Rahasia Leluhur: Upacara Mistis yang Mengungkap Dimensi Tersembunyi di Desa Tua

Posted on

Hai, kamu pernah nggak sih ngerasain vibe aneh pas ngeliat sesuatu yang nggak seharusnya ada? Kayak, lagi asyik-asyiknya di sebuah upacara adat, eh tiba-tiba muncul sosok misterius yang bikin bulu kuduk merinding!

Nah, cerpen ini bakal ngebawa kamu ke dunia yang penuh dengan tradisi, rahasia, dan pastinya petualangan seru bareng dua sahabat yang pengen ngulik lebih dalam tentang budaya lokal. Siap-siap deh, karena apa yang mereka temuin itu jauh lebih dari sekadar kamera dan rekaman—ini soal hubungan antara kita dan yang tak terlihat!

 

Rahasia Leluhur

Ketukan Perubahan di Pintu Desa

Malam itu, angin berhembus lembut di antara pohon-pohon bambu yang berjajar di sepanjang jalan setapak Desa Sembala. Desa ini terasa sunyi, hanya diiringi suara serangga malam yang mengisi udara dengan nada-nada alami. Aku duduk di beranda rumah, mengamati kerlip bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam pekat. Dari jauh, samar-samar terdengar bunyi gamelan yang mengalun dari balai desa, menandakan adanya pertemuan penting di sana.

“Upacara adat besar tinggal beberapa hari lagi,” gumamku pada diriku sendiri, merenung. Sejak kecil, aku selalu menyukai suasana ini. Udara yang sejuk, perbukitan hijau yang mengelilingi desa, dan kebiasaan-kebiasaan leluhur yang penuh makna. Tapi, semakin aku dewasa, semakin terasa bahwa desa ini sedang berada di ujung pertemuan dua dunia yang berbeda.

“Mandari, kamu di rumah?” terdengar suara dari luar pagar. Arna, sahabatku, berdiri di depan pintu dengan kamera tergantung di lehernya, tersenyum lebar seolah malam itu hanya milik kami berdua.

“Ayo masuk,” jawabku sambil membuka pintu pagar. Arna melangkah masuk, dan tanpa perlu basa-basi, ia langsung duduk di sampingku, menatap langit yang sama.

“Kamu denger kan tadi, para tetua desa lagi rapat di balai?” tanya Arna, sedikit berbisik.

Aku mengangguk pelan. “Iya, aku tahu. Mereka lagi bahas persiapan upacara adat. Tapi aku dengar ada yang lain juga, masalah kita yang mau bikin dokumentasi upacara.”

Arna tertawa kecil, lalu menatapku dengan tatapan penuh semangat. “Ini kan kesempatan besar, Mandari. Bayangin aja, kalau video ini viral, desa kita bakal dikenal ke seluruh dunia. Apalagi upacara adat kita ini sangat unik, gak ada di tempat lain.”

Aku terdiam sejenak. Semangat Arna memang menular, tapi di dalam hatiku, aku tahu ini bukan soal semudah itu. Para tetua desa, terutama Tuan Gumala, sangat berhati-hati terhadap apapun yang menyangkut adat dan tradisi. Bagi mereka, adat adalah sesuatu yang sakral, tidak bisa sembarangan dipertontonkan atau disebarluaskan.

“Kamu yakin kita bisa meyakinkan Tuan Gumala?” tanyaku ragu.

Arna mengangkat bahu, tapi matanya tetap bersinar penuh percaya diri. “Kita cuma perlu jelasin niat kita. Kita gak mau bikin tontonan murahan. Ini tentang memperkenalkan budaya kita ke dunia luar, biar orang tahu, biar mereka belajar. Lagi pula, kalau gak sekarang, kapan lagi?”

Aku menghela napas panjang. “Iya, aku paham maksud kamu. Tapi… kamu tahu sendiri, Tuan Gumala orangnya gak gampang diyakinkan. Beliau selalu bilang adat itu bukan buat dipamerkan.”

Arna menatapku lama, lalu tersenyum kecil. “Kalau kita gak coba, kita gak akan pernah tahu. Ayo, besok kita datang ke balai desa. Kita temui mereka langsung.”

Aku tak bisa menolak, meski di dalam hati ada perasaan khawatir yang tak bisa kuabaikan. Bagi Arna, ini mungkin hanya soal memperkenalkan desa ke dunia luar. Tapi bagiku, ini lebih dari itu. Ini soal menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, antara menghormati leluhur dan membuka pintu bagi masa depan.

Keesokan harinya, matahari menyinari desa dengan lembut. Aku dan Arna berjalan menuju balai desa, melewati rumah-rumah tradisional yang berdiri kokoh dengan dinding dari bambu dan atap rumbia. Di setiap sudut desa, ada jejak sejarah yang tertanam dalam setiap detil kehidupan masyarakat Sembala. Di sinilah, sejak dahulu kala, nilai-nilai leluhur dijaga dengan penuh cinta.

Setibanya di balai desa, kami melihat beberapa tetua desa sudah berkumpul di sana. Tuan Gumala duduk di tengah, tampak serius mendengarkan masukan dari para tetua lain. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Tuan Gumala tetap memancarkan wibawa yang membuat siapapun segan. Ia dikenal sebagai penjaga adat yang paling keras dalam mempertahankan tradisi desa.

Aku menelan ludah, merasa sedikit gugup saat mendekati mereka. Arna, yang biasanya penuh semangat, kali ini terlihat lebih tenang. Kami berdiri di depan pintu balai desa, menunggu dipersilakan masuk.

“Mandari, Arna, apa yang kalian butuhkan?” Tuan Gumala akhirnya memanggil kami dengan suaranya yang dalam. Suasana di dalam ruangan seketika hening, semua mata tertuju pada kami.

Aku dan Arna saling berpandangan. Arna kemudian memberanikan diri untuk berbicara lebih dulu. “Tuan Gumala, kami datang untuk membicarakan rencana dokumentasi upacara adat yang akan datang. Kami ingin… memperkenalkan adat kita ke dunia luar, melalui media digital.”

Tuan Gumala mengerutkan kening, seolah tak suka mendengar kata-kata itu. “Media digital? Kamu mau menjadikan adat ini sebagai tontonan?”

“Bukan begitu, Tuan,” aku menyela dengan hati-hati. “Kami ingin menunjukkan betapa berharganya adat kita. Banyak orang di luar sana yang tidak mengenal budaya kita, dan ini kesempatan untuk memperkenalkannya dengan cara yang lebih modern. Bukan untuk hiburan, tapi untuk edukasi.”

Para tetua lain mulai berbisik-bisik, tapi aku bisa merasakan ketidaksetujuan mengalir di udara. Tuan Gumala terdiam sejenak, menatap kami dengan tatapan tajamnya. “Kalian masih muda. Kalian mungkin berpikir dunia luar peduli pada adat dan tradisi kita. Tapi kenyataannya, mereka hanya akan datang, menonton, dan pergi. Mereka tak peduli. Adat kita bisa rusak jika dipertontonkan tanpa pengertian yang benar.”

Aku menggigit bibirku, mencoba menahan gejolak di dalam hati. Aku tahu dia tidak sepenuhnya salah, tapi aku juga percaya bahwa dunia luar perlu tahu bahwa Sembala memiliki sesuatu yang berharga. Sebelum aku sempat bicara lagi, suara lembut namun penuh kekuatan terdengar dari sudut ruangan.

“Biar anak-anak ini mencoba,” ujar Nyai Saribu, tetua perempuan yang selalu berbicara dengan bijak. Semua mata beralih padanya. “Jika mereka melakukan dengan benar, adat kita bisa tetap hidup, bukan hanya di desa ini, tapi di hati orang-orang di luar sana.”

Aku menghela napas lega mendengar dukungan dari Nyai Saribu. Di dalam hatiku, aku tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tapi setidaknya kami mendapatkan sedikit harapan.

Tuan Gumala masih tampak ragu. “Kalian harus menjamin bahwa adat ini tidak akan dirusak oleh cara kalian. Jika ada satu saja kesalahan, maka kalian yang akan bertanggung jawab.”

Aku mengangguk tegas. “Kami akan menjaga kehormatan adat, Tuan. Itu janji kami.”

Saat kami melangkah keluar dari balai desa, perasaan lega bercampur dengan tanggung jawab yang berat mengisi dadaku. Arna tersenyum lebar, penuh kemenangan.

“Kita berhasil, Mandari! Ini awal yang baik.”

Aku tersenyum tipis, meski dalam hatiku masih ada kekhawatiran. Perjalanan ini belum selesai. Tantangan sesungguhnya baru saja dimulai. Aku tahu, menjaga tradisi dan memperkenalkannya ke dunia modern bukanlah hal mudah. Tapi di dalam hatiku, aku yakin—jika dilakukan dengan cinta dan rasa hormat, tradisi itu akan tetap hidup, meskipun dunia di luar sana terus berubah.

 

Pertemuan Dua Dunia

Matahari sudah mulai merangkak naik ketika aku dan Arna duduk di beranda rumahku, masih terbawa suasana setelah pertemuan di balai desa semalam. Meskipun sudah mendapatkan izin untuk merekam upacara adat, aku tahu tugas kami baru dimulai. Tuan Gumala mungkin mengizinkan, tapi ada tatapan dalam matanya yang tak bisa kulupakan—tatapan penuh kekhawatiran bahwa kami akan merusak sesuatu yang sangat ia jaga seumur hidup.

Arna, di sisi lain, tampak begitu percaya diri. Ia duduk bersandar di kursi kayu dengan kamera di tangannya, seperti sudah membayangkan kesuksesan proyek ini. Namun, aku tahu bahwa masalah terbesar kami bukan hanya soal izin dari tetua desa. Ada hal yang lebih besar dari itu: bagaimana cara kami membuat dokumentasi ini tanpa merusak esensi dari adat yang kami banggakan.

“Jadi, kapan kita mulai?” Arna membuka pembicaraan, suaranya terdengar ringan, seolah semua ini hanyalah proyek biasa.

Aku menatapnya, mencoba menahan kekhawatiranku. “Kita harus bicara lagi sama Nyai Saribu dulu. Dia yang paling paham soal upacara dan semua simbol di baliknya. Kita gak bisa asal-asalan.”

Arna mengangguk, meskipun aku tahu bahwa dia lebih suka langsung terjun ke lapangan dan mulai merekam. Tapi kali ini, dia tahu betul bahwa apa yang kami hadapi bukanlah sekadar film dokumenter biasa.

Tak lama setelah itu, kami berjalan menuju rumah Nyai Saribu, yang terletak di pinggir desa, sedikit lebih jauh dari rumah-rumah lainnya. Rumah itu kecil, tapi penuh dengan karakter. Setiap sudutnya dipenuhi ukiran kayu dan kain tenun tradisional yang menunjukkan kekayaan budaya desa ini. Pintu rumah Nyai Saribu sudah terbuka lebar, dan dari dalam, terdengar suara lembutnya memanggil kami.

“Masuklah, Mandari, Arna.”

Kami melangkah masuk dengan hati-hati, menyesuaikan diri dengan suasana tenang yang selalu menyelimuti rumah Nyai. Ia duduk di kursi rotan di sudut ruangan, dengan seutas benang merah panjang yang dipintalnya secara perlahan.

“Apa yang ingin kalian bicarakan?” tanya Nyai tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk memintal benang, sementara matanya sesekali menatap langit-langit seolah berbicara dengan sesuatu yang tak kasat mata.

Aku dan Arna saling berpandangan, lalu aku memulai. “Nyai, kami ingin mendokumentasikan upacara adat, tapi kami ingin melakukannya dengan cara yang benar. Kami tidak mau membuat sesuatu yang akan merusak makna dari adat itu sendiri.”

Nyai Saribu menghentikan pintalannya sejenak, lalu menatap kami dengan senyum samar. “Aku sudah menduga kalian akan datang ke sini. Tradisi kita bukan sekadar tontonan, Mandari. Setiap gerakan, setiap bunyi, bahkan setiap warna yang dipakai dalam upacara, punya makna yang dalam. Jika kalian benar-benar ingin melakukan ini, kalian harus paham semuanya, bukan hanya sekadar merekam gambar.”

Arna yang biasanya penuh semangat, kali ini terlihat lebih serius. “Kami siap belajar, Nyai. Apapun yang perlu kami ketahui, kami akan pelajari.”

Nyai Saribu tersenyum kecil, lalu berdiri dan mengambil sebuah kotak kayu dari rak di dinding. Ia membuka kotak itu dan mengeluarkan beberapa benda—kain tenun berwarna-warni, ukiran kayu kecil, dan satu buah topeng yang terlihat tua. “Inilah simbol-simbol yang akan kalian temui dalam upacara nanti. Setiap warna, setiap bentuk, punya cerita. Kalian harus paham betul, karena ketika kamera kalian merekam, itu bukan hanya gambar yang kalian ambil, tapi juga ruh dari tradisi ini.”

Aku memandang benda-benda itu dengan takjub. Ada sesuatu yang begitu magis tentang benda-benda tersebut, seolah mereka menyimpan kekuatan yang tak terlihat. Setiap warna dan bentuk terasa seperti membawa pesan dari masa lalu.

“Benang merah ini,” lanjut Nyai sambil mengangkat seutas benang yang ia pintal tadi, “melambangkan hubungan antara kita dan para leluhur. Dalam upacara nanti, benang merah ini akan dipakai untuk mengikat simbol-simbol dari para leluhur, untuk menjaga agar ruh mereka tetap hadir di tengah-tengah kita. Ini bukan sekadar benang, Mandari. Ini adalah jembatan antara dunia kita dan dunia mereka.”

Aku menelan ludah. Selama ini, aku selalu menganggap upacara adat sebagai sesuatu yang indah, tapi aku tak pernah benar-benar memahami makna di baliknya. Kini, aku menyadari bahwa setiap elemen dalam upacara tersebut memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan.

“Kami akan belajar, Nyai. Kami ingin melakukannya dengan cara yang benar,” ujarku akhirnya, dengan tekad yang semakin kuat.

Nyai Saribu mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan membimbing kalian, tapi ingat, ini bukan soal cepat atau lambat. Kalian harus benar-benar memahami setiap detilnya sebelum merekam.”

Hari-hari berikutnya diisi dengan kunjungan ke rumah Nyai Saribu. Setiap kali kami datang, dia mengajarkan satu hal baru tentang upacara adat yang akan berlangsung. Ada hari-hari di mana kami hanya belajar tentang warna kain yang digunakan, tentang kenapa merah, kuning, dan hitam memiliki arti yang begitu kuat di budaya Sembala. Lain kali, kami belajar tentang gerakan-gerakan tarian yang dilakukan oleh para tetua saat upacara, gerakan yang melambangkan perjalanan hidup manusia dari lahir hingga kembali ke leluhur.

Arna, yang biasanya tidak begitu tertarik pada hal-hal semacam ini, terlihat sangat terlibat. Ia mencatat setiap detil, merekam setiap cerita yang disampaikan Nyai. Bahkan aku bisa melihat betapa ia mulai memahami bahwa apa yang kami lakukan ini bukan sekadar membuat dokumentasi, tapi juga menjaga cerita-cerita leluhur agar tidak hilang.

“Kamu merasa lebih siap sekarang?” tanyaku pada Arna suatu hari setelah kami selesai belajar tentang simbol-simbol ukiran kayu yang digunakan dalam upacara.

Arna mengangguk. “Aku gak nyangka semua ini punya makna yang begitu dalam. Awalnya aku cuma mikir buat bikin video bagus, tapi sekarang aku tahu kalau ini lebih dari sekadar itu. Ini soal menjaga sejarah dan warisan.”

Aku tersenyum mendengarnya. Perubahan itu tidak hanya terjadi di desa ini, tapi juga pada kami. Kami mulai memahami bahwa untuk menjaga tradisi, kita harus menghormati setiap lapisan dari budaya tersebut. Ini bukan soal memamerkan sesuatu ke dunia luar, tapi soal bagaimana dunia luar bisa memahami keindahan dan makna di balik setiap detil yang kami pertontonkan.

Beberapa hari kemudian, saat kami sedang berada di rumah Nyai untuk belajar lebih dalam tentang ritual, datang kabar bahwa Tuan Gumala ingin bertemu dengan kami. Rasa gugup segera menyergapku. Apakah ada yang salah? Apakah beliau berubah pikiran?

Kami segera menuju balai desa, di mana Tuan Gumala sudah menunggu. Begitu kami tiba, tatapan tajamnya langsung tertuju pada kami.

“Mandari, Arna, aku dengar kalian sudah belajar banyak dari Nyai Saribu,” ujarnya dengan suara berat.

Aku mengangguk dengan hati-hati. “Ya, Tuan. Kami sudah belajar dan berusaha memahami makna di balik upacara adat.”

Tuan Gumala mengangguk pelan. “Bagus. Tapi ingat, ini belum selesai. Ujian sebenarnya ada pada saat upacara berlangsung. Aku akan mengamati kalian, memastikan bahwa kalian tidak melenceng dari nilai-nilai adat. Jika ada satu saja kesalahan, maka proyek ini akan dihentikan.”

Aku menahan napas. Tuan Gumala mungkin sudah memberi kami izin, tapi jelas ini belum menjadi kemenangan penuh. Kami harus berhati-hati, memastikan bahwa semua yang kami lakukan sesuai dengan nilai-nilai yang ia jaga dengan begitu ketat.

“Kami paham, Tuan. Kami akan menjaga semuanya dengan baik,” jawabku akhirnya, berusaha menenangkan kegugupanku.

Saat kami meninggalkan balai desa, perasaan tegang kembali menyelimuti diriku. Arna menatapku dan tersenyum tipis. “Kita pasti bisa, Mandari. Kita udah sejauh ini, gak mungkin gagal.”

Aku mengangguk, meskipun perasaan di dadaku masih campur aduk. Tantangan terbesar masih menunggu di depan kami—bagaimana cara kami mempertahankan keseimbangan antara menjaga tradisi dan memperkenalkannya kepada dunia luar.

 

Jejak di Balik Lensa

Hari upacara akhirnya tiba. Langit cerah pagi itu, tetapi ada keheningan yang terasa lebih dalam dari biasanya. Desa Sembala seperti mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar perayaan adat. Setiap warga mengenakan pakaian tradisional terbaik mereka—kain-kain tenun berwarna merah, kuning, dan hitam—dan memasang senyum di wajah, meski ada ketegangan halus yang tak terucap. Mungkin karena ini adalah pertama kalinya upacara adat desa direkam oleh orang luar.

Aku dan Arna tiba di balai desa lebih awal dari yang lain. Peralatan kamera sudah siap, tripod berdiri kokoh, dan mikrofon siap menangkap setiap bunyi ritual. Arna sibuk mengecek lensa kameranya, memastikan semuanya berfungsi dengan sempurna. Dia tampak lebih fokus dari biasanya, seolah-olah ini adalah pertunjukan terbesar dalam hidupnya. Aku, di sisi lain, masih merasakan kegugupan yang mengendap di perut. Tuan Gumala belum terlihat, tapi aku tahu dia ada di suatu tempat, mengawasi.

Saat matahari mulai naik ke langit, satu per satu warga berkumpul di alun-alun desa, di bawah pohon beringin besar yang menjadi pusat dari semua upacara adat. Di bawah pohon itu, telah disiapkan altar kayu sederhana, dihiasi dengan ukiran tradisional. Beberapa persembahan berupa bunga, buah-buahan, dan kain tenun tergeletak rapi di atasnya. Benang merah panjang yang diceritakan Nyai Saribu beberapa hari lalu kini melingkari altar, menghubungkan benda-benda persembahan satu sama lain, seperti jembatan yang mengikat mereka dengan para leluhur.

Tiba-tiba, suara gong berdentang, memecah keheningan. Nyai Saribu melangkah maju, mengenakan pakaian tradisional berwarna merah cerah, dengan ikat kepala hitam yang menghiasi rambutnya. Di tangannya, ia membawa sebuah kendi berisi air suci, yang akan digunakan untuk memulai ritual.

Arna mulai merekam. Kamera yang biasanya terlihat biasa saja, kini terasa seperti mata-mata asing di tengah ritual sakral ini. Aku berusaha memastikan bahwa kami berdiri cukup jauh dari altar, agar tidak mengganggu jalannya upacara. Arna menggerakkan kameranya dengan pelan, seperti memuja setiap gerakan yang dilakukan Nyai Saribu.

“Upacara ini,” suara Nyai Saribu terdengar jelas meski pelan, “adalah upacara penyambutan ruh leluhur yang akan kembali ke dunia kita untuk sementara waktu. Kita memanggil mereka untuk memberi berkah, mendengar petuah mereka, dan menjaga hubungan kita dengan dunia yang tak kasat mata.”

Aku mengangguk pelan, meski tahu bahwa Nyai tidak sedang berbicara langsung kepadaku. Dia berbicara kepada seluruh desa, kepada alam, dan mungkin juga kepada ruh-ruh leluhur yang kami sambut hari ini. Saat Nyai Saribu mulai menaburkan air suci ke arah altar, suasana berubah menjadi lebih khusyuk. Tak ada satu suara pun selain denting gong yang sesekali berbunyi, dan langkah Nyai yang penuh kehati-hatian.

Arna terus merekam dengan penuh fokus, matanya hanya tertuju pada lensa kameranya. Tapi bagiku, momen ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar tontonan. Ada sesuatu yang terasa, sesuatu yang berbeda. Mungkin benar apa yang dikatakan Nyai Saribu—bahwa saat ritual berlangsung, ruh-ruh leluhur benar-benar hadir di antara kami.

Tiba-tiba, di tengah upacara, seorang pria tua dengan tongkat kayu panjang melangkah maju dari kerumunan. Ia mengenakan pakaian serupa dengan Nyai, tapi ada aura misterius yang berbeda dari dirinya. Wajahnya penuh kerut, namun matanya tajam dan memancarkan kekuatan. Ia berhenti tepat di depan altar, mengangkat tangannya ke arah langit, lalu menunduk dalam-dalam. Semua orang hening, termasuk aku dan Arna.

Pria itu mulai berbicara, suaranya berat dan serak. “Para leluhur yang agung, terimalah persembahan kami. Jaga kami seperti kalian telah menjaga kami selama ini. Kami, keturunan kalian, datang dengan segala kerendahan hati, meminta berkah dan perlindungan kalian.”

Kalimat-kalimat itu terasa menggema, seperti mengalir melalui angin yang berdesir di antara pepohonan. Di saat itu, aku bisa merasakan sesuatu—sebuah energi yang aneh tapi menenangkan. Aku tidak tahu apakah itu hanya sugesti atau memang ada sesuatu yang lebih besar dari yang bisa dilihat mata. Arna yang biasanya lebih skeptis, kini diam terpaku, menatap ke arah pria tua itu dengan penuh perhatian.

Upacara berjalan lebih lama dari yang aku kira. Setiap gerakan memiliki makna, setiap langkah diatur sedemikian rupa agar tidak melanggar aturan adat yang sudah berlangsung ratusan tahun. Aku dan Arna tetap merekam dengan hati-hati, menghindari terlalu dekat dengan ritual, tapi tetap cukup dekat untuk menangkap setiap momen penting. Aku merasakan tanggung jawab besar di pundakku—bagaimana caranya kami bisa menghormati tradisi ini sekaligus memperkenalkannya ke dunia luar tanpa merusak apa yang sudah dijaga begitu lama?

Beberapa jam kemudian, upacara selesai. Nyai Saribu menutup ritual dengan menaburkan bunga-bunga ke arah altar, sementara benang merah yang melingkari benda-benda persembahan dilepas perlahan. Arna berhenti merekam dan menarik napas panjang, seperti baru saja keluar dari dunia yang berbeda. Aku juga merasakan hal yang sama—ada ketegangan yang akhirnya mengendur setelah upacara usai.

Saat warga desa mulai membubarkan diri, aku mendekati Nyai Saribu yang masih berdiri di dekat altar, memandang persembahan dengan mata lembut namun penuh wibawa.

“Nyai, terima kasih sudah membimbing kami,” ujarku dengan suara rendah. “Kami benar-benar belajar banyak dari semua ini.”

Nyai Saribu menoleh padaku dan tersenyum kecil. “Kalian melakukan dengan baik, Mandari. Tapi ingat, dokumentasi yang kalian buat ini bukan sekadar gambar atau suara. Ini adalah warisan. Jaga baik-baik, karena apa yang kalian rekam hari ini akan menjadi jejak yang dilihat generasi berikutnya.”

Aku mengangguk pelan. Kata-kata Nyai begitu dalam, dan aku tahu bahwa proyek ini bukan hanya soal menyelesaikan film dokumenter, tapi juga tentang bagaimana kami bisa menyampaikan esensi dari adat dan budaya yang begitu sakral.

Arna mendekat dengan kamera di tangannya, senyum penuh kepuasan menghiasi wajahnya. “Itu luar biasa. Aku gak pernah menyangka kita bisa merekam sesuatu yang sehebat ini.”

Aku tersenyum, meskipun perasaan di dalam hatiku masih campur aduk. “Ya, tapi kita harus tetap berhati-hati. Ini baru permulaan.”

Sore itu, kami kembali ke rumah dengan rasa lega sekaligus tanggung jawab yang lebih besar dari sebelumnya. Ada banyak hal yang harus dipikirkan—bagaimana kami akan menyusun footage yang sudah kami rekam, bagaimana caranya agar setiap potongan gambar bisa mewakili cerita dan makna dari upacara ini. Tuan Gumala belum memberikan komentar apapun, tapi aku tahu kami masih dalam pengawasannya.

Saat malam menjelang, Arna mulai menyiapkan footage untuk diedit. Aku duduk di sampingnya, memperhatikan layar laptop yang menampilkan gambar-gambar upacara tadi. Setiap gerakan, setiap simbol, tampak begitu nyata dan hidup di layar. Tapi, ada sesuatu yang aneh. Salah satu footage menunjukkan sesuatu yang tak kami sadari sebelumnya—di antara kerumunan warga, ada sosok yang tidak biasa. Wajahnya tak jelas, tertutup bayangan, tapi matanya menatap lurus ke arah kamera, seolah menyadari kehadiran kami.

“Arna, kamu lihat itu?” tanyaku dengan nada berbisik.

Arna berhenti mengedit dan menatap layar. “Ya, itu aneh… Aku gak ingat ada orang seperti itu di upacara tadi.”

Kami saling berpandangan, perasaan aneh merayap dalam benak kami. Sosok itu muncul hanya di satu frame, tapi tatapannya seolah menembus lensa, melihat sesuatu yang lebih dari sekadar kamera.

“Siapa dia?” gumamku pelan.

Arna hanya menggeleng, tak mampu menjawab. Mungkin ini hanya kebetulan, atau mungkin… ada sesuatu yang lebih besar dari yang bisa kami pahami.

 

Bayangan di Balik Upacara

Malam semakin larut, namun aku dan Arna masih terpaku di depan layar laptop, menatap gambar sosok asing yang muncul di rekaman kami. Wajahnya tertutup bayangan, hanya tatapan matanya yang tajam dan tak biasa—seolah-olah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Aku tidak bisa melepaskan pandangan dari sosok itu, sementara Arna mulai gelisah, menggeser kursinya ke belakang dengan pelan.

“Ini gak masuk akal,” Arna berbisik pelan. “Kita kan udah di sana sepanjang waktu, tapi aku sama sekali gak ingat ada orang seperti ini di upacara.”

Aku mengangguk, tapi tak bisa berkata apa-apa. Perasaan ganjil itu makin kuat. Mungkinkah ada sesuatu yang terlewat dari pengamatan kami? Apakah sosok itu memang hadir secara fisik di antara warga desa, atau… apakah ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih mistis?

“Tunggu dulu,” kata Arna, memajukan rekaman dengan lebih hati-hati. Gambar berganti dari kerumunan warga desa menjadi altar yang dipenuhi persembahan. Sesaat kemudian, sosok itu hilang dari layar, seolah menguap begitu saja. Arna menghentikan video dan kembali ke frame di mana sosok itu pertama kali terlihat. Kami berdua terpaku.

“Kamu lihat gak? Dia cuma muncul beberapa detik,” ucap Arna pelan.

“Ya, dan langsung hilang,” gumamku. Aku tidak bisa menahan diri untuk merasa cemas. Sosok itu bukan sekadar gangguan teknis atau seseorang yang secara tidak sengaja tertangkap kamera. Ada sesuatu yang lebih dari itu—sesuatu yang lebih gelap.

Perasaan gelisah menyelimuti malam itu. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin ini hanya kebetulan, atau mungkin seseorang dari desa yang luput dari perhatian kami. Namun, tatapan mata sosok itu terus menghantui pikiranku, seperti ada pesan yang disampaikan, tapi aku tak bisa mengartikannya.

Keesokan paginya, aku dan Arna memutuskan untuk berbicara dengan Nyai Saribu. Kami berdua merasa perlu mencari jawaban, meskipun bagian dari diriku merasa ragu. Nyai Saribu pasti tahu lebih banyak tentang upacara itu—mungkin ada bagian dari ritual yang tidak kami pahami. Kami menuju rumah Nyai, sebuah bangunan kayu tua yang terletak di sudut desa, dikelilingi oleh pepohonan besar yang menjulang tinggi.

Sesampainya di sana, Nyai Saribu sudah duduk di teras rumahnya, seperti menunggu kami. Tatapan matanya lembut, namun penuh dengan kebijaksanaan yang tak bisa dijelaskan. Aku merasa kecil di hadapannya, seolah-olah apa yang kami alami semalam hanyalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar.

“Kalian datang untuk menanyakan sesuatu,” Nyai Saribu berkata pelan, seolah tahu maksud kami sebelum kami membuka mulut. “Apa yang kalian lihat di rekaman itu?”

Aku dan Arna saling berpandangan. “Ada… seseorang yang muncul di rekaman kami, Nyai. Tapi kami tidak ingat melihatnya di upacara. Dia hanya muncul beberapa detik dan kemudian hilang,” kataku, mencoba menjelaskan dengan suara yang tenang.

Nyai Saribu menatapku lama, kemudian tersenyum tipis. “Apa yang kalian lihat bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan mudah, anak-anak. Upacara ini bukan hanya tentang manusia dan dunia yang kalian pahami. Saat kita memanggil leluhur, kita membuka pintu antara dunia kita dan dunia mereka.”

Kata-kata Nyai membuat bulu kudukku meremang. “Jadi… maksud Nyai, sosok itu… bukan manusia?” tanyaku dengan suara bergetar.

Nyai Saribu mengangguk pelan. “Bisa jadi, dia adalah salah satu dari leluhur yang datang. Beberapa dari mereka kadang menunjukkan diri, meski hanya sesaat. Mereka datang bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk mengingatkan kita tentang keberadaan mereka, tentang hubungan kita dengan mereka yang tak terlihat.”

Aku terdiam. Segala hal yang terasa aneh dan menakutkan tadi malam kini sedikit demi sedikit mulai masuk akal. Mungkin, sosok itu memang bagian dari upacara—bukan ancaman, tapi tanda bahwa ada hal-hal di dunia ini yang tidak selalu bisa dipahami dengan mata atau akal manusia.

“Tapi kenapa dia menatap kamera?” tanya Arna, yang tampak masih kebingungan.

“Karena kalian membawa sesuatu yang asing ke dalam upacara,” jawab Nyai dengan tenang. “Kamera itu adalah mata bagi dunia luar, dan leluhur sadar bahwa kalian mencoba merekam sesuatu yang suci. Itu bukan larangan, tapi peringatan. Kalian harus berhati-hati dalam menyajikan apa yang kalian rekam. Jangan sampai esensi dari upacara ini hilang di tangan orang-orang yang tidak menghargainya.”

Kami berdua mengangguk, menyadari tanggung jawab besar yang kami emban. Ini bukan hanya soal membuat film dokumenter, tapi juga tentang bagaimana caranya menjaga kehormatan dan makna dari tradisi ini. Nyai Saribu mengingatkan kami bahwa setiap frame, setiap adegan yang kami sajikan, haruslah membawa pesan yang tulus, tanpa merusak apa yang sudah dijaga ratusan tahun oleh leluhur desa.

Saat kami berpamitan, Nyai Saribu menyuruh kami untuk menaburkan bunga di altar sebelum pulang. “Sebagai tanda penghormatan,” ujarnya. Kami mengikuti sarannya, menaburkan bunga di altar yang telah menjadi saksi dari upacara agung itu. Ada perasaan damai yang mengalir di dalam hatiku, seolah-olah kami telah melakukan sesuatu yang benar.

Sepulangnya kami dari rumah Nyai, aku dan Arna kembali ke penginapan dengan perasaan yang berbeda. Meskipun masih ada rasa penasaran tentang sosok misterius itu, kami tahu bahwa kami telah memahami bagian dari apa yang telah kami lihat. Sosok itu bukan ancaman, melainkan pengingat bahwa dunia ini lebih besar dari yang bisa dilihat oleh mata.

Beberapa hari kemudian, kami mulai mengedit film dokumenter kami dengan hati-hati. Setiap potongan video diperlakukan dengan rasa hormat, dan kami berusaha sebaik mungkin untuk menangkap esensi dari upacara yang telah kami saksikan. Sosok misterius itu, meskipun hanya muncul sebentar, tetap kami sertakan—bukan sebagai bagian yang menyeramkan, tapi sebagai simbol dari hubungan antara manusia dan leluhur.

Film dokumenter kami selesai setelah beberapa minggu pengerjaan. Ketika akhirnya diputar di festival film lokal, kami merasa bangga dan tenang. Tuan Gumala juga tampak puas, meskipun tatapannya selalu penuh rahasia.

Aku dan Arna kembali ke kota dengan perasaan yang berbeda. Proyek ini bukan hanya tentang film, tapi tentang perjalanan batin yang mengajarkan kami banyak hal tentang tradisi, tentang leluhur, dan tentang bagaimana menghargai warisan yang telah dijaga oleh generasi sebelum kita. Dan mungkin, pada akhirnya, kita semua adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar dunia yang kasat mata.

 

Jadi, setelah melewati petualangan ini, kita diajarkan bahwa tradisi itu bukan hanya tentang ritual dan upacara, tapi juga tentang menghargai warisan yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita. Setiap sosok yang muncul, bahkan yang tak terlihat, punya cerita dan makna tersendiri.

Jadi, ingatlah, di balik setiap tradisi ada hubungan yang mengikat kita dengan sejarah, dengan mereka yang pernah ada, dan dengan keajaiban yang selalu mengelilingi kita. Siapa tahu, mungkin kamu juga akan menemukan bayangan-bayangan itu di perjalananmu sendiri!

Leave a Reply