Daftar Isi
Masuki dunia penuh emosi dan misteri dengan cerpen Pohon Tak Berdaun di Lembah Kesunyian, sebuah karya yang mengisahkan perjalanan Tarika Jelita, seorang gadis penuh luka yang terikat pada pohon tua di desa Kalijaga. Dengan alur yang mendalam dan penuh detail, cerita ini menggabungkan elemen drama, pengorbanan, dan rahasia kuno yang akan membuat Anda terpaku hingga akhir. Apa yang tersembunyi di balik pohon tak berdaun itu, dan harga apa yang harus dibayar untuk mengungkapnya? Temukan jawaban yang mengharukan dalam kisah ini!
Pohon Tak Berdaun di Lembah Kesunyian
Bayang di Antara Batang Kering
Di sebuah lembah terpencil di Jawa Timur, pada tahun 2024, terhampar sebuah desa kecil bernama Kalijaga. Desa ini dikelilingi oleh perbukitan hijau yang tampak damai, namun ada sesuatu yang aneh di udara—suasana sunyi yang terasa berat, seolah menyimpan rahasia tua. Di ujung desa, berdiri sebuah pohon tua yang tak pernah berdaun, konon sudah berdiri sejak ratusan tahun lalu. Pohon itu, yang dikenal sebagai Pohon Sangsaka, memiliki batang gnarled yang hitam dan bengkok, seperti tangan-tangan tua yang meraih langit. Legenda setempat mengatakan bahwa pohon itu adalah saksi bisu dari kesedihan dan kutukan kuno, dan siapa pun yang terlalu dekat dengannya akan membawa malapetaka.
Di bawah bayang-bayang pohon itu, seorang gadis muda bernama Tarika Jelita menghabiskan hari-harinya. Tarika berusia enam belas tahun, dengan rambut hitam panjang yang selalu diikat sederhana dengan ikat rambut merah tua milik ibunya, dan mata cokelat tua yang penuh dengan kesedihan yang tak terucapkan. Ia tinggal bersama neneknya, Mak Waris, di sebuah gubuk kayu yang hampir roboh di pinggir desa. Ayahnya, Rangga, hilang sejak Tarika masih kecil, dan ibunya, Sari, meninggal karena sakit misterius lima tahun lalu—sakit yang konon dipicu oleh kunjungannya yang terlalu sering ke Pohon Sangsaka.
Tarika tidak ingat banyak tentang ibunya, kecuali aroma melati dari rambutnya dan suara lembut yang menyanyikan lagu nina bobok setiap malam. Namun, yang ia ingat jelas adalah cerita tentang pohon itu—cerita yang ibunya sering ceritakan sebelum tidur. Sari pernah berkata bahwa Pohon Sangsaka adalah tempat di mana harapan hilang, tetapi juga tempat di mana janji diucapkan. Tarika tidak mengerti maksudnya saat itu, tapi sejak ibunya pergi, ia merasa tarikkan aneh untuk kembali ke pohon itu, seolah ada suara yang memanggilnya dari dalam batang yang kering.
Pagi itu, Tarika berjalan menuju pohon dengan langkah pelan, membawa sebuah buku catatan tua yang ia temukan di laci ibunya. Buku itu penuh dengan sketsa pohon Sangsaka, catatan tentang tanaman obat, dan tulisan-tulisan yang terlihat seperti puisi atau doa. Di halaman pertama, ada kalimat yang ditulis dengan tinta hitam yang sudah memudar: “Jika pohon ini diam, dengarkan hatimu. Ia berbicara dalam keheningan.” Tarika sering membaca kalimat itu berulang-ulang, mencoba mencari makna di balik kata-kata ibunya.
Di bawah pohon, ia duduk bersandar pada batang yang kasar, merasakan dinginnya menembus pakaian lusuhnya. Angin bertiup pelan, membawa debu dan daun kering dari tanah, tapi pohon itu tetap tak bergoyang, tak ada tanda kehidupan. Tarika membuka buku itu, menelusuri sketsa ibunya dengan jari-jarinya yang gemetar. Ia merasa ada koneksi aneh dengan pohon ini, seolah ibunya masih ada di sana, tersembunyi di antara celah-celah kayu kering.
Sore itu, ketika matahari mulai turun dan langit berubah menjadi jingga, Tarika mendengar suara langkah kaki di rumput kering. Ia menoleh dan melihat seorang anak laki-laki seusianya, berjalan mendekat dengan ekspresi penasaran. Anak itu bernama Darma Wisnu, seorang anak yatim piatu yang tinggal bersama pamannya di desa. Rambutnya pendek dan berantakan, matanya tajam seperti elang, dan ia selalu membawa tas kain tua yang penuh dengan alat tulis dan buku-buku bekas. Darma dikenal sebagai anak yang pendiam, tapi juga cerdas, sering membantu warga desa dengan menghitung hasil panen atau membaca surat.
“Ngapain kamu di sini, Tarika?” tanya Darma, suaranya dalam tapi penuh rasa ingin tahu.
Tarika menutup bukunya dengan cepat, seolah tak ingin rahasianya diketahui. “Cuma duduk. Kamu sendiri ngapain?”
Darma mengangkat bahu, lalu duduk beberapa meter darinya, memandang pohon itu dengan tatapan serius. “Denger-denger pohon ini angker. Tapi aku penasaran. Kayaknya ada cerita di baliknya.”
Tarika memandangnya, mencoba menilai apakah anak ini bisa dipercaya. Di desa kecil seperti Kalijaga, orang-orang cenderung menjauh dari pohon Sangsaka, dan kehadiran Darma di sini terasa seperti pelanggaran tak tertulis. Namun, ada ketulusan di matanya yang membuat Tarika merasa sedikit tenang.
“Ceritanya panjang,” kata Tarika akhirnya, suaranya pelan. “Ibu aku bilang, pohon ini menyimpan janji. Tapi juga kutukan.”
Darma menatapnya dengan alis terangkat. “Janji? Kutukan? Ceritain dong.”
Tarika ragu sejenak, tapi akhirnya ia mulai bercerita tentang ibunya, tentang bagaimana Sari sering datang ke pohon ini, membawa bunga dan doa, dan tentang bagaimana ia sakit setelah terlalu sering berada di dekatnya. Ia juga menceritakan buku catatan itu, tentang kalimat yang membuatnya merasa ibunya masih hidup di sekitar pohon ini. Darma mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat sesuatu di buku kecilnya.
Malam itu, ketika Tarika pulang ke gubuknya, ia merasa ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya. Darma menawarkan untuk membantu mencari tahu lebih banyak tentang pohon itu, dan untuk pertama kalinya sejak ibunya meninggal, Tarika merasa tidak sendirian. Namun, di dalam tidurnya, ia bermimpi tentang pohon Sangsaka yang tiba-tiba berdaun, dengan ibunya berdiri di bawahnya, menatapnya dengan mata sedih. “Jangan datang lagi, Tarika,” bisik ibunya dalam mimpinya. “Ini membawaku pergi.”
Tarika terbangun dengan keringat dingin, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu ia tidak bisa menjauh dari pohon itu, meski ada peringatan dalam mimpinya. Ada sesuatu yang menunggunya di sana, dan ia harus menemukannya, apa pun risikonya.
Suara di Balik Kesunyian
Hari-hari berikutnya di Kalijaga terasa semakin berat. Hujan turun tanpa henti, mengubah jalan setapak menjadi lumpur, dan udara menjadi dingin menusuk tulang. Tarika Jelita semakin sering mengunjungi Pohon Sangsaka, kadang sendirian, kadang bersama Darma Wisnu. Mereka menghabiskan waktu mengamati pohon itu, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan di batangnya yang kering, atau membaca buku catatan ibunya untuk mencari petunjuk. Darma, dengan kecerdasannya, mulai mencatat pola cuaca dan suara aneh yang kadang terdengar di sekitar pohon, seperti bisikan samar yang hilang saat didengar lebih dekat.
Suatu pagi, ketika hujan akhirnya reda, Tarika dan Darma duduk di bawah pohon, membawa payung tua milik Mak Waris untuk melindungi diri dari tetesan air yang masih menetes dari dahan-dahan. Tarika membuka buku catatan ibunya lagi, kali ini menemukan halaman yang sebelumnya ia lewatkan—sebuah sketsa pohon Sangsaka dengan lingkaran aneh di sekitarnya, dan tulisan kecil di sudut: “Akarnya menyimpan janji.” Darma memandang sketsa itu dengan serius, lalu mengusulkan untuk menggali di sekitar akar pohon.
Dengan hati-hati, mereka mulai bekerja, menggunakan cangkul kecil yang dibawa Darma. Tanah di sekitar pohon terasa keras dan dingin, seolah menolak disentuh. Setelah beberapa jam, mereka menemukan sesuatu—sebuah kotak kayu kecil yang terkubur di antara akar-akar pohon. Kotak itu tua, dengan ukiran bunga yang sudah hampir hilang, dan ada gembok kecil yang berkarat di bagian depannya. Tarika memandang kotak itu dengan campuran takut dan harap, merasa ada koneksi dengan ibunya di dalam benda itu.
“Kita buka nggak?” tanya Darma, suaranya penuh keraguan.
Tarika mengangguk pelan, meski jantungnya berdegup kencang. Mereka mencoba membukanya dengan tangan, tapi gemboknya terlalu kuat. Darma mengeluarkan pisau kecil dari tasnya, mencoba memaksa gembok itu, dan akhirnya kotak terbuka dengan bunyi kresek pelan. Di dalamnya, mereka menemukan sebuah surat yang ditulis dengan tinta hitam yang sudah memudar, dan sebuah kalung sederhana dengan liontin berbentuk daun kering.
Surat itu berbunyi:
“Kepada anakku, Tarika,
Jika kau menemukan ini, berarti kau sudah dekat dengan kebenaran. Pohon Sangsaka menyimpan janji yang kubuat—janji untuk melindungi desa ini dari bencana. Tapi janji itu datang dengan harga. Aku harus pergi untuk menjaga keseimbangan. Jangan ikutiku, Tarika. Tinggalkan pohon ini.
Ibumu, Sari.”
Tarika membaca surat itu dengan air mata mengalir di pipinya. Ia merasa dunia di sekitarnya runtuh. Ibunya tidak hanya sakit, tapi mengorbankan dirinya untuk desa? Apa artinya ini? Darma memandangnya dengan simpati, tapi juga dengan rasa ingin tahu yang semakin besar.
“Kita cari tahu lebih dalam,” kata Darma, suaranya tegas. “Kalau ibumu ngorbanin diri, kita harus pastiin itu nggak sia-sia.”
Malam itu, Tarika tidak bisa tidur. Ia memegang liontin daun itu erat-erat, merasa ada energi aneh yang mengalir darinya. Dalam tidurnya, ia melihat ibunya lagi, kali ini berdiri di bawah pohon Sangsaka yang tiba-tiba berdaun hijau. “Tarika,” bisik ibunya, “akarnya menyimpan kebenaran. Tapi hati-hati, ia juga menyimpan kutukan.” Ketika ia terbangun, ia tahu ia harus kembali ke pohon itu, meski ada rasa takut yang semakin dalam di hatinya.
Keesokan harinya, Tarika dan Darma kembali ke pohon, membawa cangkul dan senter. Mereka menggali lebih dalam di sekitar akar, mengikuti petunjuk dari surat ibunya. Setelah beberapa jam, mereka menemukan sebuah lubang kecil di tanah, dan di dalamnya ada sebuah batu hitam dengan ukiran aneh. Batu itu terasa dingin menyentuh kulit, dan saat Tarika menyentuhnya, ia mendengar suara—suara ibunya yang memanggil namanya dari kejauhan.
Darma mencatat semua yang terjadi, tapi matanya menunjukkan ketakutan. “Ini nggak beres, Tarika. Kita harus hentikan ini sebelum terlambat.”
Tapi Tarika menggeleng. “Aku harus tahu kenapa ibuku pergi. Aku harus tahu apa yang disembunyiin pohon ini.”
Malam itu, Tarika bermimpi lagi. Dalam mimpinya, pohon Sangsaka berbicara kepadanya, suaranya dalam dan bergema. “Kau ingin kebenaran? Berikan hatimu.” Ketika ia terbangun, ia merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya—sebuah dorongan untuk melanjutkan, meski ia tahu itu bisa membawanya ke jurang yang sama seperti ibunya.
Akar yang Berbisik
Hari-hari di Kalijaga menjadi semakin suram sejak penemuan batu hitam di bawah Pohon Sangsaka. Langit sering tertutup awan kelabu, dan angin membawa suara-suara aneh yang terdengar seperti desahan pelan di tengah malam. Tarika Jelita merasa beban di dadanya semakin berat, seolah setiap langkah menuju pohon itu menariknya lebih dalam ke dalam misteri yang tak bisa ia hindari. Liontin daun kering yang ia temukan bersama surat ibunya kini selalu tergantung di lehernya, dingin menyentuh kulitnya, mengingatkannya pada janji dan kutukan yang tersimpan di akar pohon itu. Darma Wisnu, teman setianya, juga tampak terganggu, tapi ia tetap bersikeras membantu Tarika, meski ada ketakutan yang tersembunyi di matanya.
Pagi itu, Tarika bangun dengan perasaan aneh. Neneknya, Mak Waris, sedang duduk di beranda gubuk, menatap ke arah pohon Sangsaka yang tampak samar di kejauhan. Wajah neneknya penuh kerutan, dan matanya kosong, seolah kehilangan cahaya. “Tarika,” panggil neneknya dengan suara parau, “jangan dekat-dekat pohon itu lagi. Aku denger suara ibumu semalam, bilang kau dalam bahaya.”
Tarika terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin mempercayai neneknya, tapi suara ibunya dalam mimpinya terus memanggilnya, mendorongnya untuk mencari kebenaran. “Nek, aku harus tahu kenapa Ibu pergi,” katanya pelan, suaranya penuh ketegangan. “Aku nggak bisa ninggalin ini.”
Mak Waris menggeleng, air mata mengalir di pipinya yang keriput. “Aku tahu kau mirip ibumu—kepala batu. Tapi pohon itu… pohon itu ambil nyawanya. Jangan biarkan dia ambil kamu juga.”
Tarika tidak menjawab. Ia hanya memeluk neneknya sebentar, lalu mengambil tas kainnya yang berisi buku catatan ibunya, batu hitam, dan senter. Ia berjalan menuju pohon, pikirannya penuh dengan pertanyaan dan rasa bersalah. Di jalan, ia bertemu Darma, yang membawa cangkul dan buku catatannya. “Kita lanjutin, Tarika,” kata Darma, suaranya tegas tapi ada getar di dalamnya. “Tapi kita harus hati-hati.”
Di bawah pohon, mereka memulai kembali penggalian di sekitar akar, mengikuti petunjuk dari sketsa ibunya tentang “akar yang menyimpan janji.” Tanah di sekitar pohon terasa lebih dingin dari biasanya, dan setiap kali cangkul menyentuh akar, ada getaran kecil yang terasa di tangan mereka. Setelah beberapa jam, mereka menemukan lubang yang lebih dalam, dan di dalamnya ada sebuah peti kayu besar yang hampir hancur, ditutupi oleh akar-akar pohon yang melilit erat.
Dengan susah payah, mereka membukanya, dan di dalam peti, mereka menemukan sekumpulan surat, sebuah buku kecil, dan sebuah boneka kain sederhana yang tampak akrab bagi Tarika—boneka yang pernah dimilikinya saat kecil, yang hilang setelah ibunya meninggal. Tarika memegang boneka itu, air matanya jatuh tanpa suara. “Ini punya aku,” bisiknya, suaranya bergetar. “Ibu simpen ini di sini.”
Darma membuka buku kecil itu, dan di halaman pertamanya, ada tulisan tangan Sari: “Untuk Tarika, jika kau sampai di sini, ketahuilah bahwa aku mencintaimu. Pohon ini adalah penjaga janji yang kubuat untuk melindungi desa dari bencana. Tapi aku harus bayar dengan hidupku. Jangan ikutiku, tapi jika kau memilih, cari ‘Cahaya di Akar’—itu akan menunjukkan jalan.”
Tarika membaca kalimat itu berulang-ulang, merasa dunia di sekitarnya berputar. Ibunya benar-benar mengorbankan dirinya untuk desa, dan sekarang pohon itu tampaknya memintanya untuk melanjutkan. Darma memandangnya dengan cemas. “Cahaya di Akar? Apa itu, Tarika? Kita nggak boleh gegabah.”
Tapi Tarika sudah terlalu jauh. Ia menyentuh batu hitam lagi, dan kali ini suara ibunya terdengar lebih jelas, “Cahaya itu di dalammu, Tarika. Temukan.” Tiba-tiba, tanah di bawah pohon bergetar, dan dari celah-celah akar, muncul cahaya samar yang berwarna keemasan. Cahaya itu perlahan membentuk bayangan ibunya, berdiri di depan Tarika dengan senyum sedih.
“Tarika,” bisik bayangan itu, “aku harus pergi untuk menjaga keseimbangan. Tapi kau bisa memilih—tinggalkan ini, atau ambil tempatku. Pilih dengan hati.”
Tarika terduduk, menangis. Ia ingin ibunya kembali, tapi ia juga tahu bahwa mengambil tempat ibunya berarti mengorbankan dirinya sendiri. Darma memegang tangannya, mencoba menenangkannya. “Kita pikir dulu, Tarika. Jangan buru-buru.”
Malam itu, Tarika tidak bisa tidur. Ia memandang boneka kain itu, merasa ibunya masih ada di sisinya. Dalam mimpinya, ia melihat pohon Sangsaka berubah—daun-daunnya mulai tumbuh, tapi setiap daun itu meneteskan darah. Suara pohon berbisik lagi, “Pilih, Tarika. Pilih.”
Ketika ia terbangun, ia tahu ia harus membuat keputusan, tapi ia juga tahu bahwa pilihan itu akan mengubah hidupnya selamanya.
Janji di Bawah Cahaya
Hari berikutnya di Kalijaga terasa seperti hari terakhir dunia. Langit gelap, angin bertiup kencang, dan suara gemuruh jauh terdengar dari perbukitan. Tarika Jelita berdiri di depan Pohon Sangsaka, memegang boneka kain, batu hitam, dan buku ibunya. Darma Wisnu ada di sisinya, wajahnya pucat tapi penuh tekad. Mereka tahu bahwa hari ini adalah hari keputusan—hari di mana Tarika harus memilih antara meninggalkan misteri pohon itu atau mengambil tempat ibunya sebagai penjaga janji.
Tarika menatap pohon itu, batangnya yang kering tampak lebih hidup dari biasanya, seolah menanti jawabannya. Cahaya keemasan dari malam sebelumnya masih samar terlihat di antara akar-akarnya, dan suara ibunya kembali terdengar, lembut namun mendesak. “Pilih dengan hati, Tarika. Aku di sini untuk membimbingmu.”
Darma memandangnya dengan cemas. “Tarika, aku nggak mau kehilangan kamu seperti kamu kehilangan ibumu. Kita bisa cari cara lain.”
Tapi Tarika menggeleng. “Aku nggak bisa lari lagi, Darma. Kalau aku nggak lanjutin ini, desa ini bisa hancur. Ibu aku ngorbanin dirinya buat ini.”
Dengan tangan gemetar, Tarika menyentuh batu hitam lagi, dan cahaya keemasan itu membesar, membentuk lingkaran di sekitar pohon. Bayangan Sari muncul lagi, kali ini lebih jelas—wajahnya penuh kedamaian, tapi juga kesedihan. “Tarika,” katanya, “jika kau memilih ini, kau akan menjadi penjaga. Tapi kau harus lepaskan kenangan tentangku. Itu harga yang diminta pohon.”
Tarika terdiam. Kenangan tentang ibunya adalah segalanya baginya—aroma melati, lagu nina bobok, pelukan hangatnya. Tapi ia juga tahu bahwa desa Kalijaga bergantung padanya, dan ibunya telah membuktikan cinta dengan pengorbanannya. Dengan air mata mengalir, ia mengangguk. “Aku akan ambil tempatmu, Bu. Tapi tolong, kasih aku kekuatan.”
Bayangan Sari tersenyum, lalu perlahan memudar. Cahaya keemasan menyelimuti Tarika, dan ia merasa kenangan-kenangannya tentang ibunya mulai hilang—wajahnya, suaranya, sentuhannya. Ia menangis keras, merasa kosong, tapi juga penuh dengan kekuatan baru. Pohon Sangsaka mulai bergetar, dan untuk pertama kalinya, daun-daun kecil mulai tumbuh dari batangnya yang kering, meski daun itu cepat layu dan jatuh.
Darma memeluk Tarika, menangis bersama. “Kamu hebat, Tarika. Tapi aku janji bakal nemenin kamu.”
Tarika mengangguk, tapi matanya kosong. Ia tidak lagi ingat ibunya, tapi ia merasa ada kehadiran di dalam dirinya, membimbingnya. Cahaya keemasan akhirnya padam, dan pohon itu kembali diam, tapi kali ini ada aura damai di sekitarnya. Desa Kalijaga selamat dari bencana yang mengancam, dan warga mulai merasakan perubahan—hujan kembali turun dengan teratur, tanaman mulai subur lagi.
Keesokan harinya, Tarika dan Darma mengubur kembali peti kayu itu di bawah pohon, bersama batu hitam dan boneka kain. Tarika merasa beban di dadanya ringan, tapi juga berat karena kehilangan kenangan ibunya. Ia tahu ia sekarang adalah penjaga baru, dan tugasnya adalah melindungi desa dengan harga yang telah ia bayar.
Di hari-hari berikutnya, Tarika belajar hidup dengan kekosongan itu. Ia sering duduk di bawah pohon Sangsaka, merasakan kehadiran yang tak bisa ia ingat, tapi yang memberinya kekuatan. Darma menjadi pendamping setianya, membantu mencatat perubahan di desa dan menjaga rahasia pohon itu. Pohon Tak Berdaun kini berdiri dengan damai, menyimpan janji dan kutukan dalam diam, menunggu penjaga berikutnya.
Tarika tahu hidupnya tidak akan pernah sama, tapi ia juga tahu bahwa pengorbanannya memberi makna baru. Di malam yang tenang, ia sering mendengar bisikan samar dari pohon, seperti ucapan terima kasih dari ibunya yang tak lagi ia ingat. Dan dengan itu, ia belajar untuk menerima, meski hatinya tetap membawa luka yang tak pernah sembuh sepenuhnya.
Cerpen Pohon Tak Berdaun di Lembah Kesunyian adalah perjalanan emosional yang memadukan kesedihan, keberanian, dan makna pengorbanan, meninggalkan kesan mendalam bagi setiap pembaca. Dengan narasi yang kaya dan karakter yang hidup, kisah ini mengajarkan nilai cinta dan pengabdian yang tak tergantikan. Jangan lewatkan kesempatan untuk menyelami cerita ini dan rasakan sentuhan haru yang akan menggugah jiwa Anda!
Terima kasih telah menikmati ulasan tentang Pohon Tak Berdaun di Lembah Kesunyian. Semoga kisah ini membawa inspirasi dan kepekaan baru dalam hati Anda. Sampai jumpa di artikel menarik berikutnya, dan terus eksplorasi dunia cerita yang memikat!


