Daftar Isi
Menyelami dunia penuh misteri dan emosi, cerpen Pohon Apel di Lembah Sunyi mengajak pembaca untuk menjelajahi kisah Lintang Arsyad, seorang anak laki-laki yang terikat pada pohon apel legendaris di desa Sukamendung. Dengan alur yang mendalam, penuh rahasia, dan sentuhan emosi yang mengguncang, cerpen ini menggabungkan elemen drama, misteri, dan pengorbanan keluarga yang akan membuat Anda terpaku dari halaman pertama hingga akhir. Apa rahasia di balik pohon apel tua itu, dan harga apa yang harus dibayar untuk mengungkapnya? Temukan jawabannya dalam cerita epik yang akan mengaduk hati Anda!
Pohon Apel di Lembah Sunyi
Bayang di Bawah Pohon
Di lembah kecil yang tersembunyi di antara perbukitan hijau di utara Jawa Tengah, pada tahun 2024, ada sebuah desa bernama Sukamendung. Desa ini bukanlah tempat yang ramai, juga bukan tempat yang mudah ditemukan di peta. Jalan-jalannya berdebu, rumah-rumahnya sederhana, dan di ujung desa, berdiri sebuah pohon apel tua yang menjadi legenda. Pohon itu bukanlah pohon apel biasa—konon, ia ditanam oleh seorang tabib misterius ratusan tahun lalu, dan buahnya dipercaya bisa menyembuhkan hati yang patah, meski tak seorang pun pernah benar-benar membuktikannya. Di bawah pohon itu, seorang anak laki-laki bernama Lintang Arsyad menghabiskan hari-harinya, mencari makna di antara daun-daun yang bergoyang ditiup angin.
Lintang bukan anak biasa. Ia berusia empat belas tahun, dengan rambut ikal yang selalu berantakan dan mata cokelat yang seolah menyimpan rahasia. Ia tinggal bersama ibunya, Siti Rahmah, di sebuah rumah kayu sederhana yang atapnya sering bocor saat musim hujan. Ayahnya, Mas’ud, telah meninggal tiga tahun lalu dalam kecelakaan truk di jalan menuju kota. Kepergian ayahnya meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh di hati Lintang. Ia sering bermimpi tentang ayahnya, tentang senyumnya yang hangat, tentang cerita-cerita yang dulu dibacakan menjelang tidur. Namun, mimpi itu selalu berakhir dengan bayang-bayang kabur, seolah ayahnya menjauh, meninggalkannya dalam kegelapan.
Pagi itu, seperti biasa, Lintang berjalan menuju pohon apel setelah membantu ibunya menjemur pakaian. Langit di Sukamendung cerah, dengan awan-awan tipis yang melayang malas. Ia membawa sebuah buku tua yang ia temukan di loteng rumahnya, sebuah jurnal milik ayahnya yang penuh dengan coretan tentang tanaman, resep obat tradisional, dan catatan tentang pohon apel itu. Jurnal itu adalah satu-satunya peninggalan ayahnya yang masih bisa disentuh Lintang, dan ia membacanya berulang-ulang, seolah mencari petunjuk tentang siapa ayahnya sebenarnya.
Di bawah pohon apel, Lintang duduk bersila, menyandarkan punggungnya pada batang pohon yang kasar. Ia membuka jurnal itu, menelusuri tulisan tangan ayahnya yang agak memudar. Ada satu halaman yang selalu menarik perhatiannya, sebuah coretan yang berbunyi, “Pohon ini bukan hanya pohon. Ia mendengar, ia melihat, ia menyimpan.” Lintang tidak tahu apa maksudnya, tapi kalimat itu membuatnya merasa bahwa pohon apel itu hidup, bukan sekadar tanaman. Ia sering berbicara pada pohon itu, menceritakan rahasianya, ketakutannya, dan mimpinya yang samar. Pohon itu, dengan daun-daunnya yang bergoyang pelan, seolah mendengarkan.
Hari itu, saat matahari mulai naik tinggi, Lintang mendengar suara langkah kaki di rumput. Ia menoleh dan melihat seorang gadis seusianya, berjalan mendekat dengan langkah ragu. Gadis itu bernama Kemuning, pendatang baru di desa yang tinggal bersama kakeknya di rumah kecil di tepi sawah. Rambutnya panjang, diikat dengan pita kuning pudar, dan matanya penuh dengan rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik ekspresi malu-malu. Kemuning bukanlah tipe yang mudah bergaul—ia lebih sering menyendiri, membaca buku atau menggambar di buku sketsa yang selalu dibawanya.
“Ngapain kamu di sini sendirian?” tanya Kemuning, suaranya lembut tapi penuh keberanian yang dipaksakan.
Lintang menutup jurnalnya dengan cepat, seolah tak ingin rahasianya terbaca. “Cuma baca. Kamu sendiri ngapain ke sini?”
Kemuning mengangkat bahu, lalu duduk beberapa langkah darinya, memeluk lututnya. “Kakek bilang pohon ini spesial. Aku cuma penasaran.”
Lintang memandangnya, mencoba mencari tahu apakah gadis itu bisa dipercaya. Di desa kecil seperti Sukamendung, pendatang baru selalu menarik perhatian, tapi juga membuat orang waspada. Namun, ada sesuatu dalam cara Kemuning memandang pohon apel itu—dengan kagum, seolah ia juga merasakan keajaiban yang sama seperti Lintang.
“Pohon ini punya cerita,” kata Lintang akhirnya, suaranya pelan. “Ayahku bilang, kalau kamu berbicara padanya, dia dengar. Kadang, dia jawab.”
Kemuning menatapnya dengan alis terangkat. “Jawab? Pohon bisa ngomong?”
“Bukan ngomong seperti kita,” jawab Lintang, sedikit kesal karena merasa idenya dianggap aneh. “Tapi… entah kenapa, kalau aku di sini, aku merasa nggak sendiri.”
Kemuning tidak menertawakannya, seperti yang Lintang khawatirkan. Sebaliknya, ia mengangguk pelan, seolah memahami. “Aku juga suka ngomong sama benda-benda. Di kota dulu, aku ngomong sama kaktus di kamarku. Dia nggak pernah jawab, tapi aku merasa dia dengar.”
Mereka berdua tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya, Lintang merasa ada seseorang yang mungkin bisa memahami dunianya. Hari itu, mereka menghabiskan waktu di bawah pohon apel, berbagi cerita kecil tentang kehidupan mereka. Kemuning bercerita tentang kota besar tempat ia dulu tinggal, tentang ibunya yang selalu sibuk bekerja, dan tentang ayahnya yang pergi entah ke mana ketika ia masih kecil. Lintang, dengan ragu, menceritakan tentang ayahnya, tentang jurnal itu, dan tentang mimpinya yang selalu berakhir dengan kegelapan.
Sore itu, ketika matahari mulai tenggelam dan langit berubah menjadi jingga, Kemuning menunjuk ke arah pohon apel. “Lihat, ada sesuatu di sana,” katanya, matanya melebar.
Lintang menoleh, dan di antara dahan-dahan pohon, ia melihat sesuatu yang berkilau—sebuah benda kecil, mungkin kaca atau logam, yang tersangkut di ranting. Dengan hati-hati, ia memanjat pohon itu, meraih benda itu, dan turun dengan sebuah liontin kecil berbentuk apel yang terbuat dari perak. Di bagian belakang liontin, ada ukiran huruf “M” yang hampir pudar.
“Ini punya siapa?” tanya Kemuning, memandang liontin itu dengan kagum.
Lintang menggeleng, jantungnya berdegup kencang. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, seolah pohon itu benar-benar memberikan petunjuk. “Mungkin… mungkin ini ada hubungannya dengan ayahku,” katanya, suaranya bergetar. “Inisialnya ‘M’. Nama ayahku Mas’ud.”
Kemuning memandangnya dengan serius. “Kamu pikir pohon ini… beneran nyanyi buat kamu?”
Lintang tidak menjawab. Ia hanya memegang liontin itu erat-erat, merasa ada harapan kecil yang mulai tumbuh di hatinya. Malam itu, ia pulang ke rumah dengan pikiran penuh pertanyaan, jurnal ayahnya masih di tangannya, dan liontin itu terselip di saku bajunya. Di kamarnya, ia membuka jurnal lagi, mencari petunjuk tentang liontin itu, tapi tak ada apa pun. Namun, di halaman terakhir jurnal, ia menemukan sebuah kalimat yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya: “Jika pohon itu memberikan sesuatu, jangan tolak. Ikuti.”
Malam itu, Lintang bermimpi lagi. Dalam mimpinya, ia berdiri di bawah pohon apel, tapi kali ini ayahnya ada di sana, memandangnya dengan senyum yang penuh rahasia. “Cari tahu, Lintang,” kata ayahnya, suaranya seperti angin. “Pohon itu tahu lebih banyak daripada aku.”
Ketika ia terbangun, jantungnya berdegup kencang. Ia merasa ada sesuatu yang memanggilnya, sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Pohon apel itu, liontin itu, jurnal ayahnya—semuanya seolah terhubung, dan Lintang tahu ia harus mencari tahu apa yang disembunyikan pohon itu.
Rahasia di Balik Daun
Hari-hari setelah penemuan liontin itu, Lintang menjadi semakin terobsesi dengan pohon apel. Ia menghabiskan setiap waktu luangnya di bawah pohon itu, kadang bersama Kemuning, kadang sendirian. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan: bagaimana daun-daun pohon itu bergoyang meski tak ada angin, bagaimana akar-akarnya seolah membentuk pola aneh di tanah, dan bagaimana burung-burung kecil selalu berkicau lebih merdu di sekitar pohon itu. Ia merasa pohon itu hidup, bukan hanya sebagai tanaman, tapi sebagai sesuatu yang memiliki jiwa.
Kemuning, yang kini menjadi teman dekat Lintang, juga mulai terbawa oleh misteri pohon apel itu. Ia membawa buku sketsanya setiap kali mereka bertemu, menggambar pohon itu dari berbagai sudut, mencoba menangkap esensinya. Suatu hari, ia menunjukkan gambarnya pada Lintang—sebuah sketsa pohon apel dengan bayang-bayang samar di belakangnya, seperti sosok manusia yang berdiri. “Aku nggak tahu kenapa aku nggambar ini,” kata Kemuning, suaranya penuh keraguan. “Tapi… rasanya ada sesuatu di sini, Lintang. Sesuatu yang kita nggak lihat.”
Lintang memandang sketsa itu, dan bulu kuduknya berdiri. Bayang-bayang itu mengingatkannya pada mimpinya, pada sosok ayahnya yang selalu muncul dan menghilang. Ia mulai merasa bahwa pohon itu bukan hanya menyimpan rahasia ayahnya, tapi juga rahasia yang jauh lebih besar, mungkin rahasia desa itu sendiri.
Suatu sore, ketika mereka sedang duduk di bawah pohon, Kemuning menemukan sesuatu di antara akar-akar pohon—sebuah kotak kayu kecil yang terkubur separuh di tanah. Kotak itu tua, dengan ukiran bunga yang sudah memudar. Dengan hati-hati, mereka menggalinya, dan ketika membukanya, mereka menemukan sebuah surat yang ditulis dengan tulisan tangan yang sama seperti di jurnal ayah Lintang.
Surat itu berbunyi:
“Kepada siapa pun yang menemukan ini,
Pohon ini bukan hanya pohon. Ia adalah penjaga, penutup rahasia yang tak boleh diungkap sembarangan. Jika kau menemukan liontin, kau sudah dipilih. Tapi hati-hati—rahasia ini datang dengan harga.
Mas’ud, 2020.”
Lintang merasa dunia di sekitarnya berputar. Surat itu ditulis oleh ayahnya, tiga tahun sebelum ia meninggal. Tapi apa maksudnya? Apa rahasia yang disembunyikan pohon ini? Dan mengapa ayahnya menulis tentang harga yang harus dibayar?
Kemuning memandang Lintang dengan cemas. “Lintang, apa ini artinya ayahmu tahu sesuatu? Sesuatu yang… berbahaya?”
Lintang tidak bisa menjawab. Ia hanya memegang surat itu, jari-jarinya gemetar. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia duduk di kamarnya, menatap liontin dan surat itu, mencoba menyusun potongan-potongan puzzle yang tak masuk akal. Ia mulai teringat cerita-cerita ayahnya tentang pohon apel, tentang bagaimana ia dulu sering menghabiskan waktu di bawah pohon itu, sama seperti Lintang sekarang. Apakah ayahnya juga mencari sesuatu? Apakah ia menemukan rahasia yang membuatnya harus membayar harga?
Keesokan harinya, Lintang dan Kemuning kembali ke pohon apel, membawa sekop kecil untuk menggali lebih dalam di sekitar akar. Mereka bekerja dalam diam, hanya bunyi cangkul yang memecah kesunyian. Setelah beberapa jam, mereka menemukan sesuatu lagi—sebuah kotak logam kecil yang terkunci rapat. Di permukaannya, ada ukiran yang sama seperti di liontin: huruf “M”.
Mereka mencoba membuka kotak itu, tapi kuncinya tidak ada. Lintang merasa frustrasi, namun juga semakin yakin bahwa pohon itu menyimpan sesuatu yang penting. Ia mulai bertanya-tanya apakah ayahnya pernah mencoba membuka kotak ini, apakah ia tahu apa isinya. Dan jika ya, mengapa ia tidak pernah menceritakannya pada Lintang?
Malam itu, Lintang bermimpi lagi. Kali ini, ia bukan hanya melihat ayahnya, tapi juga pohon apel yang berubah menjadi sesosok makhluk besar, dengan dahan-dahan yang bergerak seperti tangan. Makhluk itu berbicara dengan suara yang dalam dan bergema, “Kau sudah dipilih, tapi apakah kau siap membayar harganya?” Lintang terbangun dengan keringat dingin, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu ia tidak bisa berhenti sekarang. Pohon apel itu, liontin itu, surat itu, kotak itu—semuanya memanggilnya, dan ia harus menemukan jawabannya, apa pun risikonya.
Bisikan dari Akar
Pagi di Sukamendung terasa lebih kelam dari biasanya. Langit di atas desa tertutup awan tebal, dan angin membawa aroma tanah basah yang seolah meramalkan hujan. Lintang Arsyad bangun dengan perasaan gelisah yang tak bisa dijelaskan. Kotak logam kecil yang mereka temukan di bawah pohon apel kemarin malam masih tergeletak di meja kecil di kamarnya, terkunci rapat, menolak untuk membuka rahasianya. Liontin berbentuk apel yang ditemukannya beberapa hari sebelumnya kini tergantung di lehernya, dingin menyentuh kulit dadanya, seolah mengingatkannya pada beban yang kian berat. Jurnal ayahnya, surat tua, dan kotak itu—semuanya seperti teka-teki yang menolak untuk diselesaikan, namun terus memanggilnya untuk mencari tahu.
Lintang duduk di tepi ranjang kayunya yang sudah tua, menatap jurnal ayahnya yang terbuka di halaman bertuliskan, “Jika pohon itu memberikan sesuatu, jangan tolak. Ikuti.” Kalimat itu terasa seperti perintah, namun juga peringatan. Ia teringat mimpi-mimpinya, sosok ayahnya yang muncul dan menghilang, dan suara pohon apel yang bergema di kepalanya: “Kau sudah dipilih, tapi apakah kau siap membayar harganya?” Apa harga yang dimaksud? Apakah ayahnya, Mas’ud, juga membayar harga itu, dan apakah itu yang menyebabkan kematiannya tiga tahun lalu?
Hari itu, Lintang memutuskan untuk kembali ke pohon apel, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Ia mengemas sekop kecil, senter, dan beberapa alat sederhana dalam tas kain tua milik ibunya. Sebelum berangkat, ia berhenti di dapur, di mana Siti Rahmah sedang mengaduk bubur jagung di panci besar. Ibunya tampak lelah, dengan garis-garis kerut di wajahnya yang semakin dalam sejak kepergian ayah Lintang. “Mau ke mana lagi, Tang?” tanyanya, suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran.
“Cuma ke pohon apel, Bu,” jawab Lintang, berusaha terdengar biasa. “Mau baca di sana.”
Siti Rahmah memandangnya lama, matanya penuh pertanyaan yang tak terucapkan. “Jangan lama-lama. Pohon itu… bukan tempat yang baik untuk anak-anak.”
Lintang hanya mengangguk, tapi kata-kata ibunya membuatnya merinding. Apakah ibunya tahu sesuatu tentang pohon itu? Ia ingin bertanya, tapi ada sesuatu dalam ekspresi ibunya yang membuatnya ragu. Ia hanya mencium pipi ibunya, lalu berlari keluar rumah, tasnya bergoyang di pundaknya.
Di bawah pohon apel, Kemuning sudah menunggu. Gadis itu duduk bersila di rumput, buku sketsanya terbuka di pangkuannya. Ia sedang menggambar lagi, kali ini sebuah gambar pohon apel dengan akar-akar yang meliuk seperti tangan-tangan yang meraih sesuatu di bawah tanah. “Aku mimpi aneh semalam,” katanya begitu melihat Lintang. “Pohon ini… kayak hidup. Aku dengar suara, kayak bisikan, tapi nggak jelas apa yang dikatakan.”
Lintang menatapnya, jantungnya berdegup kencang. “Aku juga mimpi. Pohon itu bilang sesuatu tentang harga yang harus dibayar.”
Mereka saling pandang, menyadari bahwa apa yang mereka hadapi bukan lagi sekadar cerita desa atau imajinasi anak-anak. Ada sesuatu yang nyata, sesuatu yang besar, dan mereka berada di tengah-tengahnya. Dengan hati-hati, mereka mulai menggali lagi di sekitar akar pohon, berharap menemukan kunci untuk kotak logam itu. Tanah di bawah pohon apel terasa lembap dan dingin, dan setiap kali sekop Lintang menyentuh akar, ia merasa ada getaran kecil, seolah pohon itu bereaksi.
Setelah berjam-jam menggali, mereka menemukan sesuatu lagi—sebuah kalung tua dengan liontin kecil yang mirip dengan milik Lintang, tapi kali ini ukirannya bukan “M”, melainkan “R”. Lintang memandang kalung itu dengan bingung, mencoba mengingat apakah ayahnya pernah menyebutkan sesuatu tentang inisial ini. “R… siapa ini?” gumamnya.
Kemuning mengambil kalung itu, memeriksanya dengan teliti. “Mungkin… ibumu? Nama ibumu kan Siti Rahmah. M dan R. Mas’ud dan Rahmah.”
Lintang terdiam. Pikirannya melayang ke ibunya, ke ekspresi aneh di wajahnya pagi ini. Apakah ibunya tahu lebih banyak dari yang ia ceritakan? Apakah ia juga terlibat dalam rahasia pohon ini? Ia merasa jantungnya semakin berat, seolah setiap penemuan baru justru menambah beban di dadanya.
Malam itu, Lintang memutuskan untuk bertanya pada ibunya. Ia menunggu hingga makan malam selesai, ketika mereka duduk di beranda rumah, ditemani suara jangkrik dan angin malam yang sejuk. “Bu,” katanya pelan, “Ibu tahu apa tentang pohon apel itu? Soal rahasianya?”
Siti Rahmah menegang, tangannya yang sedang memegang cangkir teh berhenti di udara. “Kenapa tiba-tiba tanya itu, Tang?” suaranya bergetar, seolah menyembunyikan sesuatu.
Lintang mengeluarkan liontin dengan ukiran “R” dari saku bajunya dan meletakkannya di meja. “Aku nemuin ini di bawah pohon. Dan ini,” ia menunjuk liontin di lehernya, “ada ukiran ‘M’. Aku juga nemuin surat dari Ayah. Dia bilang pohon itu penjaga rahasia. Ibu tahu apa, Bu? Tolong ceritain.”
Siti Rahmah menutup mata, napasnya tersengal. Untuk pertama kalinya, Lintang melihat air mata mengalir di pipi ibunya. “Kamu nggak seharusnya nyentuh barang-barang itu,” katanya, suaranya hampir tak terdengar. “Pohon itu… pohon itu berbahaya, Lintang. Ayahmu… dia terlalu jauh masuk ke rahasianya.”
Lintang merasa dunia di sekitarnya runtuh. “Apa maksud Ibu? Apa yang terjadi sama Ayah?”
Dengan suara berat, Siti Rahmah mulai bercerita. Dulu, Mas’ud adalah seorang herbalis yang terobsesi dengan pohon apel itu. Ia percaya pohon itu bukan hanya tanaman, tapi pintu menuju sesuatu yang lebih besar—mungkin pengetahuan kuno, mungkin kekuatan yang tak bisa dijelaskan. Ia menghabiskan bertahun-tahun meneliti pohon itu, mencatat setiap detail di jurnalnya. Tapi semakin dalam ia menyelami rahasia pohon itu, semakin aneh perilakunya. Ia sering bermimpi buruk, berbicara sendiri, dan kadang menghilang ke pohon itu di tengah malam. Hingga suatu malam, ia pergi ke pohon itu dan tidak pernah kembali. Kecelakaan truk yang merenggut nyawanya terjadi di jalan menuju pohon apel, dan Siti Rahmah yakin itu bukan kebetulan.
“Jangan ikut-ikutan ayahmu, Lintang,” pinta ibunya, suaranya penuh keputusasaan. “Tinggalkan pohon itu. Tinggalkan rahasianya.”
Tapi Lintang tidak bisa berhenti. Ia merasa ayahnya masih ada di sana, di bawah pohon apel, menunggunya untuk menyelesaikan apa yang ia mulai. Malam itu, ia kembali bermimpi. Dalam mimpinya, pohon apel itu berbicara lagi, suaranya lebih jelas kali ini. “Buka kotak itu, Lintang. Tapi ingat, setiap rahasia punya harga.” Ketika ia terbangun, ia tahu ia harus menemukan kunci kotak logam itu, apa pun risikonya.
Harga sebuah Rahasia
Hari berikutnya, Lintang dan Kemuning kembali ke pohon apel dengan tekad yang membara. Mereka membawa kotak logam itu, liontin “M” dan “R”, serta jurnal ayah Lintang. Langit di atas Sukamendung kini semakin gelap, dengan awan badai yang menggantung rendah. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun pohon apel bergoyang liar, seolah pohon itu tahu apa yang akan mereka lakukan.
Mereka mulai mencari kunci kotak itu, menggali lebih dalam di sekitar akar pohon. Setelah berjam-jam, mereka menemukan sebuah benda kecil yang terkubur dalam tanah—sebuah kunci perak kecil dengan ukiran apel di gagangnya. Lintang memegang kunci itu dengan tangan gemetar, merasa ada energi aneh yang mengalir dari logam dingin itu ke tubuhnya.
Dengan hati-hati, ia memasukkan kunci ke dalam lubang kunci kotak logam itu. Kotak itu terbuka dengan bunyi klik pelan, dan di dalamnya, mereka menemukan sebuah buku kecil yang terikat dengan kulit tua. Di sampulnya, ada tulisan tangan ayah Lintang: “Untuk Lintang, jika kau menemukan ini.”
Lintang membuka buku itu, dan di dalamnya ia menemukan catatan-catatan ayahnya yang jauh lebih rinci dari jurnal sebelumnya. Buku itu menceritakan tentang pohon apel sebagai penjaga sebuah rahasia kuno, sebuah legenda tentang sebuah perjanjian antara manusia dan roh alam. Konon, pohon itu ditanam oleh seorang tabib yang membuat perjanjian dengan roh untuk melindungi desa Sukamendung dari bencana. Tapi sebagai imbalannya, setiap generasi harus memberikan sesuatu—sesuatu yang berharga, sesuatu yang personal. Ayah Lintang, Mas’ud, telah memilih untuk menyelami rahasia itu, dan ia membayarnya dengan nyawanya.
Di halaman terakhir buku itu, ada pesan untuk Lintang: “Jika kau membaca ini, berarti kau sudah dipilih. Pohon itu akan memberikan apa yang kau cari, tapi ia akan mengambil sesuatu darimu. Pikirkan baik-baik, anakku. Aku mencintaimu.”
Lintang menangis membaca pesan itu. Ia merasa ayahnya masih ada di sampingnya, berbicara melalui kata-kata itu. Tapi ia juga merasa takut. Apa yang akan diambil pohon itu darinya? Kenangan? Keluarganya? Hidupnya?
Kemuning memegang tangannya, matanya penuh empati. “Kamu nggak harus lanjutin, Lintang. Kita bisa kubur kotak ini lagi, lupain semuanya.”
Tapi Lintang menggeleng. “Aku harus tahu. Aku harus tahu kenapa Ayah melakukan ini.”
Malam itu, Lintang kembali ke pohon apel sendirian, membawa buku itu dan liontin-liontin itu. Ia berdiri di bawah pohon, menatap dahan-dahannya yang bergoyang dalam kegelapan. “Apa yang kau mau dariku?” tanyanya, suaranya penuh kemarahan dan keputusasaan. “Ayahku sudah pergi. Apa lagi yang kau mau?”
Tiba-tiba, angin berhenti bertiup. Dunia di sekitarnya menjadi sunyi, dan Lintang merasa ada kehadiran yang tak terlihat di sekitarnya. Pohon itu seolah hidup, akar-akarnya bergerak perlahan di tanah, dan suara yang dalam dan bergema kembali terdengar di kepalanya. “Kau ingin tahu rahasia ayahmu? Berikan kenanganmu tentangnya.”
Lintang terdiam. Kenangan tentang ayahnya adalah satu-satunya yang membuatnya bertahan selama tiga tahun ini. Senyum ayahnya, cerita-ceritanya, pelukannya—itu semua adalah harta terakhirnya. Tapi ia juga tahu bahwa tanpa mengetahui rahasia ini, ia tidak akan pernah bisa move on dari kepergian ayahnya.
Dengan air mata mengalir, Lintang mengangguk. “Ambil kenanganku,” katanya, suaranya pecah. “Tapi tunjukkan apa yang Ayah cari.”
Tiba-tiba, dunia di sekitarnya berputar. Ia merasa kenangan-kenangan tentang ayahnya memudar satu per satu—tawanya, cerita-cerita sebelum tidur, bahkan wajahnya. Sebagai gantinya, ia melihat visi: ayahnya berdiri di bawah pohon apel, berbicara dengan sosok bayangan yang tak jelas. Sosok itu memberikan sebuah buah apel berwarna emas, dan ayahnya memakannya. Visi itu menunjukkan bahwa buah itu memberikan pengetahuan tentang masa depan desa, tapi juga mengikat ayahnya pada pohon itu, membuatnya harus mengorbankan nyawanya untuk melindungi Sukamendung dari bencana yang akan datang.
Ketika visi itu berakhir, Lintang terduduk di tanah, menangis. Ia tidak lagi ingat wajah ayahnya, tapi ia tahu apa yang ayahnya lakukan—ia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan desa. Pohon apel itu adalah penjaga, tapi juga pengambil. Lintang merasa kosong, tapi juga lega. Ia akhirnya mengerti.
Keesokan harinya, ia menceritakan semuanya pada Kemuning dan ibunya. Siti Rahmah memeluknya erat, menangis karena tahu apa yang telah Lintang korbankan. “Kamu nggak seharusnya melakukan itu,” katanya. “Tapi kamu sama seperti ayahmu—berani, meski terlalu keras kepala.”
Lintang dan Kemuning memutuskan untuk mengubur kembali kotak logam itu di bawah pohon apel, bersama dengan buku dan liontin-liontin itu. Mereka berjanji untuk tidak pernah mengungkap rahasia pohon itu kepada siapa pun. Desa Sukamendung tetap damai, tapi Lintang tahu bahwa kedamaian itu datang dengan harga yang sangat mahal.
Di hari-hari berikutnya, Lintang mulai membangun kenangan baru. Ia masih merasa kehilangan, tapi ia belajar untuk hidup dengan kekosongan itu. Pohon apel tetap berdiri di ujung desa, diam dan misterius, menjaga rahasianya untuk generasi berikutnya.
Cerpen Pohon Apel di Lembah Sunyi bukan sekadar kisah tentang seorang anak dan pohon apel, melainkan sebuah perjalanan emosional yang mengajarkan kita tentang keberanian, kehilangan, dan makna pengorbanan. Dengan detail yang kaya dan alur yang memikat, cerita ini akan meninggalkan kesan mendalam di hati setiap pembaca. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca karya luar biasa ini dan rasakan sendiri kekuatan emosi yang tersembunyi di balik setiap halaman.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Pohon Apel di Lembah Sunyi. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menjelajahi lebih banyak cerita penuh makna. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk terus membaca dan menemukan keajaiban dalam setiap kata!


