Rahasia Jam Tua di Desa Bayang: Kisah Misteri yang Menggetarkan Hati

Posted on

Rahasia Jam Tua di Desa Bayang: Kisah Misteri yang Menggetarkan Hati membawa Anda ke dalam petualangan Kaelthor Eryndis, seorang jurnalis yang mengungkap misteri kelam di Desa Bayang bersama Veylindra Tharwyn, seorang wanita tua yang terikat oleh kutukan jam tua peninggalan ayahnya. Cerpen ini penuh dengan emosi mendalam, menggambarkan duka kehilangan, keberanian menghadapi masa lalu, dan misteri yang melibatkan Pengawal Waktu—sekelompok entitas misterius yang mengendalikan waktu. Dengan latar desa terpencil yang diselimuti kabut dan petualangan penuh ketegangan, kisah ini akan membuat Anda terhanyut dalam campuran rasa takut, harapan, dan keajaiban. Siap untuk menyelami misteri yang menggetarkan jiwa ini?

Rahasia Jam Tua di Desa Bayang

Echo dari Masa Lalu

Di sebuah desa terpencil bernama Desa Bayang, yang tersembunyi di balik bukit-bukit hijau dan dikelilingi oleh hutan lebat yang selalu diselimuti kabut tipis, hiduplah seorang wanita tua bernama Veylindra Tharwyn. Nama itu, yang konon berarti “penjaga bayang yang tersembunyi” dalam bahasa kuno desa, diberikan oleh nenek moyangnya yang misterius. Veylindra, kini berusia 78 tahun, adalah sosok yang aneh di mata penduduk desa—wajahnya penuh kerutan seperti peta hidup yang usang, matanya cokelat tua yang selalu tampak memandang jauh ke masa lalu, dan rambutnya yang putih panjang sering kali tergerai seperti gaun hantu di angin malam.

Aku, seorang jurnalis muda bernama Kaelthor Eryndis, datang ke Desa Bayang pada musim semi tahun lalu untuk merekam kisah hidup orang-orang yang tersisa di tempat ini, yang konon menyimpan sejarah kelam yang tak pernah sepenuhnya terungkap. Aku mendengar tentang Veylindra dari seorang pedagang tua yang lelet di pasar kota terdekat—ia berkata bahwa wanita itu memiliki rahasia yang terkait dengan jam tua aneh yang berdetak di rumahnya, jam yang konon bisa “berbicara” dan membawa kembali kenangan yang sudah lama terkubur. Dengan rasa ingin tahu yang membakar, aku memutuskan untuk mencarinya, membawa buku catatan dan perekam suara tua yang selalu jadi teman perjalananku.

Desa Bayang adalah tempat yang sunyi, dengan rumah-rumah kayu sederhana yang tersebar di antara ladang-ladang yang mulai ditinggalkan. Jalanan berbatu dipenuhi rumput liar, dan suara burung hantu sering terdengar bahkan di siang hari, menciptakan suasana yang membuat bulu kuduk berdiri. Rumah Veylindra terletak di ujung desa, berdiri sendiri di tepi hutan, dengan dinding-dindingnya yang sudah retak dan jendela-jendela yang tertutup kain lusuh. Di depan rumah, sebuah taman kecil dipenuhi bunga liar yang tampak tumbuh tanpa perawatan, seolah hidup dengan kehendak sendiri.

Aku mengetuk pintu kayu yang berderit, dan setelah beberapa saat, pintu itu terbuka perlahan, mengungkapkan sosok Veylindra yang berdiri dengan tubuh sedikit bungkuk, mengandalkan tongkat kayu tua. “Kau bukan dari sini,” katanya dengan suara serak, matanya menelitinya dari atas ke bawah. “Apa yang kau inginkan dari Veylindra Tharwyn?”

Aku memperkenalkan diri, menjelaskan bahwa aku ingin mendengar cerita hidupnya untuk dokumentasi. Veylindra menatapku lama, seolah mencari kejujuran di wajahku, sebelum akhirnya mengangguk dan mengundangku masuk. Di dalam, rumah itu dipenuhi aroma kayu bakar dan rempah-rempah kering, dengan furnitur sederhana yang tampak sudah tua. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah jam besar yang berdiri di sudut ruangan—jam tua dengan wajah kayu yang diukir dengan pola aneh, jarumnya bergerak dengan detak yang tidak beraturan, dan suaranya terdengar seperti bisikan pelan yang bergema di dinding.

“Jam itu… spesial,” kata Veylindra, duduk di kursi rotan sambil menunjuk jam itu. “Itu milik ayahku, Thryndor, yang meninggal puluh tahun lalu. Tapi itu bukan jam biasa. Ia menyimpan cerita, dan kadang-kadang… ia berbicara.”

Aku merekam kata-kata itu, meski awalnya menganggapnya sebagai omong kosong seorang wanita tua yang kesepian. Tapi saat aku duduk di hadapannya, Veylindra mulai menceritakan kisahnya, dan suara jam itu seolah ikut menyuarakan kenangan-kenangan yang ia ungkapkan. Ia berkata bahwa Thryndor adalah seorang pembuat jam terkenal di desa, tapi ia juga memiliki hubungan dengan sebuah kelompok misterius yang disebut “Pengawal Waktu”—sekelompok orang yang konon bisa memanipulasi waktu melalui artefak kuno, termasuk jam yang kini ada di rumahnya.

“Ketika aku masih kecil, ayah sering mengunci dirinya di ruang bawah tanah, bekerja pada jam itu,” kenang Veylindra, matanya berkaca-kaca. “Ia bilang jam itu bisa membawanya kembali ke masa lalu, tapi dengan harga yang mahal. Aku tak mengerti saat itu, tapi kemudian… ia hilang. Hanya jam itu yang tersisa, dan sejak itu, aku mulai mendengar suara-suara dari dalamnya.”

Aku mencatat setiap kata, merasa bulu kudukku berdiri saat suara jam itu tiba-tiba berubah—detaknya menjadi lebih cepat, diikuti oleh bisikan yang samar, seolah ada seseorang berbicara dari dalam kayu tua itu. Veylindra tampak tidak terkejut, malah menutup matanya seolah mendengarkan sesuatu. “Itu ayahku,” bisiknya. “Ia mencoba memberitahuku sesuatu, tapi aku tak pernah bisa memahaminya sepenuhnya.”

Malam itu, aku tinggal di rumah Veylindra setelah ia menawarkan aku tidur di ruang tamu yang sederhana. Aku tidur di ranjang kayu tua dengan selimut tipis, tapi tidurku terganggu oleh mimpi aneh—suara jam itu bergema di kepalaku, diikuti oleh bayangan seorang pria tua yang menatapku dengan mata kosong, memegang jam yang sama. Aku terbangun dengan keringat dingin, dan saat aku membuka mata, aku melihat jarum jam bergerak mundur selama beberapa detik sebelum kembali normal.

Pagi berikutnya, aku menemukan Veylindra duduk di depan jam, tangannya menyentuh wajah kayu dengan penuh kasih sayang. “Aku ingin kau tahu seluruh ceritanya,” katanya, suaranya lemah. “Tapi kau harus berjanji untuk tidak mengubahnya. Ini bukan hanya tentang aku, tapi tentang kutukan yang mengikat keluargaku.”

Aku mengangguk, meski hatiku dipenuhi rasa penasaran dan sedikit ketakutan. Veylindra lalu menceritakan bahwa setelah Thryndor hilang, ia mulai menemukan surat-surat tua di ruang bawah tanah, yang mengungkap bahwa Pengawal Waktu mengutuk keluarganya karena Thryndor mencoba mencuri rahasia mereka. Jam itu, menurut surat-surat itu, adalah kunci untuk membuka masa lalu, tapi juga membawa roh-roh yang tersesat ke dalam kehidupan siapa saja yang menggunakannya.

Sore itu, saat aku membantu Veylindra menyiapkan teh dari daun kering di dapur, suara jam tiba-tiba berubah lagi—detaknya menjadi lebih lambat, diikuti oleh suara yang jelas, seperti seseorang memanggil nama “Veylindra” dengan nada sendu. Wanita tua itu membeku, tangannya gemetar saat menyentuh cangkir teh. “Ia kembali,” bisiknya, matanya penuh air mata. “Ayahku… ia ingin aku mengikuti jejaknya.”

Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya duduk di sampingnya, mencatat setiap detail, sambil merasa bahwa misteri ini baru saja dimulai. Di luar jendela, angin bertiup kencang, membawa desis yang terdengar seperti tawa pelan dari bayang-bayang hutan. Dan di sudut ruangan, jam tua itu terus berdetak, menyimpan rahasia yang mungkin akan mengubah hidup kami selamanya.

Pintu ke Ruang Bawah Tanah

Pagi di Desa Bayang terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun matahari telah menampakkan cahayanya di ufuk timur. Kabut tipis masih menyelimuti ladang-ladang yang ditinggalkan, menciptakan suasana suram yang seolah-olah memeluk setiap sudut desa. Kaelthor Eryndis terbangun di ranjang kayu tua di ruang tamu rumah Veylindra Tharwyn, tubuhnya terasa kaku akibat tidur yang terganggu oleh mimpi aneh—bayangan seorang pria tua dengan mata kosong, memegang jam yang detaknya bergema di kepalanya. Di sudut ruangan, jam tua itu berdiri tegak, wajah kayunya yang diukir dengan pola aneh tampak samar di bawah sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah jendela. Jarumnya bergerak dengan detak yang tidak beraturan, diikuti oleh bisikan pelan yang membuat bulu kuduk Kaelthor berdiri.

Veylindra, yang sudah bangun lebih awal, duduk di kursi rotan di dekat perapian kecil, tangannya memegang cangkir teh dari daun kering yang harumnya menyebar di udara. Wajahnya yang penuh kerutan tampak lebih tua di pagi itu, matanya cokelat tua memandang jauh ke arah jam, seolah mencari jawaban di dalam detakannya. “Kau mendengarnya malam ini, bukan?” tanyanya tanpa menoleh, suaranya serak namun penuh makna.

Kaelthor mengangguk, meski Veylindra tidak bisa melihatnya. Ia mengambil buku catatan dan perekam suara dari tasnya, lalu duduk di hadapan wanita tua itu. “Ya, aku mendengar bisikan. Seperti seseorang memanggil nama ‘Veylindra’. Apa artinya ini? Dan ruang bawah tanah yang kau sebutkan kemarin—apa hubungannya dengan jam itu?”

Veylindra menyesap tehnya perlahan, tangannya sedikit gemetar. “Ruang bawah tanah adalah tempat ayahku, Thryndor, menghabiskan waktunya sebelum ia hilang,” jawabnya. “Di sana, ia bekerja pada jam itu, mencoba memahami rahasia Pengawal Waktu. Aku belum pernah masuk ke dalam sejak ia pergi, tapi jika kau ingin tahu lebih banyak, mungkin kita harus melihatnya bersama. Tapi hati-hati, Kaelthor—tempat itu penuh dengan bayang-bayang masa lalu.”

Kaelthor merasa jantungnya berdegup kencang. Sebagai jurnalis, ia terbiasa mengejar fakta, tapi ada sesuatu tentang Desa Bayang dan jam tua ini yang membuatnya merasa seperti melangkah ke dunia yang tak bisa ia pahami sepenuhnya. Ia mengangguk, menyiapkan perekam suaranya. “Aku siap, Veylindra. Aku ingin merekam semuanya.”

Veylindra bangkit perlahan, mengandalkan tongkat kayunya, dan membimbing Kaelthor menuju dapur kecil di belakang rumah. Di sudut ruangan, tersembunyi di balik rak kayu yang penuh dengan toples rempah, ada sebuah pintu kayu tua yang tertutup rapat, dengan engsel-engeselnya berkarat dan ditutupi debu tebal. Veylindra menarik rak itu dengan susah payah, mengungkapkan pintu yang seolah-olah belum disentuh selama puluhan tahun. Ia mengeluarkan sebuah kunci kecil dari saku jubahnya, memasukkannya ke dalam gembok tua, dan dengan suara berderit yang menusuk telinga, pintu itu terbuka.

Di balik pintu, tangga kayu sempit menjulur ke bawah, diterangi oleh cahaya redup dari lentera tua yang tergantung di dinding. Udara yang naik dari bawah terasa dingin dan berbau lembap, bercampur dengan aroma tanah basah dan kayu lapuk. Kaelthor mengikuti Veylindra turun perlahan, tangannya mencengkeram dinding yang licin, sementara suara detak jam di atas terdengar semakin samar, digantikan oleh keheningan yang menyesakkan.

Ruang bawah tanah adalah ruangan kecil yang penuh dengan debu dan barang-barang tua—meja kayu penuh goresan, kursi yang sudah patah satu kakinya, dan rak-rak yang dipenuhi gulungan kertas kuning serta alat-alat aneh yang tampak seperti instrumen pembuat jam. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar dengan permukaan yang dipenuhi tanda-tanda ukiran aneh, dan di atasnya terdapat sebuah kotak kayu kecil yang terkunci dengan rantai besi. Di dinding, Kaelthor melihat jam yang identik dengan yang ada di ruang tamu, tapi kali ini tanpa jarum—hanya wajah kayu yang kosong, seolah menunggu sesuatu.

“Ini tempat ayahku bekerja,” kata Veylindra, suaranya bergetar. “Ia bilang jam itu adalah kunci untuk membuka masa lalu, tapi juga membawa roh-roh yang tersesat. Setelah ia hilang, aku tak pernah berani menyentuh apa pun di sini.”

Kaelthor mendekati kotak kayu itu, matanya meneliti rantai besi yang tampak tua namun kuat. Ia mengeluarkan pisau lipat dari sakunya, mencoba memotong rantai itu, tapi besi itu tak bergeming. “Ada kunci lain?” tanyanya, menoleh ke Veylindra.

Veylindra mengangguk pelan, lalu berjalan ke sudut ruangan dan mengambil sebuah kotak kecil dari rak. Di dalamnya, ada sebuah kunci perak yang diukir dengan pola yang sama seperti jam di atas. “Ini milik ayahku,” katanya, menyerahkan kunci itu dengan tangan gemetar. “Tapi aku memperingatkanmu, Kaelthor—jika kau membukanya, kau mungkin akan melihat lebih dari yang kau inginkan.”

Dengan hati-hati, Kaelthor memasukkan kunci ke dalam gembok, dan dengan suara klik yang pelan, rantai itu terbuka. Ia mengangkat tutup kotak, dan di dalamnya ia menemukan sehelai surat kuning, sebuah liontin perak berbentuk bulan sabit, dan sebuah buku harian tua yang sampulnya sudah robek. Ia membuka surat itu, dan tulisan tangan Thryndor terpampang di sana: “Veylindra, jika kau membaca ini, aku sudah pergi. Jam ini adalah kutukan dari Pengawal Waktu—mereka mengambil nyawaku karena aku mencoba melawan. Jangan biarkan mereka mengambilmu juga. Hancurkan jam itu, atau kau akan ikut terseret ke dalam bayang-bayang.”

Kaelthor merasa darahnya membeku. Ia menoleh ke Veylindra, yang kini menangis pelan, tangannya mencengkeram tongkatnya dengan erat. “Ayahku… ia mati karena ini,” bisiknya. “Dan aku tak pernah bisa menghancurkannya. Aku terlalu takut.”

Aku membuka buku harian itu, dan halaman-halaman pertamanya penuh dengan catatan tentang pembuatan jam, formula aneh, dan simbol-simbol yang tak bisa Kaelthor pahami. Tapi di halaman tengah, ada sebuah entri yang membuatnya terdiam: “Hari ini, aku mendengar suara dari jam—suara adik Veylindra, Sylthara, yang hilang lima tahun lalu. Mereka mengatakan aku bisa membawanya kembali, tapi aku harus menyerahkan sesuatu sebagai ganti. Aku tak tahu apa itu, tapi aku akan mencoba.”

“Sylthara?” tanya Kaelthor, suaranya bergetar. “Kau punya adik?”

Veylindra menunduk, air matanya jatuh ke lantai. “Ya. Ia hilang saat masih kecil, tepat sebelum ayahku menghilang. Aku selalu berpikir ia kabur, tapi sekarang… aku tak yakin lagi.”

Tiba-tiba, suara detak jam di ruang tamu di atas menjadi lebih keras, bergema hingga ke ruang bawah tanah. Kaelthor merasa ruangan itu bergetar pelan, dan bayangan samar mulai muncul di dinding—bayangan seorang gadis kecil dengan rambut panjang, berdiri di sudut dengan mata kosong. Veylindra berteriak, tangannya menutup wajahnya. “Sylthara! Tidak!”

Kaelthor berbalik, tapi bayangan itu lenyap seketika, digantikan oleh keheningan yang menyesakkan. Ia mencoba menenangkan Veylindra, tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa misteri ini jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan. Jam itu bukan hanya artefak—ia adalah portal ke dunia lain, dan kini, ia mulai membuka pintunya.

Malam itu, mereka kembali ke ruang tamu, meninggalkan ruang bawah tanah dengan pintu terkunci kembali. Suara jam terus bergema, dan Kaelthor tidak bisa tidur, pikirannya dipenuhi oleh wajah gadis kecil itu dan kata-kata Thryndor. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan apa yang menanti di depan mungkin akan mengubah hidupnya selamanya—atau bahkan mengakhirkannya

Bayang-bayang Sylthara

Langit di Desa Bayang pagi itu tertutup awan kelabu tebal, menciptakan suasana yang semakin suram di sekitar rumah Veylindra Tharwyn. Kabut tipis yang selalu menyelimuti desa tampak lebih pekat, seolah alam turut merasakan beban masa lalu yang kini mulai terkuak. Kaelthor Eryndis duduk di meja kecil di ruang tamu, menatap buku harian Thryndor yang ia temukan di ruang bawah tanah malam sebelumnya. Halaman-halaman itu penuh dengan tulisan tangan yang bergetar, mencatat formula aneh, simbol-simbol kuno, dan catatan tentang upaya Thryndor untuk memanipulasi waktu melalui jam tua yang kini berdiri di sudut ruangan. Detak jam itu terdengar lebih keras dari biasanya, seolah menuntut perhatian, diikuti oleh bisikan samar yang kini lebih jelas: “Sylthara… Sylthara… temukan aku…”

Veylindra duduk di kursi rotan di dekat perapian, tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin, matanya cokelat tua memandang kosong ke arah jam. Wajahnya yang penuh kerutan tampak lebih pucat, dan uban di rambutnya yang panjang tampak seperti benang-benang perak yang menjuntai tanpa kehidupan. Malam sebelumnya, setelah mereka melihat bayangan Sylthara di ruang bawah tanah, Veylindra tidak bisa tidur. Ia hanya duduk di depan jam, mendengarkan detakannya, seolah mencoba berkomunikasi dengan adiknya yang hilang lebih dari enam puluh tahun lalu.

“Aku harus menceritakan semuanya kepadamu, Kaelthor,” kata Veylindra akhirnya, suaranya serak dan penuh beban. “Aku tak bisa menyimpan ini lebih lama lagi. Sylthara… adikku… dia bukan hanya hilang. Dia diambil oleh jam itu.”

Kaelthor menyalakan perekam suaranya, tangannya mencatat setiap kata dengan cepat di buku catatan. “Apa maksudmu, Veylindra? Bagaimana jam itu bisa mengambilnya?”

Veylindra menghela napas panjang, menutup matanya seolah mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkap luka lama. “Sylthara adalah adikku yang bungsu. Dia lahir ketika aku berusia sepuluh tahun. Dia… dia adalah cahaya di keluarga kami. Rambutnya hitam panjang, matanya cokelat seperti ayah, dan senyumnya bisa membuat siapa saja lupa pada duka. Tapi dia selalu penasaran—terlalu penasaran untuk kebaikannya sendiri.”

Ia berhenti sejenak, menyesap teh dinginnya, lalu melanjutkan. “Ayahku, Thryndor, adalah pembuat jam yang terkenal di desa ini. Tapi ia juga terobsesi dengan Pengawal Waktu, sebuah kelompok misterius yang konon bisa memanipulasi waktu melalui artefak kuno. Aku ingat malam-malam ketika ia mengunci diri di ruang bawah tanah, bekerja pada jam itu, mengabaikan kami. Ibu, Elthryna, sering menangis karena ayah terlalu tenggelam dalam obsesinya. Tapi Sylthara… dia selalu mencoba menyelinap ke bawah, ingin tahu apa yang ayah lakukan.”

Kaelthor mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya terasa berat mendengar nada duka dalam suara Veylindra. “Lalu apa yang terjadi padanya?” tanyanya pelan.

Veylindra menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya yang keriput. “Suatu malam, ketika aku berusia tiga belas tahun, aku mendengar suara Sylthara dari ruang bawah tanah. Aku tahu ayah sedang bekerja di sana, tapi pintu terkunci. Aku mencoba membukanya, tapi sebelum aku bisa melakukan apa-apa, aku mendengar jeritan—jeritan Sylthara, diikuti oleh suara detak jam yang sangat keras, seperti gempa kecil. Ketika ayah akhirnya membuka pintu, ia pucat seperti mayat, dan Sylthara… Sylthara sudah tidak ada di sana.”

Kaelthor merasa bulu kuduknya berdiri. “Tidak ada? Maksudmu dia lenyap begitu saja?”

Veylindra mengangguk, tangannya mencengkeram cangkir teh dengan erat. “Ayah bilang ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia bilang jam itu tiba-tiba hidup, dan ada kabut hitam yang muncul dari wajahnya, menyelimuti Sylthara. Ketika kabut itu hilang, adikku juga hilang. Ayah bersumpah untuk menemukannya, tapi sejak malam itu, ia berubah. Ia menjadi pendiam, penuh rasa bersalah, dan semakin terobsesi dengan jam itu. Dua tahun kemudian, ia juga menghilang—tanpa jejak, tanpa pesan, hanya meninggalkan jam itu dan kutukan yang mengikat keluargaku.”

Kaelthor menatap jam tua di sudut ruangan, merasa detakannya seperti menggema di dadanya. “Jadi kau pikir Sylthara… terperangkap di dalam jam itu? Atau di suatu tempat yang bisa dijangkau melalui jam?”

Veylindra mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, Kaelthor. Tapi selama bertahun-tahun, aku mendengar suaranya—bisikan yang memanggilku, seperti yang kau dengar malam ini. Aku selalu terlalu takut untuk mencoba memahami, tapi setelah kau datang… aku merasa ini saatnya untuk menghadapi masa laluku.”

Kaelthor menutup buku catatannya sejenak, mencoba mencerna cerita Veylindra. Ia berdiri, mendekati jam tua itu, dan meletakkan tangannya di wajah kayunya yang dingin. Pola ukiran di sana tampak seperti simbol waktu yang berputar, dengan garis-garis melingkar yang membentuk lingkaran tanpa akhir. Ia mencoba memutar tombol di samping jam, yang konon digunakan untuk mengatur waktu, tapi tombol itu macet. Namun, saat ia menyentuhnya, suara detak jam tiba-tiba berhenti—dan ruangan menjadi sunyi seketika.

“Veylindra, dengar!” kata Kaelthor, suaranya penuh ketegangan. “Detaknya berhenti.”

Veylindra bangkit dari kursinya, matanya membelalak. “Itu tidak pernah terjadi sebelumnya,” bisiknya. “Apa yang kau lakukan?”

Sebelum Kaelthor bisa menjawab, udara di sekitar mereka berubah. Cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela tiba-tiba meredup, dan suhu ruangan turun drastis, membuat napas mereka terlihat seperti asap putih di udara. Dari wajah jam, kabut hitam pekat mulai muncul, membentuk sosok kecil yang samar—seorang gadis dengan rambut panjang hitam, mengenakan gaun sederhana yang sudah usang, berdiri di depan mereka dengan mata kosong. Wajahnya pucat, tapi matanya yang cokelat tua penuh dengan kesedihan yang mendalam.

“Sylthara…” bisik Veylindra, air matanya mengalir deras. Ia berlutut di depan sosok itu, tangannya terulur tapi tidak berani menyentuh. “Adikku… kau kembali…”

Sosok itu tidak bergerak, tapi suara bisikan yang lembut keluar dari mulutnya: “Vey… tolong aku… aku takut… mereka tidak akan melepaskanku…”

Kaelthor merasa jantungnya hampir berhenti. Ia mengambil perekam suaranya, mencoba merekam suara itu, tapi tangannya gemetar hebat. “Siapa mereka, Sylthara?” tanyanya, suaranya bergetar. “Pengawal Waktu?”

Sosok Sylthara menoleh kepadanya, matanya tiba-tiba menyala merah sejenak, sebelum kembali normal. “Mereka mengambilku… mereka mengambil ayah… mereka akan mengambilmu juga… hancurkan jam… sebelum terlambat…”

Sebelum Kaelthor atau Veylindra bisa bereaksi, kabut hitam itu menghilang, dan sosok Sylthara lenyap bersamanya. Detak jam kembali berbunyi, tapi kali ini lebih lambat, seolah kelelahan. Veylindra terisak di lantai, tangannya mencengkeram kain jubahnya dengan erat. “Dia masih hidup… di suatu tempat… tapi aku tidak tahu bagaimana menyelamatkannya,” katanya, suaranya pecah.

Kaelthor berlutut di sampingnya, mencoba menenangkan wanita tua itu, tapi pikirannya berputar-putar. Ia tahu bahwa jam ini bukan sekadar benda—ia adalah portal ke dunia lain, tempat di mana roh-roh seperti Sylthara dan Thryndor terperangkap. Tapi pertanyaan yang lebih besar menghantuinya: bagaimana cara menghancurkannya tanpa membahayakan mereka yang masih hidup?

Malam itu, Kaelthor kembali membaca buku harian Thryndor, mencari petunjuk tentang cara menghentikan kutukan Pengawal Waktu. Di halaman terakhir, ia menemukan sebuah catatan yang membuatnya merinding: “Untuk menghancurkan jam, kau harus menyerahkan sesuatu yang kau sayangi—sesuatu yang bernilai lebih dari waktu itu sendiri. Aku gagal, dan aku membayar harganya. Jangan biarkan Veylindra mengikuti jejakku.”

Kaelthor menutup buku itu, matanya menatap jam tua di sudut ruangan. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi lebih berbahaya, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa meninggalkan Veylindra sendirian dalam duka ini. Di luar jendela, angin malam bertiup kencang, membawa desis yang terdengar seperti tangisan pelan dari hutan.

Pertempuran dengan Bayang Waktu

Pagi di Desa Bayang pada hari Selasa, 27 Mei 2025, dimulai dengan keheningan yang menyesakkan, seolah alam menahan napas menanti sesuatu yang tak terucap. Jam di dinding menunjukkan pukul 09:34 WIB ketika Kaelthor Eryndis terbangun dari tidur yang gelisah di ranjang kayu tua di ruang tamu rumah Veylindra Tharwyn. Mimpi-mimpinya dipenuhi oleh wajah pucat Sylthara, bisikan pelan yang bergema, dan bayangan jam tua yang terus membesar hingga menelan segalanya. Di sudut ruangan, jam itu berdiri tegak, wajah kayunya yang diukir dengan pola aneh tampak lebih gelap di bawah sinar matahari yang redup, detaknya berirama lambat namun penuh tekanan, seperti detak jantung yang sekarat.

Veylindra sudah bangun, duduk di kursi rotannya dengan tangan gemetar memegang liontin perak berbentuk bulan sabit yang mereka temukan di ruang bawah tanah. Matanya cokelat tua dipenuhi air mata kering, dan wajahnya yang keriput tampak seperti patung yang kehilangan jiwa. Malam sebelumnya, setelah penampakan Sylthara, Veylindra tidak bisa berhenti menangis, mengulang-ulang nama adiknya dengan suara yang pecah. Kaelthor tahu bahwa waktu semakin sempit—petunjuk dari buku harian Thryndor menuntut pengorbanan, dan tekanan dari jam itu semakin terasa.

“Kaelthor, kita harus mencoba lagi,” kata Veylindra, suaranya lemah namun tegas. “Sylthara meminta tolong. Jika ada cara untuk membawanya kembali atau membebaskannya, kita harus melakukannya hari ini. Aku tak tahan lagi mendengar suaranya tanpa bisa melakukan apa-apa.”

Kaelthor mengangguk, meski hatinya dipenuhi keraguan. Ia mengambil buku harian Thryndor dari meja, membukanya di halaman terakhir yang berbunyi: “Untuk menghancurkan jam, kau harus menyerahkan sesuatu yang kau sayangi—sesuatu yang bernilai lebih dari waktu itu sendiri.” Ia tahu risikonya, tapi melihat Veylindra dalam penderitaan ini membuatnya merasa wajib mencoba. “Baiklah,” katanya, “tapi kita perlu rencana. Kita akan menggunakan jam itu untuk berkomunikasi dengan Sylthara, tapi kita harus siap menghadapi apa pun.”

Mereka memutuskan untuk kembali ke ruang bawah tanah, tempat di mana koneksi dengan masa lalu tampaknya paling kuat. Veylindra membawa liontin itu, sementara Kaelthor membawa buku harian, perekam suara, dan sebuah lilin kecil yang ia temukan di dapur untuk penerangan tambahan. Turun ke tangga kayu sempit itu terasa seperti melangkah ke dunia lain—udara dingin menusuk tulang, dan aroma lembap tanah bercampur dengan sesuatu yang lebih tua, seperti aroma kematian yang tersembunyi.

Di ruang bawah tanah, mereka menempatkan jam identik tanpa jarum yang ada di dinding di samping meja besar, berharap kedua jam itu bisa memperkuat koneksi. Kaelthor membuka buku harian lagi, mencari petunjuk lebih lanjut, dan menemukan sebuah ritual sederhana yang ditulis Thryndor: “Letakkan liontin di wajah jam, nyanyikan lagu keluarga, dan tunggu hingga kabut muncul. Tapi hati-hati—rohk-roh lain mungkin ikut muncul.” Veylindra mengangguk, mengenali lagu yang dimaksud—nyanyian nenek moyang mereka yang sering dinyanyikan ibunya, Elthryna, untuk menenangkan Sylthara saat masih kecil.

Dengan tangan gemetar, Veylindra meletakkan liontin di wajah jam di meja, lalu mulai menyanyikan lagu itu dengan suara yang penuh emosi:
“Bawalah cahaya ke bayang gelap,
Pulangkan jiwa ke lengan ibu,
Waktu berputar, waktu menanti,
Cahaya kembali ke hati yang luka…”

Suara nyanyiannya lembut namun menusuk, bergema di dinding ruang bawah tanah yang lembap. Kaelthor merekamnya, merasa bulu kuduknya berdiri saat detak kedua jam mulai selaras, menciptakan ritme yang hipnotis. Tak lama, kabut hitam pekat mulai muncul dari wajah jam di meja, membentuk sosok Sylthara lagi—gadis kecil dengan rambut hitam panjang dan gaun usang, berdiri di depan mereka dengan mata yang penuh kesedihan.

“Vey… Kaelthor…” bisik Sylthara, suaranya seperti angin yang bergetar. “Aku terjebak di sini… Pengawal Waktu mengikatku… mereka ingin lebih banyak jiwa…”

Veylindra berlutut, tangannya terulur ke arah adiknya. “Sylthara, aku akan menyelamatkanmu. Katakan apa yang harus kulakukan!”

Sebelum Sylthara bisa menjawab, kabut itu bergolak, dan sosok-sosok lain muncul—bayangan hitam dengan mata merah menyala, melayang di udara seperti asap hidup. Suara mereka menggema, penuh amarah: “Kau tidak bisa mengambilnya! Jiwa ini milik kami! Serahkan dirimu, atau kami akan mengambil semuanya!” Kaelthor mengenali mereka sebagai roh-roh yang dikirim oleh Pengawal Waktu, penjaga bayang waktu yang Thryndor warnakan.

“Kaelthor, lindungi dirimu!” teriak Veylindra, mengambil tongkatnya untuk mencoba mengusir bayangan itu. Tapi roh-roh itu terlalu kuat—salah satu dari mereka menyerang Kaelthor, tangan bayangannya yang tak berbentuk mencengkeram lengannya, membuatnya merasa dingin menusuk tulang. Ia jatuh ke lantai, perekam suaranya terlepas dan berguling ke sudut.

Sylthara berteriak, suaranya penuh kepanikan. “Hancurkan jam! Hancurkan jam, atau kami semua akan hilang!” Tapi sebelum Kaelthor bisa bergerak, roh-roh itu menyerang lagi, kali ini menuju Veylindra. Wanita tua itu terjatuh, liontin terlepas dari tangannya dan berguling ke dekat jam. Kabut semakin tebal, dan suara detak jam menjadi kacau, seperti jantung yang berdetak di ambang kematian.

Dengan sisa tenaganya, Kaelthor merangkak ke arah pisau lipat yang jatuh di samping meja. Ia mengambilnya, lalu menusuk wajah jam di meja dengan sekuat tenaga. Kayu itu retak, dan suara jeritan mengerikan menggema dari dalamnya—jeritan yang bukan hanya dari jam, tapi dari roh-roh yang terperangkap. Kabut mulai memudar, dan bayangan-bayangan itu menghilang satu per satu, meninggalkan ruangan dalam keheningan yang menakutkan.

Veylindra terduduk di lantai, napasnya tersengal-sengal, sementara Kaelthor memeriksanya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran.

Veylindra mengangguk pelan, tapi matanya menatap liontin yang kini tergeletak di samping jam yang rusak. “Sylthara… dia pergi lagi,” bisiknya, air matanya jatuh ke lantai. “Tapi aku merasa… aku merasa dia lebih damai sekarang.”

Kaelthor mengambil perekam suaranya, memutar rekaman terakhir, dan mendengar suara Sylthara yang samar: “Terima kasih… Vey… aku bebas…” Ia memandang Veylindra, merasa campuran lega dan duka. Jam itu telah rusak, tapi harganya terasa berat—pengorbanan yang diminta Thryndor ternyata adalah keberanian untuk menghadapi roh-roh itu, dan mungkin juga kehilangan harapan untuk membawa Sylthara kembali sepenuhnya.

Malam itu, mereka kembali ke ruang tamu, meninggalkan ruang bawah tanah dalam kekacauan. Detak jam di sudut ruangan telah berhenti selamanya, dan suara bisikan pun lenyap. Tapi Kaelthor tahu bahwa misteri ini belum sepenuhnya selesai—ada sesuatu yang masih menggantung, sesuatu yang berkaitan dengan Pengawal Waktu yang mungkin akan kembali menuntut harga lebih besar.

Cahaya di Ujung Bayang

Langit di Desa Bayang pada pagi Rabu, 28 Mei 2025, terlihat lebih cerah dari biasanya, meskipun kabut tipis masih menyelimuti ladang-ladang yang ditinggalkan. Pukul 07:12 WIB, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela rumah Veylindra Tharwyn, menciptakan pola cahaya lembut di lantai kayu yang sudah usang. Kaelthor Eryndis duduk di meja kecil di ruang tamu, menatap buku catatannya yang penuh dengan coretan-coretan tentang perjalanan misteriusnya selama beberapa hari terakhir. Di sudut ruangan, jam tua yang telah menjadi pusat misteri itu kini diam selamanya—wajah kayunya yang retak dan jarumnya yang patah menjadi saksi bisu dari pertempuran mereka melawan roh-roh Pengawal Waktu.

Malam sebelumnya, setelah Kaelthor menghancurkan jam di ruang bawah tanah, Veylindra menghabiskan waktu berjam-jam menangis di lantai, memeluk liontin perak berbentuk bulan sabit yang menjadi satu-satunya kenangan fisik dari adiknya, Sylthara. Suara Sylthara yang terakhir kali mereka dengar—“Terima kasih… Vey… aku bebas…”—terus bergema di kepala Kaelthor, membawa campuran lega dan duka yang sulit dijelaskan. Ia tahu bahwa Sylthara mungkin telah menemukan kedamaian, tapi harganya terasa berat bagi Veylindra, yang kini kehilangan harapan untuk melihat adiknya kembali dalam wujud nyata.

Pagi itu, Veylindra terlihat lebih tenang, meskipun wajahnya yang penuh kerutan masih menyimpan jejak air mata. Ia duduk di kursi rotan di dekat perapian yang sudah padam, tangannya memegang liontin itu dengan lembut, seolah takut kehilangannya lagi. “Kaelthor,” katanya dengan suara yang lebih kuat dari sebelumnya, “aku tahu Sylthara sudah pergi untuk selamanya. Tapi aku merasa… aku merasa ia tidak lagi menderita. Aku ingin menguburkannya dengan benar—secara simbolis, di bawah pohon ek tua di tepi hutan, tempat kami sering bermain saat kecil.”

Kaelthor mengangguk, merasa bahwa itu adalah cara terbaik untuk memberikan penutup bagi Veylindra. “Aku akan membantumu, Veylindra. Mari kita lakukan hari ini.”

Mereka berjalan bersama menuju tepi hutan, membawa liontin perak dan sebuah kotak kayu kecil yang Veylindra isi dengan bunga-bunga liar yang ia petik dari taman depan rumahnya. Pohon ek tua itu berdiri kokoh di tengah lapangan kecil, dengan daun-daunnya yang hijau bergerak lembut ditiup angin pagi. Di bawah pohon, Veylindra menggali lubang kecil dengan tangan gemetar, dibantu Kaelthor yang menggunakan sekop tua dari gudang. Mereka menempatkan kotak itu di dalam lubang, bersama liontin perak, dan menutupnya dengan tanah.

Veylindra berlutut di depan “makam” itu, menutup matanya dan menyanyikan lagu yang sama yang ia nyanyikan malam sebelumnya:
“Bawalah cahaya ke bayang gelap,
Pulangkan jiwa ke lengan ibu,
Waktu berputar, waktu menanti,
Cahaya kembali ke hati yang luka…”

Suara nyanyiannya terbawa angin, dan untuk pertama kalinya, Kaelthor merasa ada kehangatan yang menyelinap di antara kesedihan. Ia berdiri di samping Veylindra, tangannya memegang buku catatan, mencatat momen ini sebagai bagian dari dokumentasinya. “Sylthara pasti senang melihat ini,” katanya pelan, mencoba menghibur.

Veylindra tersenyum kecil, air matanya jatuh ke tanah. “Terima kasih, Kaelthor. Tanpa keberanianmu, aku tak akan pernah bisa melepaskan adikku. Aku… aku akhirnya merasa damai.”

Setelah upacara kecil itu, mereka kembali ke rumah, dan Kaelthor mulai mengemas barang-barangnya. Ia tahu bahwa tugasnya sebagai jurnalis telah selesai—ia telah merekam kisah Veylindra, misteri jam tua, dan kutukan Pengawal Waktu. Tapi ada sesuatu yang masih mengganggunya, sebuah perasaan bahwa cerita ini belum sepenuhnya selesai. Ia memutar kembali rekaman suaranya, mendengarkan bisikan Sylthara, dan tiba-tiba menyadari bahwa ada suara lain yang samar di latar belakang—suara yang terdengar seperti tawa pelan, tapi penuh dendam.

Malam itu, saat Kaelthor bersiap untuk tidur sebelum pergi keesokan harinya, ia merasa suhu ruangan tiba-tiba turun drastis. Ia membuka matanya, dan di sudut ruangan, di mana jam tua yang rusak itu berdiri, ia melihat bayangan samar—bukan Sylthara, tapi sosok pria tua dengan mata merah menyala, memegang wajah jam yang sudah retak. Sosok itu berbicara dengan suara yang dalam dan mengerikan: “Kau pikir kau bisa menghentikan kami? Pengawal Waktu tidak pernah lupa. Kau telah mengambil jiwa kami, dan kami akan mengambil milikmu sebagai ganti.”

Kaelthor terbangun dengan keringat dingin, menyadari bahwa itu hanya mimpi—atau setidaknya, ia berharap begitu. Tapi saat ia memeriksa tasnya, ia menemukan bahwa perekam suaranya hilang, dan di tempatnya ada sebuah kertas kuning dengan tulisan tangan yang asing: “Waktu akan menagih utangmu, Kaelthor Eryndis. Kami menunggu di bayang-bayang.”

Keesokan paginya, Kaelthor berpamitan dengan Veylindra, berjanji untuk kembali suatu hari nanti untuk memastikan ia baik-baik saja. Veylindra mengangguk, matanya penuh rasa terima kasih. “Kau telah memberikan kedamaian pada keluargaku, Kaelthor. Aku harap kau juga menemukan kedamaianmu,” katanya, menyerahkan sehelai kain tenun tua sebagai tanda terima kasih.

Saat Kaelthor berjalan meninggalkan Desa Bayang, langkahnya terasa berat. Ia tahu bahwa ia telah membebaskan Sylthara dan memberikan Veylindra penutup yang ia butuhkan, tapi ia juga merasa bahwa kutukan Pengawal Waktu belum benar-benar hilang. Di tangannya, ia memegang buku catatan yang berisi kisah ini, berjanji pada dirinya sendiri untuk menuliskannya sebagai peringatan bagi siapa saja yang mungkin tergoda untuk bermain-main dengan waktu.

Di kejauhan, angin membawa desis pelan, seolah berbisik: “Kami menunggu…” Kaelthor mempercepat langkahnya, berharap bahwa bayang-bayang itu tidak akan pernah menemukannya lagi. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa beberapa misteri tidak pernah benar-benar selesai—mereka hanya menunggu waktu untuk bangkit kembali.

Rahasia Jam Tua di Desa Bayang adalah sebuah cerpen yang tidak hanya memikat dengan misterinya, tetapi juga menyentuh hati melalui perjalanan emosional Veylindra dan Kaelthor dalam menghadapi kutukan waktu. Kisah ini mengajarkan bahwa meskipun masa lalu penuh duka, keberanian untuk menghadapinya bisa membawa kedamaian—meski dengan harga yang tak terduga. Jangan lewatkan cerita ini jika Anda mencari bacaan yang menggugah jiwa dan meninggalkan kesan mendalam.

Terima kasih telah menyelami misteri Rahasia Jam Tua di Desa Bayang bersama kami! Semoga kisah ini meninggalkan jejak di hati Anda, dan jangan lupa untuk berbagi cerita ini dengan teman-teman yang menyukai misteri emosional. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!

Leave a Reply