Pulang ke Tanah Jawa: Kisah Perjalanan Emosional ke Kampung Halaman

Posted on

Selamat datang di kisah yang akan membawa Anda menyelami emosi mendalam melalui cerpen Pulang ke Tanah Jawa: Kisah Perjalanan Emosional ke Kampung Halaman. Cerita ini mengikuti perjalanan Diomazara, seorang perempuan yang kembali ke kampung halamannya di Kecang, Jawa Tengah, setelah 15 tahun terpisah oleh waktu dan luka masa lalu. Penuh dengan detail yang hidup, cerpen ini menggambarkan konflik batin, kenangan manis, dan penyesalan yang membentuk ikatan keluarga. Siapkah Anda terhanyut dalam alur cerita yang menyentuh hati ini? Mari jelajahi setiap bab yang sarat makna dan emosi!

Pulang ke Tanah Jawa

Jejak di Ujung Senja

Langit Jakarta berwarna jingga pucat, seperti lukisan yang lupa diberi nyawa. Diomazara, seorang perempuan berusia 37 tahun dengan rambut sebahu yang mulai dihiasi uban tipis, berdiri di tepi jalan raya, menatap deretan bus yang berlomba-lomba menyalip di tengah klakson yang memekakkan. Di tangannya, sebuah koper tua berwarna cokelat dengan stiker-stiker usang dari perjalanan yang tak lagi ia ingat. Di saku mantelnya, sebuah tiket bus menuju Kecang, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, terlipat rapi. Tiket itu bukan sekadar kertas; ia adalah jembatan menuju masa lalu yang selama ini ia hindari.

Diomazara, atau yang kerap disapa Zara oleh teman-temannya, bukanlah orang yang suka mengenang. Baginya, masa lalu adalah luka yang lebih baik dibiarkan berkerak daripada diusik. Tapi seminggu lalu, sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal mengguncang dunianya. “Mbok Sari sakit keras, Zara. Pulanglah.” Pesan itu datang dari Kusmadi, tetangga lama di kampungnya, Kecang. Mbok Sari, perempuan yang membesarkannya setelah ibunya meninggal saat Zara masih balita, kini terbaring lemah. Zara tak tahu harus merasa apa. Marah, karena Mbok Sari tak pernah mencarinya selama 15 tahun ia pergi? Atau sedih, karena perempuan yang dulu menyanyikan lagu-lagu Jawa setiap malam kini mungkin tak lagi bisa berbicara?

Bus berwarna biru tua dengan tulisan “Kecang Express” berhenti di depannya. Zara menarik napas dalam, mencium bau asap knalpot yang bercampur dengan aroma keringat para penumpang. Ia menaiki bus, memilih tempat duduk di dekat jendela. Di sebelahnya, seorang lelaki tua dengan topi caping duduk sambil memegang tas karung. Lelaki itu tersenyum, memperlihatkan gigi yang tinggal beberapa. “Mau ke mana, Mbak?” tanyanya ramah.

“Kecang,” jawab Zara singkat, matanya tak lepas dari jendela. Lelaki itu mengangguk, lalu mulai bercerita tentang cucunya yang baru lahir. Zara hanya mendengar sekilas, pikirannya terbang jauh ke masa kecilnya di Kecang. Ia ingat sawah hijau yang membentang, bau tanah basah setelah hujan, dan suara Mbok Sari yang memanggilnya pulang saat senja. “Zara, ojo lali balik sadurunge magrib!” teriak Mbok Sari dari beranda rumah panggung mereka. Dulu, Zara kecil akan berlari sambil tertawa, kakinya penuh lumpur, tangannya menggenggam layang-layang yang sobek.

Tapi kenangan itu tak selalu manis. Zara juga ingat hari ketika ia memutuskan pergi dari Kecang, tepat di usia 22 tahun. Pertengkaran hebat dengan Mbok Sari menjadi pemicunya. Mbok Sari tak setuju Zara ingin kuliah di Jakarta, mengejar mimpinya menjadi jurnalis. “Kowe cukup dadi wong kampung, Zara. Ora usah ngimpi sing ora-ora,” kata Mbok Sari dengan nada keras. Kata-kata itu seperti pisau, mengiris hati Zara yang masih muda dan penuh semangat. Malam itu, Zara mengemasi barang-barangnya dan pergi tanpa pamit. Sejak itu, ia tak pernah kembali. Tak ada telepon, tak ada surat. Hanya keheningan yang membentang antara dirinya dan kampung halamannya.

Bus mulai melaju, meninggalkan hiruk-pikuk Jakarta. Zara memandang lampu-lampu kota yang perlahan memudar, digantikan oleh kegelapan jalan tol. Di dalam bus, suasana riuh. Seorang ibu di barisan depan menenangkan bayinya yang menangis. Di belakang, sekelompok pemuda bermain kartu sambil tertawa keras. Zara mengeluarkan earphone dari tasnya, berharap musik bisa menenggelamkan ingatannya. Tapi playlist-nya malah memutar lagu “Lir-Ilir”, versi akustik yang lembut. Tanpa sadar, air matanya mengalir. Lagu itu mengingatkannya pada Mbok Sari, yang selalu menyanyikan tembang Jawa saat menumbuk beras di lesung.

“Mbok, kowe ngapain nyanyi lagu iki terus?” tanya Zara kecil suatu sore, sambil duduk di dipan bambu. Mbok Sari tersenyum, tangannya tak berhenti menumbuk. “Lagu iki ngelingake awake dewe supaya ora lali karo Gusti, Zara. Urip iku kaya godhong, kadang ijo, kadang garing. Tapi kabeh bali menyang asalé.” Saat itu, Zara tak mengerti maksud kata-kata Mbok Sari. Tapi kini, di usianya yang tak lagi muda, ia mulai memahami. Hidup memang seperti daun—hijau saat penuh harap, kering saat luka mengambil alih.

Perjalanan berjam-jam membuat tubuh Zara pegal. Ia membuka tasnya, mengeluarkan sebuah buku catatan tua yang selalu ia bawa. Di dalamnya, ada sketsa-sketsa kecil yang ia buat saat masih remaja: gambar rumah panggung Mbok Sari, pohon kelapa di halaman, dan seekor kucing liar yang dulu ia panggil Si Jenggot. Di halaman terakhir, ada tulisan tangan Zara dari 15 tahun lalu: “Aku akan kembali, Mbok. Tapi bukan sekarang.” Zara menatap tulisan itu lama, jarinya mengusap kertas yang sudah menguning. Rasa bersalah menyeruak. Kenapa ia tak pernah mencoba menghubungi Mbok Sari? Kenapa ia membiarkan ego membangun tembok antara mereka?

Bus berhenti di sebuah rest area di tengah malam. Penumpang berhamburan turun, mencari makanan atau sekadar menghirup udara segar. Zara memilih tetap di tempat duduknya, memandang bulan purnama yang menggantung di langit. Ia teringat cerita Mbok Sari tentang bulan purnama, yang katanya adalah waktu ketika arwah leluhur berkumpul. “Yen kowe kangen karo wong sing wis lunga, omong karo bulan, Zara. Dheweke bakal nggawa pesenmu,” kata Mbok Sari dulu. Zara tersenyum kecil, tapi hatinya perih. Ia ingin berbicara pada bulan, tapi apa yang harus ia katakan? Maaf karena telah pergi? Atau doa agar Mbok Sari masih kuat menunggunya pulang?

Sopir bus mengumumkan bahwa perjalanan akan segera dilanjutkan. Zara menghela napas, menyandarkan kepalanya ke jendela. Di luar, malam semakin pekat, hanya sesekali lampu jalan menyelinap di antara kegelapan. Ia memejamkan mata, berharap bisa tidur, tapi bayang-bayang Kecang terus menghantuinya. Ia membayangkan rumah panggung Mbok Sari, yang mungkin kini sudah rapuh. Apakah halaman masih dipenuhi bunga kamboja seperti dulu? Apakah Si Jenggot masih berkeliaran di sekitar dapur? Dan yang paling penting, apakah Mbok Sari masih mengingatnya?

Di tengah lamunannya, Zara tiba-tiba teringat sebuah kenangan kecil namun tajam. Suatu malam, saat ia berusia 10 tahun, ia demam tinggi. Mbok Sari tak tidur semalaman, mengompres keningnya dengan kain basah dan berdoa dalam bahasa Jawa yang Zara tak pahami. Pagi harinya, ketika Zara membuka mata, ia melihat Mbok Sari tertidur di sampingnya, tangannya masih memegang kain kompres. Saat itu, Zara merasa bahwa Mbok Sari adalah dunia baginya. Tapi kenapa ia melupakan rasa itu begitu saja?

Bus kembali melaju, getarannya terasa hingga ke tulang-tulang Zara. Ia membuka mata, menatap refleksi wajahnya di kaca jendela. Wajah yang kini penuh garis-garis halus, tanda waktu yang tak pernah berhenti. Ia bertanya pada dirinya sendiri: apakah ia pulang untuk Mbok Sari, atau untuk menebus rasa bersalahnya sendiri? Jawabannya tak jelas, tapi satu hal yang pasti—perjalanan ini bukan hanya tentang menempuh jarak, tapi juga tentang menghadapi luka yang selama ini ia kubur dalam-dalam.

Langit mulai memudar menjadi abu-abu, tanda fajar akan segera tiba. Zara tahu, dalam beberapa jam, bus akan memasuki Kecang. Ia tak tahu apa yang akan ia temui di sana. Apakah Mbok Sari masih bisa mengenalinya? Apakah kampung yang dulu ia cintai masih sama? Yang ia tahu, perjalanan ini adalah langkah pertamanya untuk pulang—bukan hanya ke tanah Jawa, tapi juga ke dirinya sendiri yang pernah hilang.

Bayang-Bayang Kecang

Langit mulai terang ketika bus “Kecang Express” memasuki jalanan berkelok di perbatasan Jawa Tengah. Diomazara, atau Zara, masih duduk di dekat jendela, matanya menelusuri lanskap yang perlahan berubah dari hamparan sawah tak berujung menjadi deretan pohon jati yang menjulang. Bau tanah basah menyelinap melalui celah-celah jendela bus, membawa aroma yang begitu familiar hingga membuat dadanya sesak. Ia tak pernah menyangka bahwa bau sederhana seperti ini bisa mengguncang ingatannya begitu kuat. Kecang, kampung halamannya, kini hanya berjarak beberapa jam lagi. Namun, semakin dekat ia dengan tujuannya, semakin berat rasanya hatinya.

Zara menggenggam buku catatan tuanya, jari-jarinya mengusap sampul kulit yang sudah retak-retak. Di dalamnya, selain sketsa-sketsa masa kecilnya, ada daftar kecil yang ia tulis semalam sebelum berangkat: “Hal yang harus dilakukan di Kecang.” Daftar itu pendek, hanya tiga poin: (1) Temui Mbok Sari, (2) Minta maaf, (3) Pulang ke Jakarta. Tapi setiap poin terasa seperti beban yang tak bisa ia pikul. Bagaimana ia bisa meminta maaf setelah 15 tahun membiarkan keheningan memisahkan mereka? Bagaimana ia bisa menghadapi Mbok Sari, yang mungkin tak lagi mengenalinya, atau lebih buruk lagi, tak ingin melihatnya?

Bus berhenti di sebuah terminal kecil di pinggir kota. Penumpang mulai berdiri, mengambil tas dan barang bawaan mereka. Zara melirik ke luar, melihat papan bertuliskan “Terminal Kecang” yang sudah pudar, dengan cat merah yang mengelupas di beberapa huruf. Terminal itu tak banyak berubah sejak terakhir ia lihat bertahun-tahun lalu. Warung-warung kecil dengan atap seng masih berjejer di pinggir terminal, menjual gorengan, kopi, dan rokok. Bau pisang goreng yang baru diangkat dari wajan besar bercampur dengan aroma asap rokok kretek, menciptakan perpaduan yang begitu khas Kecang. Zara tersenyum kecil, tapi senyumnya cepat pudar ketika ia teringat tujuannya.

Ia turun dari bus, koper tuanya mengeluarkan bunyi berderit saat roda-roda kecilnya menyentuh tanah berkerikil. Angin pagi yang sejuk menyapa wajahnya, membawa bau dedaunan dan sungai yang mengalir tak jauh dari situ. Zara berdiri sejenak, menatap kerumunan orang-orang yang berjalan mondar-mandir: penjual koran, tukang ojek dengan jaket lusuh, dan ibu-ibu yang membawa bakul penuh sayuran. Semua terasa asing, namun juga akrab, seperti melihat foto lama yang warnanya sudah memudar.

“Zara? Diomazara, ta?” Suara serak namun penuh kejutan membuat Zara menoleh. Di depannya berdiri seorang pria paruh baya dengan kumis tebal dan topi baseball yang sudah usang. Matanya yang kecil menyipit, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kusmadi?” tanya Zara ragu, mencoba mengenali wajah pria itu. Pria itu mengangguk, senyum lebar muncul di wajahnya. “Lho, beneran kowe! Wes suwe ora ketemu, ta? Kowe balik kapan?”

Kusmadi adalah tetangga lama Zara, orang yang mengirim pesan tentang kondisi Mbok Sari. Dulu, ia adalah tukang kayu di Kecang, yang sering membantu Mbok Sari memperbaiki atap rumah panggung mereka saat musim hujan tiba. Wajahnya kini penuh kerutan, tapi senyumnya masih sama—hangat dan tulus, seperti kebanyakan orang di Kecang. “Aku baru sampai, Mas. Mbok Sari… apa kabarnya?” tanya Zara, suaranya sedikit gemetar.

Senyum Kusmadi memudar. Ia menghela napas, menggaruk tengkuknya. “Mbok Sari… yo, wis tua, Zara. Sakit-sakitan. Dokter bilang paru-parunya bermasalah. Tapi kowe tenang, dheweke isih kuwat. Cuma, yo, kadang lali-lali. Ora saben dina dheweke ngerti sapa sing nulungi dheweke.” Kata-kata itu seperti pukulan di dada Zara. Mbok Sari, perempuan yang dulu begitu kuat, yang bisa membawa sekarung beras sendirian dari pasar, kini lupa? Zara mencoba menahan air matanya, tapi matanya sudah berkaca-kaca.

Kusmadi menawarkan diri untuk mengantar Zara ke rumah Mbok Sari dengan motornya. Zara mengangguk, tak punya tenaga untuk menolak. Ia naik ke boncengan, koper tuanya diikat di belakang motor. Jalanan menuju kampungnya penuh kenangan. Mereka melewati jembatan kayu yang dulu sering Zara lintasi saat bersepeda ke sekolah. Jembatan itu kini tampak rapuh, tapi masih berdiri, seperti kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. Di kejauhan, ia melihat pohon beringin besar di ujung kampung, tempat ia dan teman-temannya dulu bermain petak umpet. Pohon itu masih gagah, meski beberapa dahannya sudah patah.

Rumah panggung Mbok Sari akhirnya terlihat. Atapnya dari genteng tanah liat, dindingnya dari anyaman bambu yang mulai menghitam. Halaman depan masih dipenuhi bunga kamboja, tapi kini semak-semak liar tumbuh di sela-selanya, seolah tak ada yang merawatnya lagi. Zara turun dari motor, kakinya terasa lelet, seolah tanah di bawahnya menahannya. Kusmadi membantu membawa koper, lalu menunjuk ke arah beranda. “Mbok Sari biasane lungguh ing kono, nanging saiki mungkin isih turu. Aku bakal ngabari wong-wong yen kowe wis teka.” Ia tersenyum, lalu pergi meninggalkan Zara sendirian di depan rumah.

Zara berdiri di halaman, menatap pintu kayu yang sudah retak. Bau kamboja bercampur dengan aroma kayu tua dan tanah basah, menciptakan perasaan yang sulit ia jelaskan. Ia ingin mengetuk pintu, tapi tangannya terhenti di udara. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana ia memulai setelah 15 tahun? Ia teringat pertengkaran terakhir mereka, ketika Mbok Sari dengan mata berkaca-kaca berkata, “Yen kowe lunga, ora usah bali, Zara.” Kata-kata itu masih bergema di kepalanya, seperti kutukan yang tak pernah hilang.

Dengan napas tersendat, Zara akhirnya mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lebih keras. Dari dalam, terdengar suara langkah pelan, disertai batuk kecil yang lemah. Pintu terbuka perlahan, dan di hadapannya berdiri Mbok Sari. Rambutnya kini sepenuhnya putih, wajahnya penuh kerutan, dan matanya yang dulu tajam kini redup. Ia memandang Zara dengan ekspresi bingung, seolah mencoba mengenali wajah di depannya. “Sapa iki?” tanyanya, suaranya serak dan pelan.

Zara merasa dunia berhenti berputar. Ia ingin berlari memeluk Mbok Sari, tapi kakinya terpaku. “Mbok… ini aku, Zara,” katanya, suaranya pecah. Mbok Sari memandangnya lama, matanya menyipit seperti mencari sesuatu di balik kabut ingatannya. Lalu, perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya. “Zara… kowe balik?” Suara Mbok Sari bergetar, tapi ada kehangatan di dalamnya yang membuat Zara tak bisa menahan air matanya lagi.

Ia melangkah maju, memeluk Mbok Sari yang tubuhnya terasa rapuh seperti ranting kering. Aroma minyak kayu putih yang selalu melekat pada Mbok Sari masih sama, dan itu cukup untuk membuat Zara menangis tersedu. “Maaf, Mbok. Maaf aku lama banget pulang,” bisik Zara di antara isakan. Mbok Sari tak menjawab, hanya mengelus punggung Zara dengan tangan yang gemetar. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Zara merasa seperti anak kecil lagi, pulang ke pelukan yang pernah menjadi dunianya.

Mereka duduk di beranda, di dipan bambu yang masih sama seperti dulu, meski catnya sudah mengelupas. Mbok Sari tak banyak bicara, hanya sesekali bertanya hal-hal sederhana seperti, “Kowe mangan apa ing Jakarta?” atau “Isih kelingan tembang Jawa, ta?” Zara menjawab dengan sabun, mencoba menahan emosi yang terus menggelegak. Ia memperhatikan tangan Mbok Sari, yang kini kurus dan penuh urat, memegang secangkir teh yang sudah dingin. Setiap gerakan Mbok Sari terasa lambat, seperti waktu yang berusaha mempertahankan apa yang tersisa.

Sore itu, matahari mulai tenggelam, mewarnai langit Kecang dengan semburat merah dan ungu. Zara mendengar suara adzan dari masjid kecil di ujung kampung, diikuti oleh kicau burung yang pulang ke sarang. Ia tahu perjalanan ini baru dimulai. Ada luka yang harus ia sembuhkan, ada maaf yang harus ia ucapkan, dan ada kenangan yang harus ia hadapi. Tapi untuk saat ini, duduk di samping Mbok Sari, mendengar napasnya yang pelan dan batuknya yang sesekali muncul, sudah cukup untuk membuat Zara merasa bahwa ia akhirnya pulang.

Luka di Balik Kamboja

Malam menyelimuti Kecang dengan kegelapan yang lembut, hanya diterangi oleh lampu minyak di beranda rumah panggung Mbok Sari dan kerlip bintang yang tampak begitu dekat. Diomazara, atau Zara, duduk di dipan bambu yang sama, memandang halaman depan yang dipenuhi bunga kamboja. Angin malam membawa aroma manis bunga itu, bercampur dengan bau tanah yang masih basah setelah hujan sore tadi. Di sampingnya, Mbok Sari terlelap di kursi goyang tua, selimut tipis menutupi tubuhnya yang rapuh. Napasnya pelan, kadang diselingi batuk kecil yang membuat Zara tersentak setiap kali mendengarnya.

Zara tak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh percakapan singkat dengan Mbok Sari sore tadi, yang meski penuh kehangatan, juga meninggalkan luka baru. Mbok Sari sering terdiam, matanya memandang jauh seolah mencari sesuatu yang hilang. Beberapa kali, ia memanggil Zara dengan nama “Santi,” nama ibunya yang sudah meninggal puluhan tahun lalu. Setiap kali itu terjadi, Zara hanya tersenyum pahit, mencoba menahan perih di dadanya. Apakah ingatan Mbok Sari benar-benar memudar, atau apakah ini cara alam untuk melindunginya dari rasa sakit yang lebih dalam?

Rumah panggung ini, meski penuh kenangan, terasa asing bagi Zara. Dinding bambunya kini penuh retakan, beberapa anyaman sudah longgar. Atap genteng tanah liat bocor di beberapa tempat, terlihat dari ember-ember plastik yang diletakkan di lantai kayu untuk menampung tetesan air hujan. Di sudut ruangan, ada tumpukan kain batik tua yang dulu sering dipakai Mbok Sari ke pasar. Zara mengusap salah satu kain itu, merasakan tekstur kasarnya di jari-jari. Bau kapur barus menyengat, membawanya kembali ke masa kecil ketika ia membantu Mbok Sari melipat kain-kain ini sambil mendengar cerita tentang leluhur mereka.

Zara berjalan pelan ke dapur, berusaha tak mengganggu tidur Mbok Sari. Dapur kecil itu masih sama: tungku kayu dengan abu yang masih hangat, panci aluminium yang sudah penyok, dan rak bambu tempat menyimpan piring-piring seng. Di sudut, ia melihat sesuatu yang membuat hatinya terasa ditusuk: sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran burung merak, tempat Mbok Sari menyimpan perhiasan sederhana dan surat-surat penting. Zara ragu sejenak, tapi akhirnya membuka kotak itu. Di dalamnya, ia menemukan gelang perak tipis yang dulu milik ibunya, beberapa lembar foto lama, dan sehelai kertas yang sudah menguning.

Kertas itu adalah surat yang ia tulis untuk Mbok Sari sebelum pergi ke Jakarta 15 tahun lalu. Tulisannya masih jelas, meski tinta birunya mulai memudar: “Mbok, aku pergi untuk mengejar mimpi. Maaf kalau aku bikin Mbok kecewa. Aku janji akan pulang someday. Zara.” Di samping surat itu, ada coretan tangan Mbok Sari dengan pensil: “Zara, Mbok ora marah. Mbok mung kangen.” Zara menutup mulutnya, menahan isakan yang hampir pecah. Mbok Sari menyimpan surat ini selama bertahun-tahun, membaca dan menulis di sampingnya, tapi tak pernah mencoba menghubungi Zara. Apakah itu karena Mbok Sari menghormati keputusannya, atau karena ia terlalu terluka untuk melakukannya?

Zara kembali ke beranda, membawa kotak kayu itu. Ia duduk di samping Mbok Sari, memandang wajah perempuan tua yang kini terlihat damai dalam tidurnya. Kerutan di wajah Mbok Sari seperti peta hidupnya: setiap garis menceritakan tahun-tahun penuh kerja keras, tawa, dan air mata. Zara menggenggam tangan Mbok Sari, merasakan kulitnya yang tipis dan dingin. “Mbok, kenapa Mbok ga pernah nyari aku?” bisiknya, meski tahu tak akan ada jawaban.

Pagi tiba dengan suara ayam berkokok dan aroma kopi yang diseduh oleh Kusmadi, yang datang untuk mengecek kondisi Mbok Sari. Ia membawa sepiring pisang goreng dan beberapa lembar koran bekas. “Mbok Sari wes rada apikan, ta? Semono dheweke seneng banget ngomong yen kowe balik,” kata Kusmadi sambil tersenyum. Zara mengangguk, tapi hatinya masih dipenuhi pertanyaan. Ia ingin tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi di Kecang selama ia pergi, tentang Mbok Sari, dan tentang dirinya sendiri yang dulu.

Setelah sarapan sederhana—nasi dengan sambal teri dan telur dadar—Zara memutuskan untuk berjalan-jalan di kampung. Ia ingin melihat apakah Kecang masih sama seperti dalam ingatannya, atau apakah waktu juga telah mengubah tempat ini seperti ia mengubah dirinya. Jalanan tanah di depan rumah Mbok Sari kini sedikit lebih lebar, tapi masih dipenuhi lubang-lubang kecil yang tergenang air hujan. Anak-anak kecil berlarian, beberapa membawa layang-layang dari plastik bekas. Mereka melambai pada Zara, memanggilnya “Mbak” dengan tawa riang. Zara tersenyum, tapi ada rasa asing yang menggerogoti hatinya. Ia bukan lagi bagian dari kampung ini, bukan?

Ia berjalan menuju sawah di ujung kampung, tempat ia dulu menghabiskan sore-sore bersama teman-temannya. Sawah itu masih hijau, meski kini ada beberapa petak yang ditanami jagung dan cabai. Di kejauhan, ia melihat Sungai Kecang, yang airnya berkilau di bawah sinar matahari pagi. Zara melepas sandal jepitnya, membiarkan kakinya menyentuh rumput basah. Ia duduk di tepi sungai, memandang aliran air yang tenang. Dulu, ia dan Mbok Sari sering datang ke sini untuk mencuci pakaian. Mbok Sari akan bernyanyi, suaranya lembut bercampur dengan gemericik air. “Zara, yen atimu susah, omong karo kali. Kali ora bakal nyalahke kowe,” kata Mbok Sari suatu hari.

Zara menutup mata, mencoba mendengar suara sungai seperti dulu. Tapi yang ia dengar adalah suara hatinya sendiri, penuh penyesalan. Ia teringat keputusannya untuk pergi ke Jakarta, bagaimana ia begitu yakin bahwa mimpinya sebagai jurnalis akan mengubah hidupnya. Dan memang, ia berhasil: ia menulis untuk majalah besar, bepergian ke berbagai kota, bahkan ke luar negeri. Tapi di balik semua itu, ada kekosongan yang tak pernah ia akui. Jakarta memberinya karier, tapi merenggut akarnya. Ia kehilangan Kecang, kehilangan Mbok Sari, dan mungkin juga kehilangan dirinya sendiri.

Di tengah lamunannya, Zara mendengar langkah kaki mendekat. Ia membuka mata dan melihat seorang perempuan seusianya, dengan rambut dikepang dua dan baju batik sederhana. “Zara? Beneran kowe?” tanya perempuan itu, matanya melebar. Zara bangkit, mencoba mengenali wajah di depannya. “Wulan?” tanyanya ragu. Perempuan itu tertawa, lalu memeluk Zara erat. Wulan adalah teman masa kecil Zara, yang dulu selalu jadi partnernya dalam petualangan di kampung. Mereka pernah berjanji akan menjelajahi dunia bersama, tapi hidup membawa mereka ke jalan yang berbeda.

Wulan kini adalah guru SD di Kecang, menikah dengan seorang petani lokal, dan punya dua anak. Ia mengajak Zara ke rumahnya, sebuah rumah sederhana dengan halaman penuh tanaman obat. Di sana, sambil minum teh jahe hangat, Wulan bercerita tentang Kecang yang berubah: pasar yang kini lebih ramai, sekolah yang mulai punya komputer, tapi juga sawah-sawah yang semakin menyusut karena banyak yang beralih profesi. “Kowe ngerti, Zara, Kecang isih Kecang, tapi rasane beda. Banyak sing ilang,” kata Wulan dengan nada sendu.

Zara mendengar dengan saksama, tapi pikirannya kembali ke Mbok Sari. Ia bertanya pada Wulan tentang kondisi Mbok Sari selama ia pergi. Wulan menghela napas, matanya memandang ke bawah. “Mbok Sari… dheweke kuwat, Zara. Tapi sawise kowe lunga, dheweke kaya ilang semangat. Ora tau ngomong akeh, cuma asring lungguh ing beranda, nyanyi tembang Jawa karo nyawang dalan. Aku yakin dheweke nunggu kowe.” Kata-kata Wulan seperti pisau, mengiris hati Zara lebih dalam. Ia membayangkan Mbok Sari duduk sendirian, menunggu anak yang tak pernah kembali.

Sore itu, Zara kembali ke rumah Mbok Sari dengan hati yang lebih berat. Ia menemukan Mbok Sari di dapur, mencoba memasak bubur dengan tangan yang gemetar. Zara buru-buru mengambil alih, meminta Mbok Sari duduk. “Mbok, aku yang masak. Mbok istirahat dulu,” katanya lembut. Mbok Sari tersenyum, tapi matanya kosong. “Kowe apik, Nak. Kowe sapa, ta?” tanya Mbok Sari tiba-tiba. Zara membeku, sendok kayu di tangannya hampir jatuh. Ia menelan ludah, mencoba tersenyum. “Aku Zara, Mbok. Anakmu.” Mbok Sari mengangguk pelan, tapi ekspresinya tak berubah, seolah kata-kata itu tak sampai ke hatinya.

Malam itu, Zara tak bisa menahan air matanya. Ia duduk di beranda, memandang bunga kamboja yang bergoyang diterpa angin. Di tangannya, ia memegang surat tua dari kotak kayu, membaca ulang coretan Mbok Sari: “Mbok ora marah. Mbok mung kangen.” Zara menangis dalam diam, menyadari bahwa luka yang ia bawa dari Jakarta tak sebanding dengan luka yang ia tinggalkan di Kecang. Perjalanan pulang ini, yang ia pikir akan sederhana, kini terasa seperti menghadapi cermin yang memantulkan semua kesalahannya.

Jejak yang Kembali

Pagi di Kecang terasa seperti lukisan hidup, dengan embun yang berkilau di ujung-ujung rumput dan suara burung gereja yang bercericit di bawah atap genteng. Diomazara, atau Zara, bangun dengan mata sembab setelah malam yang penuh air mata. Ia duduk di beranda rumah panggung Mbok Sari, memandang halaman yang masih dipenuhi bunga kamboja, beberapa di antaranya gugur dan berserakan di tanah. Di tangannya, ia memegang surat tua yang ditemukannya di kotak kayu, dengan coretan Mbok Sari yang berbunyi, “Mbok ora marah. Mbok mung kangen.” Kalimat itu terasa seperti mantra, mengikat Zara pada rasa bersalah yang tak kunjung reda.

Mbok Sari masih terlelap di kamarnya, napasnya pelan namun terdengar berat, diselingi batuk kecil yang kini sudah menjadi bagian dari keberadaannya. Zara memutuskan untuk membuat sarapan sederhana: nasi hangat, tempe goreng, dan sambal bawang yang dulu selalu jadi favorit Mbok Sari. Bau minyak goreng dan cabai yang ditumis mengisi dapur, membawa kembali kenangan saat ia kecil, duduk di bangku kecil sambil melihat Mbok Sari memasak sambil bersenandung. Dulu, dapur ini penuh tawa dan cerita. Kini, hanya ada keheningan yang dipenuhi aroma masa lalu.

Saat Zara menyiapkan piring, Kusmadi datang dengan sepeda tuanya, membawa seikat daun pisang dan beberapa buah mangga harum manis dari kebunnya. “Zara, iki mangga apik. Mbok Sari suka banget iki,” katanya sambil tersenyum. Zara mengangguk, mengucapkan terima kasih, tapi matanya tak bisa lepas dari wajah Kusmadi yang penuh kerutan. Ia teringat betapa Kusmadi selalu ada untuk Mbok Sari selama ia pergi, mengurus kebun kecil di belakang rumah, memperbaiki atap yang bocor, bahkan mengantar Mbok Sari ke dokter saat sakitnya memburuk. “Mas Kus, terima kasih ya, sudah jaga Mbok Sari selama ini,” kata Zara tiba-tiba, suaranya parau.

Kusmadi hanya mengangguk, matanya memandang ke arah sawah di kejauhan. “Mbok Sari iku keluargaku uga, Zara. Kowe ora usah mikir sing aneh-aneh. Saiki kowe wis balik, iku sing paling penting.” Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti pukulan lembut yang membuat Zara ingin menangis lagi. Ia menyadari bahwa Kecang, meski kecil dan sederhana, punya hati yang besar—hati yang tak pernah ia hargai saat masih muda.

Setelah sarapan, Zara membantu Mbok Sari duduk di beranda. Perempuan tua itu tampak lebih segar hari ini, meski matanya masih sering kosong, seolah terjebak di antara ingatan yang pudar dan kenyataan yang kabur. Zara mengupas mangga yang dibawa Kusmadi, memotongnya kecil-kecil, dan menyuapkannya ke Mbok Sari. “Enak, ta, Mbok?” tanya Zara lembut. Mbok Sari mengangguk, senyum kecil muncul di wajahnya. “Enak. Kowe sing masak, Santi?” tanyanya, lagi-lagi memanggil Zara dengan nama ibunya. Zara menahan napas, tersenyum, dan mengangguk. “Iya, Mbok. Aku yang masak.”

Sore itu, Wulan, teman masa kecil Zara, datang berkunjung bersama anak sulungnya, seorang gadis kecil bernama Lintang yang berusia tujuh tahun. Lintang berlari-lari di halaman, mengumpulkan bunga kamboja yang jatuh sambil tertawa. Wulan dan Zara duduk di dipan bambu, mengobrol tentang hal-hal kecil: anak-anak Wulan, panen yang tak lagi sebanyak dulu, dan kenangan masa kecil mereka di Kecang. Tapi percakapan itu berubah serius ketika Wulan bertanya, “Zara, kowe arep balik maneh menyang Jakarta, ta?”

Pertanyaan itu seperti anak panah yang tepat mengenai sasaran. Zara menunduk, jari-jarinya memainkan ujung kain batik yang ia kenakan. “Aku… ora ngerti, Wulan. Aku bingung. Aku pengin tetep ing kene karo Mbok Sari, nanging Jakarta… iku uripku saiki.” Wulan mengangguk, matanya penuh pengertian. “Kecang iki ora bakal nahan kowe, Zara. Nanging Mbok Sari butuh kowe. Kowe sing dadi duniane dheweke, sanajan kadang dheweke lali.” Kata-kata Wulan membuat Zara terdiam. Ia tahu Wulan benar, tapi keputusan untuk tinggal atau pergi terasa seperti memilih antara dua bagian dirinya yang tak bisa disatukan.

Malam itu, setelah Wulan dan Lintang pulang, Zara duduk di samping Mbok Sari, yang kini memegang rosario kayu tua sambil berdoa pelan dalam bahasa Jawa. Zara memperhatikan gerakan bibir Mbok Sari, mendengar kata-kata yang tak sepenuhnya ia pahami. Ia teringat dulu, saat ia kecil, Mbok Sari sering mengajaknya berdoa di bawah pohon kamboja, meminta perlindungan untuk keluarga mereka yang kecil. “Gusti ora bakal ninggal awake dewe, Zara,” kata Mbok Sari dulu. Kini, Zara bertanya-tanya apakah Gusti juga mendengar doanya sekarang—doa untuk diberi keberanian menghadapi masa lalu dan masa depan.

Tiba-tiba, Mbok Sari berhenti berdoa. Ia menoleh ke Zara, matanya tiba-tiba jernih, seolah ingatannya kembali utuh untuk sesaat. “Zara, kowe ora lali karo Kecang, ta?” tanyanya, suaranya lemah tapi penuh harap. Zara terkejut, hatinya berdegup kencang. “Ora, Mbok. Aku ora lali,” jawabnya, suaranya pecah. Mbok Sari mengangguk, tangannya meraih tangan Zara. “Mbok ora marah yen kowe lunga, Nak. Tapi yen kowe balik, atiku dadi utuh maneh.” Kata-kata itu seperti air yang menyirami tanah kering di hati Zara. Ia memeluk Mbok Sari erat, air matanya jatuh ke bahu perempuan tua itu.

Hari berikutnya, Zara memutuskan untuk memperbaiki rumah panggung Mbok Sari. Ia menghubungi Kusmadi dan beberapa tetangga untuk membantu mengganti anyaman bambu yang rusak dan memperbaiki atap yang bocor. Mereka bekerja bersama, tertawa di sela-sela kerja keras, seperti keluarga besar yang tak pernah Zara sadari keberadaannya. Lintang, anak Wulan, ikut membantu dengan caranya sendiri, membawa ember kecil berisi paku dan palu sambil bernyanyi lagu anak-anak. Zara merasa sesuatu berubah di dalam dirinya—ia tak lagi merasa asing di Kecang. Ia merasa seperti pulang, benar-benar pulang.

Pada malam terakhir sebelum keputusannya harus dibuat, Zara berjalan ke tepi Sungai Kecang, tempat ia dan Mbok Sari dulu sering menghabiskan waktu. Ia duduk di batu besar, memandang air yang berkilau di bawah bulan purnama. Ia teringat kata-kata Mbok Sari tentang berbicara dengan bulan untuk menyampaikan pesan kepada yang telah pergi. “Bulan, yen Mbok Sari lali karo aku maneh, tulung ngomong yen aku sayang karo dheweke,” bisik Zara, suaranya hilang di antara gemericik air. Ia tahu Mbok Sari tak akan selamanya ada, tapi ia juga tahu bahwa cinta mereka, meski terpisah oleh waktu dan jarak, tak akan pernah pudar.

Keesokan harinya, Zara membuat keputusan. Ia akan tinggal di Kecang selama beberapa bulan, merawat Mbok Sari sambil tetap bekerja jarak jauh untuk majalahnya di Jakarta. Ia juga berjanji pada dirinya sendiri untuk memperbaiki hubungannya dengan kampung ini, dengan Wulan, Kusmadi, dan semua yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia tak ingin lagi lari dari masa lalunya. Kecang, dengan segala luka dan keindahannya, adalah bagian dari dirinya yang tak bisa ia lepaskan.

Saat bus “Kecang Express” kembali melaju menuju Jakarta beberapa bulan kemudian, Zara tak lagi membawa koper tua yang penuh penyesalan. Ia membawa sekotak kayu kecil dengan ukiran burung merak, di dalamnya surat-surat dan kenangan yang kini ia peluk erat. Di beranda rumah panggung, Mbok Sari melambai pelan, matanya penuh air mata tapi juga kebahagiaan. “Zara, balik maneh, ya,” katanya, suaranya nyaris tak terdengar. Zara tersenyum, mengangguk. “Pasti, Mbok. Aku bakal balik.”

Langit Kecang berwarna jingga saat bus meninggalkan kampung. Zara memandang ke luar jendela, melihat pohon beringin di ujung kampung yang masih berdiri gagah. Ia tahu, perjalanan ini bukan akhir, melainkan awal baru. Ia telah menemukan kembali akarnya, dan kali ini, ia tak akan membiarkannya layu. Kecang bukan hanya tempat, tapi rumah—rumah yang akan selalu memanggilnya pulang, tak peduli seberapa jauh ia pergi.

Cerpen Pulang ke Tanah Jawa: Kisah Perjalanan Emosional ke Kampung Halaman adalah lebih dari sekadar cerita; ia adalah cerminan tentang pentingnya akar, keluarga, dan pengampunan. Perjalanan Zara mengajarkan kita bahwa pulang bukan hanya tentang tempat, tetapi juga tentang menemukan kembali diri sendiri. Jika Anda mencari bacaan yang menggugah jiwa dan membawa Anda lebih dekat pada makna rumah, cerpen ini wajib dibaca. Jangan lewatkan kisah yang akan meninggalkan jejak di hati Anda!

Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk menyelami keindahan cerpen Pulang ke Tanah Jawa. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menghargai kenangan dan ikatan yang membentuk hidup Anda. Sampai jumpa di artikel dan cerita menarik lainnya—tetaplah terhubung dengan kisah-kisah yang menyentuh hati!

Leave a Reply