Puisi yang Tak Pernah Dibacakan: Cinta Guru dan Murid yang Nggak Klise!

Posted on

“Puisi yang Tak Pernah Dibacakan” bakal ngajak kamu ngerasain kisah unik antara seorang guru muda dan murid cewek paling peka di kelas IPS.

Hubungan mereka tumbuh bukan dari gombalan murahan, tapi dari obrolan sastra, teh tawar, dan puisi-puisi diam-diam yang bikin dada sesak. Ceritanya nggak pasaran, penuh konflik realistis, dan dijamin bikin kamu mikir dua kali soal arti ‘mencintai dalam diam’. Cocok banget buat kamu yang suka drama sekolah tapi ogah yang lebay.

Hujan Pertama di Lorong Belakang

Sore itu seharusnya biasa saja. Angin masih membawa bau tanah dari lapangan belakang yang belum juga diaspal, dan suara peluit dari pelatih basket masih bersahut-sahutan dari arah lapangan indoor. Tapi langit punya rencana lain. Mendung datang tanpa permisi. Dan seperti terlatih, anak-anak langsung berlarian mencari tempat berteduh.

Lorong belakang aula adalah tempat yang tidak banyak disentuh. Sudut sunyi yang dihindari siswa, mungkin karena sepi, atau karena mitos-mitos murahan soal mantan guru yang konon pernah menghilang di sana. Tapi bagi sebagian kecil orang, tempat itu seperti surga kecil yang belum dijamah—tenang, teduh, dan jauh dari mata-mata usil.

Anindya sudah ada di sana, duduk di lantai dingin dengan punggung bersandar pada dinding semen berlumut. Di tangannya, sebuah buku puisi karya Sapardi Djoko Damono. Kakinya dilipat, dan matanya sibuk mengikuti bait demi bait dengan jemari yang sesekali membetulkan posisi kaca matanya yang melorot.

Lalu datanglah dia—dengan langkah tergesa tapi tetap tenang. Arga Yudhistira. Pria itu baru dua minggu mengajar, tapi sudah membuat banyak guru senior merasa perlu memperbaiki cara bicara mereka di kelas. Tenang, datar, dan entah bagaimana… dalam.

“‘Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni,’ ya?” suaranya pelan, tapi cukup memecah hening di lorong itu.

Anindya menoleh cepat, lalu menatapnya lama seperti menimbang-nimbang apakah harus menjawab atau pura-pura tidak dengar.

“Bapak tahu puisi itu?” akhirnya ia bertanya.

Arga mengangguk sambil duduk di seberangnya, menyandarkan tubuhnya ke dinding yang sama.

“Saya hafal,” katanya. “Dari dulu saya suka puisi. Apalagi yang sunyi kayak gitu.”

Anindya menutup bukunya perlahan. “Aku pikir nggak banyak orang yang suka puisi kayak gini. Kebanyakan bilang terlalu sendu, terlalu dalam, terlalu… bikin mikir.”

“Justru karena itu menarik,” Arga tersenyum tipis. “Kayak kamu, mungkin.”

Anindya mengernyit. “Maksudnya?”

“Kamu duduk di lorong belakang sendirian baca puisi. Di jam segini. Waktu semua orang lagi ribut di kantin.”

“Aku cuma nggak suka keramaian.”

“Kenapa?”

“Karena keramaian itu bising. Aku nggak bisa dengar pikiranku sendiri kalau terlalu bising.”

Arga tak langsung membalas. Ia menatap ke luar lorong, ke arah rintik hujan yang mulai menetes di atas genting. Aroma tanah basah perlahan merayap masuk, membawa kenangan yang terlalu jauh untuk diceritakan.

“Kayaknya kita mirip,” ucapnya pelan.

“Mirip?”

“Sama-sama suka menyendiri. Sama-sama lebih nyaman di tempat yang nggak banyak orang tahu.”

Anindya tertawa kecil. “Atau mungkin cuma kebetulan.”

“Mungkin,” Arga mengangguk. “Tapi beberapa kebetulan terlalu rapi untuk dibilang sekadar kebetulan.”

Anindya diam. Matanya kembali menatap buku di pangkuannya. Jari-jarinya memutar halaman, seolah mencari jawaban dari sesuatu yang tak ditanyakan.

“Kamu suka Sapardi?” tanya Arga lagi.

“Suka. Tapi puisi favoritku bukan yang bulan Juni.”

“Lalu?”

Anindya menghela napas, lalu membaca pelan:

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu…”

Suasana di lorong itu seketika berubah. Tak ada angin. Tak ada suara. Hanya keheningan yang menggantung antara dua jiwa yang terlalu asing untuk dekat, tapi terlalu akrab untuk menjauh.

Arga menunduk. Ada sesuatu di matanya yang tak terlihat siapa pun sebelumnya—entah luka, atau rasa yang belum sempat tumbuh.

“Kamu tahu maksud puisi itu?” tanya Anindya.

“Sedikit,” jawab Arga. “Tapi kayaknya kamu lebih paham.”

“Bukan soal paham. Cuma… kadang, puisi itu bukan buat dimengerti. Cukup dirasa.”

Angin kembali bertiup, membawa bau air hujan yang menggenang. Suara peluit di lapangan sudah berhenti. Langit menggelap, tapi tidak terlalu muram.

Arga berdiri lebih dulu. Menatap jam tangannya yang sudah tua tapi masih menunjukkan waktu dengan tepat.

“Aku harus balik ke ruang guru. Nanti ada rapat.”

Anindya hanya mengangguk, matanya masih tertuju pada halaman terakhir buku itu.

Sebelum pergi, Arga menoleh lagi. “Kamu sering baca di sini?”

“Kadang,” jawab Anindya. “Kalau hujan, biasanya aku ke sini.”

“Kalau aku ke sini lagi… kamu bakal marah?”

Anindya menoleh, dan untuk pertama kalinya, senyumnya muncul. Tidak lebar, tapi cukup untuk menghapus mendung yang menggantung di lorong itu.

“Enggak. Asal kamu nggak rebutin tempat dudukku aja.”

Arga tertawa pelan. “Deal.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan aroma sabun kayu dan tinta pulpen yang samar. Dan Anindya… untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, membuka kembali halaman bukunya tanpa merasa sepi.

Langit masih mendung. Hujan masih turun. Tapi sejak pertemuan itu, lorong belakang tak lagi terasa sunyi.

Batas-Batas yang Tak Tertulis

Hujan masih sering turun dalam beberapa hari setelah pertemuan itu, dan entah bagaimana, setiap tetesnya seolah membawa mereka kembali ke lorong belakang yang sama. Tanpa janji, tanpa pesan, tapi selalu ada dua pasang kaki yang bertemu di tempat yang semakin terasa seperti ruang rahasia.

Anindya datang dengan buku yang berbeda setiap kali—dari puisi Indonesia klasik sampai kumpulan cerpen Amerika Latin. Dan Arga datang tanpa buku, tapi membawa cerita yang selalu membuat sore terasa singkat. Mereka jarang membahas sekolah. Tidak tentang nilai, bukan tentang ujian, bahkan tak pernah menyentuh soal mata pelajaran. Hanya puisi, kehidupan, dan kadang… sunyi.

Suatu sore, mereka tidak lagi duduk berhadapan. Kali ini sejajar, menghadap ke luar lorong, menatap taman kecil yang mulai tumbuh rumput liar. Anindya membawa buku Perahu Kertas karya Dee, tapi tak dibuka sejak ia datang. Sedangkan Arga membawa termos kecil berisi teh hangat, entah sejak kapan ia tahu kalau Anindya suka minuman pahit tanpa gula.

“Aku rasa sekolah ini terlalu sempit buat orang kayak kamu,” kata Arga pelan, membuka pembicaraan setelah lima menit tanpa suara.

Anindya melirik sebentar. “Maksudnya?”

“Kamu… terlalu tenang. Terlalu dalam. Anak-anak lain sibuk mikirin masuk kampus mana, cari pacar, nyari popularitas. Tapi kamu kayak… udah selesai sama semua itu.”

Anindya mengangkat bahu. “Mungkin aku memang udah selesai. Atau mungkin… aku belum mulai.”

“Jangan cepat-cepat selesai,” kata Arga. “Beberapa hal perlu dirasain pelan-pelan. Biar nggak kelewat.”

Anindya tak menjawab. Ia menatap langit yang mulai berubah warna—jingga, lagi-lagi jingga. Warna yang sama sejak pertemuan pertama mereka. Seolah langit tahu, dan sengaja memberi isyarat yang hanya bisa dibaca mereka berdua.

“Aku pernah punya guru waktu SMA,” lanjut Arga. “Namanya Pak Tama. Dia yang ngajarin aku nulis puisi pertama.”

Anindya menoleh. “Guru sastra juga?”

“Bukan. Guru matematika. Tapi dia suka sastra. Waktu itu dia bilang, ‘Kalau kamu pengen ngerti hidup, jangan cuma baca angka. Baca juga kalimat yang nggak ditulis.’”

Anindya mengangguk pelan. “Aku suka kalimat itu.”

“Aku juga. Dan entah kenapa, aku inget kalimat itu setiap kali ngobrol sama kamu.”

Ada jeda. Bukan hening yang canggung, tapi ruang kecil yang memberi napas pada rasa.

“Kamu nggak takut?” tanya Anindya akhirnya. “Ngobrol sama murid kayak gini? Di tempat kayak gini?”

Arga menarik napas panjang. “Takut.”

“Lalu kenapa tetap ke sini?”

“Karena ada hal-hal yang meski bikin takut, tetap layak dijalani. Selama kita tahu batasnya.”

Anindya menunduk. “Kadang batas itu samar. Nggak semua orang bisa lihat.”

“Nah itu tugas kita. Untuk jaga. Supaya nggak kabur. Supaya nggak salah arah.”

Hening lagi. Tapi kali ini terasa berbeda. Seperti ada benang tipis yang mulai terulur di antara mereka. Bukan benang asmara, belum. Tapi semacam koneksi yang lebih jujur dari sekadar rasa suka biasa.

Di kejauhan, bel tanda pulang berbunyi. Suara langkah kaki terdengar dari arah aula, lalu hilang lagi seiring hujan yang mulai mereda.

“Boleh aku tanya sesuatu?” suara Anindya lirih, hampir kalah oleh suara angin.

“Boleh.”

“Kamu pernah jatuh cinta sama seseorang yang seharusnya nggak kamu cintai?”

Arga menoleh cepat, tapi tidak menjawab langsung. Tatapannya seperti menyusuri wajah Anindya, bukan untuk mencari makna di balik pertanyaan, tapi memastikan bahwa itu bukan jebakan.

“Aku pernah,” jawabnya akhirnya. “Dan itu hal paling sulit yang pernah aku rasain.”

“Kenapa?”

“Karena kamu harus menahan sesuatu yang terus tumbuh, tapi nggak bisa kamu pelihara.”

Anindya diam. Ia memeluk lututnya, menyandarkan kepala ke dinding.

“Aku rasa… aku mulai ngerti sekarang,” gumamnya pelan.

Arga tak menjawab. Ia tahu ini saatnya diam lebih penting dari bicara.

Langit mulai gelap. Jingga sudah beralih jadi ungu tua, dan suara jangkrik mulai menggantikan suara hujan. Mereka berdiri nyaris bersamaan, seperti sudah tahu ini waktunya pulang.

Sebelum beranjak pergi, Arga menatap Anindya. “Kamu murid saya. Dan saya guru kamu. Kita sama-sama tahu itu.”

Anindya mengangguk. “Aku tahu. Dan aku nggak mau ngelewatin batas itu.”

“Terima kasih,” jawab Arga. “Karena itu, aku masih bisa duduk di sini. Ngobrol sama kamu.”

Mereka berjalan berlawanan arah. Arga ke ruang guru, Anindya ke gerbang sekolah. Tapi di tengah langkah mereka yang menjauh, ada sesuatu yang tak ikut pergi—sebuah ikatan tak bernama, yang tumbuh diam-diam di balik batas yang tak tertulis.

Saat Bisik Menjadi Badai

Minggu itu, langit tak menurunkan hujan. Tapi badai justru datang dari tempat yang tak terlihat—dari balik dinding ruang guru, dari kursi kantin, dari layar ponsel yang berpindah tangan terlalu cepat.

Semuanya berawal dari foto.

Bukan foto yang aneh. Hanya gambar dua orang duduk di lorong belakang, bersebelahan, dengan secangkir teh di antara mereka. Tapi bagi mata yang haus sensasi, gambar sederhana itu cukup untuk menyalakan api. Dan bagi sekolah yang menyimpan banyak aturan tak tertulis, apinya cepat menjalar.

“Katanya sih murid kelas dua, anak IPS, namanya Anindya…”

“Guru baru itu kan, yang ngajar bahasa Indonesia?”

“Mereka sering keliatan bareng. Tapi diem-diem. Kayak ada apa-apanya gitu…”

Bisik berubah jadi kalimat. Kalimat berubah jadi gosip. Gosip akhirnya masuk ke telinga yang tak seharusnya mendengar.

Hari itu, kepala sekolah memanggil Arga.

Ruangan itu terlalu bersih. Dinding putihnya seperti menyerap setiap getar dari suara yang mengeras. Ibu Nursyah, kepala sekolah, memandangi Arga dari balik kacamatanya yang tajam. Di meja, sebuah map tipis berisi salinan foto yang entah diambil oleh siapa.

“Pak Arga,” suaranya datar. “Saya harap ini hanya salah paham.”

Arga menatap map itu tanpa menyentuhnya. “Saya bisa jelaskan, Bu.”

“Sebelum kamu jelaskan, saya hanya ingin tanya satu hal. Kamu sadar nggak, kamu guru. Dan dia murid.”

“Saya sadar.”

“Dan kamu tahu apa dampaknya kalau orang-orang mulai menafsirkan hubungan kalian lebih dari sekadar guru dan siswa?”

Arga mengangguk. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya mulai menunjukkan retakan.

“Saya nggak pernah berbuat yang melanggar, Bu,” katanya akhirnya. “Saya hanya mengobrol. Dia murid yang cerdas. Suka sastra. Dan… ya, kami sering diskusi soal itu. Tapi tidak lebih.”

Ibu Nursyah menatapnya dalam. “Baik. Saya anggap ini peringatan. Tapi mulai hari ini, saya minta kamu lebih jaga jarak. Jangan beri ruang untuk kesalahpahaman kedua.”

“Siap, Bu.”

Sementara itu, Anindya mengalami hal yang lebih sunyi tapi tak kalah menyakitkan. Teman-temannya mulai menjauh. Tidak semua, tapi cukup banyak untuk membuatnya sadar bahwa bisik itu telah menelannya dari belakang.

Di kantin, bangku kosong di sebelahnya tetap kosong bahkan setelah ia duduk.

Di kelas, beberapa tatapan mengarah padanya lebih lama dari biasanya. Sebagian dengan penasaran, sebagian lagi dengan jijik yang dibungkus senyum palsu.

“Jadi… kamu beneran deket sama Pak Arga?” tanya Nadya, teman sebangkunya, suatu siang.

Anindya tidak langsung menjawab. Matanya masih menatap ke luar jendela.

“Kita cuma ngobrol. Di lorong belakang.”

“Ngobrolnya kayak tiap hari gitu ya?”

“Aku cuma suka puisinya. Dan dia ngerti. Itu aja.”

Nadya mengangguk, tapi raut wajahnya tetap menyimpan keraguan. Sejak itu, keheningan mulai jadi teman tetap Anindya di kelas.

Hari itu, ia tidak ke lorong belakang. Hujan tidak turun, tapi langit terasa berat. Ia hanya duduk di taman kecil, membaca ulang puisi yang sama untuk ketiga kalinya tanpa benar-benar membacanya.

Lalu terdengar suara langkah dari arah selasar.

“Anindya.”

Ia mendongak. Arga berdiri di hadapannya. Wajahnya lebih letih dari biasanya.

“Kamu baik-baik aja?” tanya pria itu.

Anindya mengangguk, meski sorot matanya berkata sebaliknya.

“Aku tahu soal foto itu,” lanjut Arga. “Dan aku juga udah dipanggil kepala sekolah.”

“Jadi… kita harus berhenti ngobrol?” tanya Anindya, suaranya pelan, nyaris patah.

Arga duduk di bangku yang sama, tapi dengan jarak lebih jauh dari biasanya. Tangannya mengepal di atas lutut.

“Aku nggak mau kita berhenti,” katanya. “Tapi mungkin untuk sekarang… kita harus lebih hati-hati.”

“Kenapa orang selalu mikir buruk duluan? Kenapa obrolan biasa harus dilihat kayak sesuatu yang salah?”

“Karena mereka nggak lihat dari dalam. Mereka cuma lihat dari luar. Dan dari luar… semua hal bisa salah, kalau mereka udah punya niat buat menyalahkan.”

Anindya menunduk. “Aku benci ini.”

“Aku juga.”

Mereka duduk dalam diam cukup lama. Tak ada puisi hari itu. Tak ada teh. Hanya dua orang yang mulai sadar, bahwa rasa yang tumbuh diam-diam bisa jadi terlalu besar untuk tetap tersembunyi.

Sebelum Arga pergi, ia sempat menoleh sekali lagi.

“Kamu kuat?” tanyanya.

Anindya tak langsung menjawab. Tapi ketika ia angkat kepala, sorot matanya sudah berbeda.

“Aku bukan cuma kuat. Aku yakin. Dan aku nggak nyesel.”

Kata-kata itu melekat di kepala Arga sepanjang malam. Dalam sepinya kamar, di antara tumpukan kertas ujian yang belum diperiksa, kalimat itu menggema seperti mantra.

Mereka tahu jalan ini tidak mudah. Tapi untuk pertama kalinya, badai telah memperlihatkan siapa yang tetap berdiri.

Puisi yang Tak Pernah Dibacakan

Waktu bergerak pelan di semester baru. Tapi di antara perubahan jadwal, pergantian guru piket, dan pengumuman ekstrakurikuler baru, ada satu hal yang tetap sama: jarak yang tak terlihat tapi terasa, antara Arga dan Anindya.

Lorong belakang kini kosong. Bangku di taman pun jarang terisi. Mereka masih saling lihat, tapi seperti dua orang asing yang berbagi rahasia di masa lalu.

Namun ada sesuatu yang belum selesai.

Hari itu, sekolah mengadakan acara bulanan bertema “Panggung Sastra Remaja”. Semua murid diwajibkan hadir di aula. Tak seperti biasanya, acara kali ini dibuat lebih megah. Ada panggung kecil, mikrofon berdiri, dan undangan dari luar sekolah.

Anindya tidak mendaftar untuk tampil. Tapi Arga ada di antara panitia guru yang mengatur jalannya acara. Saat namanya dipanggil untuk menyampaikan sambutan penutup, suasana aula mulai riuh. Murid-murid tampak mulai bosan, apalagi ini sudah menjelang sore.

Tapi Arga tidak hanya memberi sambutan.

Ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam map. Bukan sambutan resmi. Melainkan puisi.

Suaranya tenang saat mulai membacakan bait pertamanya:

“Kau datang seperti gerimis yang malu-malu
menyusup dalam sunyi lorong belakang sekolahku.
Tanpa janji, tanpa suara keras,
tapi meninggalkan gema di setiap jeda kelas.”

Beberapa murid mulai saling melirik. Nama Anindya tak disebut, tapi setiap kata seolah menunjuk langsung padanya.

“Kita duduk tak berseberangan,
karena tahu dunia akan curiga pada tatapan.
Tapi bahkan diam pun tak bisa memadamkan api,
yang tumbuh dari puisi dan teh tanpa gula yang kau bagi.”

Anindya menunduk, wajahnya memerah. Tapi tak ada satu pun gerakan yang menyela puisi itu. Semua terpaku.

“Kini kau duduk di bangku yang tak lagi kupandangi,
karena sekali lagi, dunia menang dengan dengkinya sendiri.
Namun jika kelak kau membaca ini—atau mengenal nadanya,
kau tahu, aku pernah menyukaimu… dalam sunyi yang tak pernah meminta apa-apa.”

Ketika Arga selesai membaca, aula diam. Hening. Bahkan tepuk tangan pun tak terdengar. Sampai akhirnya satu suara mulai bertepuk, disusul suara lain, dan seluruh ruangan akhirnya dipenuhi tepuk tangan pelan yang terasa lebih dalam dari sorakan mana pun.

Setelah acara selesai, Arga menghilang. Ia tak kembali ke ruang guru. Tak juga terlihat di parkiran.

Anindya mencarinya hampir satu jam, sebelum akhirnya menemukan pria itu duduk di ujung belakang gedung perpustakaan, tempat yang bahkan tidak termasuk rute patroli keamanan sekolah.

“Aku denger puisinya,” kata Anindya sambil berdiri di depannya.

Arga mengangkat kepala. Wajahnya tenang, tapi lelahnya nyata.

“Itu buat kamu,” katanya jujur.

“Kenapa baru sekarang kamu berani bilang?”

“Karena sekarang waktunya aku berhenti.”

Anindya mengerutkan alis. “Berhenti?”

“Aku akan pindah. Semester depan. Aku udah bicara sama pihak sekolah.”

“Kenapa?” suara Anindya mulai bergetar.

“Karena aku guru. Dan kamu murid. Dan setelah semua yang terjadi… aku nggak bisa terus pura-pura kita cuma ngobrol soal puisi.”

Anindya duduk di sampingnya, diam.

“Aku nggak nyesel,” kata gadis itu akhirnya. “Kalau aku bisa ulang waktu, aku masih mau ketemu kamu di lorong belakang itu. Masih mau baca puisi bareng. Masih mau minum teh tanpa gula.”

Arga tersenyum tipis. “Aku juga.”

“Mungkin kalau kita ketemu di tempat lain, waktu lain, umur yang beda… semua ini nggak harus rumit.”

“Mungkin,” jawab Arga. “Tapi justru karena kita ketemu di sini dan sekarang… maknanya jadi lebih dalam.”

Mereka saling menatap lama. Tanpa sentuhan. Tanpa janji. Tapi dalam diam itu, banyak hal sudah disampaikan.

Esoknya, Arga tak lagi datang ke sekolah.

Tak ada perpisahan resmi. Tak ada pengumuman. Hanya bangku kosong di ruang guru, dan satu buku puisi yang ia tinggalkan di perpustakaan sekolah—halaman depannya bertuliskan:

Untuk seseorang yang mengajari aku caranya mencintai tanpa memiliki.

Anindya membacanya setiap minggu. Kadang diam-diam menangis. Kadang tersenyum. Tapi ia tahu satu hal pasti—cinta yang lahir dari batas dan ditinggalkan dengan hormat, tidak pernah mati. Ia hanya berubah bentuk. Menjadi puisi. Menjadi kenangan. Menjadi seseorang yang akan tetap ia bawa… bahkan setelah hari kelulusan.

TAMAT.

Itulah kisah “Puisi yang Tak Pernah Dibacakan”—cerita cinta diam-diam yang justru paling nyangkut di hati. Bukan cinta yang dimiliki, tapi cinta yang dimengerti, yang tetap hidup meski nggak bersama.

Cerita ini ngajarin kita kalau rasa itu nggak harus selalu berujung jadi milik, kadang cukup jadi kenangan yang kita simpan rapi dalam satu halaman puisi yang nggak pernah sempat dibacakan.

Leave a Reply