Daftar Isi
Masuki dunia emosi yang mendalam dalam Pohon Apel Terkutuk: Misteri Sedih Pria yang Kehilangan Segalanya, sebuah cerpen yang mengisahkan perjalanan Eryndor Thalvir, seorang duda di desa Zorveth, yang berjuang melawan kutukan pohon apel untuk membebaskan jiwa istrinya, Selvira. Dengan narasi penuh kesedihan, detail menakjubkan, dan pesan cinta yang mengharukan, cerpen ini menarik bagi pembaca yang mencari kisah inspiratif dengan sentuhan misteri dan perasaan!
Pohon Apel Terkutuk
Akar yang Berbisik
Di tahun 2024, di sebuah desa terpencil bernama Zorveth yang tersembunyi di balik pegunungan kapur di wilayah timur, hiduplah seorang pria bernama Eryndor Thalvir. Eryndor adalah seorang duda berusia 34 tahun dengan rambut hitam yang mulai menipis di ubun-ubun, matanya abu-abu yang selalu tampak kosong, dan janggut pendek yang jarang dirawat, mencerminkan kehidupan yang penuh luka sejak kematian istrinya, Selvira, dua tahun lalu akibat penyakit yang tak bisa disembuhkan. Ia tinggal sendirian di sebuah gubuk kayu tua di tepi hutan, di mana udara selalu dipenuhi aroma apel liar yang manis namun membawa kesan melankolis.
Di belakang gubuk itu berdiri sebuah pohon apel tua yang menjadi pusat kehidupan Eryndor. Pohon itu tinggi dan melengkung, dengan cabang-cabang yang tampak seperti tangan tua yang merangkul, dan buah-buah apelnya berwarna merah tua yang hampir hitam, memberikan kesan aneh di antara dedaunan hijau. Eryndor sering duduk di bawah pohon itu, memandangi foto Selvira yang ia simpan di dompet kulit usang, mengingat hari-hari bahagia mereka sebelum tragedi itu. Bagi Eryndor, pohon apel itu adalah saksi bisu kehilangan dan harapan yang kini memudar, sebuah tempat di mana ia merasa dekat dengan kenangan istrinya.
Pagi itu, pada hari Senin yang berkabut, Eryndor bangun dengan perasaan berat di dadanya. Ia merasa mimpi buruk lagi—Selvira berdiri di bawah pohon apel, memanggil namanya dengan suara yang samar, sebelum lenyap dalam kabut hitam. Ia berjalan ke dapur, menyeduh teh dari daun liar yang ia kumpulkan, tapi tangannya gemetar saat ia menuang air panas. Di luar jendela, ia melihat pohon apel tampak berbeda—daun-daunnya bergetar meski tidak ada angin, dan buah-buahnya tampak lebih gelap, seolah menyimpan sesuatu.
Saat ia keluar untuk mengambil kayu bakar, Eryndor merasa ada yang mengawasinya. Ia menoleh ke arah pohon apel dan terpana melihat bayangan samar Selvira di antara cabang-cabangnya, mengenakan gaun putih yang ia pakai saat pernikahan mereka. “Eryndor…” bisik suara itu, lembut namun menusuk, sebelum bayangan itu menghilang, meninggalkan suara derit kayu yang aneh. Jantungnya berdegup kencang, dan ia jatuh berlutut, air mata mengalir di wajahnya. “Selvira, apakah itu kau?” gumamnya, tapi hanya angin yang menjawab.
Malam itu, Eryndor tidak bisa tidur. Ia duduk di bawah pohon apel dengan foto Selvira di tangannya, mencoba mengingat setiap detail wajahnya—senyumnya yang hangat, tawa yang dulu mengisi gubuk, dan janji mereka untuk menua bersama. Tiba-tiba, sebuah apel jatuh tepat di depannya, membukakan lubang kecil di tanah yang mengeluarkan cahaya kehijauan samar. Dengan tangan gemetar, ia menggali, menemukan sebuah kotak besi tua yang berkarat, diukir dengan simbol apel yang sama seperti tato di pergelangan tangan Selvira.
Ia membawa kotak itu ke dalam, membukanya dengan obeng tua, dan menemukan sebuah buku kulit berdebu, sebuah kalung perak dengan liontin berbentuk apel, dan surat yang ditulis tangan Selvira. Surat itu berbunyi: “Eryndor, jika kau menemukan ini, pohon apel akan menuntunmu. Aku menyimpan rahasia di sana, sesuatu yang harus kau lanjutkan untukku. Jangan menyerah. Aku mencintaimu selamanya.” Air mata Eryndor jatuh ke kertas, menghapus tinta di beberapa kata, dan ia merasa campur aduk—haru, sedih, dan takut.
Hari-hari berikutnya, Eryndor mulai memperhatikan pohon itu lebih dekat. Ia menemukan tanda-tanda aneh—akar-akar yang bergerak pelan di malam hari, suara bisikan di antara daun, dan apel-apel yang kadang muncul dengan goresan aneh, seperti huruf atau tanda. Ia mencatat semuanya di buku catatan yang ia temukan di gubuk, merasa ada misi yang diberikan Selvira. Tapi desa mulai berbisik tentang pria itu—beberapa menyebutnya gila karena berbicara sendiri di bawah pohon, sementara yang lain menganggapnya kesurupan karena kehilangan istrinya.
Suatu hari, saat Eryndor duduk di bawah pohon, sebuah apel jatuh lagi, kali ini dengan tanda “Buka” yang terukir jelas. Ia menggali lebih dalam, menemukan sebuah ruangan kecil di bawah akar, tersembunyi oleh tanah dan rumput liar. Di dalamnya, ada sebuah buku tua dengan judul “Warisan Pohon Apel”, ditulis dengan tinta hitam yang memudar. Buku itu menceritakan bahwa pohon apel adalah penjaga roh keluarga Thalvir, yang konon memiliki kekuatan untuk menyimpan jiwa orang yang dicintai, tapi juga mengikatnya dalam kutukan jika tidak dilepaskan dengan benar.
Eryndor membaca buku itu dengan hati-hati, menemukan petunjuk bahwa pohon itu bisa dipanggil dengan darah keluarga untuk mengungkap rahasia terbesar. Ia memotong jarinya dengan pisau lipat tua, meneteskan darah ke akar, dan tiba-tiba, pohon itu bergetar, daunnya bergoyang kencang, dan suara Selvira terdengar jelas, “Eryndor, selamatkan aku dari kegelapan.” Ia terjatuh, pingsan karena kelelahan dan emosi, tapi di dalam mimpinya, ia melihat Selvira terperangkap dalam bayang hitam, memohon pertolongan dengan mata penuh air mata.
Saat ia bangun, tetangga, Pak Jorveth, menemukannya di bawah pohon, panik. “Eryndor, apa yang kau lakukan? Kau terlihat seperti mayat hidup!” katanya, membantu mengangkatnya. Eryndor menggeleng, menyimpan rahasia itu di hatinya, tapi ia tahu pohon apel menyimpan lebih dari sekadar kenangan—ia adalah kunci untuk menyelamatkan Selvira, dan ia harus menemukan caranya, meski itu berarti menghadapi ketakutan terdalamnya dan kemungkinan kehilangan dirinya sendiri.
Panggilan dari Bayang
Hari-hari di Zorveth menjadi semakin kelam bagi Eryndor Thalvir setelah ia mendengar suara Selvira di bawah pohon apel tua itu. Tanggal 18 September 2024, udara desa terasa dingin meski musim gugur baru saja dimulai, dan langit sering tertutup awan tebal yang tampak seperti cermin dari kegelapan di hati Eryndor. Ia bangun dengan tubuh lemah, matanya abu-abu itu kini dipenuh oleh bayang ketakutan, dan janggutnya semakin acak-acakan karena ia lupa merawat diri. Ibunya, yang sudah meninggal sejak lama, pernah memperingatkan tentang pohon itu, tapi ia mengabaikannya—kini ia menyesal.
Pagi itu, Eryndor duduk di ambang pintu gubuk, memandangi pohon apel yang tampak lebih hidup—daun-daunnya bergetar meski tidak ada angin, dan buah-buahnya tampak menyala samar di bawah cahaya matahari redup. Ia membawa Warisan Pohon Apel dan kalung perak yang ia temukan, membaca kembali petunjuk yang ia temukan: “Darah membuka pintu, tapi hati yang patah dapat membebaskan atau mengikat. Waspadalah terhadap bayang yang menipu.” Kata-kata itu membuatnya merinding, tapi juga membakar rasa cintanya pada Selvira. Ia memutuskan untuk kembali ke ruangan kecil di bawah akar, kali ini dengan persiapan lebih matang—lampu minyak, tali, dan sebotol arak untuk menenangkan dirinya.
Pak Jorveth, tetangga yang baik hati, mendekat dengan wajah penuh kekhawatiran. “Eryndor, kau terlihat buruk. Apa yang kau lakukan di bawah pohon itu?” tanyanya, suaranya tegas tapi penuh perhatian. Eryndor menatapnya, merasa bersalah karena menyimpan rahasia, tapi ia tidak bisa memberitahu—takut Jorveth melarangnya atau, lebih buruk lagi, ikut terlibat dalam bahaya yang ia rasakan. “Aku hanya ingin mengingat Selvira, Pak. Aku baik-baik saja,” jawabnya, memaksakan senyum. Jorveth menghela napas, tapi membiarkannya pergi, mengingatkannya untuk tidak terlalu lama.
Di bawah pohon apel, Eryndor membuka pintu tanah yang ia temukan sebelumnya, turun ke ruangan kecil yang dipenuhi aroma tanah basah dan kayu lapuk. Cahaya lampu minyak menerangi dinding-dinding batu yang ditutupi lumut, dan di tengah ruangan, ada sebuah altar sederhana dengan patung apel terbuat dari kayu hitam. Di atas altar, sebuah buku lain muncul, lebih tua dari Warisan Pohon Apel, dengan judul “Rantai Jiwa”. Ia membukanya dengan hati-hati, menemukan cerita tentang pohon apel sebagai penjaga roh keluarga Thalvir yang mati dengan penyesalan, termasuk Selvira, yang konon terjebak dalam kutukan karena cinta yang tak terselesaikan.
Eryndor membaca dengan mata berair, menyadari bahwa suara Selvira adalah panggilan untuk dibebaskan. Buku itu menyebutkan ritual khusus—menggunakan darah dan kalung apel untuk membuka gerbang roh, tapi ada peringatan: jika hati penuh dendam, pohon akan mengikatnya selamanya. Ia memotong jarinya lagi, meneteskan darah ke patung, dan memakai kalung itu erat-erat. Tanah bergetar, dan dinding ruangan terbuka, mengungkapkan tangga batu yang menurun ke kegelapan.
Dengan lampu minyak di tangan, Eryndor turun perlahan, merasa udara semakin dingin dan berat. Di dasar tangga, ia menemukan ruangan besar dengan dinding yang dipenuhi gambar-gambar aneh—jiwa-jiwa yang terperangkap dalam lingkaran apel. Di tengah ruangan, ada sebuah cermin besar yang memantulkan wajahnya, tapi juga wajah Selvira yang tampak pucat dan sedih. “Eryndor, selamatkan aku,” bisiknya dari cermin, membuat Eryndor menangis. Ia menyentuh cermin, dan dunia di sekitarnya berubah—ia masuk ke dalam visi, melihat Selvira terperangkap dalam bayang hitam, dikelilingi oleh roh-roh jahat yang mencoba menariknya.
Di visi itu, Selvira menceritakan bahwa ia meninggal dengan penyesalan karena tidak bisa mengucapkan selamat tinggal, dan roh jahat dari hutan mengikat jiwanya ke pohon apel sebagai hukuman. “Kau harus mematahkan kutukan dengan cintamu,” katanya, sebelum visi itu memudar, meninggalkan Eryndor sendirian di ruangan itu. Ia kembali ke permukaan, tubuhnya gemetar, tapi hatinya penuh tekad. Ia tahu ia harus melanjutkan, meski itu berarti menghadapi bahaya yang tak terduga.
Hari-hari berikutnya, Eryndor mulai mencari tahu lebih banyak tentang kutukan hutan. Ia mengunjungi arsip desa, berbicara dengan Pak Jorveth, yang menceritakan tentang hutan tua yang ditakuti karena roh-roh yang konon menghantui. Jorveth memperingatkan, “Jika kau mengganggu mereka, Eryndor, mereka akan datang ke gubukmu.” Tapi Eryndor tidak mundur. Ia kembali ke pohon apel setiap malam, mencoba memanggil Selvira lagi, tapi yang ia dapat hanyalah bisikan samar dan bayangan yang semakin sering muncul di sekitar gubuk.
Jorveth mulai curiga. Ia melihat Eryndor semakin pucat, sering hilang di malam hari, dan buku catatannya yang penuh gambar pohon dan roh. Suatu malam, ia mengikuti Eryndor ke pohon apel dan melihatnya memasuki ruangan bawah tanah. Panik, ia berlari masuk, menemukan Eryndor pingsan di depan altar. “Eryndor!” teriaknya, memeluk pria itu yang dingin. Saat Eryndor sadar, ia akhirnya menceritakan semuanya—surat Selvira, buku-buku kuno, dan visi istrinya.
Jorveth menangis, merasa bersalah karena tidak membantu Eryndor lebih dulu. “Kita akan menghadapi ini bersama,” katanya, tapi matanya penuh ketakutan. Mereka memutuskan untuk mencari bantuan dari tetua desa, Nyonya Valthir, yang setuju membantu setelah mendengar cerita itu. Ia membawa ritual kuno untuk membebaskan jiwa, tapi memperingatkan bahwa Eryndor harus menjadi pusatnya, karena darahnya adalah kunci.
Malam itu, di bawah pohon apel, mereka menyiapkan altar dengan lilin dan tanah suci. Eryndor, dengan kalung apel di lehernya, memotong jarinya lagi, meneteskan darah ke tanah. Pohon bergetar hebat, dan bayang-bayang roh mulai muncul—Selvira di antara mereka, tapi juga roh-roh jahat dari hutan. Pertarungan batin Eryndor dimulai; ia harus memilih antara menyelamatkan Selvira atau membiarkan kutukan menyebar. Dengan dukungan Jorveth dan Nyonya Valthir, ia memilih cinta, mengucapkan mantra pelepasan, dan cahaya terang menyelinap dari pohon, membebaskan Selvira dari kegelapan.
Tapi saat cahaya memudar, Eryndor jatuh lemah, dan Jorveth menangis di sisinya, takut kehilangan temannya. Ia tahu perjalanan ini belum selesai—pohon apel masih menyimpan rahasia, dan Eryndor harus menemukan makna sejati di balik panggilan itu.
Jeritan dari Kegelapan
Hari-hari di Zorveth menjadi semakin suram bagi Eryndor Thalvir setelah ritual malam itu di bawah pohon apel. Tanggal 25 September 2024, udara desa terasa menusuk tulang meski musim gugur belum mencapai puncaknya, dan kabut tebal sering menyelimuti gubuk kayu tuanya, menciptakan suasana yang seolah mencerminkan kegelapan di dalam hatinya. Eryndor, yang baru saja bangun dari pingsannya setelah ritual pelepasan jiwa Selvira, merasa tubuhnya lemah, tapi pikirannya dipenuhi oleh tekad untuk menyelesaikan misi istrinya. Matanya abu-abu itu kini menyimpan kilau aneh, seolah terhubung dengan kekuatan pohon apel, sementara Pak Jorveth dan Nyonya Valthir terus mengawasinya dengan kekhawatiran.
Pagi itu, Eryndor duduk di ambang pintu gubuk, memandangi pohon apel yang tampak lebih hidup—daun-daunnya bergetar meski udara tenang, dan buah-buahnya bersinar samar dengan warna merah tua yang hampir hitam. Jorveth mendekat dengan cangkir teh panas, wajahnya penuh kerut khawatir. “Eryndor, kau harus berhenti. Ritual itu terlalu berat untukmu,” katanya, suaranya tegas tapi penuh perhatian. Eryndor mengangguk, tapi matanya tetap tertuju pada pohon. “Jorveth, aku merasa Selvira masih di sana, memanggilku. Aku harus melanjutkan,” jawabnya, suaranya penuh emosi meski tubuhnya gemetar.
Setelah minum teh, Eryndor kembali ke ruangan bawah tanah pohon apel, membawa Warisan Pohon Apel dan Rantai Jiwa, serta kalung perak yang kini terasa hangat di lehernya. Di altar kayu, ia menemukan tanda baru—sebuah simbol berbentuk rantai yang tampak seperti darah kering. Ia membukanya dengan hati-hati, dan buku itu mengungkapkan tahap ketiga ritual: “Untuk membebaskan jiwa sepenuhnya, kau harus menghadapi bayang kegelapan yang terperangkap di dalam pohon. Hanya dengan pengorbanan sejati, kutukan akan pecah.” Kata-kata itu membuatnya merinding, tapi ia tahu ini adalah panggilan yang tak bisa diabaikan.
Malam itu, dengan bantuan Jorveth dan Nyonya Valthir, Eryndor menyiapkan ritual ketiga. Mereka membawa lilin suci, tanah dari makam leluhur, dan air dari sumber tua di hutan. Eryndor berdiri di depan pohon, memotong jarinya lagi, meneteskan darah ke akar, dan mengucapkan mantra kuno yang ia pelajari. Pohon bergetar hebat, dan tanah di sekitarnya terbelah, mengungkapkan sebuah gerbang cahaya yang memancarkan suara-suara pilu—jeritan jiwa-jiwa yang terperangkap, termasuk Selvira. Jorveth menahan napas, sementara Nyonya Valthir mendorong Eryndor masuk, mengatakan, “Ini harus kau lakukan, Eryndor.”
Di dalam gerbang, Eryndor menemukan dirinya di dunia aneh—hutan gelap dengan pohon-pohon apel yang membusuk, dan di tengahnya, sebuah altar besar dengan bayang-bayang roh yang berputar. Selvira muncul, tapi wajahnya pucat, dikelilingi oleh roh-roh jahat dari hutan yang mencoba menariknya kembali. “Eryndor, aku terperangkap karena penyesalanku. Kau harus mematahkan rantai itu dengan cintamu,” katanya, suaranya lemah. Eryndor menangis, merasa beban yang berat, tapi ia mengangguk, menggenggam kalung perak erat-erat.
Roh-roh jahat menyerang, membentuk bayangan mengerikan dengan mata merah menyala. Eryndor berlari ke altar, membaca mantra dari buku, tapi roh-roh itu mencoba merobek pikirannya dengan kenangan menyakitkan—kematian Selvira di ranjang sakit, tangisannya yang memohon untuk hidup, dan rasa bersalahnya karena tidak bisa menyelamatkannya. Ia jatuh berlutut, hampir menyerah, tapi suara Selvira berbisik, “Kuatkan hatimu, Eryndor. Aku percaya padamu.” Dengan sisa kekuatannya, ia berdiri, menuang tanah suci ke altar, dan cahaya terang menyelinap, mendorong roh-roh jahat mundur.
Selvira mulai memudar, tapi sebelum lenyap, ia tersenyum, mengatakan, “Terima kasih, Eryndor. Pohon ini kini menantimu.” Eryndor terbangun di luar pohon, tubuhnya lemah, tapi pohon itu tampak lebih tenang, buahnya bersinar dengan cahaya lembut. Jorveth dan Nyonya Valthir memeluknya, menangis haru, tapi Eryndor merasa ada yang belum selesai—pohon masih memanggilnya, dan ia tahu ada pengorbanan yang harus ia bayar.
Hari-hari berikutnya, desa mulai memperhatikan perubahan pohon apel—buahnya menjadi lebih manis, dan orang-orang yang memakannya merasa tenang. Eryndor menjadi terkenal sebagai “Penjaga Pohon,” tapi ia juga merasa kelelahan yang aneh, seolah jiwa Selvira meninggalkan sebagian beban padanya. Ia mulai bermimpi tentang pohon yang menuntutnya tinggal di dekatnya selamanya, dan ia tahu pengorbanan itu mungkin berarti hidupnya sendiri. Jorveth, yang menyadari hal ini, memutuskan untuk mencari bantuan dari tetua lain, tapi Eryndor menolak, merasa ini adalah takdirnya.
Konflik muncul saat tetangga, seperti Nyonya Lyrith, mulai takut dan menuduh Eryndor membawa kutukan. Mereka mencoba menebang pohon, tapi saat kapak menyentuh batang, pohon mengeluarkan cahaya yang mendorong mereka mundur. Eryndor melindungi pohon, berteriak, “Ini milik Selvira!” Jorveth berdiri di sisinya, tapi hati mereka bergetar dengan ketakutan akan masa depan. Eryndor tahu, untuk menyelesaikan ini, ia harus menghadapi pengorbanan terakhir, dan pohon apel akan menentukan nasibnya.
Akar dan Penutup
Musim dingin tiba di Zorveth pada awal Desember 2024, membawa salju tipis yang menyelimuti gubuk kayu Eryndor Thalvir dan pohon apel tua di belakangnya. Pohon itu kini menjadi pusat perhatian desa, dengan buah-buahnya yang tetap bersinar meski musim dingin, tapi juga sumber ketegangan yang semakin memuncak. Eryndor, yang kini tampak lebih tua dari usianya yang 34 tahun, duduk di bawah pohon dengan buku catatannya, matanya abu-abu itu dipenuh oleh campuran harapan dan keputusasaan. Pak Jorveth berdiri di dekatnya, wajahnya pucat karena kekhawatiran yang terus membesar.
Setelah ritual ketiga, Eryndor merasa hubungannya dengan pohon apel semakin dalam. Setiap malam, ia mendengar bisikan samar dari Selvira, memberitahu bahwa kutukan telah dilemahkan, tapi jiwa leluhur masih terikat pada pohon, menunggu pembebasan terakhir. Warisan Pohon Apel mengungkapkan tahap akhir: Eryndor harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga—entah itu darahnya, waktunya, atau jiwanya—untuk mematahkan rantai sepenuhnya. Ia tahu ini berarti pengorbanan besar, dan hati kecilnya mulai ragu, tapi ia juga merasa wajib menghormati Selvira.
Pagi itu, Jorveth mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Eryndor, aku takut kehilanganmu seperti kau kehilangan Selvira. Mari kita tinggalkan pohon ini dan cari kehidupan baru,” katanya, suaranya bergetar. Eryndor menatap temannya, air mata menggenang di matanya. “Jorveth, aku harus menyelesaikan ini. Selvira mempercayaiku, dan aku tidak bisa mengecewakannya,” jawabnya, suaranya penuh emosi. Jorveth memeluknya erat, menangis, tapi akhirnya mengangguk, setuju membantu meski hatinya hancur.
Mereka kembali ke Nyonya Valthir, yang membawa tetua lain, Pak Thryme, seorang pria tua dengan pengetahuan tentang roh alam. Pak Thryme memeriksa pohon dengan tongkat kayu suci, mengangguk pelan. “Pohon ini adalah jembatan antara dunia hidup dan mati. Eryndor, kau harus masuk ke dalamnya sekali lagi, tapi kali ini dengan pengorbanan. Hanya cinta yang tulus bisa membebaskan jiwa-jiwa itu,” katanya, suaranya dalam. Eryndor mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang.
Malam itu, di bawah bulan purnama yang redup karena salju, mereka menyiapkan ritual terakhir. Eryndor berdiri di depan pohon, memakai kalung perak, dan memotong kedua tangannya, meneteskan darah ke akar dalam jumlah besar. Jorveth dan tetua-tua menyanyikan lagu kuno, sementara pohon bergetar hebat, membuka gerbang cahaya yang lebih besar dari sebelumnya. Eryndor melangkah masuk, meninggalkan dunia nyata, dan menemukan dirinya di hutan gelap yang dipenuhi roh-jiwa leluhur, termasuk Selvira, yang tampak damai tapi masih terikat.
Di tengah hutan, sebuah altar besar muncul, dengan rantai hitam yang mengikat roh-roh itu. Eryndor mendekat, tapi roh-roh jahat dari hutan muncul lagi, mencoba menghentikannya. Ia berjuang, mengingat cinta Selvira, tawa mereka, dan janji untuk selalu bersama. “Aku menyerahkan diriku untukmu!” teriaknya, menusukkan kalung perak ke altar, dan cahaya terang menyelinap, mematahkan rantai. Roh-roh jahat menjerit, lenyap, dan Selvira mendekat, memeluknya dengan senyum lembut. “Terima kasih, Eryndor. Kau telah membebaskan kami,” katanya, sebelum memudar menjadi cahaya yang menyatu dengan pohon.
Eryndor terbangun di luar, tubuhnya lemah, dan pohon apel kini diam, buahnya jatuh ke tanah dengan cahaya yang memudar. Jorveth menangis di sisinya, takut kehilangan temannya, tapi Eryndor tersenyum, merasa damai. Ia tahu Selvira telah pergi, dan kutukan telah hilang. Tapi pengorbanannya meninggalkan bekas—ia merasa kekuatannya berkurang, seolah jiwa Selvira meninggalkan sebagian dirinya di pohon.
Desa berubah setelah itu. Pohon apel menjadi simbol harapan, buahnya dibagikan untuk menyembuhkan orang sakit, dan Eryndor dihormati sebagai pahlawan. Tapi ia juga menjadi lebih pendiam, sering duduk di bawah pohon, menggambar kenangan Selvira. Jorveth membuka usaha kayu bersama tetangga, dan kehidupan mereka membaik, tapi Eryndor tahu ia telah kehilangan sebagian dirinya—pengorbanan yang ia bayar untuk cinta.
Suatu malam, saat ia menatap pohon, sebuah apel jatuh dengan tanda “Selamanya” terukir. Ia tersenyum, merasa Selvira masih ada di hatinya, dan pohon apel kini menjadi saksi cinta yang tak pernah mati. Zorveth tumbuh damai, dan Eryndor, meski dengan luka batin, menemukan makna baru dalam hidupnya, menjalani hari-hari dengan harapan yang lembut di dada.
Pohon Apel Terkutuk: Misteri Sedih Pria yang Kehilangan Segalanya menyajikan perjalanan emosional yang memadukan kesedihan, pengorbanan, dan penebusan, menggambarkan keberanian Eryndor dalam menghadapi kutukan demi cinta sejati. Kisah ini tidak hanya menghibur dengan alur yang mendalam, tetapi juga menginspirasi untuk menghargai ikatan abadi, meninggalkan kesan yang membekas di hati pembaca. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan keajaiban cerita ini!
Terima kasih telah menjelajahi ulasan Pohon Apel Terkutuk: Misteri Sedih Pria yang Kehilangan Segalanya! Semoga cerita ini membawa Anda ke dalam dunia emosi dan inspirasi yang tak terlupakan. Sampai jumpa di petualangan literatur berikutnya, dan tetaplah menjaga cinta di hati Anda!


