Petualangan Seru dan Mencekam di Sekolah Tua: Misteri Lorong Bawah Tanah yang Terungkap

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa penasaran banget sama tempat di sekolah yang kayaknya punya rahasia gelap? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam petualangan seru yang nggak bakal kamu lupain.

Sekelompok remaja yang lagi iseng nyari petunjuk tentang sekolah mereka malah terjebak dalam misteri kegelapan yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangin. Kalau kamu suka cerita penuh ketegangan dan nggak bisa nebak-nebak apa yang bakal terjadi selanjutnya, kamu wajib baca cerpen ini!

 

Petualangan Seru dan Mencekam di Sekolah Tua

Geng Lima Sekawan dan Rasa Penasaran

SMP Bhakti Luhur bukanlah sekolah yang terkenal. Bangunannya tidak mewah, bahkan cat di beberapa temboknya mulai pudar dan mengelupas. Namun, bagi Rakha dan kawan-kawannya, tempat itu adalah lahan petualangan yang tidak ada habisnya.

Mereka berlima sudah bersahabat sejak kelas tujuh. Tidak ada yang tahu bagaimana mereka bisa begitu kompak, mengingat sifat mereka benar-benar beragam. Rakha adalah otaknya, selalu punya ide-ide gila yang kadang berujung masalah. Bima si pemberani, yang kalau ada tantangan, pasti dia yang duluan maju. Jojo adalah tukang lawak yang hobi bikin situasi serius jadi konyol. Gendis, si otak cerdas, yang selalu jadi penyelamat kalau mereka hampir kena hukuman. Dan terakhir, Lintang, satu-satunya cewek di geng mereka yang sering bersikap seperti suara hati, mengingatkan kalau mereka sudah kelewatan.

Siang itu, mereka duduk di bangku panjang dekat kantin, menikmati gorengan seadanya sambil ngobrol tentang sesuatu yang baru mereka dengar dari kakak kelas.

“Seriusan, lo? Ada lorong bawah tanah di sekolah ini?” tanya Bima dengan mulut penuh bala-bala.

Rakha mengangguk mantap. “Iya! Katanya sih di bawah lab IPA. Dulu dipakai buat tempat perlindungan waktu jaman perang atau gimana gitu.”

“Ah, paling cuma cerita kosong,” sahut Gendis, menyeruput es teh. “Kalau beneran ada, kenapa nggak ada guru yang ngomong?”

“Itu dia! Mungkin emang sengaja dirahasiain!” Rakha mendekatkan wajahnya ke tengah lingkaran mereka, suaranya lebih pelan. “Coba pikir, kalau emang nggak ada, kenapa dari dulu cerita itu nggak pernah hilang? Selalu aja ada yang ngomongin, tapi nggak ada yang pernah benar-benar buktiin!”

Jojo mengangkat alis. “Kalau nggak ada yang pernah buktiin, kenapa lo bisa yakin?”

Rakha mendengus. “Karena kita yang bakal jadi orang pertama yang nemuin!”

Bima langsung berseru, “Gue ikut! Kapan kita mulai?”

“Loh, lo nggak mikir panjang dulu?” Gendis mendelik.

Bima tertawa. “Mikir apaan? Ini kesempatan, bro! Kalau emang ada, kita bisa jadi legenda di sekolah ini!”

Lintang menghela napas. “Gue udah bisa ngebayangin kita kena skors gara-gara ketahuan ngubek-ngubek lab.”

Rakha terkekeh. “Makanya jangan ketahuan. Kita harus gerak hati-hati.”

Lintang menatapnya tajam. “Gue nggak mau kebawa masalah. Tapi kalau kalian emang nekat, gue ikut buat jaga-jaga kalau ada yang ngelakuin sesuatu yang bodoh.”

“Seperti biasa,” Jojo terkekeh.

Setelah sepakat, mereka mulai menyusun rencana. Rakha, yang paling banyak tahu tentang rumor ini, mengatakan bahwa mereka harus mencari tanda-tanda di dalam lab IPA. Tidak mungkin sekolah membiarkan sesuatu seperti itu terbuka begitu saja. Mungkin ada petunjuk yang tersembunyi—papan lantai yang berbeda, dinding yang terlihat tidak seimbang, atau bahkan celah kecil yang tidak terlihat oleh mata biasa.

Namun, masalahnya adalah mereka tidak bisa masuk ke laboratorium begitu saja di jam pelajaran.

“Kita bisa pura-pura lupa buku di sana setelah pelajaran IPA,” usul Gendis.

“Atau kita manfaatin jam kosong,” tambah Jojo.

Rakha mengangguk. “Bisa, tapi kita harus cari waktu yang paling aman. Kalau bisa sore, pas sekolah udah mulai sepi.”

Lintang mendesah. “Astaga, kenapa gue masih duduk di sini dengerin rencana konyol ini?”

Bima menepuk pundaknya. “Karena lo nggak bisa nahan rasa penasaran.”

Dan memang benar. Tidak peduli seberapa besar mereka mencoba untuk bersikap biasa saja, sepanjang hari itu, pikiran mereka terus dipenuhi oleh bayangan tentang lorong misterius di bawah sekolah.

Rakha bahkan sampai tidak bisa fokus di kelas Matematika, kepalanya sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Apakah lorong itu masih bisa diakses? Apakah mereka akan menemukan sesuatu di dalamnya? Atau lebih buruk lagi, apakah ada sesuatu di sana yang seharusnya tetap terkunci?

Satu hal yang pasti—ini akan jadi petualangan yang mereka tidak akan lupakan.

 

Misteri Lorong Bawah Tanah

Hari itu akhirnya tiba. Rakha dan gengnya sudah merencanakan semuanya. Jam pelajaran terakhir berakhir, dan seperti yang sudah mereka sepakati, mereka langsung menuju lab IPA dengan alasan mencari buku yang konon katanya tertinggal di dalam. Jam kosong memberikan kesempatan emas untuk melakukan penyelidikan tanpa harus khawatir ketahuan oleh guru atau satpam.

Lintang menatap sekitar dengan cemas, sementara yang lainnya tampak lebih bersemangat, bahkan Jojo mulai melompat-lompat kecil karena tak sabar. “Lo yakin nggak ada yang liat kita?” tanya Lintang, suara tegang.

“Yakin. Kita udah perhatiin dari tadi, nggak ada siapa-siapa,” jawab Rakha. “Ayo, gerak!”

Mereka melangkah pelan-pelan melewati lorong sekolah menuju lab IPA. Begitu sampai di depan pintu, Rakha mencoba membuka gagangnya, sedikit terkejut saat pintunya terbuka begitu saja. Ternyata, lab itu tidak terkunci.

“Huh, beruntung banget,” gumam Jojo, sambil masuk terlebih dahulu.

Begitu berada di dalam, suasana lab terasa aneh. Tidak ada orang sama sekali, hanya aroma bahan kimia yang sudah agak berdebu dan meja-meja yang terabaikan. Gendis langsung melangkah ke arah rak buku di sudut ruangan, sementara Bima dan Jojo memeriksa setiap sudut ruang. Rakha dan Lintang berjalan ke bagian belakang, tempat yang katanya pernah dipakai untuk percakapan kakak kelas dulu.

“Rakha, ini! Gue nemuin sesuatu,” teriak Gendis dari sudut ruangan.

Dengan cepat, Rakha mendekat, diikuti oleh yang lainnya. Gendis berdiri di depan meja yang tampak biasa saja, tapi dia menunjukkan ke sebuah papan kayu yang sedikit terangkat di bawah meja.

“Lo lihat ini?” Gendis bertanya, sambil menekan papan itu, yang kemudian terangkat lebih tinggi.

“Jadi ini yang mereka maksud?” tanya Jojo, mendekat untuk melihat lebih jelas.

“Kayaknya sih iya,” jawab Rakha, menatap papan kayu yang sudah terangkat. “Ini emang aneh. Kenapa ada ruang tersembunyi di sini?”

Bima berjongkok untuk memeriksa lebih dekat. “Coba kita buka!”

Dengan hati-hati, mereka mulai menggeser papan itu, mengeluarkan bunyi berderit yang membuat Lintang sedikit terkejut. Setelah papan kayu itu terbuka, tampak sebuah pintu besi tua dengan pegangan yang hampir berkarat. Tidak ada label atau tanda apapun di pintu tersebut, hanya kegelapan yang terlihat dari celah-celah pintu.

“Ini beneran lorongnya?” tanya Gendis, suaranya sedikit ragu.

“Tunggu,” Rakha menatap pintu itu. “Gue harus pastiin dulu. Jangan sampai kita masuk dan malah nyasar entah ke mana.”

Dengan hati-hati, dia mendorong pintu itu perlahan. Ketika pintu terbuka, angin dingin berhembus dari dalam. Mereka semua menahan napas sejenak. Lintang melirik ke sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang datang, sementara Bima sudah hampir melangkah masuk.

“Eh, tunggu! Kita harus siap-siap,” Rakha mengingatkan. “Bima, lo harus hati-hati.”

Bima menoleh ke belakang dan tertawa kecil. “Lo khawatir banget sih! Tenang aja, kita nggak bakal ketahuan.”

Namun, ada satu hal yang tidak bisa diabaikan—pintu itu sudah terbuka, dan lorong di dalamnya terlihat gelap dan sepi. Semua orang merasakan ketegangan yang sama.

“Lo ngerasa nggak sih, kayak ada yang aneh dengan tempat ini?” Lintang bertanya, meremas tangan di samping tubuhnya.

“Ya, gimana nggak aneh,” jawab Jojo. “Masa ada pintu rahasia di sekolah? Kita harus masuk!”

Rakha mengangguk dan melangkah lebih dulu. “Ayo, kita nggak bakal tahu kalau cuma berdiri di sini.”

Mereka pun memasuki lorong yang terasa dingin dan sempit. Di ujung lorong, ada tangga kayu yang hampir runtuh, dengan langit-langit yang terlihat rapuh dan sebagian kayunya sudah mulai lapuk. Mereka melangkah hati-hati, menuruni tangga itu satu per satu.

“Jangan sampai ada yang jatuh, ya!” ujar Gendis, mengingatkan.

Namun, saat mereka sampai di bawah, suasana yang menyambut tidak seperti yang mereka bayangkan. Ruangan itu lebih besar dari yang mereka kira. Ada meja-meja kayu tua yang tersusun rapi, lemari besi yang sudah berkarat, dan papan tulis yang tidak lagi digunakan. Ada sesuatu yang terasa ganjil di dalamnya, seperti ruangan yang sudah lama tidak terjamah, namun seolah-olah masih menyimpan banyak rahasia.

“Ini ruang apa sih? Kayak ruang penyimpanan lama,” Jojo berkomentar, mengamati ruangan yang penuh dengan debu.

“Entahlah,” jawab Rakha, sambil melangkah ke tengah ruangan. “Tapi ini jelas bukan tempat biasa. Kenapa bisa ada ruangan kayak gini di bawah sekolah?”

Mereka mulai menjelajahi lebih jauh, membuka lemari besi yang sudah berkarat, dan menemukan beberapa benda lama yang tidak mereka kenal. Tetapi, di salah satu sudut, ada sebuah lukisan yang terbalut kain hitam, seolah-olah sengaja disembunyikan.

“Eh, liat tuh!” teriak Gendis, menunjuk ke arah lukisan itu.

Dengan hati-hati, Rakha membuka kain hitam itu. Ternyata, lukisan itu menggambarkan bangunan sekolah yang mereka kenal, tetapi dengan satu perbedaan besar—di bawah sekolah, ada sebuah ruangan besar yang tidak ada di bangunan mereka.

“Jadi, ini beneran ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita kira,” bisik Rakha, menatap lukisan itu dengan cemas.

Gendis melangkah mundur, matanya masih tertuju pada lukisan itu. “Apa artinya semua ini?”

Semua orang diam, merasa seperti mereka baru saja menemukan petunjuk yang membawa mereka ke dalam misteri yang lebih besar dari sekadar lorong bawah tanah ini.

 

Langkah di Kegelapan

Setelah mereka melihat lukisan yang tergantung di dinding itu, suasana dalam ruangan bawah tanah semakin terasa mencekam. Mereka seolah telah membuka pintu yang mengarah pada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar misteri lorong bawah tanah. Rakha menatap lukisan itu lama, mencoba mencari petunjuk lebih jauh, tetapi semuanya terasa kabur dan mengerikan.

“Jadi… apa maksudnya ini?” tanya Gendis, suara bergetar.

Jojo, yang biasanya lebih ceria, kini tampak lebih serius. “Gue ngerasa ada yang nggak beres di sini. Ini bukan cuma soal sekolah atau ruang bawah tanah.”

Bima berdiri di samping mereka, matanya menyusuri dinding dengan intens. “Apa kalau ini… ada hubungannya sama sejarah lama sekolah ini?”

Rakha mengangguk pelan. “Mungkin, tapi gue nggak yakin kalau kita bisa langsung dapet jawabannya di sini.”

Suasana mulai terasa lebih berat. Mereka tidak tahu apakah mereka sudah cukup siap untuk melangkah lebih jauh, tetapi rasa penasaran itu tidak memberi mereka pilihan. Mereka ingin tahu lebih banyak.

Rakha akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pencarian mereka. “Ayo, kita cek ke bagian belakang ruangan. Mungkin ada sesuatu yang tersembunyi lagi.”

Mereka melangkah lebih dalam, dengan hati-hati menghindari benda-benda tua yang berserakan. Rakha yang memimpin jalan, dengan senter dari ponselnya yang mulai redup. Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Ia menatap sebuah pintu kecil di ujung ruangan yang hampir tidak terlihat, tertutup oleh tumpukan kayu dan debu.

“Ini… apaan?” bisik Rakha.

“Bisa jadi jalur lain,” jawab Gendis.

Dengan susah payah, mereka membersihkan debu dan kayu-kayu yang menutupi pintu itu. Begitu berhasil membukanya, mereka menemukan sebuah lorong sempit yang lebih gelap dari sebelumnya. Udara di dalam lorong itu terasa dingin, bahkan menusuk hingga ke tulang.

“Astaga, ini makin serem aja,” bisik Jojo.

“Mending kita lanjut, daripada kita keluar tanpa tahu apa-apa,” kata Rakha, sedikit tegas, meskipun wajahnya tampak serius.

Mereka melangkah masuk, satu per satu, memasuki lorong yang semakin sempit dan gelap. Udara di dalam terasa semakin berat, seakan ada sesuatu yang mengawasi setiap gerakan mereka. Setiap langkah terasa lebih lama dari yang seharusnya. Lintang, yang biasanya tenang, kini tampak gelisah.

“Gue nggak suka di sini,” katanya, suaranya serak.

“Tahan, Lintang,” jawab Rakha, berusaha menenangkan. “Kita pasti bisa keluar dari sini, asal kita tahu apa yang harus kita cari.”

Namun, semakin jauh mereka melangkah, semakin terasa kalau ruangan itu bukan sekadar lorong biasa. Suara-suara aneh mulai terdengar, seperti desiran angin yang berbisik dari balik dinding. Tanpa sadar, langkah mereka semakin lambat.

Tiba-tiba, Bima yang berada di paling depan terhenti. Ia menoleh ke belakang dengan ekspresi bingung. “Lo semua denger itu nggak?”

Suasana menjadi hening seketika. Semua menunggu, mendengarkan dengan seksama.

Ada suara seperti langkah kaki berat yang datang dari jauh, semakin lama semakin dekat. Bima mengernyitkan dahi. “Itu… bukan suara langkah kita.”

Rakha memegang senter dengan erat. “Tunggu, jangan bergerak dulu.”

Mereka semua berdiri diam, mendengarkan. Suara langkah itu semakin jelas, semakin keras, seakan-akan datang dari lorong yang lebih dalam lagi. Rasanya seperti ada seseorang yang mengintai mereka, mengikuti setiap gerakan mereka.

“Ini nggak bener,” bisik Gendis, matanya mulai melirik ke belakang dengan gelisah.

“Siapa itu?” tanya Jojo, suaranya bergetar.

Mereka semua berbalik, mencari sumber suara yang semakin mendekat. Tiba-tiba, tanpa mereka sadari, sosok bayangan muncul dari kegelapan. Tangan yang panjang dan berbaju hitam, muncul di belakang mereka, seolah-olah muncul dari dinding itu sendiri.

“Jangan…” Lintang berbisik dengan nada putus asa, sementara tubuhnya terdiam karena ketakutan.

Rakha langsung menarik mereka mundur, melangkah cepat menuju pintu keluar. Namun, sosok itu semakin mendekat, langkahnya semakin jelas terdengar.

Mereka berlari sekuat tenaga, namun semakin mereka berlari, semakin mereka merasa sosok itu mengejar mereka. Kegelapan seolah mengepung mereka, menghalangi jalan keluar. Tiba-tiba, ponsel Rakha mati, senter yang tadinya membantu mereka kini gelap gulita.

“Rakha! Ponsel lo mati!” teriak Bima, suaranya panik.

“Jangan berhenti! Ayo lari!” Rakha berteriak.

Mereka berlari ke sana kemari, terengah-engah, mencoba menemukan jalan keluar. Namun, lorong ini tampaknya tidak pernah berakhir. Kaki mereka terasa berat, napas mereka semakin pendek.

“Ini… kita udah muter-muter, kan?” Gendis berbisik, suaranya lemah.

“Jangan berhenti! Terus lari!” Rakha mendorong mereka, tetapi mereka sudah mulai kehilangan harapan.

Akhirnya, setelah berlari tanpa tujuan selama beberapa menit, mereka tiba-tiba menemukan pintu yang terbuka—pintu yang mereka lewati sebelumnya. Ternyata, mereka sudah berada kembali di ruangan pertama. Semua orang berhenti berlari, dengan napas terengah-engah.

“Gila, gue nggak kuat lagi,” Jojo merosot ke lantai, tubuhnya gemetar.

Rakha, yang terengah-engah, menatap pintu itu. “Ada yang salah dengan tempat ini.”

“Apa yang tadi itu?” tanya Lintang, hampir tak bisa berkata-kata.

Rakha menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. “Kita harus cari tahu, tapi… kita nggak boleh lagi ceroboh.”

Di luar sana, suara langkah kaki itu kembali terdengar, semakin jauh, tetapi tetap menggema di dalam benak mereka. Mereka tahu bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar dari yang mereka kira, sesuatu yang tidak boleh mereka biarkan begitu saja.

 

Di Balik Kegelapan

Malam itu, mereka berkumpul di rumah Rakha setelah kejadian di lorong bawah tanah. Semua tampak kelelahan, tetapi ada sesuatu di mata mereka yang tak bisa disembunyikan: rasa penasaran yang semakin membara. Mereka tahu, apa yang mereka temui tidak hanya sekadar petualangan biasa. Sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, dan lebih berbahaya sedang menanti mereka.

Rakha duduk di meja makan, matanya menatap kosong ke jendela yang menghadap ke jalan yang gelap. Suasana malam itu terasa hening, seakan dunia di luar sana mematung menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Jadi, apa yang bakal kita lakuin sekarang?” tanya Bima, suara berat. Ia duduk di dekat meja, menatap wajah Rakha, menunggu jawaban.

Gendis yang duduk di sisi lain mengangguk. “Gue ngerasa ada yang aneh. Kalau kita terus-terusan nyelidikin ini, bisa-bisa kita bahaya, Rak.”

Rakha menatap mereka satu per satu. “Kita nggak bisa berhenti. Kita udah terlalu jauh. Kalau kita mundur, kita nggak bakal tahu apa yang ada di balik semua ini.”

Jojo yang sedari tadi diam, akhirnya mengangkat wajahnya. “Tapi itu… suara langkah tadi, Rak. Gue yakin itu bukan orang biasa. Apa kalau itu ada hubungannya sama yang selama ini disembunyikan di sekolah?”

“Ya, gue juga mikir gitu,” jawab Rakha. “Tapi kalau kita nggak nyelidikin lebih jauh, kita nggak bakal tahu apa-apa. Kita harus balik ke sekolah, cari tahu lebih banyak. Gue yakin di sana masih ada petunjuk lainnya.”

Semua terdiam, berpikir keras. Mereka semua tahu risiko yang akan mereka hadapi, tapi rasa ingin tahu yang mendalam tak bisa mereka padamkan.

Malam itu, mereka memutuskan untuk beristirahat dan kembali ke sekolah keesokan harinya. Meskipun rasa takut masih menggelayuti pikiran mereka, keputusan itu terasa seperti satu-satunya jalan yang mereka punya.

Keesokan harinya, mereka kembali ke sekolah dengan langkah yang lebih hati-hati. Suasana sekolah yang biasanya ramai dengan siswa-siswa yang sibuk, kini terasa lebih sunyi. Seolah-olah semua orang tahu ada sesuatu yang tak beres, tetapi mereka takut untuk mengungkapkan kebenarannya.

Rakha dan gengnya langsung menuju lab IPA lagi, tempat di mana mereka pertama kali menemukan pintu rahasia itu. Mereka merasa ada yang aneh dengan tempat itu. Seperti ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk menemukan kebenaran.

Begitu tiba di depan pintu lab, Rakha menatap teman-temannya. “Kita masuk lagi. Kali ini, kita nggak boleh ceroboh. Kita harus lebih hati-hati.”

Mereka masuk ke dalam lab dengan hati-hati, mencari tahu apakah ada petunjuk baru yang bisa membantu mereka. Pencarian mereka kali ini terasa lebih menegangkan daripada sebelumnya. Tiba-tiba, Lintang menemukan sesuatu di bawah meja yang tidak mereka perhatikan sebelumnya: sebuah buku tebal, yang tampaknya sudah lama tidak disentuh.

“Eh, liat deh!” Lintang menunjuk ke arah buku itu.

Rakha dan yang lainnya mendekat, dengan hati-hati mengambil buku itu. Begitu mereka membukanya, mereka menemukan halaman-halaman yang penuh dengan gambar-gambar dan tulisan tangan yang tampak sangat kuno.

“Gue nggak ngerti ini tulisan apa,” kata Bima, memiringkan kepala, mencoba mengartikan tulisan itu.

Rakha menatap lebih dekat. “Gue ngerti beberapa kata di sini. Ini… ini kayak peta atau petunjuk. Kayaknya ini yang kita cari.”

Gendis membuka halaman berikutnya, dan mereka menemukan gambar yang sama dengan lukisan yang ada di ruangan bawah tanah. Bedanya, kali ini ada sesuatu yang lebih jelas: ruangan besar di bawah sekolah yang mereka lihat di lukisan itu tampak terhubung dengan lorong-lorong yang lebih panjang, yang berakhir di sebuah ruang besar di bawah tanah yang tampaknya tak ada habisnya.

“Ini… nggak mungkin,” Rakha berbisik, menatap peta itu dengan cemas.

“Jadi, berarti apa yang kita lihat itu cuma bagian kecilnya, ya?” tanya Jojo.

“Kalau ini bener, berarti kita belum tahu setengahnya,” jawab Rakha, suaranya serius.

Mereka merasa seperti sudah menginjakkan kaki pada jalan yang penuh dengan misteri dan bahaya yang belum bisa mereka pahami sepenuhnya. Namun, mereka tahu satu hal pasti: mereka harus melanjutkan pencarian ini, tidak peduli seberapa gelap atau berbahayanya jalan yang akan mereka tempuh.

Namun, tepat saat mereka hendak mencari tahu lebih lanjut, mereka mendengar suara langkah kaki yang familiar. Bukan hanya satu, tapi ada banyak. Langkah kaki yang datang dari pintu lab yang terbuka.

“Siapa itu?” tanya Gendis, terkejut.

Mereka semua menoleh dengan cepat. Pintu yang tadi terbuka kini tertutup rapat, dan dari balik pintu muncul sosok yang mereka kenal—seorang guru yang tampaknya tahu lebih banyak dari yang mereka kira.

Guru itu tersenyum, tetapi senyumannya terasa dingin dan penuh misteri. “Kalian sedang mencari sesuatu, bukan?” tanyanya, suaranya rendah, hampir berbisik.

Semua terdiam, jantung mereka berdegup kencang. Mereka tahu, mereka baru saja memasuki babak yang jauh lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. Apa yang sudah mereka temukan mungkin hanyalah permulaan dari misteri yang lebih kelam, yang kini tak hanya mengancam mereka, tetapi mungkin juga seluruh sekolah ini.

“Tapi ingat,” kata guru itu, “apa yang kalian cari, bisa jadi lebih berbahaya daripada yang kalian duga.”

Dengan satu langkah, guru itu menghilang di balik pintu, meninggalkan mereka dengan lebih banyak pertanyaan daripada sebelumnya.

Mereka tahu satu hal: ini belum berakhir. Malah, baru saja dimulai.

 

Gimana? Seru kan? Misteri yang udah dibuka baru sebentar banget, dan makin lama makin bikin penasaran. Petualangan ini nggak bakal berhenti begitu aja, karena apa yang mereka temuin cuma sekilas dari yang lebih besar dan lebih berbahaya.

Penasaran sama kelanjutan ceritanya? Jangan kemana-mana, karena cerita ini masih punya banyak rahasia yang harus dibuka. Tungguin aja, siapa tahu kamu jadi bagian dari petualangan berikutnya!

Leave a Reply