Daftar Isi
Siapa sih yang betah di kelas penuh sampah, bau misterius, dan meja yang lengket kayak perangkap tikus? Nah, di sekolah ini, ada satu kelas yang udah terkenal sebagai kandang berantakan!
Sampai akhirnya mereka sadar, kalau nggak berubah, mereka bakal selamanya dicap sebagai kelas paling jorok sedunia. Tapi siapa sangka, usaha mereka buat bersih-bersih malah berubah jadi ajang survival? Dari konspirasi licik sampai adu cepat beresin sampah, inilah kisah mereka yang bikin deg-degan sekaligus ngakak!
Rahasia Kelas Jorok Berubah Jadi Juara
Raja Berantakan dan Kelas Paling Jorok
Suara bel sekolah yang nyaring menggema di seluruh penjuru gedung. Siswa-siswa yang tadi berseliweran di koridor langsung berlarian ke kelas masing-masing, takut mendapat tatapan tajam dari guru piket yang berdiri di depan kantor. Namun, di sudut belakang kantin, seorang anak laki-laki justru santai menghabiskan sisa jajannya, membiarkan bungkus plastik jatuh begitu saja ke lantai.
“Elvano, buruan masuk kelas! Kita udah telat,” seru seorang siswa lain yang lewat, tapi Elvano hanya mengangkat bahu.
“Nanti aja, lima menit lagi juga nggak bakal ketahuan.”
Ia memasukkan sisa wafer ke mulutnya lalu meneguk teh botol sampai tandas, kemudian—tanpa berpikir panjang—melempar botol kosongnya begitu saja ke semak-semak di belakang kantin. Setelah puas, ia berjalan santai ke kelas 8C, tempatnya ‘bersembunyi’ dari pelajaran yang membosankan.
Masalahnya, begitu sampai di kelas, pemandangan di depannya lebih mirip tempat pembuangan sampah daripada ruang belajar. Kertas ujian yang sudah dicoret-coret berserakan di lantai, ada sisa bungkus mi instan yang tergeletak di meja belakang, dan di pojokan kelas, bekas gelas kopi instan bertumpuk, menebarkan bau yang tidak sedap.
Tapi, bagi anak-anak kelas 8C, ini bukan sesuatu yang mengganggu. Mereka sudah terbiasa.
“Van, kamu punya tisu nggak?” tanya Kael, temannya yang duduk di sebelahnya.
“Buat apa?”
“Buat nutupin idung gue. Bau banget di kelas.”
Elvano malah tertawa kecil. “Udah biasa kali, kenapa baru sadar sekarang?”
Kael mendecak kesal, lalu mengeluarkan sapu tangan dan menutup hidungnya sendiri. Beberapa siswa lain terlihat sibuk mengipas-ngipas diri dengan buku, berusaha mengusir bau yang mengganggu.
Baru saja mereka ingin mengeluh, pintu kelas tiba-tiba terbuka. Seorang guru masuk dengan ekspresi yang lebih serius dari biasanya.
“Anak-anak, sebelum kita mulai pelajaran, ada pengumuman penting,” katanya sambil menempelkan selembar kertas besar di papan tulis.
Semua siswa yang tadinya sibuk sendiri kini mulai tertarik. Mereka mendekat, membaca tulisan yang tercetak besar di sana:
“Lomba Kelas Terbersih! Hadiah utama: Perjalanan Wisata Edukasi ke Pulau Hijau!”
Beberapa siswa mulai berbisik, sementara yang lain hanya menatap pengumuman itu dengan malas.
“Pulau Hijau?” gumam salah satu siswa.
“Yang pantainya bersih itu, ya?” timpal yang lain.
“Seriusan, ini hadiahnya beneran?” Kael menoleh ke arah Elvano.
Elvano, yang sejak tadi menatap tulisan itu tanpa berkedip, tiba-tiba berdiri. “Kita harus menang.”
Seisi kelas terdiam.
Kael menatapnya seolah-olah temannya itu baru saja mengatakan sesuatu yang gila. “Kamu yakin? Kita?”
“Iya.”
Seorang anak perempuan dari barisan depan mendengus. “Van, kita ini kelas paling jorok seangkatan. Mau ngubah kebiasaan dalam seminggu? Mimpi.”
Elvano menoleh tajam. “Kalau kita nggak usaha, kita bakal tetap jadi kelas paling jorok. Tapi kalau kita mulai sekarang, siapa tahu kita bisa menang.”
“Kenapa tiba-tiba peduli banget?” tanya seorang siswa lain curiga.
Elvano menarik napas dalam. “Pulau Hijau… itu tempat impian gue.”
Seisi kelas kembali hening. Semua tahu bahwa Elvano jarang serius dalam hal apa pun. Kalau dia sampai mengatakan sesuatu dengan nada seperti ini, berarti dia benar-benar menginginkannya.
Kael mengusap dagunya, berpikir sejenak. “Kalau gitu, kita harus punya strategi.”
Anak-anak lain mulai terlihat tertarik. Beberapa dari mereka yang tadinya tidak peduli kini mulai mendekat, ingin tahu lebih banyak.
Tapi tidak semua setuju. “Ngapain capek-capek? Toh, nanti ada petugas kebersihan,” gumam seorang anak di belakang.
“Itu tugas kita juga,” balas Elvano cepat. “Kalau kita yang bikin kotor, kita juga yang harus bertanggung jawab.”
Kael mengangguk setuju. “Ya, kalau kelas kita lebih bersih, kita juga yang bakal ngerasain enaknya, kan?”
Perlahan, semangat itu mulai menyebar. Mungkin saja mereka benar-benar bisa mengubah keadaan.
Namun, yang mereka tidak tahu, tantangan sesungguhnya baru saja dimulai.
Misi Mustahil
Hari pertama ‘operasi kebersihan’ dimulai dengan penuh semangat—setidaknya hanya bagi beberapa orang. Elvano berdiri di depan kelas dengan tangan bersedekap, memperhatikan teman-temannya yang masih duduk santai seolah tak ada yang terjadi.
“Oke, jadi siapa aja yang mau ikut bersihin kelas?” tanyanya, mencoba terdengar meyakinkan.
Yang menjawab hanya suara jangkrik dalam imajinasinya.
Kael menepuk bahu Elvano, lalu mengangkat tangan. “Gue ikut.”
Setelah itu, disusul oleh beberapa anak lain, termasuk Nayra—siswi yang selalu kesal dengan keadaan kelas tapi malas melakukan sesuatu.
“Kita mulai dari mana?” tanya Nayra dengan ekspresi setengah malas.
Elvano melemparkan sapu ke arahnya. “Mulai dari nyapu.”
Nayra menatap sapu itu dengan raut tidak percaya. “Lo pikir gue siapa?”
“Orang yang pengen kelasnya nggak bau,” jawab Elvano santai.
Nayra mendesah, tetapi akhirnya mulai menyapu dengan enggan. Yang lain mulai bergerak juga—ada yang mengambil kain lap, ada yang mengumpulkan sampah, dan beberapa sibuk hanya berdebat siapa yang harus melakukan apa.
Tapi tentu saja, tidak semua berjalan mulus.
“Astaga! Apaan ini?!” teriak salah satu anak ketika mengangkat sebuah plastik hitam yang sudah mulai berair di sudut kelas.
“Kayaknya itu sisa bekal minggu lalu,” sahut yang lain sambil menutup hidung.
“Elvano, lo harus lihat ini,” kata Kael, menunjuk sesuatu di bawah meja guru.
Mereka semua mendekat dan menemukan sesuatu yang mengerikan—sebuah kotak susu yang sudah berubah warna dan mengeluarkan aroma yang bisa membuat orang pingsan.
Elvano mundur selangkah. “Siapa yang ninggalin ini?”
Yang lain saling pandang, tak ada yang mau mengaku.
Kael mengangkat alis. “Udah, buang aja sebelum kita semua ke rumah sakit.”
Dengan banyak protes dan tawa bercampur jijik, mereka akhirnya berhasil membuang benda-benda mengerikan itu. Setelah hampir satu jam, kelas mulai terlihat lebih bersih dari sebelumnya—walaupun masih jauh dari kata sempurna.
Saat mereka sibuk bekerja, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari luar kelas. Semua buru-buru kembali ke tempat duduk, berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Bu Maya, wali kelas mereka, masuk dengan ekspresi tak terbaca. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, lalu mendekat ke meja guru.
“Kalian…”
Jantung Elvano dan Kael hampir copot.
“…lagi gotong royong bersihin kelas?”
Mereka semua diam, menunggu reaksi selanjutnya.
Bu Maya tersenyum tipis. “Akhirnya ada yang sadar juga. Bagus. Saya harap ini bukan cuma semangat sesaat.”
Mereka semua menghela napas lega.
Namun, tantangan baru muncul ketika mereka menyadari bahwa kebersihan bukan cuma soal menyapu dan mengepel. Keesokan harinya, kelas kembali berantakan seperti sebelumnya—sampah berserakan, ada bekas minuman yang tumpah di meja, dan tong sampah sudah penuh dengan tisu yang tidak masuk ke dalamnya.
Elvano mengusap wajahnya. “Kita baru bersihin kemarin…”
Nayra mendengus. “Kita bakal butuh lebih dari sekadar satu hari kalau mau menang lomba ini.”
Kael menyilangkan tangan. “Kita harus bikin aturan.”
Mereka semua saling pandang. Aturan? Di kelas 8C? Itu terdengar mustahil.
Tapi kalau mereka mau mengubah keadaan, mereka harus mencoba.
Revolusi Kelas 8C
Pagi itu, Elvano berdiri di depan kelas dengan wajah serius. Tangan kanannya memegang spidol, sedangkan tangan kirinya mengetuk papan tulis yang sudah penuh coretan.
“Kita butuh aturan,” katanya, menekankan setiap kata.
“Lo pikir kita negara?” sela Raka, sambil menaruh kepalanya di meja. “Kelas ini nggak bisa diatur.”
Elvano mendengus. “Justru karena itu kita harus bikin sistem.”
Di belakangnya, Kael menarik kursi dan duduk dengan santai. “Gue setuju. Tapi aturan apa yang bakal bikin orang-orang ini patuh?”
Nayra mengangkat tangan. “Hukuman.”
Semua langsung menoleh ke arahnya.
“Gimana kalau kita bikin sistem denda? Setiap kali ada yang buang sampah sembarangan, dendanya lima ribu.”
Beberapa anak langsung ribut.
“Hah? Gue kan nggak pernah buang sampah!”
“Lima ribu? Bisa beli dua teh botol, tau!”
Nayra mengangkat bahu. “Justru karena lo nggak pernah buang sampah sembarangan, lo nggak bakal kena denda. Jadi tenang aja.”
Elvano mengangguk. “Bisa kita coba. Tapi nggak cuma denda. Kita juga butuh reward buat yang ikut ngejaga kebersihan.”
Mata beberapa anak berbinar. “Reward kayak apa?”
Kael menyeringai. “Bagaimana kalau yang paling rajin bakal dapet traktiran makan siang dari kita?”
“Tunggu, dari ‘kita’ atau dari lo?” sela Nayra curiga.
Kael menghela napas. “Oke, oke. Dari gue.”
Seketika semangat di kelas naik drastis.
Dalam beberapa hari, sistem ini mulai berjalan. Setiap pagi, ada ‘inspektur kelas’ yang bertugas mengawasi kebersihan—dan siapa pun yang kedapatan membuang sampah sembarangan bakal kena denda. Anehnya, tidak seperti yang diprediksi, banyak yang mulai patuh.
“Gue nggak nyangka mereka beneran ikut aturan,” bisik Elvano ke Kael suatu siang.
Kael terkekeh. “Gue sih nyangkanya mereka cuma takut kehilangan duit buat jajan.”
Tapi tentu saja, tidak semua berjalan mulus.
Di hari keempat, Nayra menemukan sesuatu yang membuatnya naik darah—bungkus permen berserakan di bawah meja belakang.
Dia mendengus dan menunjuk ke arah meja itu. “Siapa yang duduk di sini?”
Tak ada yang menjawab.
Kael bersandar ke meja dengan ekspresi santai. “Tenang, Nay. Gue punya cara buat nangkep pelakunya.”
Dia mengambil selembar kertas dan menulis besar-besar:
“KEPADA SI PEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN, KAMU KAMI TUNGGU DI DEPAN KELAS UNTUK MENERIMA HADIAH KHUSUS.”
Setelah itu, kertas itu ditempelkan di papan pengumuman kelas.
Keesokan harinya, mereka semua menemukan sesuatu yang mengejutkan.
Sampah yang berserakan sudah hilang.
Sebagai gantinya, ada sekotak tisu di meja belakang—seolah seseorang merasa bersalah dan ingin menebus kesalahan.
Elvano tertawa kecil. “Mungkin kita nggak perlu cari pelakunya. Yang penting dia udah sadar.”
Hari demi hari, kelas 8C perlahan berubah. Mungkin belum sempurna, tapi jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka mulai mengerti satu hal penting—kebersihan bukan soal peraturan atau hukuman, tapi soal kebiasaan.
Tapi ujian terbesar mereka masih belum datang.
Lomba kebersihan sekolah tinggal dua hari lagi.
Dan seseorang berusaha menggagalkan mereka.
Konspirasi Kotor di Hari Penilaian
Hari penilaian akhirnya tiba. Seluruh siswa kelas 8C berdiri di depan kelas dengan wajah tegang. Lomba kebersihan sekolah adalah satu-satunya kesempatan mereka untuk membuktikan bahwa kelas mereka bisa berubah—bukan cuma jadi kelas paling berantakan, tapi juga jadi yang terbaik.
“Kita udah kerja keras selama seminggu lebih,” kata Elvano sambil mengamati meja-meja yang sudah rapi. “Nggak ada alasan buat kalah.”
Nayra menyisir rambutnya ke belakang, mencoba terlihat percaya diri. “Yang penting kita udah usaha. Kalau menang, bonus.”
Kael menepuk bahu Nayra. “Santai aja. Gue udah siap traktir makan siang kalau kita menang.”
Tapi tiba-tiba, suara jeritan terdengar dari dalam kelas.
“Astaga! Ini siapa yang—”
Mereka semua berhamburan masuk. Dan pemandangan di depan mereka membuat jantung Elvano hampir copot.
Kelas yang semula bersih sekarang penuh dengan sampah. Botol-botol kosong berserakan di lantai, meja-meja bernoda saus, dan ada bekas minuman tumpah di dekat papan tulis.
Semuanya terdiam.
“Ini… sabotase?” gumam Kael.
Nayra menghela napas tajam. “Jelas.”
Seseorang sengaja menghancurkan kerja keras mereka. Dan itu dilakukan tepat sebelum juri datang.
Waktu terus berjalan. Mereka hanya punya lima belas menit sebelum tim penilai datang ke kelas mereka.
“Gimana, nih?” suara Raka terdengar panik. “Nggak mungkin kita beresin ini semua secepat itu!”
Elvano mengepalkan tangan. “Bisa.”
Dia meraih sapu dan langsung mulai membersihkan. “Kalau kita semua kerja bareng, kita bisa.”
Kael menyeringai dan mengambil kain lap. “Gue sih nggak mau kalah cuma gara-gara orang nggak jelas.”
Tanpa banyak bicara, semua anak langsung bergerak.
Nayra dan beberapa anak lain mengelap meja dengan cepat, sementara yang lain menyapu dan mengepel. Kael bahkan sampai rela mengangkat bangku satu per satu buat memastikan tidak ada sampah yang terselip.
Suasana kelas berubah jadi medan perang—bukan melawan musuh, tapi melawan waktu.
Lima menit.
Mereka mulai kehabisan napas, tapi kelas mulai terlihat lebih baik.
Tiga menit.
Kael nyaris tersandung saat mengambil botol plastik terakhir.
Satu menit.
Nayra buru-buru membuang tisu terakhir ke tempat sampah, tepat sebelum pintu kelas diketuk.
Semua langsung berdiri tegap, berpura-pura seolah tidak ada apa-apa yang terjadi.
Tim penilai masuk.
Elvano dan yang lain menahan napas saat juri mengamati kelas mereka. Mereka mengecek setiap sudut, melihat kebersihan meja, lantai, dan bahkan jendela.
Saat juri terakhir menuliskan sesuatu di clipboard-nya, waktu terasa berjalan lambat.
“Ada peningkatan yang cukup signifikan dari kelas ini,” ujar salah satu juri.
Anak-anak 8C saling melirik.
“Tapi…”
Mereka semua menahan napas lagi.
“…kami ingin melihat apakah kalian bisa mempertahankan kebersihan ini untuk jangka panjang.”
Seisi kelas menghela napas lega.
Setelah beberapa kelas lain dinilai, pengumuman pemenang pun dilakukan di lapangan.
“Kelas yang memenangkan lomba kebersihan tahun ini adalah…”
Hening.
“…kelas 8C!”
Seketika, teriakan kemenangan pecah.
Elvano, Nayra, Kael, dan semua anak 8C saling bersorak dan berpelukan. Mereka berhasil. Bukan cuma memenangkan lomba, tapi juga membuktikan sesuatu—mereka bisa berubah.
Di tengah perayaan kecil mereka, Nayra menoleh ke Elvano dan Kael. “Siapa pun yang sabotase kelas kita tadi, mereka pasti nggak nyangka kita bisa menang.”
Kael tertawa kecil. “Biarin aja. Yang penting, kita berhasil.”
Elvano tersenyum puas. “Dan mulai sekarang, nggak ada lagi kelas 8C yang jorok.”
Mereka semua tertawa. Karena mereka tahu—perubahan ini bukan cuma untuk menang, tapi untuk selamanya.
Dari yang awalnya cuma niat biar menang lomba, kelas ini malah dapet sesuatu yang lebih gede—mereka belajar kalau kebersihan itu bukan cuma soal menang atau kalah, tapi kebiasaan yang bisa ngerubah segalanya.
Dan yang paling penting? Mereka nggak bakal lagi kena julukan kelas terjorok seantero sekolah! Jadi, buat yang masih suka buang sampah sembarangan, inget ya—kebersihan itu bukan buat orang lain, tapi buat diri sendiri juga. Siap jadi next level kayak mereka?