Rahasia Reruntuhan Terlarang: Petualangan Maut yang Nyaris Tak Terlupakan!

Posted on

Siapa yang enggak suka cerita petualangan yang bikin jantung hampir copot? Nah, kalau kamu cari cerita yang bukan cuma seru, tapi juga bikin tegang, mendebarkan, dan penuh misteri, selamat! Kamu baru aja nemuin kisah yang pas.

Bayangin lima remaja nekat masuk ke reruntuhan terlarang, cuma buat nemuin sesuatu yang harusnya enggak pernah dibangunin. Penasaran gimana mereka ngelawan kegelapan yang bangkit? Baca sampai habis, tapi hati-hati… mungkin kamu bakal kepikiran semalaman!

Rahasia Reruntuhan Terlarang

Jejak Terlarang di Hutan Mavora

Langit senja mulai menguning saat lima remaja itu berdiri di bibir Hutan Mavora. Angin sore membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering, menciptakan suasana yang entah kenapa terasa lebih berat dari biasanya. Hutan itu tak tersentuh selama puluhan tahun, dan kini mereka berdiri di hadapannya dengan rencana yang banyak orang anggap gila.

“Aku enggak yakin soal ini,” kata Nira, memeluk dirinya sendiri. Tatapannya menyapu ke dalam hutan yang gelap meski matahari belum benar-benar tenggelam. “Kita masih bisa balik sekarang sebelum semuanya jadi aneh.”

Dax hanya tertawa sambil menghempaskan ranting kecil yang dia injak. “Kamu takut, ya?” godanya.

“Enggak takut, aku cuma… berpikir realistis,” balas Nira, mendengus.

Alura melangkah maju, memutar bola matanya. “Udah, jangan lama-lama. Kita cuma mau lihat-lihat sebentar, terus keluar. Aku enggak mau pulang kemalaman.”

Zane menghela napas. “Aku masih enggak habis pikir kenapa kita ke sini cuma buat nyari reruntuhan yang bahkan enggak jelas ada atau enggak.”

Kieran, yang sejak tadi diam, melirik mereka satu per satu. “Kita udah sampai sini, jadi ayo masuk.”

Tak ada yang membantah. Kieran memang bukan orang yang banyak bicara, tapi tiap kali dia mengambil keputusan, mereka jarang sekali membantah.

Langkah pertama mereka ke dalam hutan terasa biasa saja, hanya dedaunan kering yang renyah di bawah kaki dan suara burung yang sesekali berkicau. Namun, semakin jauh mereka berjalan, semakin sunyi keadaan di sekitar.

Dax berjalan paling depan, menebas beberapa ranting yang menghalangi jalan dengan tongkat kayu. “Gini dong, baru terasa kayak petualangan,” katanya dengan senyum lebar.

Tiba-tiba, suara ranting patah terdengar dari arah kanan. Semua langsung berhenti.

“Apa itu?” bisik Nira, tubuhnya menegang.

Mereka diam beberapa detik, tapi tak ada yang muncul. Angin bertiup pelan, menggoyangkan daun-daun di atas kepala mereka.

“Paling cuma binatang kecil,” kata Alura akhirnya, mencoba mengusir rasa cemas.

Namun, tak ada yang benar-benar percaya.

Mereka kembali berjalan, kini lebih waspada. Zane memegang buku catatannya erat-erat, sesekali menunduk untuk mencatat tanda-tanda aneh yang mereka lewati.

Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah tanah lapang kecil yang ditumbuhi lumut. Di tengahnya, terdapat sebuah batu besar dengan ukiran aneh.

Mata Zane langsung berbinar. “Ini dia! Lihat, simbolnya mirip sama yang aku baca di buku mitologi daerah sini.”

Kieran jongkok dan mengusap permukaan batu itu dengan telapak tangan. “Kayak semacam… peringatan?”

Dax tertawa kecil. “Kamu terlalu banyak mikir. Mungkin ini cuma batu biasa yang dikasih ukiran biar kelihatan mistis.”

Nira menatap batu itu lekat-lekat. “Kenapa perasaanku enggak enak, ya?”

“Perasaan kamu aja kali,” kata Alura.

Tapi sebelum mereka bisa membahas lebih jauh, ranting patah kembali terdengar—kali ini lebih keras.

Mereka semua menoleh bersamaan.

Di antara pepohonan yang rapat, ada sesuatu yang bergerak. Sesuatu yang tinggi, gelap, dan tampaknya mengamati mereka.

Jantung mereka berdetak lebih cepat.

“Kayaknya kita enggak sendirian,” bisik Zane, suaranya hampir tak terdengar.

Tak ada yang tahu harus berbuat apa. Mereka hanya bisa berdiri di sana, terpaku, menunggu apa pun yang ada di balik bayangan itu bergerak lebih dekat.

Dan pada saat itu, petualangan mereka baru saja dimulai.

 

Reruntuhan yang Tersembunyi

Dedaunan bergerak pelan, seperti ada sesuatu yang bersembunyi di baliknya. Mata Kieran menajam, menatap ke arah bayangan yang sempat mereka lihat tadi.

“Ayo mundur pelan-pelan,” bisik Kieran.

Namun, Dax justru maju selangkah. “Mungkin cuma hewan—”

Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, sesuatu melesat keluar dari semak-semak. Bayangan itu bergerak cepat, nyaris tak terlihat, hanya meninggalkan suara desiran angin dan dedaunan yang bergetar.

Nira menahan napas, tangannya mencengkram lengan Alura. “Itu… apa barusan?”

Tak ada yang menjawab. Mereka hanya saling berpandangan dengan wajah tegang.

Zane menelan ludah. “Kalau itu cuma hewan biasa, kenapa rasanya enggak wajar?”

Kieran mencoba berpikir logis. “Bisa jadi kita cuma ketakutan sendiri. Enggak ada bukti kalau itu sesuatu yang berbahaya.”

“Tapi enggak ada bukti juga kalau itu enggak bahaya,” balas Alura cepat.

Dax mendengus. “Yaudah, kita lanjut atau balik?”

Keheningan menyelimuti mereka beberapa detik. Mata mereka kembali tertuju pada batu berukir di tengah lapangan kecil itu.

Kieran akhirnya menghela napas. “Kita lanjut. Kita ke sini buat cari reruntuhan, kan? Kalau ada sesuatu yang berbahaya, kita tinggal kabur.”

Tak ada yang membantah, meski Nira tampak enggan. Mereka kembali bergerak, kali ini dengan lebih hati-hati.

Jalan setapak yang mereka lalui semakin tertutup dedaunan dan akar-akar besar. Seperti jarang sekali—atau bahkan tidak pernah—dilewati manusia. Langit mulai meredup, matahari hampir tenggelam di balik pepohonan yang tinggi.

“Harusnya kita udah deket,” gumam Zane sambil membolak-balik catatannya. “Berdasarkan sketsa dan arah yang kita ambil, reruntuhan itu harusnya ada di sekitar sini.”

Mereka terus berjalan, hingga akhirnya Kieran menghentikan langkahnya.

“Lihat itu,” katanya, menunjuk ke depan.

Di tengah bayang-bayang pepohonan yang lebat, sebuah struktur batu besar muncul di hadapan mereka. Bangunannya setengah runtuh, tertutup lumut dan tanaman liar. Pilar-pilar tinggi menjulang, sebagian patah dan berjatuhan ke tanah.

“Ya ampun,” bisik Alura, kagum.

Zane dengan cepat mencatat dan mengambil gambar. “Ini luar biasa… Seharusnya tempat ini masuk catatan sejarah, tapi enggak ada satu pun referensi yang menyebutkan keberadaannya.”

Dax tersenyum lebar. “Nah, kan? Aku bilang juga apa. Kita penjelajah pertama yang nemuin ini.”

Mereka melangkah lebih dekat. Meskipun reruntuhan itu tampak sunyi dan ditinggalkan, ada sesuatu yang terasa… salah. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin, dan angin yang bertiup membawa aroma tanah basah yang pekat.

Alura berjalan mendekati salah satu dinding yang masih berdiri kokoh. “Ada ukiran di sini,” katanya sambil mengusap lapisan lumut yang menutupi batu.

Mereka berkumpul di sekelilingnya. Ukiran itu menampilkan sosok manusia yang berdiri di depan gerbang besar, dengan bayangan hitam besar di atasnya.

“Apa maksudnya?” tanya Nira, suaranya lirih.

Zane mengamati lebih dekat. “Kayaknya ini menggambarkan sesuatu yang… dikurung di dalam.”

Dax tertawa kecil. “Bagus, dong. Berarti kita bisa jadi orang pertama yang masuk ke dalam.”

Nira menatapnya tajam. “Kamu serius mau masuk?”

“Ya iyalah. Kita udah sejauh ini, masa enggak?”

Sebelum ada yang sempat berdebat, tiba-tiba terdengar suara keras—seperti batu yang bergeser.

Semua menoleh.

Di depan mereka, gerbang besar reruntuhan itu perlahan terbuka.

Dari dalamnya, udara dingin mengalir keluar, membawa serta aroma lembap dan sesuatu yang tak bisa mereka jelaskan.

Mereka saling pandang.

“Aku punya firasat buruk soal ini,” bisik Nira.

Tapi sudah terlambat untuk mundur.

Gerbang kini terbuka sepenuhnya. Dan di dalamnya, kegelapan yang pekat menunggu mereka masuk.

 

Penjaga Kegelapan Bangkit

Angin dingin menerpa wajah mereka saat kelima remaja itu berdiri di depan gerbang terbuka. Kegelapan di dalam reruntuhan tampak pekat, seolah-olah cahaya enggan menyentuhnya. Aroma tanah basah dan sesuatu yang asing tercium dari dalam, membuat bulu kuduk mereka meremang.

Dax melangkah lebih dekat, matanya berbinar dengan semangat. “Kita benar-benar akan masuk, kan?”

Nira menatapnya seolah dia sudah kehilangan akal. “Kamu masih nanya?”

Kieran mengangkat senter yang dia bawa dan menyorotkan cahaya ke dalam. Di balik gerbang, terlihat lorong panjang dengan dinding batu yang penuh ukiran aneh. Beberapa bagian tertutup lumut, tapi beberapa lainnya masih jelas menunjukkan gambaran sosok-sosok aneh yang tampak seperti manusia… atau mungkin bukan.

“Ini lebih besar dari yang aku kira,” gumam Zane, kagum sekaligus waspada.

Mereka akhirnya melangkah masuk. Begitu kaki mereka melewati ambang gerbang, udara terasa lebih berat, hampir seperti menekan tubuh mereka.

“Kamu ngerasain itu?” tanya Alura, merapatkan jaketnya.

Kieran mengangguk. “Iya. Ada sesuatu di sini.”

Langkah mereka menggema di lorong yang panjang dan berliku. Setiap sudutnya terasa tua, terlupakan, dan entah kenapa… mengawasi.

Saat mereka mencapai ruangan yang lebih luas, Dax bersiul pelan. “Tempat ini gila banget…”

Di tengah ruangan itu, ada altar batu besar. Cahaya senter mereka menyoroti ukiran di atasnya—gambar sosok dengan mata kosong dan tangan yang seolah-olah mencengkram sesuatu di udara.

Zane mengusap debu yang menutupi ukiran. “Aku rasa ini…” Dia terdiam sejenak, membaca beberapa simbol aneh yang tergores di sisi altar. “Mungkin ini tempat persembahan?”

Nira menggigit bibirnya. “Persembahan untuk apa?”

Tak ada yang bisa menjawab. Tapi sebelum mereka bisa berpikir lebih jauh, terdengar suara lirih—seperti bisikan halus yang berasal dari dinding.

Semua langsung menoleh.

“Ada yang denger itu?” bisik Alura.

Dax mengangguk perlahan. “Jangan bilang itu cuma angin…”

Tapi angin tidak bisa berbisik dalam bahasa yang tak mereka mengerti.

Tiba-tiba, lantai di bawah mereka bergetar. Ukiran di altar mulai bercahaya samar, cahaya merah tua yang terlihat seperti bara api yang menyala dari dalam batu.

Nira mundur selangkah. “Oke. Kita harus keluar dari sini sekarang.”

Namun sebelum mereka bisa bergerak, sesuatu terjadi.

Dari altar itu, kabut hitam mulai merembes keluar, membentuk siluet tinggi dengan mata merah yang menyala.

Mereka semua membeku.

Sosok itu semakin jelas, menampakkan tubuh yang kurus namun tinggi, dengan tangan panjang yang memiliki jari-jari tajam. Suaranya bergaung di dalam ruangan, meskipun mulutnya tidak bergerak.

“Kalian membangunkanku.”

Jantung mereka hampir berhenti.

Kieran bergerak cepat, menarik Zane dan Nira ke belakang. “LARI!”

Mereka langsung berhamburan ke arah lorong tempat mereka datang. Tapi sebelum mereka bisa mencapai pintu keluar, lorong itu mulai runtuh. Batu-batu besar jatuh, menutup jalan mereka.

“Astaga, kita terjebak!” teriak Alura.

Dax menoleh ke belakang. Sosok itu melayang mendekat, tubuhnya seperti asap yang berkumpul dalam wujud yang hampir manusiawi.

“Sudah lama… terlalu lama…”

Zane mencengkeram lengan Kieran. “Apa itu?”

Kieran menatap makhluk itu dengan rahang mengatup. “Penjaga.”

Nira menatapnya, panik. “Penjaga apa?”

Kieran menghela napas cepat, otaknya berpacu mencari jawaban. “Reruntuhan ini bukan tempat biasa. Ini tempat penyegelan. Kita baru saja membebaskan sesuatu yang harusnya tetap terkunci di sini.”

Makhluk itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba ruangan mulai bergetar lebih hebat. Bayangannya membesar, memenuhi langit-langit reruntuhan.

“Kalian telah membuka gerbang yang seharusnya tetap tertutup. Dan sekarang, aku bebas.”

Satu-satunya jalan keluar mereka telah tertutup.

Dan kegelapan kini mengelilingi mereka.

 

Pelarian dari Kegelapan

Udara semakin menekan, seakan seluruh ruangan mencoba menelan mereka. Mata merah dari sosok kabut hitam itu bersinar lebih terang, mengisi ruang yang mulai diselimuti kegelapan pekat.

Nira menggenggam lengan Alura erat, tubuhnya gemetar. “Kita harus keluar dari sini.”

“Tapi gimana caranya?!” Zane berusaha tetap tenang, tapi suaranya sudah nyaris melengking.

Kieran berusaha berpikir cepat. Dia menatap batu altar yang masih bersinar merah di tengah ruangan. “Altar itu… Itu pusat segelnya! Kita harus menutupnya lagi!”

Dax menoleh tajam. “Dan gimana caranya?! Ini bukan film, Kieran! Kita enggak tahu cara mainnya!”

Namun, makhluk itu melayang lebih dekat, tangannya yang panjang terulur.

“Tidak ada jalan keluar,”suaranya bergaung di kepala mereka.“Aku akan mengambil kembali yang menjadi hakku.”

Dan sebelum mereka bisa bereaksi, sesuatu yang dingin menyentuh dada Kieran.

Bayangan hitam melilit tubuhnya, menariknya ke udara. Napasnya tercekat, tubuhnya terasa seperti terhimpit dari segala arah.

“KIERAN!” Alura menjerit.

Zane bergerak tanpa pikir panjang. Dia meraih batu di lantai dan melemparkannya ke arah makhluk itu. Batu itu hanya menembus kabutnya, tak berpengaruh sedikit pun.

Nira panik. “Apa yang harus kita lakuin?!”

Alura menggigit bibirnya, matanya menelusuri altar. Lalu dia melihat sesuatu. Ukiran di bawah altar—tanda berbentuk lingkaran dengan simbol-simbol aneh—sebagian tertutup debu.

“Segelnya! Kita harus mengaktifkannya lagi!” teriaknya.

Dax menoleh cepat. “Dan caranya?!”

Alura berlari ke altar dan menempelkan kedua tangannya di atas ukiran, lalu menekan kuat-kuat. Namun, tak ada yang terjadi.

Makhluk itu semakin mencengkeram Kieran, dan wajah pemuda itu sudah memucat.

Zane berlari ke altar, membuka buku catatannya dengan tangan gemetar. Dia membaca simbol-simbol di halaman terakhir yang sempat dia salin dari reruntuhan. “Di sini tertulis… segelnya hanya bisa dikunci dengan…”

Dia terdiam sejenak.

“Dengan pengorbanan.”

Semua terdiam.

“Apa?!” Alura menatapnya ngeri.

Zane menggigit bibirnya. “Dulu segel ini dibuat dengan mengorbankan seseorang. Itu sebabnya makhluk ini terkunci.”

Makhluk itu tertawa rendah. “Kalian tak bisa menghentikanku tanpa pengorbanan baru.”

Nira mundur, matanya membesar. “Jadi… harus ada yang—”

Tiba-tiba, Kieran membuka matanya yang selama ini terpejam. Tatapannya tenang, seolah dia sudah memutuskan sesuatu.

Dia menarik napas panjang, lalu menggunakan semua tenaga yang tersisa untuk berbicara. “Kalau harus ada yang dikorbankan…”

“Jangan bilang!” Dax langsung mendekat, matanya berkaca-kaca.

Tapi Kieran tersenyum tipis. “Aku yang harusnya melakukan ini.”

Sebelum ada yang bisa menghentikannya, dia meraih belati kecil yang terjatuh di lantai—mungkin dari salah satu patung yang sudah hancur.

“Enggak, Kieran!” Zane mencoba merebutnya, tapi terlambat.

Dengan cepat, Kieran menekan belati itu ke telapak tangannya, membiarkan darahnya menetes ke altar.

Cahaya merah langsung menyala terang.

Makhluk itu menjerit, cengkeramannya pada Kieran melemah. Tubuhnya bergetar hebat, dan bayangan hitam mulai tersedot kembali ke dalam altar.

Tanah bergetar. Udara semakin berat. Suara jeritan makhluk itu menggema di seluruh reruntuhan.

Lalu, dalam hitungan detik—

Semua berhenti.

Kieran terjatuh ke lantai, terengah-engah.

Makhluk itu… sudah lenyap.

Cahaya merah perlahan menghilang, menyisakan reruntuhan yang kembali sunyi.

Nira berlari dan berlutut di samping Kieran. “Kamu… kamu gila…” suaranya bergetar, antara marah dan lega.

Kieran tertawa kecil. “Tapi berhasil, kan?”

Alura menghela napas panjang, baru menyadari tubuhnya sendiri gemetar. “Kita hampir mati.”

Dax membantu Kieran berdiri, wajahnya masih tegang. “Jangan pernah lagi ngajak kita ke tempat kayak gini.”

Zane menatap altar yang kini kembali dingin dan tak bernyawa. “Tapi kita berhasil… Kita menutupnya lagi.”

Hening beberapa detik.

Lalu, tanpa berkata apa-apa, mereka semua bergegas menuju jalan keluar yang kini terbuka.

Langit sudah gelap ketika mereka akhirnya keluar dari reruntuhan. Angin malam terasa segar, jauh berbeda dengan udara berat di dalam sana.

Mereka berdiri di bawah bintang-bintang, menyadari betapa dekatnya mereka dengan kematian tadi.

Nira memejamkan mata sejenak. “Aku enggak mau dengar soal reruntuhan lagi. Seumur hidup.”

Dax mengangkat tangan. “Aku setuju.”

Kieran menatap tangan berdarahnya, lalu tersenyum tipis. “Kurasa… kita baru saja menulis sejarah.”

Zane menatap reruntuhan di belakang mereka, merasakan sesuatu yang aneh.

Apakah benar segelnya sudah tertutup… selamanya?

Tapi dia memilih diam. Untuk saat ini, mereka hanya ingin pulang.

Tanpa mereka sadari, di kejauhan, di balik pepohonan hutan Mavora…

Sepasang mata merah kembali menyala.

 

Gila, kan? Petualangan mereka nyaris berakhir dengan tragedi, tapi pertanyaannya… beneran udah selesai? Atau justru ada sesuatu yang masih mengintai dalam bayang-bayang? Kalau mereka aja hampir enggak bisa keluar hidup-hidup, gimana kalau… ada orang lain yang masuk ke sana lagi?

Jangan-jangan ini belum benar-benar selesai… Kalau kamu suka cerita penuh ketegangan kayak gini, kasih tahu teman-temanmu buat baca juga! Siapa tahu, mereka bisa bantu nebak… beneran aman, atau cuma nunggu waktu sebelum neraka terbuka lagi?

Leave a Reply