Daftar Isi
Gini deh, kalau kamu pernah merasa nggak punya tempat pulang atau nggak ada yang benar-benar peduli sama kamu, mungkin cerita ini bakal bikin kamu mikir ulang. Di panti asuhan, di mana kehidupan terasa berat dan banyak misteri yang belum terpecahkan, ada sebuah buku harian yang bisa ngebuka mata.
Cerita tentang tiga anak panti yang nggak nyangka bakal nemuin sesuatu yang nggak cuma ngubah hidup mereka, tapi juga ngasih mereka pelajaran tentang arti keluarga yang sesungguhnya. Yuk, simak kisah mereka yang penuh rahasia dan tawa ini.
Kisah Keluarga Tanpa Nama
Buku Kecil dan Lelucon Besar
Ruang tengah di panti asuhan itu nggak pernah sepi, meskipun nggak ada acara besar atau kunjungan dari orang tua. Setiap sudutnya penuh dengan suara tawa, teriakan kecil, dan suara adik-adik yang sedang bermain. Aku duduk di sudut, di dekat rak buku, memandangi sekelompok anak yang sedang bermain domino. Tapi sesuatu menarik perhatianku lebih dari permainan itu: sebuah buku kecil yang tergeletak di meja, dengan cover yang hampir terkelupas.
Buku itu terlihat biasa saja—lebih mirip benda peninggalan zaman purba daripada barang yang masih sering dipakai. Tapi entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dengan buku itu. Aku mendekatinya perlahan, ragu-ragu, dan duduk di kursi dekat meja.
“Eh, Mik! Apa yang kamu temuin?” seru Rafi, temanku yang rambutnya selalu tampak seperti baru saja terjewer.
“Coba liat ini,” jawabku sambil membuka halaman pertama. Buku itu agak susah dibuka, mungkin karena sudah lama nggak pernah disentuh. Halaman demi halaman aku buka, dan akhirnya sampai di satu tulisan yang langsung bikin aku terkejut.
Tanggal 12 Maret
Hari yang Menegangkan
Aku baru saja menegur Miko yang membuat kekacauan lagi di ruang makan. Dia berhasil menjatuhkan piring ayam sambil berlari seperti burung yang terbang sambil tergesa-gesa. Ya Tuhan, bagaimana dia bisa begitu konyol? Tapi entah kenapa, aku tidak bisa marah lama-lama. Wajahnya saat berusaha membetulkan semuanya itu—konyol dan lucu.
Bahkan, saat aku bilang, “Miko, kamu ini seperti ayam yang nggak tahu arah pulang,” dia malah balik bertanya, “Mbak, ayam kan emang nggak bisa pulang? Lalu bagaimana dengan bebek?”
Aku nyaris tersedak waktu itu. Aku ingin menegurnya, tapi malah tertawa. Hanya di panti ini, aku merasa bisa menikmati hari-hari seperti ini.
Aku berhenti sejenak. Rafi yang duduk di sebelahku langsung terbahak mendengar kalimat terakhir. “Serius, Mik? Itu Mbak Lili yang bilang kayak gitu ke kamu?” tanyanya sambil menahan tawa. Rafi benar-benar nggak bisa berhenti tertawa, kayaknya dia baru ketemu bahan lelucon terbaik dalam hidupnya.
“Iya,” jawabku sambil memutar buku itu dan membaca beberapa baris berikutnya. “Aku juga baru tahu Mbak Lili bisa segitu gampang ketawa.”
Tapi entah kenapa, setiap kali aku membaca diary itu, aku merasa semakin tertarik. Buku itu terasa lebih seperti petunjuk rahasia daripada sekadar catatan. Rasanya seperti membaca buku cerita yang sangat personal—yang nggak bisa ditemukan di mana-mana.
Sore itu, kami berkumpul di ruang tengah setelah selesai belajar. Rafi, yang tadi hampir terjatuh karena ketawa, meminta aku untuk melanjutkan membaca.
“Yuk, Mik! Jangan berhenti gitu aja. Lanjut, dong!” katanya, matanya berbinar. Aku tahu dia nggak akan bisa tidur kalau nggak tahu kelanjutan cerita di diary itu.
Aku kembali membuka halaman berikutnya, dan kali ini aku benar-benar nggak bisa menahan tawa.
Tanggal 18 Maret
Hari yang Menakutkan
Hari ini, Miko bilang dia bisa berbicara dengan burung. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Dia bilang dia mendengar burung merpati itu berkata, “Miko, kamu harus memberitahukan Mbak Lili untuk tidak khawatir soal kebersihan. Panti ini lebih seperti tempat berpetualang, bukan tempat untuk merenung.”
Mbak Lili sampai cemas. Dia bahkan pergi ke dapur untuk menanyakan apakah ada yang kurang sehat di menu makan siang kami. Miko, tentu saja, bersikukuh bahwa dia hanya “mendengar suara burung” dan itu tidak ada kaitannya dengan makanan. Tapi saat aku lihat Miko, dia terlihat sangat yakin dengan penjelasannya. Aku tertawa karena semua orang di sini sudah terbiasa dengan tingkah konyolnya.
Aku melanjutkan membaca, sementara Rafi sudah nggak bisa berhenti ketawa.
“Jadi, Mbak Lili beneran percaya sama Miko? Yang ngomongin burung gitu?” tanya Rafi, susah payah menahan tawa.
“Kayaknya sih percaya, ya. Miko tuh memang nggak pernah bisa diambil serius. Kalau nggak ada dia, panti ini bakal sepi,” jawabku sambil tersenyum.
Semakin lama, diary itu semakin mengungkap sisi lain dari Mbak Lili yang jarang orang tahu. Mbak Lili yang biasanya tampak tegas dan serius, ternyata punya sisi lucu yang tak banyak orang kenal. Aku merasa seperti menemukan sisi lain dari dunia yang sebelumnya terasa datar.
Ternyata, ketawa itu nggak hanya datang dari kami, anak-anak panti yang sering bikin ulah. Mbak Lili, pengasuh yang seharusnya menegur kami, juga menyimpan tawa yang tak terungkapkan. Setiap kali dia berusaha serius, kami selalu berhasil mengacaukan semuanya. Tapi di balik kekacauan itu, ada kebersamaan yang kami nikmati.
Di malam yang sunyi, setelah adik-adik kecil tidur, aku kembali duduk di kursi yang sama, membuka diary itu lagi. Tapi kali ini, aku menulis. Menulis tentang betapa lucunya panti ini, betapa menyenangkannya petualangan kecil kami yang tak terduga, dan betapa berharganya setiap tawa yang tercipta dari kebodohan kami.
Diary itu sudah lebih dari sekadar buku. Itu adalah saksi bisu dari perjalanan hidup kami yang penuh kekonyolan.
Saat aku menulis, Rafi duduk di dekatku, masih dengan wajah penuh tawa. “Miko, apa kamu nggak merasa aneh baca diary orang lain?” tanyanya, meskipun dia sendiri juga ketagihan membaca.
“Apa yang aneh?” jawabku santai. “Di sini nggak ada yang aneh, Rafi. Semua orang punya sisi lucunya masing-masing.”
Tapi entah kenapa, aku merasa seperti baru saja menemukan sesuatu yang lebih penting dari sekadar tawa. Kami semua, di panti ini, sudah cukup berharga satu sama lain. Meskipun hidup kami kadang konyol, namun tak ada yang bisa menggantikan kebersamaan ini.
“Paling nggak, Miko, hidup kita nggak pernah bosan,” kata Rafi sambil mengusap matanya yang mulai pedas karena terlalu banyak tertawa.
Aku hanya mengangguk dan melanjutkan menulis di diary itu, sambil berpikir, kelanjutannya pasti lebih seru.
Miko dan Burung yang Bicara
Hari-hari di panti asuhan itu selalu penuh kejutan, terutama dengan tingkah laku Miko yang nggak pernah habis-habisnya membuat kami semua terpingkal. Setelah kejadian dengan burung merpati yang katanya bisa bicara itu, kehidupan di panti seperti mendapatkan warna baru. Setiap kali Miko muncul dengan ide konyol lainnya, kami sudah nggak bisa menahan tawa. Dan hari itu, Miko benar-benar membawa sesuatu yang jauh lebih absurd daripada burung merpati.
“Gue nemu sesuatu, Mik!” serunya dari ujung koridor. Miko datang dengan langkah penuh percaya diri, meskipun wajahnya tampak sedikit bingung.
“Apa lagi, Mik? Jangan bilang kamu nemu kucing yang bisa nyanyi,” jawabku sambil berusaha menahan tawa. Rafi yang ada di sebelahku, langsung melirik Miko dengan penasaran.
“Nggak, bukan itu. Tapi… ini lebih keren,” kata Miko dengan ekspresi serius, seolah-olah dia baru saja menemukan harta karun yang tak ternilai. Tanpa menunggu kami bereaksi lebih lama, dia membuka tas ranselnya dan mengeluarkan sesuatu yang… aneh.
Aku terdiam sejenak melihat benda yang dia pegang. Itu sebuah boneka burung, tapi bukan boneka sembarangan. Boneka itu punya desain yang aneh, dengan bulu yang berwarna-warni cerah dan matanya yang kelihatan seperti dilukis asal-asalan.
“Ini… burung beneran atau mainan?” tanya Rafi, sedikit bingung, tapi ada senyum lebar yang hampir muncul di wajahnya.
“Ini boneka burung yang bisa bicara, bro!” jawab Miko, dengan penuh keyakinan yang sama seperti sebelumnya.
“Burung bisa bicara? Gila, Mik. Ini sudah kelewatan,” aku melongo. Miko memang selalu bisa membuat apapun terasa lebih absurd dari kenyataan. “Yaudah, coba aja bicara. Burungnya bisa ngomong apa?”
Miko memegang boneka itu dengan serius, lalu menempelkan boneka itu ke telinganya seperti sedang mendengarkan sesuatu. Aku dan Rafi saling pandang, menunggu apa yang bakal terjadi.
Tiba-tiba, Miko membuka mulut boneka itu, dan dengan nada yang dibuat-buat, dia berkata, “Aku sudah lama menunggu, Miko! Selamat datang di dunia burung berbicara, tempat di mana segala sesuatu bisa terjadi, bahkan di panti asuhan ini!”
Kami berdua langsung terkekeh, tak bisa menahan tawa. Miko benar-benar ngelakuin segala hal untuk bikin kami tertawa. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti ada sedikit keajaiban dalam kekonyolannya. Kami tertawa bersama, seakan-akan boneka itu benar-benar berbicara.
“Coba lagi, Mik. Biar aku bisa ngomong sama burung itu!” Rafi nggak mau kalah. Dia ingin jadi bagian dari lelucon ini.
Miko pun menyerahkan boneka burung itu ke Rafi dengan wajah serius, meskipun dia jelas-jelas sudah nggak bisa menahan tawa. “Oke, burung ini bisa ngomong soal cinta sejati. Kamu coba tanya dia,” kata Miko sambil menyengir lebar.
Rafi memegang boneka itu, mencoba menirukan gaya Miko. “Oke, burung, apa yang harus aku lakukan biar dapat cinta sejati?” tanyanya dengan wajah penuh harapan.
Dengan suara yang lebih dramatis daripada yang dibutuhkan, Miko, dengan mulut boneka burung, menjawab, “Cinta sejati itu seperti nasi goreng, kamu harus masak dengan hati-hati, jangan terlalu banyak bumbu, dan pastikan semuanya matang sempurna, atau rasanya bisa jadi hambar!”
Kami terpingkal, sampai ada yang sampai terbatuk. Rafi nyaris terjatuh dari kursi saking kaget dan ngakaknya. “Gila, Mik, ini burung malah ngajarin soal masakan!”
Miko tersenyum puas, seolah-olah dia baru saja menuntaskan misi besar. “Coba deh kalian pikirin, kalau burung ini bisa ngomong soal masakan, kenapa nggak bisa ngomong soal kehidupan?” katanya dengan penuh keyakinan, seolah-olah dia baru saja membuka tabir rahasia kehidupan.
Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. “Miko, kamu memang beda dari yang lain. Tapi itu yang bikin panti ini nggak pernah bosen.”
Sore itu kami semua ngumpul di ruang tengah, dengan boneka burung itu yang jadi pusat perhatian. Setiap kali ada yang datang, kami langsung melakukan “pertunjukan”, dengan Miko jadi sutradara dan aktor utama. Semua anak-anak jadi ikut-ikutan, ada yang tanya soal masa depan, ada yang curhat soal ujian matematika, bahkan ada yang minta saran tentang cara melukis yang bagus. Boneka itu seolah menjadi juru nasihat bagi kami semua.
Tapi ada satu hal yang bikin aku nggak bisa berhenti mikir: di balik semua kekonyolan dan kelucuan itu, kami sebenarnya sedang belajar banyak hal, meskipun dengan cara yang nggak biasa. Miko, dengan segala kebodohan dan kelucuannya, mengajarkan kami satu hal penting: ketawa itu bisa jadi obat terbaik, dan setiap orang, bahkan boneka burung sekalipun, punya cara unik buat memberikan semangat.
Saat malam tiba dan semua anak sudah tidur, aku duduk di pojokan, menulis di diary yang masih ada di tanganku.
Tanggal 19 Maret
Hari yang Menyenangkan
Miko benar-benar bawa warna baru di panti ini. Tadi sore, dia ngebuat semua orang ketawa, bahkan burung yang katanya bisa bicara itu jadi pusat perhatian. Rasanya, panti ini nggak cuma tempat tinggal, tapi juga tempat di mana setiap tawa itu berharga. Kami semua bisa berbagi kebahagiaan meskipun nggak punya banyak hal.
Aku nulis ini sambil mikir, kalau ada satu hal yang harus aku syukuri, itu adalah kebersamaan yang kami punya. Kami semua mungkin nggak punya keluarga, tapi kami punya satu sama lain. Dan itu, lebih dari cukup.
Aku tutup buku kecil itu, mataku sedikit berat, tapi hati ini penuh tawa.
Di luar sana, burung yang entah kenapa masih ada dalam pikiran, mungkin sedang terbang di langit malam. Tapi di sini, di panti asuhan ini, kami semua tahu bahwa di setiap tawa, ada cinta yang tersembunyi.
“Selamat malam, Mik!” seru Rafi yang lewat dan mengacungkan jempol.
“Selamat malam, Raf. Jangan lupa doain si burung!” jawabku sambil tertawa kecil.
Hari itu, aku nggak cuma ketawa. Aku belajar untuk melihat kebahagiaan dalam hal-hal kecil yang konyol, dan merasakannya jauh lebih dalam dari yang pernah aku duga.
Surat yang Tertinggal
Hari-hari di panti asuhan semakin seru sejak Miko membawa boneka burung yang katanya bisa bicara itu. Keanehan-keanehan dan kekonyolan-kekonyolan Miko hampir selalu berhasil bikin kami semua tertawa, bahkan kalau suasana hati lagi jelek. Miko benar-benar bisa jadi pelipur lara, bahkan dalam hal-hal yang nggak masuk akal sekalipun. Tapi entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang berbeda pagi itu. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran. Dan aku baru sadar, itu dimulai saat aku menemukan sebuah surat yang tergeletak di meja makan.
Pagi itu, aku baru saja selesai sarapan—roti tawar dengan selai stroberi yang rasanya selalu enak meskipun kadang-kadang kayaknya cuma selai murah. Aku tengah meluruskan punggung, ngelihat-lihat panti yang penuh dengan aktivitas biasa, saat mataku tertumbuk pada sesuatu yang aneh.
Ada sebuah surat di atas meja makan, dengan tulisan tangan yang sangat rapi. “Kepada Teman-teman di Panti Asuhan,” begitu kalimat pertama yang tertulis dengan tinta biru tua. Satu hal yang aneh: surat itu nggak tertulis dari siapa-siapa.
Aku ambil surat itu dan mulai membacanya perlahan.
Kepada Teman-teman di Panti Asuhan,
Aku tahu, kalian semua pasti merasa kesepian dan berpikir bahwa dunia ini nggak adil. Banyak hal yang mungkin bikin kalian merasa seperti nggak penting. Tapi percayalah, kalian semua sangat berarti. Kalian adalah cahaya yang menyinari dunia, walaupun dunia kadang nggak memperlakukan kalian dengan baik. Jangan pernah merasa sendirian, karena ada banyak orang di luar sana yang peduli—meskipun kalian nggak bisa melihatnya.
Tolong ingat, setiap tawa yang kalian berikan ke dunia adalah sebuah hadiah yang tak ternilai.
Aku terhenti sejenak, membaca kalimat-kalimat itu berulang kali. Rasanya, ada sesuatu yang menyentuh di dalam hati ini, tapi entah kenapa ada perasaan aneh yang muncul. Surat ini, walaupun terdengar seperti pesan yang baik, tiba-tiba mengingatkan aku pada sesuatu yang lebih dalam.
“Miko! Rafi! Kalian harus lihat ini!” teriakku, sambil menggenggam surat itu.
Miko yang sedang asyik menulis di buku tulisnya, langsung mendongak. “Ada apa, Mik? Kamu nemu harta karun lagi?” tanyanya sambil tersenyum lebar.
“Lebih aneh dari itu! Lihat deh,” aku memberikan surat itu ke Miko dan Rafi yang sudah berkumpul di meja makan.
Miko mengambil surat itu dengan ekspresi serius, seperti biasa. “Hmm, ini kayaknya bukan tulisan dari kita-kita deh,” katanya sambil menatap surat itu dengan tajam.
“Ya, itu yang aku pikirkan juga. Tapi anehnya, siapa yang nulis surat kayak gini dan ngasihnya ke kita?” jawabku, sambil merasakan ada keanehan di perutku.
“Apa ini semacam tes atau prank?” Rafi bertanya dengan wajah penuh tanda tanya.
Miko menggeleng. “Nggak kayaknya. Ini serius banget.” Dia meletakkan surat itu di meja, lalu menatap kami berdua. “Kalian pikir ada maksud di balik surat ini?”
Aku menunduk, menatap surat itu lebih dalam. Kenapa ada perasaan yang nggak bisa dijelaskan setelah membaca surat ini? Seperti ada sesuatu yang hilang atau belum selesai. Terkadang, orang yang nggak kita kenal bisa memberi pesan yang lebih dalam dari yang kita bayangkan. Tapi kadang, pesan itu malah membuat kita bertanya-tanya tentang segala sesuatu yang belum kita pahami.
Rafi menghela napas panjang. “Paling juga cuma seseorang yang peduli sama kita, nggak usah dipikirin terlalu dalam,” katanya mencoba menenangkan suasana.
“Tapi…” aku memotong. “Kenapa surat ini ada di sini? Kalian nggak merasa ada yang aneh?”
Miko menatap ke arah pintu yang terbuka, seolah-olah menunggu seseorang untuk muncul. “Gue rasa kita harus cari tahu siapa yang nulis ini. Mungkin itu cuma cara mereka mengingatkan kita kalau kita nggak sendiri. Kalau kita bisa ketawa bareng, kita bisa menangkap pesannya.”
“Jadi… kita bakal jadi detektif?” Rafi bertanya dengan nada setengah bercanda.
Miko tersenyum. “Mungkin bukan detektif, tapi lebih ke pencari kebenaran. Kalau kita nggak tahu jawabannya, siapa yang bisa bantu?”
Kami bertiga kemudian berbalik, melangkah menuju halaman belakang panti asuhan. Semua anak-anak sudah pada keluar, bermain dan bersenda gurau, seolah tidak ada masalah yang perlu dipikirkan. Tapi surat itu tetap menggantung dalam pikiran, seperti teka-teki yang belum terpecahkan.
Miko tiba-tiba berhenti. “Miko, kenapa?” aku bertanya.
“Gue rasa kita perlu ke gudang tua itu. Ada yang nggak beres di sana.” Miko berkata pelan, matanya menatap dengan tajam ke arah gudang di pojok halaman belakang. Gudang itu sudah lama tidak dipakai, penuh dengan debu dan sisa-sisa barang yang terlupakan. Tapi kenapa Miko bisa berpikir untuk ke sana?
Kami bertiga mulai berjalan perlahan ke arah gudang. Setiap langkah semakin dekat, aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengintai dari dalam gudang itu, seperti ada rahasia yang sudah lama tersembunyi.
Dan saat kami sampai di depan pintu gudang yang sudah berkarat, Miko membuka pintunya pelan. Dari dalam, hanya ada kegelapan. Namun, entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang lebih besar menunggu kami di sana.
“Miko, jangan-jangan ada yang nungguin kita?” aku bertanya dengan nada serius.
“Gue nggak tahu, tapi kita nggak akan tahu kalau nggak nyari tahu,” jawab Miko dengan penuh keyakinan.
Kami bertiga melangkah masuk ke dalam gudang, hati kami penuh dengan rasa penasaran yang semakin kuat. Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua ini? Kenapa surat itu bisa mengarah ke sini? Apakah ini benar-benar hanya sebuah lelucon atau ada yang lebih besar dari yang kami bayangkan?
Satu hal yang pasti: pencarian ini baru saja dimulai.
Rahasia yang Terungkap
Gudang itu gelap. Seperti ada ratusan bayangan yang bersembunyi di sudut-sudutnya, menunggu untuk muncul. Aku merasakan hawa dingin yang aneh menyelimuti tubuh kami bertiga. Miko memimpin langkah, membawa senter yang dia temukan di atas meja dekat pintu masuk. Cahaya yang terbatas itu hanya cukup untuk menerangi sebagian kecil ruang di sekitar kami. Gagang pintu gudang yang berkarat berderit saat kami menutupnya pelan, membuat suasana semakin mencekam.
“Ada apa di sini, Mik?” Rafi bertanya dengan suara pelan, jelas merasakan ketegangan yang sama.
Miko berjalan ke dalam dengan langkah yakin. “Harus ada sesuatu di sini yang bisa kita temukan. Kalian kan pengen tahu siapa yang nulis surat itu, kan? Gue yakin ada hubungannya dengan tempat ini.” Matanya bersinar penuh tekad. Miko memang selalu punya cara untuk meyakinkan kami kalau ini penting, bahkan kalau semuanya terlihat aneh dan membingungkan.
Kami terus melangkah, menapaki lantai kayu yang berderit di setiap langkah. Bau debu dan kayu tua makin menyengat hidung, sementara suara kami terdengar gaduh di ruang hening itu. Miko mengarahkan senter ke rak-rak kayu yang berisi berbagai barang tak terpakai. Sebagian besar isinya adalah alat-alat lama dan tumpukan kertas yang sudah menguning.
“Banyak banget barang lama di sini,” Rafi berkomentar sambil memeriksa beberapa kotak tua yang tergeletak di dekat tembok.
Tiba-tiba, Miko berhenti di depan sebuah meja kecil yang terletak di sudut ruangan. Meja itu tampak biasa, tapi ada sesuatu yang membuat Miko terdiam sejenak. “Lihat, ada sesuatu di sini,” katanya dengan suara berbisik. Kami berdua mendekat dan melihat apa yang dia maksud.
Di atas meja itu ada sebuah kotak kayu kecil yang tampak sangat tua. Kotak itu terbuat dari kayu gelap, dan ada ukiran halus di sekelilingnya. Ukiran itu terlihat seperti simbol atau tulisan, namun sudah hampir pudar oleh waktu. Miko membuka kotak itu dengan hati-hati, dan kami berdua mengintip ke dalamnya.
Di dalam kotak itu, ada sebuah buku kecil dengan sampul yang sudah rusak. Buku itu tampak seperti buku harian, tapi lebih tua dari apa pun yang pernah kami lihat. Miko membuka halaman pertama dengan pelan, dan aku bisa merasakan ketegangan di udara.
Ternyata, itu benar-benar sebuah buku harian—dan buku harian itu tampaknya milik seseorang yang pernah tinggal di panti asuhan ini, jauh sebelum kami datang. Halaman-halaman di dalamnya dipenuhi dengan tulisan tangan yang cantik dan rapi. Beberapa di antaranya bertanggal puluhan tahun yang lalu. Tapi di halaman pertama, ada sebuah tulisan yang sangat menarik perhatian kami.
Hari ini adalah hari terakhir aku di panti. Aku tahu banyak dari kalian yang tidak akan mengingatku, tapi aku akan selalu ingat kalian. Jangan pernah lupakan satu hal—kalian adalah keluarga satu sama lain. Jangan biarkan apapun merusak itu.
Tulisannya singkat, tapi sangat berat maknanya. Aku bisa merasakan adanya koneksi yang dalam dengan kata-kata itu. Aku melihat Miko yang tampak tertegun, matanya menatap buku itu dengan cermat. “Jadi ini…” Miko bergumam, “Mungkin ini jawabannya. Buku ini yang memberi kita pesan.”
Rafi menatap buku itu dengan bingung. “Tapi siapa yang nulis ini? Dan kenapa dia tinggalkan buku ini di sini?”
Miko mengusap sampul buku itu dengan jari. “Gue rasa ini cerita yang belum selesai. Orang ini, dia mungkin ingin kita tahu sesuatu. Mungkin dia tahu bahwa kita akan membutuhkannya suatu saat nanti.”
Aku masih merasa ada yang aneh. Kenapa buku ini bisa berada di sini? Dan kenapa pesannya terasa begitu akrab, seperti sudah ada yang mengarah ke kami sejak lama? Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, tapi sangat nyata.
Miko melanjutkan membaca beberapa halaman, dan aku bisa melihat dari ekspresi wajahnya kalau ada sesuatu yang makin jelas. “Ini bukan hanya soal surat yang kita temukan, tapi tentang kita semua di sini,” katanya perlahan, matanya berbinar. “Orang yang nulis ini ingin kita tahu bahwa panti ini lebih dari sekadar tempat tinggal. Ini adalah tempat yang penuh dengan kenangan, kisah, dan orang-orang yang saling peduli.”
Kami semua terdiam sejenak. Tak ada suara selain derit kayu di bawah kaki kami. Ketika Miko menutup buku itu, dia menghela napas panjang. “Gue nggak tahu siapa yang nulis surat dan siapa yang punya buku ini, tapi gue tahu satu hal—ini semua nggak kebetulan.”
Rafi mengangguk pelan. “Jadi kita benar-benar bukan sendirian, ya? Ada yang peduli, walaupun mereka nggak ada di sini.”
Miko tersenyum, wajahnya terlihat lebih tenang. “Iya, gue rasa begitulah. Kita nggak tahu siapa yang nulis surat dan buku ini, tapi mereka pasti ingin kita tahu—kita punya satu sama lain. Keluarga kita ada di sini.”
Aku merasa sebuah rasa hangat menyelimuti hati. Kami bertiga berdiri di tengah gudang itu, yang kini terasa lebih terang. Bukan karena cahaya, tapi karena pemahaman baru yang kami dapatkan. Buku itu, surat itu, semuanya seperti puzzle yang saling melengkapi, memberikan kami sebuah pesan yang lebih besar—bahwa kami bukan sekadar anak-anak di panti asuhan. Kami adalah sebuah keluarga, sebuah komunitas yang tak akan terpisahkan, meskipun tak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari.
Dengan satu keputusan bulat, kami menaruh buku itu kembali ke dalam kotak kayu dan meletakkannya di tempat semula. Kami berjanji untuk menjaga rahasia itu, bukan karena itu harus disembunyikan, tapi karena kami ingin terus mengingat pesan yang tersembunyi di baliknya.
Kami meninggalkan gudang itu dengan perasaan lega, walaupun rasa penasaran masih menggelitik. Mungkin kami nggak akan pernah tahu siapa yang menulisnya, atau kenapa buku itu ada di sana. Tapi satu hal yang pasti—kami akan terus tertawa bersama, berbagi kebahagiaan, dan menjaga keluarga kami, seperti yang diajarkan oleh pesan itu.
Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari cerita ini? Mungkin, meski hidup nggak selalu berjalan seperti yang kita harapkan, kita selalu punya keluarga yang bisa kita pilih—teman, sahabat, atau orang-orang yang datang ke hidup kita dengan cara yang nggak terduga.
Buku harian itu mungkin udah lama terkubur, tapi pesannya nggak pernah pudar. Kadang, rahasia kecil bisa jadi kunci buat ngebuka pintu besar yang ngebawa kita ke jalan yang lebih terang. Jadi, jangan pernah anggap remeh kekuatan kebersamaan, karena mungkin itu yang paling penting.