Puisi Cinta untuk Ibu: Pengakuan Manis di Atas Panggung

Posted on

Oke, siapa di sini yang pernah tiba-tiba grogi pas disuruh maju ke depan kelas? Nah, bayangin kalau harus baca puisi, di panggung, depan banyak orang… terus puisinya buat ibu sendiri!

Deg-degan banget, kan? Itu yang dirasain Kumbi, bocah yang awalnya pengen kabur tapi akhirnya malah bikin semua orang terharu, termasuk ibunya sendiri! Gimana kisahnya? Siapin tisu, ya!

 

Puisi Cinta untuk Ibu

Napas yang Lupa Pulang

Di balik tirai merah yang menjulang tinggi, Kumbi berdiri dengan wajah pucat. Tangannya mencengkeram naskah puisi erat-erat seperti pegangan terakhir dalam hidupnya. Aula sekolah ramai, suara orang tua dan murid bercampur jadi satu. Tapi bagi Kumbi, semua terdengar seperti dengungan lebah yang memusingkan.

“Kumbi, kamu kenapa berdiri kayak patung?” bisik Lili sambil menarik-narik lengan bajunya.

“Aku… aku lupa napas…” Kumbi menelan ludah.

Lili menatapnya heran. “Kalau lupa napas, kamu udah pingsan kali!”

Kumbi memegang dadanya. “Tapi beneran, Lil. Rasanya sesak. Aku kayak ditelan panggung ini. Aku gak bisa tampil. Aku pasti bakal malu-maluin diri sendiri… dan Ibu!”

Lili berdecak. “Ya ampun, Kumbi! Kamu udah latihan berhari-hari, puisimu keren banget! Kenapa sekarang malah panik?”

Mogu, yang sedang memeriksa dirinya di cermin kecil, menoleh dengan santai. “Karena Kumbi bukan aku.”

Kumbi dan Lili serempak menatapnya.

“Apa maksudnya?” tanya Kumbi curiga.

“Aku selalu percaya diri. Aku tahu puisiku keren. Aku tahu semua orang bakal terpesona.” Mogu tersenyum puas. “Tapi kamu? Kamu dari dulu kayak anak kucing kaget tiap kali maju ke depan kelas.”

Kumbi mendengus. “Aku gak kayak anak kucing kaget!”

Lili menyilangkan tangan. “Kamu kayak anak kucing nyasar yang gak tahu jalan pulang.”

“Aku gak nyasar!” Kumbi memprotes, tapi suaranya gemetar.

Mogu mengangkat bahu. “Ya udah, terserah. Tapi kalau kamu beneran lupa napas, coba bayangin aja kamu lagi ngomong langsung ke Ibu kamu, bukan ke seluruh aula ini.”

Kumbi terdiam. Mengingat wajah ibunya… mengingat betapa ibunya selalu tersenyum meski capek, mengingat betapa ibunya selalu memeluknya meski dia sering merepotkan…

Tapi sebelum Kumbi bisa menenangkan diri, suara guru terdengar dari balik tirai.

“Kumbi, giliranmu!”

Darah di wajahnya langsung lenyap. “A-aku…”

Lili mendorongnya pelan. “Ayo! Kamu bisa!”

Mogu ikut menepuk punggungnya. “Jangan nyasar di atas panggung!”

Tirai terbuka. Cahaya terang langsung menyilaukan. Aula yang tadinya terasa jauh, kini seperti menelan dirinya hidup-hidup.

Kumbi melangkah dengan kaki seberat batu. Di barisan depan, ibunya duduk dengan senyum lembut. Senyum yang membuat hatinya mencelos.

Ia berdiri di depan mikrofon. Tangannya gemetar.

Suasana hening. Semua menunggu.

Lalu, Kumbi menarik napas dalam-dalam dan mulai membacakan puisinya.

 

Mimpi Buruk di Atas Panggung

Kumbi berdiri kaku di depan mikrofon. Lampu panggung yang menyala terang membuat matanya berkunang-kunang. Aula yang tadinya terasa seperti dengungan lebah, kini berubah jadi hening mencekam. Puluhan pasang mata tertuju padanya, menunggu.

Napasnya tercekat. Tenggorokannya kering.

Tangannya mencengkeram lembaran puisi yang kini terasa seperti selembar kertas kutukan. Huruf-hurufnya menari, berputar-putar seakan mengejeknya.

“Ayo, Kumbi,” gumamnya dalam hati. “Bilang sesuatu!”

Tapi mulutnya seperti terkunci.

Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang menyakitkan.

Beberapa anak mulai berbisik. Seorang ibu batuk pelan. Ada yang tertawa kecil di sudut ruangan.

Kumbi ingin lari. Lari sejauh mungkin, pulang ke rumah, meringkuk di bawah selimut, dan pura-pura ini semua hanya mimpi buruk.

Di barisan depan, ibunya masih tersenyum.

Tapi kali ini… senyum itu dipenuhi kekhawatiran.

Kumbi merasakan dadanya sesak. Tidak. Dia tidak boleh mengecewakan ibunya.

Dengan segenap tenaga, ia mencoba membuka mulut.

“Aku…” suaranya nyaris tidak terdengar.

Seseorang di belakang panggung berdehem keras, mungkin guru yang mulai panik karena Kumbi belum juga berbicara.

Ia menelan ludah. Menguatkan diri.

Lalu, dengan suara lebih jelas, ia mulai mengucapkan baris pertamanya.

“Ibu,
Katamu aku bayi jelek saat lahir,
Kepalaku botak, kulitku keriput.
Tapi kau cium keningku sambil berkata,
‘Tapi kamu bayi jelek yang paling Ibu sayang.'”

Aula langsung dipenuhi suara tawa kecil. Beberapa ibu tertawa lebih keras, sementara anak-anak saling menyikut dan cekikikan.

Kumbi menahan napas.

Mereka… tertawa? Apa puisinya aneh? Apa dia barusan mempermalukan ibunya di depan semua orang?

Panik mulai menjalar lagi di kepalanya.

Tapi kemudian, ia melihat ibunya tertawa juga. Tawa yang hangat, penuh kasih sayang.

Jadi… itu bukan tawa mengejek?

Jantung Kumbi masih berdetak kencang, tapi ia merasa sedikit lebih ringan.

Ia melanjutkan.

“Ibu,
Katamu aku punya suara paling keras,
Saat belajar bicara,
Aku tidak memanggilmu ‘Ibu’ dengan lembut,
Tapi berteriak: ‘BUUUU!'”

Kali ini tawa semakin riuh. Bahkan Mogu, yang duduk di samping Lili, terlihat terpingkal-pingkal.

Dan saat itu juga, sesuatu yang aneh terjadi.

Ketakutan Kumbi perlahan mencair.

Mungkin karena suara tawa yang tidak terdengar jahat.

Mungkin karena ibunya yang terus tersenyum bangga.

Atau mungkin karena Kumbi mulai menyadari satu hal:

Dia tidak perlu takut.

Ia menatap ibunya lebih lama, lalu melanjutkan puisinya dengan suara lebih mantap.

Dan tanpa ia sadari, di balik tirai, Lili dan Mogu saling melirik.

“Kita berhasil.” Lili berbisik.

Mogu menyeringai. “Anak kucing nyasar akhirnya pulang.”

 

Tangisan di Balik Tirai

Tepuk tangan menggema begitu Kumbi mengakhiri bait terakhir puisinya. Suara sorakan dan tawa kecil masih terdengar, tapi kali ini tidak ada yang terdengar menakutkan. Tidak ada yang terasa menghakimi.

Kumbi berdiri di atas panggung dengan napas tersengal, pipinya memanas. Ini… ini bukan sesuatu yang ia bayangkan sebelumnya. Ia pikir, berdiri di atas panggung akan terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tapi kini, yang ia rasakan adalah… sesuatu yang aneh.

Kelegaan.

Kepercayaan diri.

Dan di antara lautan wajah yang tersenyum, ada satu yang membuat dadanya bergetar hebat—ibunya.

Mata ibunya berkaca-kaca, tangannya terkatup di dada, seakan-akan baru saja menyaksikan sesuatu yang lebih dari sekadar puisi anak-anak.

Kumbi menelan ludah. Ia ingin turun dan langsung berlari ke pelukan ibunya. Tapi sebelum itu sempat terjadi, suara tepuk tangan mereda, dan seorang guru naik ke atas panggung.

“Kumbi,” panggilnya sambil tersenyum. “Itu… luar biasa. Puisimu sangat indah.”

Wajah Kumbi semakin memanas. Ia tidak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya membungkuk sedikit.

“Dan sekarang,” lanjut guru itu, “mari kita panggil ibu dari Kumbi ke atas panggung!”

Deg.

Jantung Kumbi mencelos.

Apa?!

Ibunya? Ke atas panggung?

Ia menoleh panik ke arah ibunya, yang kini juga terlihat sama terkejutnya.

Tapi tanpa bisa menolak, beberapa guru lain sudah memandu ibunya untuk berdiri dan berjalan menuju panggung.

Kumbi menahan napas. Entah kenapa, melihat ibunya melangkah ke arahnya terasa lebih menegangkan daripada saat dirinya berdiri di panggung tadi.

Ketika akhirnya ibunya tiba di sampingnya, Kumbi bisa melihat lebih jelas—ibunya benar-benar menahan tangis.

“Ibu…” Kumbi menggigit bibirnya.

Ibunya tersenyum, lalu tanpa mengatakan apa-apa, ia menarik Kumbi ke dalam pelukan.

Dan saat itulah, Kumbi merasakan sesuatu yang hangat menetes di pundaknya.

Ibunya menangis.

“Ibu bangga sekali sama kamu,” bisik ibunya pelan, suaranya bergetar.

Kumbi menggigit bibir lebih keras. Tenggorokannya tercekat. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya.

Dan sebelum ia bisa menahannya lebih lama, matanya ikut memanas.

Tangannya terangkat, memeluk ibunya lebih erat.

Dari balik tirai, Lili dan Mogu mengintip.

Lili mengusap ujung matanya. “Oke, ini terlalu mengharukan.”

Mogu menghela napas panjang. “Iya sih… tapi aku gak nyangka Kumbi bisa bikin ibunya nangis di depan umum.”

Lili mendengus. “Mogu, itu namanya bikin terharu, bukan bikin nangis sembarangan!”

Mogu hanya mengangkat bahu.

Sementara di atas panggung, Kumbi dan ibunya masih berpelukan, membiarkan air mata mengalir tanpa perlu kata-kata.

Dan di dalam hati Kumbi, sesuatu berbisik pelan.

Tidak apa-apa takut.

Tidak apa-apa gugup.

Tapi selama ibu ada, aku tidak akan pernah benar-benar sendirian.

 

Panggung yang Tidak Akan Dilupakan

Tepuk tangan masih bergema ketika Kumbi dan ibunya akhirnya melepaskan pelukan. Mata ibunya masih basah, tapi ada senyum yang begitu hangat di wajahnya.

Kumbi mengusap hidungnya yang mulai terasa gatal—sebuah kebiasaan setiap kali ia berusaha menahan tangis. Tapi percuma saja. Ia sudah menangis di depan semua orang, dan anehnya… itu tidak terasa memalukan.

“Sekali lagi, tepuk tangan untuk Kumbi dan ibunya!” seru guru yang masih berdiri di sisi panggung.

Tepuk tangan semakin keras, bahkan beberapa orang berdiri sambil bersorak.

Mogu dan Lili yang masih mengintip di balik tirai langsung melonjak kecil.

“Aku kayaknya juga mau nangis,” gumam Lili sambil mengusap matanya lagi.

Mogu hanya menghela napas. “Aku lapar.”

Lili meliriknya tajam. “Astaga, Mogu.”

Sementara itu, di atas panggung, Kumbi menarik napas panjang. Entah kenapa, panggung ini yang awalnya menakutkan sekarang terasa… nyaman. Aman.

Saat ia dan ibunya akhirnya turun, teman-temannya langsung mengerubungi.

“Kumbi, puisimu tadi keren banget!” seru seorang anak laki-laki dari kelas sebelah.

“Kamu kelihatan kayak penyair beneran!” timpal yang lain.

“Terus, ibumu sampai nangis! Itu super menyentuh, tahu!” tambah seorang anak perempuan sambil menatap ibunya Kumbi dengan kagum.

Ibunya hanya tertawa kecil, mengusap mata lagi. “Maaf ya, Ibu memang gampang tersentuh.”

“Gampang tersentuh apanya? Ini emang super mengharukan, Bu!” Lili tiba-tiba menyelip di antara anak-anak lain, lalu menepuk pundak Kumbi. “Kau jago juga, ya. Padahal tadinya hampir kabur ke toilet.”

Mogu mengangguk di belakangnya. “Aku beneran kira kau bakal kabur, lho.”

Kumbi mendelik. “Aku juga kira gitu…”

Lalu ia menoleh ke ibunya, yang masih berdiri di sampingnya, masih dengan mata yang sedikit bengkak tapi penuh dengan kebanggaan.

Dan saat itu juga, Kumbi sadar…

Semua ini bukan cuma tentang puisi di atas panggung.

Bukan tentang rasa takutnya.

Tapi tentang ibunya.

Tentang bagaimana ia akhirnya bisa menunjukkan—walau hanya dengan kata-kata sederhana—betapa besar cintanya pada ibunya.

Dan itu lebih dari cukup.

Kumbi menggenggam tangan ibunya erat.

“Ibu,” katanya pelan, nyaris berbisik.

Ibunya menoleh. “Iya, Sayang?”

Kumbi menelan ludah. Jantungnya sedikit berdebar.

Tapi kali ini, bukan karena gugup.

Ia menatap mata ibunya dalam-dalam.

Lalu, dengan suara yang lebih mantap daripada saat ia membaca puisi tadi, ia berkata,

“Aku sayang Ibu.”

Sesaat, ibunya terdiam.

Lalu senyum itu kembali, lebih hangat dari sebelumnya.

Dan tanpa peringatan, ibunya memeluknya lagi—erat, seakan tidak ingin melepaskannya.

“Ibu juga sayang kamu, Nak. Selalu.”

Tepuk tangan mungkin sudah berhenti. Sorakan sudah mereda. Tapi di dalam hati Kumbi, suara ibunya lebih besar dari segalanya.

Dan meskipun ini bukan pertunjukan terbesar dalam hidupnya, panggung ini… adalah panggung yang tidak akan pernah ia lupakan.

 

Dari yang hampir kabur ke toilet sampai bikin ibunya nangis haru di depan semua orang—Kumbi sukses besar! Tapi yang paling penting, dia akhirnya bisa bilang langsung ke ibunya kalau dia sayang banget. Kadang, hal sesimpel itu susah banget buat diungkapin, ya? Jadi… kapan terakhir kali bilang aku sayang Ibu? Jangan cuma dibatin, langsung bilang sekarang juga, yuk!

Leave a Reply