Daftar Isi
Pernah gak sih, kamu duduk diam terus tiba-tiba kangen masa-masa sekolah? Yang isinya bukan cuma belajar, tapi juga tawa bareng temen-temen sekelas, drama remeh tapi ngena, sampai kenangan di pojokan kelas yang cuma kamu yang tahu rasanya?
Nah, cerpen “Pulang Sebagai Anak Sekolah Lagi” ini bakal bawa kamu nostalgia habis-habisan. Cerita tentang lima sahabat yang balik ke sekolah setelah sepuluh tahun berlalu—bukan cuma buat reuni, tapi juga buat ketemu lagi sama diri mereka yang dulu. Dari yang lucu, hangat, sampai yang bikin merenung, semuanya ada di sini. Cerita ini gak cuma bikin senyum-senyum sendiri, tapi juga bisa jadi tamparan halus buat kamu yang mungkin lagi lupa sama akar perjalananmu.
Pulang Sebagai Anak Sekolah Lagi
Lorong-Lorong Kenangan
Langit siang itu terlalu tenang untuk hari yang seharusnya ramai oleh cerita lama. SMA Harapan Timur berdiri dengan bangga di ujung jalan beraspal yang kini tampak lebih mulus dari terakhir kali diinjak sepuluh tahun lalu. Daun-daun pohon trembesi di sepanjang pagar bergetar pelan diterpa angin. Gerbang tinggi yang dulunya hanya dicat biru biasa, sekarang dihiasi ukiran besi berbentuk logo sekolah yang tampak modern.
Langkah Arkana berhenti tepat di depan pintu masuk. Tangannya yang sejak tadi menggenggam jas almamater agak gemetar, bukan karena gugup, tapi karena ada yang berdesakan di dalam dadanya. Perasaan yang aneh—campuran antara rindu, canggung, dan rasa ingin memutar waktu.
“Eh, anak HarTim, minggir dong. Alumni mau masuk nih,” celetukan bernada usil menyentak lamunannya.
Zeira berdiri di sisi kanan gerbang, satu tangan bersedekap, satu lagi pegang kamera mirrorless. Gayanya masih nyentrik seperti dulu, dengan tas selempang besar dan sneakers warna ungu ngejreng. Senyumnya lebar, khas, kayak waktu masih jadi MC dadakan tiap pensi sekolah.
“Gila… kamu masih hidup ternyata,” jawab Arkana santai sambil menjulurkan tangan buat tos.
“Yaiyalah. Aku kan belum sempat nikah,” sahut Zeira cepat, disambut tawa kecil dari keduanya.
Mereka masuk beriringan, melewati area taman depan yang sekarang ditata lebih rapi, ada air mancur kecil di tengah dan bangku-bangku kayu baru di bawah pohon rindang. Tapi meskipun semuanya terlihat lebih modern, aroma tanah bercampur daun kering yang terinjak tetap sama. Begitu juga suara langkah di paving block yang bunyinya aneh kalau diserut sepatu kulit.
“Dulu taman ini tempat kita nyusun strategi pura-pura sakit, kan?” kata Zeira sambil menunjuk bangku dekat pohon mangga.
Arkana mengangguk pelan. “Iya, sebelum kamu pura-pura pingsan biar kita semua ikut ke UKS. Dapat nilai kosong gara-gara bolos ujian simulasi.”
“Kita?” Zeira melotot. “Yang pura-pura nangis di ruang BK siapa ya?”
Mereka tertawa, keras dan lepas. Entah kenapa, suara tawa itu seperti pantulan dari masa lalu. Seakan sekolah ini punya gema khusus buat kenangan-kenangan mereka yang dulu sering sembunyi di balik lemari alat peraga biologi.
Langkah mereka terus berlanjut. Melewati selasar yang dulu catnya mengelupas, sekarang sudah dipoles rapi dengan mural bertema semangat belajar. Tapi lorong di samping ruang guru masih sama seperti dulu—sedikit sempit, pencahayaannya redup, dan punya bau khas—campuran kapur tulis, debu, dan sejarah.
“Eh, kayaknya ini belum diganti sejak jaman kita, deh,” gumam Zeira sambil mengamati papan pengumuman yang kacanya sudah sedikit buram.
“Yakin itu kaca? Jangan-jangan bekas jendela angkatan tahun ’98,” balas Arkana.
Mereka berhenti di depan ruang kelas yang dulunya milik XI IPS 2. Pintu kayunya tertutup, tapi dari kaca kecil di bagian atas, terlihat ruangan yang kini dijadikan ruang komputer. Tata letaknya berubah total, tapi bentuk jendelanya masih sama. Di pojok kanan belakang, ada bekas tempelan stiker yang sebagian besar sudah luntur—dulu stiker itu dibeli dari uang kas kelas hasil menang lomba senam antarangkatan.
“Di sini dulu kamu pernah adu argumen sama Bu Fina kan, soal teori sosial modern?”
Arkana mengangguk pelan. “Iya… cuma karena aku bilang Karl Marx lebih cocok jadi penulis drama daripada filsuf.”
Zeira terkekeh. “Kamu ngotot banget waktu itu. Padahal Bu Fina udah ngeluarin buku catatannya.”
“Eh, aku nggak salah. Soalnya Reno juga setuju sama aku waktu itu.”
“Reno tuh setuju aja asal dia nggak disuruh maju.”
Langkah mereka kemudian berhenti di titik yang paling familiar: lorong menuju kantin. Lorong ini seperti lorong waktu yang sesungguhnya. Di sinilah mereka pernah kabur bareng waktu jam kosong, makan gorengan dari kantin tanpa bayar duluan, dan tentu saja… di sinilah tempat Arkana dulu pertama kali melihat Livia.
Namanya terlintas begitu saja.
Tanpa disadari, Arkana berdiri lebih lama dari sebelumnya. Dinding lorong masih sedikit lembap, dan ada satu bekas coretan cat putih yang pernah dijadikan alas tempelan puisi. Puisi yang ditulis Livia diam-diam, ditempel tanpa nama. Tapi semua orang tahu itu miliknya.
“Aku pikir kamu udah lupa lorong ini,” gumam Zeira, suaranya lebih pelan.
“Aku nggak lupa tempat,” jawab Arkana. “Tapi orangnya udah lama hilang.”
Zeira hanya mengangguk kecil, seolah paham bahwa ada kenangan yang cukup dikenang dalam diam.
Angin sore mulai masuk melalui sela jendela yang terbuka setengah. Suaranya halus, membawa bau wangi tanah dan kayu tua. Sekolah itu tidak mengucapkan apa-apa, tapi setiap sudutnya seperti berbicara lewat bayangan dan sisa-sisa cerita yang pernah tumbuh di sana.
Mereka melanjutkan langkah menuju aula utama. Tempat reuni akan dimulai dalam sejam, tapi Arkana merasa ia sudah lebih dulu kembali ke masa lalu. Bukan sebagai dosen, bukan sebagai alumni, tapi sebagai anak sekolah biasa yang dulu menulis rencana-rencana besar di belakang buku catatan Sejarah, sambil ngemil es mambo dua rasa.
Sebelum masuk aula, Arkana sempat menoleh ke belakang.
Lorong itu masih ada. Diam. Tapi jelas tidak sunyi. Karena di dalamnya, ribuan cerita masih berputar, menunggu untuk dikenang sekali lagi.
XI IPS 2, Markas Kekacauan Penuh Tawa
Langit mulai condong ke arah sore saat aula SMA Harapan Timur perlahan ramai. Musik instrumen khas acara reuni mengalun pelan dari pengeras suara. Meja-meja bundar disusun rapi, tiap satu diberi label angkatan. Tapi bagi Arkana, acara resmi itu cuma formalitas. Yang ia cari bukan dekorasi atau sambutan kepala sekolah—yang ia tunggu adalah tawa lama dari teman-teman gila di XI IPS 2.
Dan seperti semesta tahu persis yang ia inginkan, suara itu datang bersamaan dengan tawa pecah dari arah belakang aula.
“WOY, ARKANA VALEROOOOO!”
Suara itu nyaring dan ngebass—tak salah lagi, itu Dhiro, dengan tubuh yang kini lebih berisi dan brewok tipis yang gagal bikin dia terlihat serius. Kaos dalamnya masih model polo yang digulung sedikit di lengan, gaya khas yang dulu dia pakai saat tampil di pensi sambil nyanyi lagu rock.
“Bro! Lo beneran dateng juga!” seru Arkana sambil menepuk pundaknya keras.
“Ya iyalah, kalo enggak nanti kamu nulis di Twitter: ‘Sahabat sejati tuh yang dateng waktu reuni’,” balas Dhiro sambil ketawa ngakak.
Zeira muncul lagi entah dari mana, langsung menyeret mereka ke salah satu meja yang sudah dipesan untuk “XI IPS 2”. Kursinya penuh wajah-wajah lama, dengan versi baru. Ada yang pakai batik karena abis kondangan, ada yang bawa anak sambil peluk boneka dinosaurus, ada juga yang masih lajang tapi wajahnya udah kayak guru BK.
Dan seperti dulu, Reno telat.
“Woy, genius Harvard KW baru dateng tuh,” bisik Dhiro sambil ngunyah risoles.
Reno masuk dengan napas terengah, rambut agak awut-awutan dan ransel laptop masih di punggung. “Sorry, macet. Tadi ada seminar online.”
“Seminar sampe pakai baju kantor, nolep banget lo,” ejek Zeira.
“Dibanding lo, gue masih lebih mending. Lo dateng bawa tripod, kayak mau nge-vlog,” balas Reno.
Obrolan langsung meledak seperti granat nostalgia. Mereka mulai saling lempar cerita soal masa lalu—yang dulu cuma obrolan iseng di belakang kelas, sekarang berubah jadi kisah legendaris. Salah satunya adalah momen ketika Dhiro nyaris diskors gara-gara salah setel lagu saat upacara.
“Masih inget nggak waktu kita suruh Dhiro jadi operator lagu kebangsaan?” tanya Arkana, matanya sudah berkaca karena menahan tawa.
“Gue panik, bro!” sanggah Dhiro. “Gue kira itu folder ‘Indonesia Raya’, taunya isinya lagu ‘Naik-naik ke puncak gunung’ versi remix!”
“Tuh lagu keluar di tengah upacara bendera! Semua siswa diem, tapi ada satu orang—ZEIRA—yang malah joget kecil!” ujar Reno sambil menunjuk.
Zeira cuma cengengesan. “Eh, nadanya enak, terus aku pikir… ya udah, sekalian meramaikan suasana.”
Tawa meledak lagi. Tidak ada yang berusaha menahan. Mereka tidak lagi anak SMA, tapi kenangan itu membuat mereka lupa bahwa waktu sudah lewat sepuluh tahun.
Obrolan kemudian beralih ke Festival Budaya—peristiwa yang jadi cap paling kuat dalam sejarah kelas mereka. Saat semua kelas main aman dengan stan pameran budaya daerah, XI IPS 2 malah bikin warung kopi klasik ala jaman kolonial. Ide gila itu datang dari Zeira dan disetujui oleh… yah, siapa lagi kalau bukan Arkana dan Dhiro.
“Kita nyewa meja dari ruang TU, pinjam teko dari UKS, terus naro spanduk ‘Warung Kopi Lawas Belanda’ pakai cat air,” ujar Zeira bangga.
“Dan semua pengunjung nyangka itu bagian dari pementasan,” tambah Arkana. “Padahal kita cuma cari cara buat bisa makan gorengan gratis selama dua hari.”
“Yang paling parah tuh… si Dhiro bikin kopi dari sisa bubuk instan yang dia temuin di laci kelas!” Reno menyelutuk sambil geleng-geleng kepala.
“Eh jangan salah, kepala sekolah balik dua kali beli kopi buatan gue,” bela Dhiro.
“Karena gak enak dan dia kira itu kopi arang khas Kalimantan,” kata Arkana.
Di antara tawa itu, ada diam kecil yang muncul sesekali. Bukan diam karena kehilangan topik, tapi karena masing-masing sadar: mereka pernah jadi bagian dari sesuatu yang gak akan bisa diulang.
Acara reuni makin malam makin formal. Ada sambutan, ada penyerahan simbolis ke alumni baru, dan tentu saja—acara foto bersama. Tapi bagi geng XI IPS 2, acara sebenarnya terjadi saat mereka memutuskan keluar aula, kembali ke bangku taman dekat lapangan voli. Tempat nongkrong favorit dulu.
“Gue gak nyangka, ya. Kita dulu kayak segerombolan manusia chaos,” gumam Reno sambil menyender ke pohon.
“Tapi chaos kita tuh… kompak,” kata Zeira. “Kita beda-beda, tapi bisa bikin satu kelas berasa hidup.”
Arkana memandangi langit yang sekarang mulai gelap. Lampu taman menyala pelan, menerangi wajah-wajah yang tak pernah benar-benar berubah. Mungkin rambut mulai rontok, mungkin tubuh tak lagi selincah dulu, tapi tawa dan cara bercanda mereka—masih utuh.
Malam makin larut. Angin membawa suara jangkrik, dan di kejauhan, suara pengumuman panitia memanggil peserta reuni buat kembali ke aula.
“Balik yuk?” ajak Dhiro.
“Sebentar deh. Gue masih pengen duduk di sini,” kata Arkana.
Yang lain tak bertanya kenapa. Karena mereka tahu, di tempat itu, di bangku yang sudah agak reyot tapi masih berdiri, kenangan mereka pernah hidup dan bernafas bersama. Dan meski hidup membawa mereka ke arah yang berbeda, di tempat itu, mereka masih bisa jadi anak sekolah lagi.
Tanpa skripsi. Tanpa rapat. Tanpa beban.
Cuma tawa. Dan persahabatan.
Reuni, Suara yang Masih Sama
Suasana aula berubah. Bukan karena dekorasi atau lampu yang makin terang, tapi karena ruang itu sekarang penuh suara—suara yang tidak hanya terdengar, tapi terasa. Suara tawa, suara sapaan lama yang seperti bangkit dari lemari waktu, dan suara langkah-langkah kecil yang membawa kenangan dari bangku sekolah ke panggung reuni.
Arkana masuk kembali ke aula, sedikit tertinggal dari rombongan XI IPS 2. Pandangannya menyapu seluruh ruangan. Di kiri, ada grup alumni jurusan IPA yang sedang sibuk selfie sambil berteriak, “Angkatan dua lima! Hidup kita masih muda!” Di kanan, ada beberapa guru duduk di deretan kursi panjang, dikelilingi oleh mantan-murid yang wajahnya terlihat jauh lebih tua daripada waktu mereka terakhir duduk di kelas.
“Eh, itu Pak Yuda, kan?” bisik Zeira dari belakang, menunjuk ke arah lelaki berambut perak yang duduk dengan gagah di kursi pojok. Jas cokelat tua, celana kain, dan sepatu kulit yang mengilap. Gaya yang sama sejak sepuluh tahun lalu.
“Iya,” jawab Arkana cepat. “Kayaknya dia gak berubah… Masih kelihatan galak ya?”
Dhiro tertawa pendek. “Cuma tampangnya. Hatinya mah lembut. Waktu gue ketahuan nyontek dia yang malah ngasih permen dan bilang, ‘Nyontek tuh gak bikin kamu ngerti. Tapi paling gak, kamu ngerti kenapa kamu nyontek.’”
Reno nyeletuk, “Filosofis banget. Gue sampe nulis itu di status BBM waktu itu.”
Mereka perlahan mendekat. Pak Yuda menoleh saat Arkana menyapa.
“Selamat malam, Pak.”
Tatapan tegas itu langsung berubah. Mata yang semula tajam seperti biasa di kelas Ekonomi, sekarang menampakkan senyum.
“Arkana, Reno, Zeira, Dhiro…” gumamnya pelan, seolah mencoba memastikan apakah nama-nama itu nyata atau hanya datang dalam mimpi lamanya. “Kalian sekarang udah gede bener ya…”
Arkana menahan senyum. “Sebenarnya dari dulu juga udah gede, Pak. Cuma bedanya sekarang rambut udah mulai nyamar.”
Pak Yuda tertawa. Suara tawanya masih berat, masih punya wibawa. Tapi kali ini, tawa itu lebih hangat.
“Aku masih inget banget,” lanjut beliau. “Kelas kalian tuh… kelas yang paling gak bisa diduga. Pagi-pagi bisa nyanyi bareng, siangnya bisa adu debat, sore udah bantuin angkat bangku buat persiapan lomba. Gila, itu kelas chaos yang paling hidup yang pernah aku ajar.”
Zeira duduk di sebelah beliau. “Tapi Bapak gak pernah marah beneran, ya. Cuma mukanya doang yang serem.”
Pak Yuda tertawa lagi. “Guru tuh marah bukan karena benci. Tapi karena pengen kalian sadar… bahwa masa sekolah tuh bukan buat sempurna, tapi buat salah. Dan kalau kalian berani salah, kalian berani belajar.”
Tak ada yang menanggapi. Semua diam. Karena kalimat itu seperti tamparan lembut yang menyentuh sisi mereka yang jarang dijamah: sisi anak-anak dalam diri mereka yang dulu takut gagal, takut dicap nakal, takut gak bisa jadi ‘sukses’.
Satu per satu guru lain mulai mendatangi meja mereka. Ada Bu Melia, guru Bahasa Indonesia yang dulu terkenal suka minta anak-anak bikin puisi mendadak. Juga Pak Ridho, guru olahraga yang sekarang malah duduk sambil bawa tongkat kecil buat jalan.
“Waktu itu, siapa yang pernah pura-pura sakit biar gak lari pagi?” tanya Pak Ridho tiba-tiba.
Semua tunjuk Dhiro.
“Bukan! Aku cuma ikut-ikutan… yang pura-pura ke UKS duluan tuh si Arkana!”
Arkana langsung tertawa lepas. “Iya Pak, saya ngaku sekarang. Dulu pura-pura asma. Padahal cuma males.”
Pak Ridho cuma geleng-geleng kepala, tapi senyum di wajahnya gak pernah hilang. “Kalian nakal. Tapi kalian juga jujur. Itu yang bikin sekolah ini gak pernah bosen sama kalian.”
Acara reuni masuk ke bagian formal—pemutaran video dokumentasi perjalanan sekolah. Lampu aula diredupkan, layar besar menampilkan potongan-potongan gambar masa lalu: guru-guru mengajar, siswa-siswa berseragam biru, lomba baris-berbaris, pentas seni, sampai cuplikan acara perpisahan yang penuh air mata.
Layar kemudian berganti menampilkan satu fragmen: rekaman dari Festival Budaya sepuluh tahun lalu.
Dan di sana, muncul video hitam putih dengan tulisan “Warung Kopi Lawas – XI IPS 2.”
Seketika seluruh meja tempat Arkana dan teman-temannya duduk pecah oleh tawa. Suara Dhiro terdengar dalam video: “Selamat datang di warung masa lalu! Kopinya gak enak, tapi kisahnya bikin kangen!”
Semua mata di aula mengarah pada mereka. Beberapa ikut tertawa, yang lain cuma geleng-geleng, dan beberapa bahkan tepuk tangan.
Reno berbisik pelan ke Arkana, “Kita mungkin bukan kelas paling pintar, tapi… kayaknya kita paling diinget ya?”
Arkana menoleh sebentar, lalu mengangguk. “Iya. Dan yang diinget itu bukan nilai kita, tapi caranya kita bikin orang lain ketawa.”
Mereka tidak tahu siapa yang mengatur video itu dimasukkan. Tapi mereka tidak peduli. Karena di detik itu, mereka sadar satu hal—mereka bukan hanya bagian dari sejarah sekolah. Mereka adalah kisah yang terus diceritakan.
Usai acara, para alumni saling berpamitan. Beberapa kembali ke kota lain, beberapa langsung pulang dengan keluarga. Tapi geng XI IPS 2 tidak langsung pergi. Mereka berkumpul sekali lagi, kali ini di tengah aula yang mulai kosong.
Zeira memecah hening.
“Aku gak tahu kapan kita bisa kumpul begini lagi.”
“Gak usah mikir kapan,” kata Dhiro. “Yang penting sekarang kita udah balik ke titik yang sama. Kayak magnet. Ditarik balik walau udah jauh.”
Reno menambahkan, “Dan sekolah ini… tetap punya cara aneh buat nyambungin kita.”
Arkana memandangi mereka satu per satu. Kemudian berkata pelan, “Kalian sadar gak, meskipun dunia udah berubah… suara tawa kita masih sama.”
Tidak ada yang menjawab. Tapi dari tatapan mereka, semua setuju.
Malam itu, sekolah tidak hanya menjadi gedung. Ia berubah jadi ruang gema. Tempat di mana suara anak-anak SMA itu masih hidup—meski tubuh mereka sudah tumbuh dewasa, dan dunia tak lagi sebebas dulu.
Pulang Sebagai Anak Sekolah Lagi
Langit dini hari menggantung sunyi di atas gedung SMA Harapan Timur. Reuni resmi sudah lama usai. Aula kosong, lampu-lampu panggung dimatikan satu per satu, dan panitia mulai membereskan meja dan dekorasi. Tapi di satu sudut sekolah, tepatnya di depan ruang kelas lama bernama XI IPS 2, lima orang masih duduk mematung di lantai koridor, bersandar pada dinding bercat putih kusam yang dipenuhi coretan tahun-tahun silam.
Tak ada suara lagi. Hanya hembusan angin lembut yang menggeser tirai jendela, membawa bau khas ruang kelas yang entah kenapa, tetap sama seperti dulu—perpaduan antara kayu tua, spidol marker, dan sedikit aroma nostalgia yang sulit dijelaskan.
Arkana memandang papan nama kelas di atas pintu. Huruf-huruf kayu itu sudah agak pudar, tapi masih bisa dibaca jelas: “XI IPS 2”.
“Gue gak nyangka… kita masih bisa duduk di sini,” ucapnya pelan, seperti takut mengganggu keheningan.
Zeira menyandarkan kepala ke lututnya. “Kamu pernah kepikiran gak, waktu kita masih duduk di bangku itu, kita bakal kangen sesering ini sama tempat ini?”
“Dulu sih enggak,” jawab Reno sambil nyengir. “Waktu itu yang ada di kepala gue cuma pengen lulus cepet-cepet.”
Dhiro tertawa kecil. “Dan sekarang malah pengen ngulang jadi anak SMA lagi, ya?”
Mereka semua mengangguk pelan. Tak ada yang menertawakan perasaan itu. Karena malam ini, tidak ada sarkasme. Tidak ada ejekan norak. Tidak ada drama atau gimik konyol seperti dulu. Hanya ada perasaan yang sama: kerinduan yang datang terlambat, tapi hangatnya nyata.
“Eh, kalian inget gak,” ujar Zeira tiba-tiba, “waktu kita bikin janji, pas malam perpisahan, buat balik ke sekolah ini suatu hari nanti, bareng-bareng?”
Arkana tertawa pendek. “Janji yang kita ucapin sambil makan bakso tusuk depan gerbang belakang?”
“Iya!” seru Zeira, matanya berbinar. “Yang kamu bilang, ‘Kalau sepuluh tahun lagi kita belum sukses, kita balik ke sini, pura-pura masih jadi anak sekolah!’”
“Ya ampun,” ujar Reno. “Aku baru inget sekarang. Itu sumpah ngaco banget.”
“Tapi lucunya… kita beneran balik,” gumam Dhiro sambil menyengir. “Dan jujur aja, meskipun hidup kita gak sepenuhnya sukses… kita gak gagal juga.”
Diam lagi. Tapi kali ini bukan karena kekosongan. Melainkan karena rasa penuh. Rasa bangga yang tak perlu diteriakkan, cukup dibagi dalam tatapan mata yang saling mengerti.
Arkana berdiri pelan, lalu membuka pintu ruang kelas XI IPS 2. Ruangan itu gelap, tapi sinar lampu taman cukup untuk menampakkan meja dan kursi kayu yang masih tersusun rapi. Ada debu di permukaan, tapi tata letaknya belum berubah.
Ia masuk dan berjalan ke bangku pojok dekat jendela—tempat duduknya dulu.
“Masih inget tempat duduk masing-masing gak?” tanya Arkana sambil duduk.
Satu per satu mereka ikut masuk dan mengambil tempat mereka masing-masing. Reno di dekat pintu karena dia selalu telat. Zeira duduk di tengah karena suka jadi pusat perhatian. Dhiro di belakang karena dia butuh ruang buat tidur siang diam-diam.
Suasana ruang kelas itu kembali hidup. Tidak dengan guru atau papan tulis, tapi dengan tawa lirih dan bisikan cerita masa lalu.
Zeira meletakkan ponselnya di atas meja. “Kita foto, yuk. Tapi gak selfie. Harus kayak foto kelas. Duduk formal tapi senyum lebar. Biar beda dari yang lain.”
Dhiro mengatur timer kamera. Mereka semua duduk dengan posisi masing-masing. Kamera berbunyi klik. Satu momen kecil, tapi punya bobot besar.
Saat mereka keluar dari kelas, fajar mulai mengintip dari ujung langit. Cahaya oranye tipis membasahi koridor, menyentuh tiap bangku, tiap dinding, dan tiap jendela yang pernah menyimpan ribuan kenangan.
Zeira berhenti sebentar di depan tangga.
“Gue rasa… ini kali terakhir kita bisa duduk di kelas ini sebagai ‘anak SMA’.”
“Ya,” jawab Arkana. “Tapi kita bisa bawa perasaan itu pulang.”
“Pulang sebagai siapa?” tanya Reno.
Arkana tersenyum, menatap bangunan tua di belakangnya.
“Sebagai anak sekolah… yang gak pernah benar-benar lulus dari persahabatan.”
Mereka tertawa kecil. Bukan tawa keras seperti tadi malam. Tapi tawa yang tenang. Tawa orang-orang yang tahu bahwa hidup akan terus berjalan, tapi ada satu bagian dari mereka yang akan selalu tertinggal di sekolah ini. Di XI IPS 2. Di kelas yang kacau tapi hidup. Di kisah yang tak bisa ditulis ulang, hanya bisa dikenang.
Mereka berjalan menuju gerbang utama. Tanpa sepatu hitam, tanpa seragam biru. Tapi langkah mereka ringan. Karena mereka tahu—meski dunia telah berubah, meski waktu telah memisahkan, sekolah ini… selalu punya ruang untuk anak-anak yang mau pulang.
TAMAT
Jadi, setelah baca cerpen “Pulang Sebagai Anak Sekolah Lagi”, kamu sadar gak… kalau sekolah itu bukan cuma tempat kita belajar rumus dan teori, tapi tempat kita belajar jadi manusia? Tempat pertama kita ngerti arti temenan, gagal, bangkit, dan bikin mimpi bareng-bareng.
Cerita ini bukan sekadar tentang reuni, tapi tentang perjalanan pulang—bukan ke gedung sekolahnya, tapi ke hati yang pernah dibentuk di sana. Kalau kamu juga punya kenangan sekolah yang belum sempat kamu ceritain, mungkin ini saatnya kamu nulis versi kamu sendiri. Karena setiap anak sekolah pasti punya kisah yang pantas untuk diingat, diceritain, dan dikenang.