkin bisa membantunya. Tapi di sisi lain, ada rasa gugup yang menghantui. “Gimana kalau ide gue nggak didengar?” pikirnya.

Namun, Razi tahu bahwa setiap langkah besar dimulai dengan keberanian. Dia menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk ke dalam gedung sekolah. Tas punggungnya terasa sedikit lebih berat dari biasanya bukan karena buku pelajaran, tapi karena laptopnya yang berisi proposal aplikasi peduli lingkungan yang dia buat selama akhir pekan.

Di jam istirahat, Razi mengumpulkan Dika, Nabila, dan beberapa temannya yang lain di taman sekolah. Mereka duduk melingkar di bawah pohon besar, tempat favorit mereka berkumpul. Dengan suara penuh semangat, Razi mulai mempresentasikan idenya.

“Jadi, ini idenya, guys. Gue bikin konsep aplikasi yang fokus buat sekolah kita dulu. Aplikasi ini bakal bantu kita memilah sampah, ngelacak siapa aja yang aktif ikut gerakan peduli lingkungan, dan kasih mereka reward berupa poin yang bisa ditukar hadiah.”

Dia membuka laptopnya dan menunjukkan beberapa desain awal aplikasi yang dia buat. Meskipun sederhana, desain itu cukup untuk memberi gambaran tentang bagaimana aplikasi itu akan bekerja. Teman-temannya memperhatikan dengan seksama, beberapa dari mereka bahkan terlihat kagum.

“Wow, Razi. Lo serius banget bikin ini,” kata Dika sambil melirik layar laptop. “Tapi, gimana cara kita ngejalaninnya? Kayaknya ini butuh banyak persiapan, deh.”

Nabila, yang sejak awal mendukung ide Razi, langsung angkat bicara. “Menurut gue, kita mulai dari kecil dulu. Kita bisa bikin pilot project di satu kelas atau satu kegiatan sekolah. Kalau berhasil, baru kita ajak semua orang buat ikut.”

“Itu ide bagus, Nabila,” jawab Razi. “Tapi kita butuh dukungan dari guru juga. Kalau sekolah nggak setuju, bakal susah buat jalanin ini.”

Mereka semua setuju bahwa langkah pertama yang harus mereka ambil adalah berbicara dengan salah satu guru yang paling peduli pada isu lingkungan, yaitu Pak Rendi, guru Biologi mereka. Pak Rendi dikenal sebagai sosok yang selalu mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, terutama soal menjaga lingkungan.

Setelah jam pelajaran selesai, Razi dan teman-temannya menemui Pak Rendi di ruang guru. Dengan penuh semangat, Razi menjelaskan idenya, menunjukkan proposal yang sudah dia buat, dan menjelaskan bagaimana aplikasi itu bisa membantu menciptakan lingkungan sekolah yang lebih bersih dan ramah lingkungan.

Pak Rendi mendengarkan dengan serius, sesekali mengangguk sambil memandangi Razi yang berbicara dengan penuh antusias. Setelah Razi selesai, Pak Rendi tersenyum. “Ini ide yang sangat bagus, Razi. Saya suka bagaimana kalian mencoba memadukan teknologi dengan kesadaran lingkungan. Tapi kalian harus tahu, menjalankan ide ini butuh usaha besar.”

Razi mengangguk, meskipun dalam hatinya ada sedikit keraguan. “Kami siap, Pak. Kami tahu ini nggak akan mudah, tapi kami percaya ini bisa berhasil kalau semua orang ikut mendukung.”

Pak Rendi tertawa kecil. “Baiklah, saya akan bantu kalian. Langkah pertama, kita perlu mendapatkan izin dari kepala sekolah. Kalau beliau setuju, kita bisa mulai dengan pilot project seperti yang kalian bilang.”

Mendengar itu, Razi merasa lega. Mereka akhirnya mendapatkan dukungan dari Pak Rendi, yang berarti mereka punya peluang lebih besar untuk mewujudkan ide ini. Namun, perjuangan mereka masih panjang.

Keesokan harinya, Razi dan teman-temannya dipanggil untuk bertemu dengan kepala sekolah. Di ruangannya yang besar dan sedikit menegangkan, mereka mempresentasikan ide mereka sekali lagi. Razi berusaha tetap tenang, meskipun tangannya sedikit gemetar. Dia tahu bahwa momen ini adalah kunci bagi ide mereka untuk bisa berjalan.

“Jadi, kalian ingin membuat aplikasi ini khusus untuk sekolah kita?” tanya kepala sekolah dengan nada serius.

“Iya, Pak,” jawab Razi dengan percaya diri. “Kami ingin menggunakan teknologi untuk membantu menjaga lingkungan. Kami yakin, ini bisa jadi cara yang efektif dan menyenangkan untuk melibatkan semua siswa.”

Setelah beberapa saat hening, kepala sekolah akhirnya tersenyum. “Baiklah. Saya suka semangat kalian. Saya akan beri kalian kesempatan untuk mencoba ini di satu kelas dulu. Kalau berhasil, kita bisa kembangkan ke seluruh sekolah.”

Razi hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia dan teman-temannya saling melirik dengan wajah penuh kegembiraan. Mereka baru saja melewati salah satu tantangan terbesar dalam perjalanan ini.

Setelah mendapat persetujuan, Razi dan teman-temannya mulai bekerja lebih keras. Mereka menyempurnakan desain aplikasi, membuat fitur-fitur yang lebih menarik, dan bahkan membuat kampanye kecil di media sosial sekolah untuk menarik perhatian siswa lain. Meskipun terkadang mereka merasa lelah, semangat mereka tidak pernah padam. Setiap kali mereka merasa ragu, mereka selalu mengingat tujuan awal mereka membuat lingkungan sekolah lebih bersih, lebih hijau, dan lebih baik untuk semua orang.

Hari-hari itu penuh dengan perjuangan. Mereka harus membagi waktu antara tugas sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan proyek mereka. Tapi bagi Razi, setiap langkah kecil yang mereka ambil adalah langkah menuju perubahan besar. Dia tahu bahwa teknologi bisa menjadi alat yang luar biasa, jika digunakan dengan cara yang benar.

Dan meskipun mereka baru memulai, Razi merasa bahwa apa yang mereka lakukan sudah mulai membuat perbedaan. Setiap senyum, setiap dukungan, dan setiap langkah maju memberi mereka energi untuk terus melangkah. Perjalanan ini mungkin belum selesai, tapi mereka sudah berada di jalur yang benar.

Di tengah malam, saat Razi menyelesaikan revisi terakhir untuk aplikasi mereka, dia menatap layar laptopnya dan tersenyum. “Ini bukan cuma tentang aplikasi,” pikirnya. “Ini tentang bagaimana kita bisa membuat teknologi menjadi bagian dari solusi, bukan masalah.”

 

Saat Teknologi Bertemu Komunitas Sekolah

Pagi itu, Razi tiba di sekolah dengan semangat yang luar biasa. Laptop dan buku catatan tersimpan rapi di dalam tasnya. Dia sudah siap untuk memulai langkah besar: memperkenalkan aplikasi mereka di salah satu kelas yang telah dipilih sebagai proyek percontohan. Kelas X IPA 3, terkenal dengan siswa-siswanya yang aktif dan beragam karakter, menjadi ujian pertama mereka.

Razi melangkah menuju ruang kelas bersama Nabila dan Dika. Suasana koridor terasa berbeda pagi itu, mungkin karena adrenalin yang mengalir deras di tubuhnya. Saat mereka masuk ke dalam kelas, sorot mata penuh rasa ingin tahu dari siswa-siswa lain menyambut mereka.

“Eh, Razi, ada apa nih? Tumben lo masuk ke kelas kita?” tanya Aldo, salah satu siswa yang terkenal suka bercanda.

Razi tersenyum lebar, menatap semua orang dengan percaya diri. “Santai, Do. Gue sama tim cuma mau kasih tau sesuatu yang keren banget buat kalian semua.”

Di depan kelas, Razi mulai menjelaskan konsep aplikasi yang mereka buat. Dengan bantuan slide presentasi, dia memperlihatkan cara aplikasi tersebut bekerja. Ada fitur-fitur seperti pelacakan sampah daur ulang, laporan kebersihan mingguan, dan reward point yang bisa ditukar dengan hadiah menarik.

“Bayangin, kalian bisa dapet poin cuma dengan buang sampah di tempatnya dan ngikutin kegiatan lingkungan. Poinnya bisa buat tuker voucher kantin, loh,” jelas Razi, membuat semua siswa tertawa kecil mendengar ide itu.

“Serius, Raz? Kita beneran bisa dapet makanan gratis di kantin?” tanya Nina, salah satu siswa yang langsung tertarik.

“Yup! Tapi nggak cuma itu. Kalian juga bisa tuker poin buat jadi relawan di kegiatan lingkungan. Biar keren gitu, kan? Jadi pahlawan hijau sekolah.”

Sontak suasana kelas menjadi lebih hidup. Siswa-siswa mulai berdiskusi, beberapa bahkan tampak antusias untuk mencoba aplikasi tersebut. Razi merasa lega. Presentasinya sukses besar.

Namun, tantangan baru muncul. Setelah aplikasi mulai diunduh oleh siswa, banyak yang mengeluh tentang fitur yang belum sempurna. Ada laporan bahwa beberapa data tidak tersimpan dengan baik, dan beberapa pengguna mengalami kesulitan saat mencoba mengakses fitur tertentu.

“Razi, aplikasi lo error mulu pas gue coba masukin data daur ulang!” keluh Dito, salah satu siswa dari kelas lain, saat bertemu Razi di kantin.

Razi mengangguk, mencoba tetap tenang meskipun hatinya sedikit cemas. “Gue paham, Dit. Gue sama tim lagi kerja keras buat perbaikin semua bug itu. Makasih udah kasih tau, ya.”

Malam itu, Razi dan timnya kembali begadang di rumah Nabila. Mereka mencoba memperbaiki setiap masalah yang dilaporkan oleh pengguna aplikasi. Nabila sibuk mengurus desain antarmuka, sementara Dika memantau server aplikasi. Razi sendiri bertugas menyusun ulang sistem poin agar lebih mudah dipahami.

Di tengah kelelahan, Razi tiba-tiba berkata, “Gue tahu ini capek banget, tapi kita harus inget tujuan awal kita. Kita nggak cuma bikin aplikasi, tapi kita mau ngajak semua orang peduli sama lingkungan.”

Nabila mengangguk sambil menguap. “Bener, Raz. Ini perjuangan kita buat sesuatu yang lebih besar.”

Beberapa hari kemudian, Razi kembali ke kelas X IPA 3 untuk meminta feedback. Kali ini, dia disambut dengan lebih banyak senyuman daripada keluhan.

“Raz, aplikasi lo keren banget! Gue sekarang lebih rajin buang sampah di tempatnya,” ujar Nina dengan antusias.

“Gue udah dapet 50 poin, loh!” tambah Aldo. “Kayaknya gue bakal jadi yang pertama tuker voucher kantin!”

Razi tersenyum lebar. Mendengar antusiasme teman-temannya membuat semua kerja keras terasa terbayar. Dia tahu bahwa ini baru langkah awal, tetapi melihat dampak kecil yang sudah mereka ciptakan membuat hatinya penuh kebahagiaan.

Namun, perjalanan mereka belum selesai. Masih ada tantangan lebih besar menanti, yaitu mengembangkan aplikasi ini untuk seluruh sekolah. Razi tahu bahwa hal ini akan membutuhkan lebih banyak usaha dan dukungan. Tapi dia percaya, dengan semangat timnya dan dukungan komunitas sekolah, mereka bisa mencapai impian itu.

Di hari itu, saat Razi melangkah keluar dari kelas, dia merasa lebih percaya diri. Langit cerah, dan angin sejuk bertiup lembut di halaman sekolah yang hijau. Dia yakin, kombinasi teknologi dan cinta pada lingkungan akan membawa mereka menuju perubahan yang nyata.

 

Mimpi Besar di Tengah Perjuangan

Hari itu, suasana di sekolah terlihat lebih hidup dari biasanya. Poster-poster bertema “Lingkungan dan Teknologi” terpampang di dinding koridor. Sebuah acara besar sedang dipersiapkan: Eco-Tech Day, sebuah festival lingkungan yang digagas oleh Razi dan timnya. Acara ini bertujuan untuk mengenalkan aplikasi mereka ke seluruh siswa dan guru, sekaligus mengajak lebih banyak orang berpartisipasi dalam gerakan peduli lingkungan.

Razi berdiri di depan panggung utama di lapangan sekolah, memantau semua persiapan. Hatinya sedikit cemas, tapi dia juga merasa bangga melihat semua elemen yang sudah tersusun rapi. Ada stan daur ulang, sudut edukasi teknologi, dan bahkan lomba kecil-kecilan tentang pengelolaan sampah.

“Nizam, layar LED-nya udah nyala, kan?” tanya Razi pada salah satu temannya yang sibuk mengatur proyektor.

“Udah, bro. Tapi sound system-nya tadi sempat ngadat, jadi kita perlu cek ulang,” jawab Nizam sambil berlari ke arah panggung.

Razi menghela napas panjang. Dia tahu ini bukan acara yang sederhana, tapi dia yakin semua kerja keras akan terbayar.

Saat acara dimulai, suasana berubah menjadi meriah. Para siswa terlihat antusias mengunjungi setiap stan. Razi melangkah ke tengah lapangan, memperhatikan dari kejauhan. Di satu sisi, dia merasa lega melihat tanggapan positif, tapi di sisi lain, dia masih merasa gugup karena presentasi utamanya belum dimulai.

“Raz, ayo ke panggung! Presentasi lo bentar lagi,” panggil Nabila dari belakangnya.

Razi mengangguk. “Oke, gue siap.”

Di atas panggung, Razi memegang mikrofon dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia menatap ke arah kerumunan siswa dan guru yang duduk rapi di depan panggung. Ini adalah momen penting baginya.

“Selamat pagi semuanya,” ucapnya, mencoba membuka dengan santai. “Hari ini, gue pengen ngajak kalian semua buat gabung dalam gerakan kecil yang bisa jadi besar. Gerakan yang nggabungin teknologi dan lingkungan.”

Dia mulai menjelaskan perjalanan mereka menciptakan aplikasi, tantangan yang mereka hadapi, hingga mimpi mereka untuk membuat sekolah menjadi contoh bagi komunitas lain. Suara tepuk tangan sesekali terdengar, terutama saat Razi menunjukkan data awal dampak aplikasi mereka: pengurangan sampah plastik di kantin hingga 30% dalam sebulan terakhir.

Namun, tiba-tiba langit mulai mendung. Angin bertiup lebih kencang, dan para siswa mulai berbisik-bisik. Razi mencoba tetap tenang, tapi beberapa tetes hujan mulai turun.

“Waduh, Raz,” bisik Nabila yang naik ke panggung. “Kita harus siap-siap bubar kalau hujan deras.”

Razi menggeleng. “Gue nggak mau nyerah. Ini acara puncak kita. Gue bakal terus lanjut.”

Dengan tekad yang kuat, Razi melanjutkan presentasinya meskipun hujan mulai membasahi panggung. Para siswa, yang awalnya mulai beranjak mencari tempat berteduh, justru kembali mendekat ke panggung. Mereka memakai jaket atau tas sebagai pelindung.

“Ayo, Raz! Lanjut!” teriak Aldo dari kerumunan, membuat suasana kembali hangat meski hujan mengguyur.

Razi tersenyum lebar. “Oke, gue tahu ini cuma hujan. Tapi kita nggak bakal berhenti karena hal kecil, kan? Kalau hujan ini simbol perjuangan, gue yakin kita semua bakal tetap bertahan!”

Kata-katanya disambut sorak-sorai. Hujan deras tidak lagi menjadi hambatan. Para siswa dan guru tetap mendengarkan dengan penuh semangat, bahkan beberapa ikut bersorak mendukung.

Setelah presentasi selesai, Razi turun dari panggung dengan pakaian basah kuyup, tapi senyuman tidak pernah hilang dari wajahnya. Nabila dan Dika menyambutnya dengan pelukan hangat.

“Raz, lo gila banget tadi!” ujar Dika sambil tertawa.

“Tapi gue salut,” tambah Nabila. “Lo nggak mundur meskipun kondisi kayak gini.”

“Itu semua berkat kalian juga,” jawab Razi tulus. “Kalau nggak ada kalian, acara ini nggak bakal jadi apa-apa.”

Acara akhirnya dilanjutkan meski dalam kondisi sederhana. Para siswa tetap berpartisipasi dalam lomba daur ulang dan mencoba aplikasi mereka. Guru-guru bahkan memberikan pujian atas inovasi yang diperkenalkan oleh Razi dan tim.

Malam harinya, Razi duduk di kamar dengan secangkir cokelat panas di tangan. Dia membuka aplikasi mereka dan melihat jumlah pengguna yang meningkat drastis setelah acara hari itu. Banyak siswa dan bahkan guru mulai memberikan ulasan positif.

Dia tersenyum puas. Perjuangannya hari itu membuktikan bahwa mimpi, sekecil apapun, bisa jadi besar jika diperjuangkan dengan sepenuh hati. Hujan yang turun tadi siang hanya simbol dari tantangan yang harus dihadapi. Dan sekarang, dia merasa semakin siap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar lagi.

“Nggak ada mimpi yang terlalu tinggi, asal kita mau terus melangkah,” gumamnya, sebelum akhirnya memejamkan mata dengan hati yang penuh rasa syukur.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Razi di Eco-Tech Day nggak cuma tentang teknologi dan lingkungan, tapi juga tentang kerja keras, kolaborasi, dan semangat anak muda untuk menciptakan perubahan. Dari Razi, kita belajar bahwa siapa pun bisa mulai peduli pada bumi, bahkan dengan langkah kecil yang didukung teknologi. Jadi, kamu tertarik untuk jadi seperti Razi dan bikin gebrakan di lingkunganmu?

Leave a Reply