Petualangan Seru Hari Pertama Masuk Sekolah SD: Cerita Tentang Teman Baru, Guru, dan Taman Bermain

Posted on

Bayangin deh, hari pertama sekolah itu kayak petualangan seru yang nggak pernah kamu duga sebelumnya. Bayangan tentang kelas baru, teman baru, sampai hari yang penuh kejutan bikin perasaan campur aduk antara grogi, penasaran, dan semangat banget.

Nah, ini ceritanya tentang Galin yang baru aja ngerasain semua itu. Ikuti seru-seruan, cemas-cemas manis, dan tawa bareng teman baru di sekolah yang bakal jadi kenangan seru banget!

 

Petualangan Seru Hari Pertama Masuk Sekolah SD

Pagi yang Cerah dan Langkah Pertama

Aku tidak tahu kenapa hari pertama masuk sekolah itu rasanya begitu berbeda. Mungkin karena ini adalah hari yang benar-benar baru, dunia yang baru, dan aku—Galin—harus meninggalkan dunia lama yang hanya berisi rumah dan permainan anak-anak yang sudah familiar. Sekarang, aku akan masuk ke tempat yang tak tahu apa isinya. Hari ini, semua itu akan berubah.

Pagi itu, ibu bangun lebih pagi dari biasanya. Aku bisa mendengar suara-suara di dapur—suara panci yang berdenting, suara kompor yang menyala, dan bau roti panggang yang sudah mengisi rumah. Ibu memang suka membuat roti di pagi hari, dan hari ini sepertinya ia sengaja membuatnya lebih banyak. “Untuk bekal kamu nanti,” katanya.

Ayah juga tak kalah sibuk. Ia sedang merapikan tas sekolahku yang besar, yang terlihat seperti tas untuk membawa dunia kecilku. Aku berdiri di depan cermin, mengenakan seragam sekolah yang baru kubeli, merasa sedikit kikuk dengan dasi yang agak kebesaran. Ada perasaan aneh yang bercampur aduk—antara grogi, takut, dan sedikit bersemangat. Inilah yang namanya pertama kali ke sekolah dasar, kan?

Setelah sarapan, ibu dan ayah mengantarku ke sekolah. Kami berjalan beriringan menuju sekolah yang tidak jauh dari rumah. Meski begitu, setiap langkah terasa lebih berat dari yang pernah kurasakan sebelumnya. “Kamu siap, Galin?” tanya ayah, sambil tersenyum lebar.

Aku hanya bisa mengangguk, meskipun sejujurnya aku ingin mengunci diri di rumah dan menunggu hari esok. Tapi ibu memegang tanganku dengan lembut, “Galin, sekolah itu menyenangkan. Banyak teman baru, banyak hal yang bisa kamu pelajari.”

“Yah,” aku menjawab pelan, “tapi aku belum kenal siapa-siapa di sana.”

Ibu mengusap kepalaku. “Itu bagian dari serunya. Kamu akan bertemu banyak orang baru dan belajar hal-hal baru. Semua itu akan membuatmu bahagia.”

Kami sampai di gerbang sekolah. Sekolah itu besar—lebih besar dari yang aku bayangkan. Gedung tinggi berwarna biru dengan banyak jendela, lapangan luas yang tampaknya bisa jadi tempat bermain yang menyenangkan, dan—yang paling membuatku sedikit takut—barisan anak-anak yang sudah berkumpul, berbicara dengan riang.

Aku menatap mereka dari jauh, dan rasanya seolah-olah mereka semua sudah saling mengenal, sementara aku, aku hanya seorang anak kecil yang baru saja datang.

“Sudah waktunya,” kata ayah, lalu melepaskan tas dari punggungku. “Sekolah itu seperti petualangan. Jangan takut, nak. Kamu pasti bisa.”

Ibu memberi pelukan singkat. “Jangan khawatir. Ibu di sini nanti. Kamu hebat, Galin.”

Aku mengangguk pelan. Aku ingin bilang lebih banyak, tapi rasanya tenggorokanku terasa kering. Setelah melambaikan tangan, aku melangkah masuk ke sekolah itu dengan perasaan campur aduk.

Begitu melangkah ke dalam aula besar, ada banyak anak yang berdiri di sana, beberapa tampak seperti sudah kenal satu sama lain. Mereka berbicara, tertawa, dan berjalan ke sana kemari. Di tengah-tengah keramaian, aku merasa seperti orang asing. Tak ada satu pun wajah yang aku kenal. Aku meremas tas di punggungku, berusaha menenangkan diri.

Seorang perempuan muda yang tampaknya guru kami, berdiri di depan kelas dengan senyum lebar. “Selamat datang, anak-anak! Nama saya Bu Murni, dan saya akan menjadi guru kalian di kelas satu.”

Bu Murni sangat ramah. Wajahnya cerah dan suaranya lembut, membuatku sedikit merasa tenang. “Mari, semua masuk ke dalam kelas,” katanya, membuka pintu kelas yang ada di sebelah kiri aula.

Aku mengikuti teman-teman baru, berusaha menutupi rasa gugup dengan berjalan sedikit lebih cepat. Begitu masuk ke kelas, aku melihat barisan meja yang teratur. Setiap meja punya nama di atasnya, dan aku merasa seperti memasuki dunia baru yang penuh dengan aturan—semuanya begitu teratur dan berbeda dari kebiasaan rumah yang serba bebas.

Aku duduk di salah satu meja di dekat jendela. Tak lama kemudian, seorang anak perempuan datang dan duduk di sebelahku. Dia tersenyum ramah. “Hai, namaku Dira. Kamu Galin, kan?”

Aku terkejut, tak tahu harus berkata apa. “Iya,” jawabku akhirnya, sedikit kikuk. “Aku Galin.”

Dira tertawa pelan. “Aku senang akhirnya bisa kenalan. Aku juga baru pertama kali di sini.” Dia melambaikan tangannya ke arah kelas, menunjuk anak-anak lainnya. “Mereka semua sudah saling kenal. Aku juga agak takut tadi, tapi sekarang sudah mulai senang.”

Aku melihat sekeliling dan mendapati beberapa anak lain yang tampak lebih percaya diri, berbicara dengan teman-temannya tanpa rasa canggung. Rasanya aku ingin melarikan diri saja, tapi Dira membuatku sedikit lebih merasa nyaman.

“Kamu nggak perlu khawatir, kok,” kata Dira sambil tersenyum lebar. “Kelas satu ini nggak terlalu sulit kok, asal kamu rajin belajar. Aku juga senang belajar matematika, nanti kita belajar bareng, ya?”

Aku mengangguk. “Oke,” jawabku, mencoba tersenyum balik, meskipun masih merasa sedikit grogi.

Sejak saat itu, kelas dimulai. Bu Murni mengajarkan kami tentang huruf dan angka. Tapi yang membuat pelajaran ini terasa berbeda adalah cara Bu Murni mengajarkan kami. Ia tidak hanya memberi kami tugas untuk menulis, tapi juga mengajak kami bernyanyi dan bermain. Kami menyanyi lagu-lagu tentang huruf, bergerak sesuai irama, dan tertawa bersama. Beberapa anak mulai berani berdiri dan memimpin gerakan, yang membuat suasana kelas menjadi sangat hidup.

Aku mulai merasa lebih rileks. Ternyata, sekolah tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Kami kemudian diberi waktu untuk bermain di luar. Aku, Dira, dan beberapa anak lainnya berlarian mengelilingi lapangan, saling mengejar, dan tertawa. Rasanya dunia ini menjadi sedikit lebih luas, dan aku mulai melihatnya dengan cara yang berbeda.

Aku kembali ke kelas dengan tubuh yang lelah tapi hati yang senang. Saat itu, aku baru sadar kalau sekolah ternyata menyenangkan, penuh dengan kejutan yang tak terduga. Aku merasa lebih percaya diri meskipun hari itu baru dimulai.

Sebelum pulang, ibu dan ayah menunggu di depan gerbang sekolah, tersenyum lebar saat aku menghampiri mereka. “Gimana, Galin? Senang?” tanya ibu.

Aku mengangguk, wajahku berseri-seri. “Iya, ibu. Ternyata seru. Aku punya teman baru, Dira, dan guru Bu Murni sangat baik.”

Ayah tertawa pelan, “Ayah tahu kamu bisa. Ini baru permulaan.”

Aku merasa ringan, seperti baru saja menyelesaikan sebuah petualangan kecil yang menyenangkan. Hari pertama di sekolah ternyata penuh warna dan ceria—dan aku tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi besok.

 

Kelas Pertama, Dunia Baru yang Menyenangkan

Hari kedua di sekolah ternyata lebih menyenangkan daripada yang aku bayangkan. Meski semalam aku tidur dengan rasa penasaran tentang apa yang akan terjadi, pagi ini aku merasa sedikit lebih siap. Di meja makan, ibu menyapaku dengan senyuman hangat sambil menyajikan sarapan. “Hari ini kamu harus semangat, ya, Galin! Semoga di sekolah makin seru,” katanya.

Ayah hanya mengangguk sambil membuka koran. “Hari pertama itu pasti berat, tapi nanti kalau udah terbiasa, sekolah bakal jadi tempat yang paling seru.”

Aku merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar kata-kata mereka. Setelah selesai sarapan, aku berjalan menuju sekolah dengan semangat yang baru. Aku menyadari, meskipun semuanya terasa asing kemarin, hari ini aku sudah merasa lebih percaya diri. Setidaknya aku sudah punya teman baru, Dira, yang bisa diajak berbicara.

Begitu sampai di gerbang sekolah, aku langsung melihat Dira berdiri bersama beberapa anak lainnya. Begitu aku mendekat, dia langsung melambai dengan ceria. “Galin! Aku tungguin kamu di sini, loh!”

Aku tersenyum lebar dan menghampirinya. “Hai, Dira! Gimana, siap hari kedua?”

“Siap banget!” jawabnya dengan semangat. “Dengar-dengar, kita bakal belajar gambar, lho. Aku suka banget gambar!”

Aku mengangguk setuju. “Wah, aku juga suka! Semoga nanti kita bisa gambar bareng.”

Kami berjalan menuju kelas bersama-sama. Kelas pagi itu dimulai dengan Bu Murni mengajak kami bermain sambil belajar. Hari ini, kami belajar menggambar dan mewarnai. Di meja masing-masing, kami sudah diberi kertas dan krayon berwarna-warni. Ternyata, aku sudah mulai merasa nyaman dengan suasana sekolah yang baru.

“Siapa yang mau coba menggambar pohon?” tanya Bu Murni dengan senyuman.

Dira langsung mengangkat tangannya. “Aku, Bu! Aku bisa gambar pohon besar!”

Bu Murni tertawa. “Baik, Dira! Ayo, tunjukkan caramu menggambar pohon.”

Dira mulai menggambar dengan penuh semangat. Aku memperhatikan dengan kagum. Gambarannya sangat bagus, dengan batang pohon yang besar dan daun-daun yang rimbun. “Gimana, Galin?” Dira bertanya sambil menunjuk kertas gambarnya.

Aku terkikik kecil. “Keren banget! Aku nggak bisa gambar seperti itu.”

Dira mengedipkan mata. “Nanti kamu pasti bisa, Galin. Kita latihan bareng aja.”

Aku pun mencoba menggambar pohon, meskipun gambarku lebih terlihat seperti batang kayu pendek dengan beberapa daun yang tertempel acak. Tapi rasanya, menggambar dengan teman baru itu sangat menyenangkan. Kami tertawa bersama, saling bertukar cerita tentang apa yang kami gambar, dan tiba-tiba waktu berlalu begitu cepat.

Setelah menggambar, Bu Murni mengajak kami untuk berkeliling kelas dan menunjukkan gambar-gambar teman-teman yang lain. Beberapa anak menggambar bunga, ada juga yang menggambar rumah, dan ada yang menggambar langit dengan awan. Semua gambar itu terlihat lucu dan unik, dan aku merasa semakin dekat dengan teman-teman baru.

Waktu istirahat pun tiba. Aku dan Dira berjalan menuju kantin bersama-sama. Di sana, kami duduk di meja yang agak kosong dan mulai membuka bekal yang dibawa ibu. Dira mengeluarkan roti dengan selai stroberi, sedangkan aku membawa bekal nasi goreng yang ibu buatkan tadi pagi.

“Enak banget ya, bekalnya,” kata Dira sambil menggigit roti. “Ibu kamu pasti pandai masak, ya?”

Aku tertawa. “Iya, ibu selalu masak enak. Kalau ibu kamu?”

Dira menceritakan bahwa ibunya sering membuatkan kue-kue lezat di rumah. Aku membayangkan kue itu dan langsung merasa lapar lagi. Kami saling bercerita tentang keluarga masing-masing, dan ternyata Dira juga punya adik kecil yang usianya baru tiga tahun. Dira bercerita dengan antusias tentang bagaimana adiknya selalu ingin ikut bermain dengannya, meskipun dia masih kecil.

Tiba-tiba, seorang anak laki-laki yang duduk di meja sebelah mendekat. “Hai, kalian berdua, boleh gabung?” tanyanya sambil tersenyum.

Aku dan Dira saling pandang. “Tentu, ayo duduk!” jawab Dira, dengan senang hati.

Anak laki-laki itu, yang mengenakan kaos biru dan celana pendek, duduk di samping kami. “Aku Arian. Kamu Dira, kan?” tanyanya.

“Iya, aku Dira. Kalau kamu siapa?” jawab Dira.

“Arian, teman sekelas kita,” katanya dengan senyum lebar.

Kami ngobrol selama sisa waktu istirahat. Arian bercerita bahwa dia suka bermain sepak bola dan mengajak kami untuk bermain bersama di lapangan nanti. Dira pun langsung tertarik dan setuju. “Ayo, kita main bareng! Aku juga suka main bola, walau nggak jago.”

Setelah istirahat selesai, kami kembali ke kelas dan melanjutkan pelajaran dengan penuh semangat. Hari itu terasa sangat menyenangkan, karena kami tidak hanya belajar, tapi juga bermain dan berkenalan lebih dekat dengan teman-teman baru.

Saat bel pulang berbunyi, aku merasa seperti waktu berjalan terlalu cepat. Hari kedua di sekolah ini lebih seru daripada yang aku bayangkan. Begitu aku keluar kelas dan berjalan menuju gerbang sekolah, ibu dan ayah sudah menunggu. Mereka tersenyum melihatku yang tampak lebih ceria.

“Bagaimana hari keduanya, sayang?” tanya ibu dengan penuh harap.

Aku tersenyum lebar. “Seru banget, Bu! Aku sudah punya teman baru, Dira dan Arian. Kami gambar bareng, makan bareng, dan main bola juga.”

Ayah mengangguk puas. “Keren, Galin. Ini baru permulaan. Semoga hari-hari ke depan makin seru.”

Aku berjalan pulang bersama mereka, merasa lebih percaya diri dan bahagia. Sekolah ternyata bukan tempat yang menakutkan, melainkan tempat yang penuh dengan hal baru yang menyenangkan. Dan aku tahu, hari-hari berikutnya akan lebih seru lagi.

 

Petualangan di Taman Bermain Sekolah

Hari ketiga di sekolah dimulai dengan semangat yang sama seperti sebelumnya. Aku merasa semakin nyaman dengan lingkungan sekolah yang baru ini, dan yang lebih menarik lagi, aku sudah punya beberapa teman baru. Dira dan Arian, yang selalu ceria, membuat setiap hari di sekolah terasa lebih menyenangkan.

Setelah mengikuti pelajaran pertama, Bu Murni mengumumkan sesuatu yang membuat seluruh kelas terkejut dan gembira. “Anak-anak, hari ini kita akan punya waktu luang untuk bermain di taman sekolah setelah istirahat. Tapi sebelum itu, kita akan belajar sedikit tentang tanaman di sekitar kita. Kalian suka bermain di luar, kan?” tanyanya dengan senyum.

Kami semua langsung berteriak hampir bersamaan, “Iya, Bu!”

Di luar kelas, taman sekolah terlihat sangat luas. Ada banyak pohon rindang, beberapa bunga berwarna cerah, dan rumput yang hijau. Taman ini menjadi tempat yang sempurna untuk berlari-lari atau sekedar duduk santai sambil mengobrol dengan teman.

Setelah istirahat, kami berbaris dengan tertib dan berjalan menuju taman yang berada tidak jauh dari kelas. Dira langsung menarik tanganku begitu kami keluar dari kelas. “Ayo, Galin! Kita cari tempat duduk di bawah pohon besar itu,” serunya dengan semangat.

Kami berjalan menuju pohon besar yang cukup teduh. Ternyata, tempat itu sudah dipenuhi oleh beberapa teman yang datang lebih dulu. Aku dan Dira duduk di rumput hijau, sementara Arian sudah sibuk mengeksplorasi taman dan mencari tempat bermain.

“Eh, Galin, kamu tahu nggak kalau ada danau kecil di ujung taman ini?” tanya Dira, sambil melihat sekeliling.

Aku menggelengkan kepala. “Nggak, aku baru tahu. Ada apa di sana?”

“Ada bebek-bebek lucu! Aku pernah lihat mereka main di sana kemarin,” jawab Dira dengan mata berbinar.

Penasaran, aku ikut berdiri dan mengikuti Dira yang sudah berjalan menuju danau kecil. Di sana, aku melihat beberapa bebek berwarna putih dengan bulu halus berjalan perlahan di pinggir danau. Beberapa anak lain juga terlihat bermain di sekitar situ, melemparkan roti untuk memberi makan bebek.

“Wow, mereka lucu banget!” kataku, sambil tertawa melihat tingkah bebek-bebek yang menggemaskan.

Arian yang mengikuti kami dari belakang ikut berlari mendekat. “Aku juga pernah lihat bebek ini! Mereka suka banget sama roti.”

Kami bertiga tertawa bersama, kemudian Dira menyarankan agar kami bermain bola lagi di lapangan. Aku dan Arian setuju, dan kami berjalan ke lapangan yang tidak jauh dari danau. Di sana, ada beberapa anak lain yang sudah bermain bola, dan kami bergabung dengan mereka.

Begitu kami memulai permainan, suasana semakin riuh. Aku yang tadinya agak canggung dalam bermain bola, sekarang sudah mulai merasa lebih percaya diri. Arian dan Dira sangat membantu, memberikan tips-tips kecil saat aku bermain.

Kami saling berebut bola dan berlarian ke sana kemari. Tertawa, berteriak kegirangan, dan kadang terjatuh ke rumput. Semua itu terasa sangat seru, seperti petualangan kecil yang menyenangkan di tengah-tengah sekolah.

Setelah beberapa waktu bermain, kami akhirnya berhenti karena kelelahan. Kami duduk di bawah pohon, sambil mengambil napas panjang dan menikmati semilir angin yang berhembus. Dira mengambil sebotol air minum dan memberikannya padaku. “Minum dulu, Galin. Jangan lupa, nanti kita masih ada pelajaran seni.”

Aku menerima botol itu dan meminum airnya. “Iya, Dira. Makasih.”

Kami terus bercakap-cakap tentang hal-hal lucu yang terjadi selama permainan, dan merasa semakin dekat satu sama lain. Aku menyadari, meskipun baru beberapa hari di sekolah ini, aku sudah merasa seperti bagian dari tempat ini. Tempat yang penuh dengan teman-teman baru, petualangan seru, dan dunia yang penuh warna.

Saat bel tanda istirahat berakhir berbunyi, kami beranjak kembali ke kelas dengan langkah yang ringan. Seperti biasa, kami harus berbaris dan berjalan masuk kelas, siap untuk melanjutkan pelajaran yang akan datang.

Di dalam kelas, Bu Murni menyambut kami dengan senyum hangat. “Bagaimana, anak-anak? Seru bermain di taman?” tanyanya.

“Seru banget, Bu!” jawab kami kompak.

Pelajaran hari itu pun berjalan dengan lancar. Kami belajar tentang seni, menggambar lebih lanjut dan mewarnai dengan berbagai warna yang lebih cerah. Aku merasa semakin nyaman dengan suasana kelas dan teman-teman di sekitarku.

Di akhir hari, ketika bel pulang berbunyi, aku berjalan keluar kelas dengan senyum yang lebar. Aku tahu, setiap hari di sekolah ini akan penuh dengan hal-hal baru yang menyenangkan, dan aku tidak sabar untuk menghadapi hari-hari berikutnya.

Ibu dan ayah sudah menunggu di depan gerbang sekolah, dan begitu aku keluar, mereka menyambut dengan senyum bangga. “Gimana hari ini, Galin?” tanya ayah.

“Seru banget, Yah! Aku bermain bola dan lihat bebek di taman. Sekolah ternyata menyenankan,” jawabku dengan antusias.

Ibu tersenyum. “Syukurlah kalau kamu suka. Semoga besok lebih seru lagi!”

Kami berjalan pulang dengan hati yang riang, dan aku merasa sangat bahagia. Hari ketiga di sekolah ini mungkin baru awal, tapi rasanya seperti petualangan yang tak akan pernah aku lupakan.

 

Langkah Selanjutnya

Hari keempat di sekolah datang dengan udara segar yang masih membawa semangat petualangan baru. Aku bangun lebih pagi, dengan rasa yang lebih ringan, seolah dunia ini terbuka lebar untukku. Di luar, suara burung yang berchirp ceria menyambut pagi, membuat aku merasa penuh energi. Saat aku keluar rumah, ibu dan ayah sudah menunggu di mobil, siap mengantar ke sekolah.

“Ibu, Ayah, aku nggak sabar untuk belajar lagi!” kataku dengan senyum lebar, membuat mereka tertawa melihat kegembiraanku.

Sesampainya di sekolah, aku langsung disambut oleh suara riuh teman-teman yang berlarian menuju kelas masing-masing. Dira dan Arian sudah berdiri di depan pintu kelas, menunggu aku. “Ayo, Galin! Kita masuk, kita nggak mau ketinggalan pelajaran lagi!” seru Dira sambil melambai-lambaikan tangan.

Dengan langkah cepat, aku mengikutinya ke kelas. Sesampainya di dalam, aku melihat Bu Murni sedang sibuk menyiapkan papan tulis. Senyumannya yang hangat membuat hatiku semakin yakin kalau hari ini akan menyenankan seperti hari-hari sebelumnya.

Pelajaran hari ini agak berbeda. Kami diajak untuk menggambar pemandangan alam, sesuatu yang membuatku merasa bebas dan kreatif. Aku menggambar pohon dengan daun-daun lebat yang rimbun, dan sebuah sungai kecil yang mengalir di bawahnya. Arian duduk di sampingku dan mulai menggambar sebuah kastil besar. “Aku mau bikin kastil di tengah padang rumput,” katanya sambil terus menggambar.

Dira yang duduk di depan kami, juga tampak serius menggambar bunga-bunga berwarna-warni. “Kalian harus lihat bunga ini,” katanya sambil menunjuk gambar di kertasnya. “Ini bunga yang paling aku suka!”

Kami semua sibuk dengan gambar kami masing-masing, dan meskipun suasana kelas cukup tenang, aku bisa merasakan keakraban yang semakin tumbuh. Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa teman-temanku bukan hanya teman sekolah biasa. Mereka sudah menjadi bagian dari petualangan baru yang luar biasa dalam hidupku.

Ketika pelajaran berakhir, kami diberi waktu untuk beristirahat. Aku keluar dari kelas dan langsung menuju taman, tempat yang sudah menjadi tempat favoritku. Dira dan Arian mengikuti dari belakang, tampaknya ingin bermain bola lagi.

“Ayo, Galin! Kita main lagi!” seru Arian dengan semangat yang tak kalah besar.

Aku tersenyum dan mengangguk. “Yuk, tapi kali ini kita coba permainan baru, gimana kalau kita buat tim?” tawarku.

Dengan cepat, kami membagi diri menjadi dua tim, dan permainan dimulai. Bola berputar cepat, kadang terlempar jauh, kadang menggelinding di rumput yang lembut. Kami tertawa, berlari mengejar bola, dan sesekali terjatuh ke tanah. Tidak ada yang peduli dengan siapa yang menang atau kalah, karena yang penting adalah kebersamaan dan keseruan di tengah lapangan itu.

Saat permainan selesai dan tubuh terasa lelah, kami duduk bersama di bawah pohon, menikmati angin yang sejuk. Aku merasa benar-benar bahagia di sini. Semua yang sebelumnya terasa asing, kini mulai terasa nyaman. Teman-temanku, guru-guruku, dan bahkan sekolah ini, semuanya menjadi bagian dari perjalanan hidupku yang baru.

Sebelum kembali ke kelas, kami semua duduk melingkar di bawah pohon besar, berbincang tentang hal-hal sederhana yang membuat hari-hari ini semakin berwarna. Aku merasa seperti sudah lama mengenal mereka, meskipun baru beberapa hari di sekolah. Seperti sebuah keluarga kecil yang tak tampak, namun terasa begitu dekat.

Ketika bel berbunyi, tanda waktu istirahat selesai, kami beranjak kembali ke kelas dengan hati yang penuh kebahagiaan. Hari ini adalah salah satu hari terbaik, dan aku merasa tidak sabar untuk hari-hari berikutnya yang pasti akan lebih seru.

Pelajaran terakhir hari itu adalah pelajaran olah raga. Kami diajak untuk berlari dan melompat, melakukan berbagai permainan yang mengasah fisik. Aku dan teman-teman yang sudah mulai akrab, saling bersorak dan menyemangati satu sama lain. Aku benar-benar merasa seperti petualangan ini baru dimulai, dan sepertinya, hari-hari berikutnya akan lebih seru.

Ketika bel pulang berbunyi, aku berjalan keluar dengan langkah ringan. Ibu dan ayah sudah menunggu di luar gerbang. “Gimana sekolah hari ini, Galin?” tanya ayah dengan penuh perhatian.

Aku tersenyum lebar. “Seru banget, Yah! Banyak hal baru yang aku pelajari dan teman-teman juga seru. Aku merasa betah di sini.”

Ibu memelukku erat. “Syukurlah kalau kamu senang. Kami bangga sama kamu,” katanya dengan penuh kasih sayang.

Kami berjalan pulang, dan aku tahu, meskipun baru beberapa hari, aku sudah menemukan tempat di dunia ini yang membuatku merasa lengkap. Sekolah bukan hanya tempat untuk belajar, tetapi juga tempat untuk bertumbuh, berteman, dan menemukan kebahagiaan yang tak ternilai.

Aku menatap langit biru yang memudar seiring matahari terbenam, merasa bahwa petualanganku baru saja dimulai. Dan aku siap untuk langkah-langkah berikutnya yang akan membawa aku semakin dekat dengan dunia yang penuh dengan keajaiban dan kemungkinan.

 

Dan akhirnya, hari pertama sekolah berakhir dengan senyuman lebar dan hati yang penuh harapan. Petualangan baru yang dimulai dengan langkah ragu kini terasa menyenangkan, penuh tawa, dan teman-teman baru yang siap menemani perjalanan sekolah ke depannya.

Siapa sangka, hari pertama itu ternyata cuma awal dari banyak momen seru dan tak terlupakan. Jadi, siap-siap aja, dunia sekolah masih banyak kejutan yang menunggu!

Leave a Reply