Pohon Lura: Kisah Fantasi Alam dan Harapan di Dunia yang Terlupakan

Posted on

Kadang, kita nggak sadar, alam itu kayak teman yang diam-diam selalu ada buat kita. Tapi, saat kita mulai sibuk dengan dunia kita, dia perlahan mulai terlupakan.

Cerita ini bakal ngajak kamu untuk ngelihat lebih dalam tentang pohon yang bukan cuma sekadar tempat buat berlindung, tapi juga punya kekuatan besar buat ngubah segalanya. Yuk, ikutin kisah seru tentang pohon Lura yang bawa harapan buat dunia yang udah lama banget lupa caranya berdamai dengan alam!

 

Pohon Lura

Bisikan di Hutan Terlarang

Langit senja sudah mulai merona oranye keemasan ketika aku pertama kali melangkah ke dalam hutan itu. Hutan yang sejak lama diceritakan oleh nenekku, tempat yang dianggap terlarang oleh sebagian besar orang. Hutan yang katanya, ada pohon purba yang bisa berbicara. Aku tidak pernah benar-benar percaya pada cerita-cerita seperti itu, tetapi ada sesuatu yang mendorongku untuk mencari tahu lebih banyak. Mungkin karena aku merasa ada yang hilang dalam hidupku, dan mungkin, di sinilah jawabannya.

“Jangan masuk ke hutan itu, Elara. Itu bukan tempat yang aman,” kata ibu tadi pagi sebelum aku pergi. Tapi aku tahu, dalam hatinya, ibu hanya khawatir. Semua orang selalu khawatir padaku. Aku bukan gadis yang penakut, meskipun aku bisa mengerti kenapa mereka mengkhawatirkanku.

Langkah kaki di bawah pohon-pohon yang menjulang tinggi itu terasa seolah-olah membawa aku semakin jauh dari dunia biasa. Suasana hutan itu begitu hening, hanya terdengar suara angin yang berdesir pelan di antara dedaunan. Mungkin karena hutan ini masih sangat alami, dan jauh dari keramaian kota. Aku menyentuh kulit pohon yang kasar, seolah mencari jawaban dari tiap helai daun yang berbisik di udara.

Namun, seiring aku melangkah lebih dalam, ada perasaan aneh yang menghinggapi hatiku. Bukan rasa takut, tetapi rasa yang sulit dijelaskan. Seperti ada sesuatu yang memanggil, sesuatu yang ingin aku dengar.

Aku terus berjalan, menuruni bukit kecil, melewati semak-semak yang hampir menutup jalanku, hingga akhirnya aku tiba di sebuah clearing—sebuah padang terbuka di tengah hutan. Di sana, pohon itu berdiri dengan anggun, seperti raksasa yang sudah berusia ribuan tahun. Pohon itu begitu besar, dengan akar yang menganga di tanah, seolah-olah ingin merangkul seluruh dunia. Dedaunannya bergoyang lembut meski tidak ada angin. Aku berdiri terpaku, merasa seperti terkunci dalam pandangan pohon itu.

Saat itu, aku mendengar sesuatu. Bisikan lembut, seolah berasal dari dalam tanah.

“Elara…” Suara itu mengalir ke dalam telingaku, sangat halus, namun jelas. Aku menoleh, mencari sumber suara itu. Pohon besar di hadapanku tampak hidup, seperti ada yang berbicara dari dalam batangnya yang kekar.

“Hah? Siapa itu?” aku bergumam, sedikit terkejut, tapi tidak merasa takut.

“Elara,” suara itu terdengar lagi, lebih jelas kali ini. “Aku adalah Lura.”

Pohon besar itu, yang selama ini terlihat biasa saja, kini terasa begitu berbeda. Seolah-olah pohon ini bukan sekadar pohon, melainkan sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih bijaksana dari yang bisa aku bayangkan.

“Apa… Apa yang kamu katakan?” Aku merasa bingung dan bertanya-tanya apakah aku sedang bermimpi. Tapi suara itu begitu nyata, begitu mengalir, dan aku bisa merasakannya, meskipun aku tahu tidak ada orang lain di sekitar.

“Aku adalah Lura, pohon penjaga hutan ini,” suara itu terdengar tenang, penuh kekuatan. “Aku sudah lama menunggu seseorang yang bisa mendengar suara alam, yang bisa mengerti bahasa ini.”

Aku mundur satu langkah, mencoba memproses apa yang baru saja aku dengar. “Tunggu, kamu… kamu bicara padaku?” Suaraku bergetar, aku mulai merasa gila, tapi hatiku entah kenapa merasa yakin ini nyata.

“Ya, aku bicara padamu,” jawab Lura dengan lembut. “Kau adalah orang yang bisa mendengarku. Kau yang telah dipilih.”

Aku duduk di tanah, merasa bingung dan terpesona. Pohon ini, yang tampak biasa di luar, ternyata memiliki suara, punya cerita. Tapi mengapa aku? Kenapa aku yang dipilih?

“Kenapa aku?” aku bertanya, suara agak patah. “Aku hanya gadis biasa, siapa aku bisa membantu?”

“Tidak ada yang biasa dalam dirimu, Elara,” suara Lura mengalun dalam, menenangkan. “Setiap makhluk hidup memiliki kekuatan yang tersembunyi. Kau telah lama mencari sesuatu yang hilang dalam hidupmu. Aku tahu itu. Alam memerlukan bantuanmu, dan kau adalah penghubung yang bisa mengembalikan kedamaian.”

Aku terdiam. Rasa ingin tahu yang selama ini membakar dalam diriku kini berganti dengan kebingungan dan ketakutan. “Apa maksudmu kedamaian? Apa yang terjadi dengan alam?”

“Ada yang salah dengan dunia ini,” Lura menjelaskan, suara pohon itu kini terdengar lebih serius. “Manusia mulai melupakan hubungan mereka dengan alam. Mereka menebangi pohon-pohon, merusak tanah, mencemari sungai, dan mulai kehilangan rasa hormat terhadap kehidupan yang ada. Alam, yang dulu hidup dalam harmoni, kini terancam.”

Aku merasa hati ini mulai terisi oleh sebuah perasaan berat. “Lalu, apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya seorang gadis dari desa kecil…”

“Kau bisa menjadi pembawa perubahan, Elara,” suara Lura penuh harapan. “Kau memiliki kekuatan untuk mendengar dan merasakan alam lebih dari yang lainnya. Aku memberimu kemampuan ini untuk menjadi jembatan antara dunia manusia dan dunia alam. Keseimbangan harus dipulihkan.”

Aku terdiam, masih mencerna kata-kata itu. Kehidupan yang aku kenal tiba-tiba terasa begitu berbeda. Semua yang biasa aku anggap sepele—seperti angin yang berhembus, suara burung, atau debu yang terbang di udara—sekarang terasa sangat penting. Aku tahu ini bukan hanya soal aku lagi. Ini soal masa depan dunia, tentang bagaimana manusia harus kembali hidup berdampingan dengan alam.

“Lalu apa yang harus aku lakukan?” aku bertanya, suara penuh tekad meskipun masih ada rasa ragu yang menyelimuti diriku.

“Langkah pertama adalah mengenali dunia ini seperti yang aku kenal. Kau harus mendengarkan dengan hati, tidak hanya dengan telinga,” jawab Lura dengan penuh keyakinan. “Kembalilah ke dunia manusia, ajarkan mereka untuk mendengarkan, dan bantu alam untuk sembuh.”

Aku mengangguk pelan, meski aku tahu tantangannya tidak akan mudah. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa ada tujuan yang jelas. Sesuatu yang jauh lebih besar dari aku.

Pohon besar di hadapanku ini—Lura—telah membuka mataku terhadap dunia yang lebih besar, dunia yang sudah lama terlupakan oleh manusia. Kini, saatnya aku bertindak. Dunia ini, baik alam maupun manusia, membutuhkan jembatan yang akan menghubungkannya kembali.

Aku berdiri, siap untuk melangkah. Tapi sebelum aku pergi, aku menoleh sekali lagi ke arah pohon yang bijaksana ini.

“Terima kasih,” kataku pelan, dan pohon itu menjawab dengan bisikan lembut yang hanya bisa aku dengar.

“Ini baru permulaan, Elara.”

Dengan langkah mantap, aku mulai melangkah keluar dari clearing itu, membawa beban yang sangat berat namun juga penuh harapan di dalam hatiku. Petualangan ini baru saja dimulai.

 

Penjaga Alam yang Terlupakan

Setelah pertemuanku dengan Pohon Lura, hidupku berubah seketika. Aku pulang ke desa dengan hati yang penuh tanya dan kegelisahan, tetapi juga dengan sebuah harapan baru yang terus membara. Rasanya seperti ada beban berat yang menempel di pundakku, namun di sisi lain, ada kekuatan yang mendorongku untuk terus maju. Sejak hari itu, aku tak bisa lagi mengabaikan suara alam. Setiap langkah yang aku ambil terasa berbeda, seolah-olah alam dan aku berbicara dalam bahasa yang hanya kami berdua mengerti.

Aku mencoba berbicara tentang semua yang terjadi pada orang-orang di sekitarku, tetapi mereka hanya menggelengkan kepala, meremehkan. Mereka terlalu sibuk dengan kehidupan mereka sendiri, tidak pernah benar-benar mendengarkan alam yang selalu ada di sekitar mereka. Itu yang membuatku merasa semakin terasing. Mereka tidak tahu betapa pentingnya peran setiap elemen alam dalam menjaga keseimbangan hidup. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu, tetapi aku juga merasa takut.

Beberapa hari setelah itu, aku kembali ke hutan. Kali ini, aku tahu persis tujuanku. Aku tidak lagi datang untuk mencari tahu apakah semuanya itu nyata, tetapi untuk memahami lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingin tahu lebih banyak tentang Lura, dan apa yang harus kulakukan untuk mewujudkan misinya.

Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang sempit, di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Hutan ini terasa lebih hidup dari sebelumnya, seperti ada sesuatu yang mengamati setiap langkahku. Seperti ada mata yang memandangku dari kegelapan. Aku bisa merasakan kehadiran Pohon Lura sebelum aku bahkan sampai di dekatnya.

“Aku tahu kamu akan datang lagi,” suara Lura mengalun lembut, meski aku belum sampai di clearing tempat kami bertemu sebelumnya.

Aku menghentikan langkahku, menatap pohon besar itu dari kejauhan. “Kamu tahu?” tanyaku, merasa terkejut. “Tapi… bagaimana kamu tahu?”

“Aku tahu karena aku bisa merasakan perasaanmu, Elara. Kamu membawa kekuatan yang luar biasa, meskipun kamu belum sepenuhnya mengerti itu,” jawab Lura, suara pohon itu mengalir lembut dan menenangkan. “Kekuatan itu ada dalam dirimu, tapi untuk menggunakannya, kamu harus mengenal dirimu lebih dalam. Kamu harus belajar untuk mendengarkan.”

Aku melangkah lebih dekat, memandangi pohon itu dengan takjub. “Aku… Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Semua ini sangat baru, dan aku merasa seperti sedang berjalan di jalan yang gelap.”

“Tidak ada yang mudah dalam hidup ini, Elara,” suara Lura kini terdengar seperti sebuah bisikan yang dalam dan bijaksana. “Tugasmu bukan untuk menyelamatkan dunia dalam satu langkah. Tugasmu adalah mengembalikan kesadaran. Menyadarkan manusia tentang pentingnya menjaga alam, tentang pentingnya hubungan antara mereka dan dunia di sekitar mereka.”

Aku menunduk, mencoba memproses kata-kata Lura. Semua terasa begitu besar dan rumit, tetapi aku tahu ini bukan tentang memilih jalan yang mudah. Ini tentang memilih jalan yang benar, jalan yang kadang tidak dipahami orang lain.

“Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyaku, suaraku penuh kebingungan.

“Sekarang, kamu harus menguji kekuatanmu. Kamu harus bisa merasakan alam dalam cara yang berbeda,” jawab Lura. “Pergilah ke sungai di sebelah barat hutan. Di sana, kamu akan menemukan sesuatu yang bisa membantumu memahami lebih banyak tentang kekuatan yang ada dalam dirimu.”

Aku mengangguk pelan. Meskipun ada rasa ragu yang masih menghantui, aku tahu ini adalah langkah yang harus kuambil. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian, mengabaikan apa yang sudah aku dengar dan rasakan. Alam memanggilku, dan aku harus merespon.

Sungai itu tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri. Aku melangkah cepat, berusaha untuk tidak terlalu larut dalam kebingunganku. Ketika aku tiba di tepi sungai, aku terhenti sejenak. Airnya begitu jernih, memantulkan cahaya matahari yang mulai memudar. Suara aliran air itu menenangkan, membuat hatiku sedikit lebih tenang.

Aku duduk di tepi sungai, menatap aliran air yang bergerak perlahan. Aku memejamkan mata, berusaha fokus pada suara itu, berusaha mendengar apa yang tidak bisa dilihat oleh mata biasa. Perlahan, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada getaran halus yang mengalir melalui tubuhku, masuk ke dalam diriku. Aku membuka mataku dan menatap air sungai. Dalam pantulannya, aku melihat sesuatu yang berbeda.

“Apa ini?” aku bergumam pelan. Di dalam permukaan air, ada gambaran samar—gambaran tentang sebuah desa yang sedang dilanda kekeringan, tanah yang retak, dan pohon-pohon yang mulai layu. Aku terkejut. Apa yang kulihat itu—apakah itu ramalan atau kenyataan yang akan datang?

“Apa yang kamu lihat itu adalah gambaran tentang dunia jika tidak ada perubahan,” suara Lura terdengar jelas di telingaku. “Itulah akibat dari kelalaian manusia. Alam akan mulai merana jika mereka terus-menerus mengabaikan keseimbangan.”

Aku menelan ludah, merasa ngeri dengan gambaran yang baru saja aku lihat. Ini nyata. Semua yang ada di dalam gambaran itu—itu bisa terjadi jika manusia tidak mulai mendengarkan alam.

“Apa yang harus aku lakukan?” aku bertanya lagi, kali ini suara penuh keteguhan.

“Kamu harus berbicara kepada mereka, Elara. Tapi bukan hanya dengan kata-kata. Kamu harus menunjukkan kepada mereka betapa pentingnya hubungan ini—betapa pentingnya menjaga alam untuk menjaga diri mereka sendiri.”

Aku menatap sungai dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tahu jalan yang harus kutempuh takkan mudah. Tapi aku tidak bisa mundur. Tidak sekarang. Dunia membutuhkan perubahan, dan aku adalah salah satu yang bisa memulainya.

 

Menyapa Dunia, Menantang Takdir

Aku kembali ke desa dengan hati yang lebih berat, membawa gambaran dari sungai dan kata-kata Lura yang terus bergaung di pikiranku. Setiap langkah terasa lebih tegap, lebih berarti. Aku tahu aku tak bisa lagi menutup mata terhadap kenyataan yang baru saja kuhadapi. Dunia ini, alam ini, semuanya saling terhubung dalam keseimbangan yang rapuh. Jika satu elemen terabaikan, semuanya bisa hancur.

Aku berdiri di depan rumahku, menatap ke luar jendela dengan perasaan cemas. Sepertinya semuanya normal, orang-orang masih sibuk dengan hidup mereka, tidak ada yang terlihat berbeda. Tapi aku tahu, di balik ketenangan itu, ada ancaman besar yang sedang mengintai, tak hanya untuk alam, tapi juga untuk manusia.

Hari itu aku memutuskan untuk berbicara kepada mereka, kepada orang-orang di desa, meskipun aku tahu aku harus bersiap menghadapi penolakan, atau bahkan lebih buruk, penghinaan. Tidak mudah untuk membuka mata orang tentang hal yang tak pernah mereka perhatikan, apalagi jika mereka sudah terlanjur tenggelam dalam rutinitas dan keinginan mereka sendiri.

“Apakah kamu yakin ini langkah yang tepat?” suara Lura terdengar lembut, namun dalam. Aku mengangguk pada diri sendiri. “Ya, aku harus. Aku tidak bisa terus melihat semuanya berjalan begitu saja. Aku harus mencoba, setidaknya.”

Aku berjalan menuju pusat desa, tempat para penduduk berkumpul setelah seharian bekerja. Mereka tampak sibuk berbicara dan tertawa, tidak ada yang memperhatikan kehadiranku. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan kegelisahanku, dan mulai berbicara.

“Ada sesuatu yang ingin kutinggalkan untuk kalian semua,” suaraku terdengar sedikit ragu, tapi aku tahu aku harus melanjutkan. “Kita telah begitu lama mengabaikan alam, padahal kita bergantung padanya. Tanpa alam, kita bukan siapa-siapa. Kita bukan lagi manusia.”

Beberapa orang berhenti berbicara, menoleh ke arahku dengan tatapan bingung, sebagian besar tertawa kecil. “Elara, apa yang kamu bicarakan ini? Alam memang penting, tapi tidak sampai begini kan?” salah satu tetua desa, Pak Darwi, berkata sambil tersenyum. Dia memang orang baik, tapi juga sangat konservatif dalam pemikirannya.

Aku mengeraskan hati, menatap mereka semua. “Pak Darwi, kamu tak tahu betapa rapuhnya keseimbangan itu. Kalian mungkin tak melihatnya, tapi aku sudah melihatnya dengan jelas. Aku telah mendengarnya dari alam itu sendiri. Pohon-pohon, sungai-sungai, semuanya sedang menderita.”

“Jadi apa yang kamu ingin kami lakukan, Elara?” tanya seorang wanita muda, Marta, yang selalu terlihat cerdas dan penuh rasa ingin tahu. “Apa yang kamu usulkan?”

“Aku ingin kalian mulai mendengarkan alam. Perhatikan perubahan-perubahan kecil yang terjadi di sekitar kita. Aku tahu kita sudah terlalu lama hidup dalam kenyamanan, tetapi jika kita terus mengabaikan apa yang ada di sekitar kita, alam akan mulai membalas,” jawabku dengan tegas.

Ada hening sejenak, kemudian beberapa orang mulai saling berbisik, terlihat tak yakin. Tetapi ada juga beberapa wajah yang mulai serius, mulai mempertimbangkan apa yang aku katakan. Tentu saja, masih ada yang meragukan, tapi aku tahu, sedikit demi sedikit, mereka mulai merasakan kekhawatiran yang sama.

“Lalu apa yang harus kita lakukan, Elara?” Pak Darwi bertanya lagi, kali ini suaranya lebih rendah, lebih penuh perhatian.

“Mulailah dengan langkah kecil. Mengurangi sampah yang kita hasilkan, tidak menebang pohon sembarangan, menjaga sungai dari pencemaran, dan mulai hidup dengan lebih bijak. Semua itu dimulai dengan kita. Kita bisa melindungi alam dengan menjaga hubungan kita dengannya.”

Seperti yang kuduga, tidak semua orang menerima apa yang aku katakan dengan lapang dada. Namun, ada beberapa wajah yang tampak berubah. Marta mengangguk pelan, dan Pak Darwi tampak merenung.

Namun, sebelum aku bisa melanjutkan pembicaraanku, tiba-tiba angin kencang berhembus dari arah hutan. Seperti ada kekuatan alam yang sedang merespons. Semuanya terdiam, memandang ke arah pohon-pohon besar yang ada di luar desa, yang bergoyang-goyang dalam tiupan angin. Aku merasakan sesuatu yang berbeda. Angin itu bukan angin biasa, ada kekuatan yang tak terlihat di baliknya.

“Ada apa dengan angin ini?” tanya Marta, terlihat cemas.

Itulah saatnya. Aku tahu saat itu aku harus menunjukkan kepada mereka bahwa apa yang aku katakan bukanlah omong kosong. Alam tidak hanya akan diam. Alam akan bereaksi jika terus-menerus dilupakan.

“Kita harus pergi ke hutan,” kataku tegas. “Ini bukan kebetulan. Ada sesuatu yang sedang terjadi.”

Tanpa menunggu persetujuan, aku berbalik dan berjalan menuju hutan. Pak Darwi, Marta, dan beberapa orang yang sudah mulai percaya mengikutiku dengan langkah cepat. Sesampainya di tepi hutan, kami disambut oleh pemandangan yang luar biasa—pohon-pohon yang tampaknya bergetar, dan tanah yang seakan berdesir dengan energi yang kuat. Sepertinya alam sedang memanggil kami, memberitahu kami bahwa perubahan memang sudah di ambang pintu.

“Apa yang terjadi, Elara?” Pak Darwi bertanya dengan cemas.

Aku berdiri di depan Pohon Lura, yang terlihat lebih besar dari sebelumnya, lebih agung. “Ini waktunya,” aku berbisik, mataku terfokus pada pohon itu, “Alam sudah siap untuk berbicara.”

Pohon Lura kemudian mengeluarkan suara, bukan suara biasa, melainkan suara yang dalam, yang bisa dirasakan dengan setiap getaran di tubuhku. “Kalian telah mendengarnya. Sekarang kalian harus bertindak. Keseimbangan sudah rapuh, dan jika tidak ada perubahan, semuanya akan hancur.”

Semua orang di sekitarku terdiam, terperangah. Mereka mulai menyadari bahwa apa yang kulakukan bukanlah sebuah khayalan, tapi panggilan dari alam yang sudah lama terlupakan.

 

Menyatu dengan Alam, Menemukan Takdir

Angin berhembus kencang, membelai wajahku dengan rasa dingin yang tak biasa. Pohon Lura, yang berdiri kokoh di hadapan kami, bergetar. Bukan karena angin, tapi karena sebuah kekuatan yang lebih dalam, lebih tua. Sesuatu yang bahkan aku, yang sudah lama berhubungan dengan alam, belum sepenuhnya pahami. Sekarang aku tahu, ini bukan hanya soal menyelamatkan pohon atau sungai. Ini soal menjaga seluruh tatanan dunia yang terhubung.

“Apakah kalian siap?” Suara Pohon Lura menggema, bukan di telinga kami, melainkan di dalam hati masing-masing. Suara itu bukan hanya untukku, tetapi untuk semua orang yang berdiri di sana, mendengarkan dengan hati yang terbuka.

Pak Darwi memandangku, ragu. “Elara… kita hanya orang biasa. Apa yang bisa kita lakukan?”

Aku mengangguk, menatap matanya. “Kita adalah bagian dari alam ini, Pak. Apa yang terjadi padanya, juga akan terjadi pada kita. Jadi, kalau kita ingin terus hidup, kita harus bertindak.”

Marta, yang sejak awal mulai mempercayai kata-kataku, melangkah maju, berdiri di sampingku. “Kita harus bersama-sama, kan? Alam ini milik kita semua. Jika kita tak peduli sekarang, mungkin kita tak akan pernah punya kesempatan lagi.”

Pak Darwi akhirnya menghela napas, mengangguk pelan. “Baiklah, kita akan membantu. Tapi apa yang harus kita lakukan?”

Pohon Lura perlahan menggerakkan cabangnya, seolah-olah memberikan petunjuk. Suara lembutnya terdengar kembali. “Kalian harus menyebarkan benih, bukan hanya benih tanaman, tetapi benih pengetahuan. Kembalikan keseimbangan di seluruh dunia. Tugas kalian bukan hanya di desa ini, tetapi jauh lebih besar.”

Aku menatap pohon itu, memahami maksudnya. Benih-benih pengetahuan, itulah yang kami butuhkan. Untuk menyelamatkan alam, kami harus memberi tahu dunia bahwa hubungan manusia dengan alam harus dipulihkan. Tidak ada lagi tempat untuk pengabaian, untuk keserakahan. Semua harus kembali pada keharmonisan.

“Kami akan memulai dari sini,” kataku dengan suara tegas, meskipun hati berdebar. “Kami akan mengajari semua orang di desa ini untuk hidup berdampingan dengan alam, bukan melawan alam. Kita akan menanam benih-benih pengetahuan itu di hati mereka.”

Pohon Lura tampaknya setuju. Cabangnya melambai lembut seolah memberi restu. “Kalian harus terus bergerak. Mungkin ada yang akan menolak, tapi kalian harus tetap kuat. Hanya dengan menyebarkan cahaya ini ke banyak tempat, dunia akan tahu apa yang harus dilakukan.”

Pak Darwi mengangkat kepalanya, dan kini ada semangat baru di dalam matanya. “Jika itu yang perlu dilakukan, maka kami akan ikut.”

Marta juga mengangguk, dan beberapa penduduk lainnya yang mendengarkan kami mulai menyuarakan dukungan mereka. Tentu saja, tidak semua orang akan berubah dalam sekejap, dan mungkin perjalanan kami akan penuh rintangan. Tetapi aku tahu, tak ada jalan yang mudah untuk melindungi dunia ini.

Di malam hari, kami berkumpul di sekitar Pohon Lura. Dengan tangan yang gemetar, aku menanam benih pertama. Benih yang bukan hanya akan tumbuh menjadi pohon baru, tetapi juga akan menumbuhkan pemahaman di hati setiap orang yang menanamnya. Kami semua bergabung, menanam benih-benih tersebut, sambil berdoa agar dunia kembali menemukan keseimbangannya.

Aku menatap langit yang penuh dengan bintang, merasa ada sesuatu yang berubah. Ada kedamaian yang baru, ada harapan yang tumbuh. Tak ada yang tahu bagaimana perjalanan ini akan berakhir, tapi aku yakin satu hal—kami, manusia, memiliki kekuatan untuk berubah, untuk memperbaiki, dan untuk menjaga alam. Kami hanya perlu ingat bahwa kami tak sendirian. Kami adalah bagian dari dunia ini, dan dunia ini adalah bagian dari kami.

Keesokan harinya, kami pergi ke desa-desa sekitar. Setiap langkah kami membawa misi yang lebih besar, membawa semangat yang lebih kuat. Tak ada kata yang lebih indah daripada mendengar orang-orang mulai mengerti apa yang telah kami pelajari. Perlahan, mereka mulai membuka mata mereka, satu per satu, untuk melihat apa yang telah kami lihat.

Beberapa tahun berlalu. Desa kami kini berbeda. Kami hidup berdampingan dengan alam, menjaga sungai-sungai, merawat pohon-pohon, dan tidak lagi mengabaikan keseimbangan yang rapuh ini. Kami tidak bisa mengubah dunia dalam semalam, tapi kami bisa memberikan contoh. Pohon-pohon yang dulu mulai punah kini kembali tumbuh subur. Sungai yang dulu tercemar kini kembali mengalir jernih.

Dan di setiap desa yang kami kunjungi, aku tahu benih-benih itu terus tumbuh, berkembang. Setiap pohon yang kami tanam adalah harapan, setiap langkah yang kami ambil adalah perlawanan terhadap kebodohan dan keserakahan.

Aku tahu kami tak akan pernah benar-benar selesai. Alam selalu membutuhkan penjaga, dan kami akan terus menjadi penjaga itu. Dengan tangan kami yang penuh dengan tanah dan hati kami yang penuh dengan harapan, kami menyebarkan cahaya. Cahaya yang akan membimbing dunia kembali pada keseimbangan, kembali pada rumahnya yang sejati.

 

Dan begitulah, cerita tentang pohon Lura yang nggak cuma sekadar tumbuh di tanah, tapi juga tumbuh di hati kita. Kadang, kita lupa kalau alam itu bukan cuma tempat tinggal, tapi juga sahabat yang selalu ada buat kita, kalau kita mau peduli.

Semoga, setelah baca cerita ini, kita bisa lebih peka dan ingat lagi, betapa pentingnya menjaga bumi yang udah jadi rumah kita. Jadi, gimana? Udah siap jadi bagian dari perubahan, nggak cuma buat diri sendiri, tapi juga buat dunia?

Leave a Reply