Daftar Isi
Kamu pernah ngerasa, nggak, kalau lagi di tengah hutan, semua hal kayak jadi misteri? Apalagi kalau kamu lagi di perayaan ulang tahun pramuka, dan tiba-tiba, kamu malah jadi terjebak di situ, bertahan hidup bareng teman-teman.
Ini bukan cuma soal camping dan api unggun, tapi lebih ke menghadapi semua ketakutan yang nggak pernah kamu bayangin sebelumnya. Penasaran gimana ceritanya? Ayo, simak perjalanan seru mereka! Let’s go!!
Petualangan Pramuka di Hutan
Hilangnya Obor Harapan
Udara malam itu terasa dingin. Hutan Arjuna, tempat kami mendirikan tenda dan perkemahan tahunan, sudah mulai dipenuhi aroma basah dari dedaunan yang diliputi embun. Walaupun bulan terang, angin dingin yang berhembus seakan bisa menembus lapisan jaket tebal yang aku pakai. Tapi kami semua tahu, malam ini adalah malam yang spesial—Hari Ulang Tahun Pramuka. Malam yang harus penuh dengan semangat, penuh tawa, dan penuh kebanggaan.
Semua regu sudah sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang menyiapkan makanan, ada yang membersihkan sekitar perkemahan, ada juga yang sibuk merapikan tenda. Aku, Dragan, pemimpin regu petualang, mencoba memastikan semuanya siap.
“Dragan, kamu udah cek tenda regu gue belum?” suara Amira tiba-tiba memecah kesunyian, cukup keras hingga terdengar oleh semua orang yang ada di dekat api unggun.
Aku menoleh ke arah suara itu. Amira, dengan rambut pendeknya yang selalu tampak rapi meski terpapar angin hutan, berdiri dengan tatapan serius. Aku cuma mengangguk. “Tenda kalian aman, Amira. Nggak perlu khawatir,” jawabku sambil memastikan tenda regu lain.
Tapi ada yang mengganggu pikiranku. Mungkin karena suara Amira yang terkadang lebih keras daripada yang diperlukan, tapi kali ini aku merasa ada yang salah. Semua sudah berjalan lancar—atau setidaknya, aku pikir begitu.
“Kamu yakin soal itu?” Amira menatapku lebih tajam. “Atau jangan-jangan ada sesuatu yang terlupakan?”
Itu adalah pertanyaan yang membuat aku sedikit gelisah. “Apa maksudmu?”
Sebelum dia bisa menjawab, salah seorang anggota regu Amira, Kala, berlari menuju kami dengan wajah pucat. “Ada yang hilang, Dragan,” katanya dengan suara gemetar.
Aku langsung merasakan jantungku berdegup lebih cepat. “Apa yang hilang?”
“Obor,” jawab Kala dengan suara sedikit bergetar, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. “Obornya hilang, Dragan. Semuanya hilang!”
Aku langsung berjalan cepat menuju tempat penyimpanan obor. Di sana, biasanya ada tumpukan kayu bakar yang siap untuk dibakar saat api unggun nanti. Tetapi, begitu aku sampai, mataku langsung melotot. Semua obor yang seharusnya tersedia untuk acara malam ini, menghilang tanpa jejak. Seolah-olah ditelan bumi.
“Apa ini ulah orang lain?” tanya Amira yang tiba-tiba muncul di sampingku, dengan ekspresi serius yang tak biasa.
Aku menggelengkan kepala. “Nggak mungkin. Semua orang di sini sudah taat aturan. Kita nggak punya musuh di sini, Amira.”
Tapi dalam hati, aku mulai meragukan kata-kata itu. Kalau memang tidak ada yang sengaja menghilangkan obor, lalu ke mana perginya? Semua orang di sini adalah pramuka yang sudah berlatih dengan baik. Seharusnya, ini bukan hal yang bisa dianggap remeh.
“Apa yang harus kita lakukan?” Kala bertanya dengan nada bingung, melirik ke arah tumpukan kayu bakar yang masih tergeletak di tanah.
Aku menghela napas panjang. “Kita harus cari penggantinya. Tidak ada waktu untuk bingung. Jika malam ini tanpa api unggun, acara kita akan berantakan.”
“Jadi, kita mau cari pengganti di mana? Hutan ini bukan tempat yang bisa kita main-main, loh,” kata Amira, seakan mengingatkan aku. “Kamu pasti nggak mau kan kalau malah ada bahaya lain yang datang?”
Aku menatap Amira dan akhirnya memutuskan. “Di bukit sana. Di sisi hutan itu ada banyak kayu damar. Cukup besar dan kering. Kalau kita cepat, kita bisa bawa kayu itu kembali sebelum api unggun dinyalakan.”
Amira menatapku dengan tatapan tajam. “Kamu yakin bisa melewati jurang kecil di sana dengan kayu sebanyak itu?”
Aku tersenyum lebar. “Kalau kamu ikut, aku yakin kita bisa. Ini bukan pertama kalinya kita berdua melewati tantangan seperti ini, kan?”
Amira memutar matanya, tapi senyum kecil yang mengembang di bibirnya menandakan ia tak bisa menolak. “Oke deh. Tapi kalau aku terjatuh, kamu yang harus nanggung jawab.”
Aku tertawa kecil. “Jangan khawatir. Kalau kamu jatuh, aku akan tangkap.”
Syailendra, yang sejak tadi cuma diam saja, akhirnya buka suara. “Kalian serius mau pergi ke sana malam-malam gini? Hutan ini nggak main-main, loh.”
Kala, yang dari tadi hanya melihat, akhirnya ikut bicara. “Aku ikut. Kalau udah kayak gini, nggak ada pilihan lain.”
Kami semua mengangguk, dan begitu itulah kami berangkat. Di tengah malam yang gelap, dengan hanya sinar bulan sebagai penerang, kami melangkah bersama menuju bukit yang terletak tak jauh dari tempat perkemahan. Hutan terasa lebih hidup dengan suara alam yang bersahutan. Namun, di tengah heningnya, kami sadar bahwa malam ini lebih dari sekadar petualangan biasa. Kami harus bekerja sama untuk menjaga api semangat pramuka tetap menyala—harus ada api unggun, dan kami yang akan menyalakannya.
Menyeberangi Jurang Keberanian
Kami melangkah lebih dalam ke hutan, langkah kaki kami bersatu dengan suara dedaunan yang terinjak. Angin semakin kencang, menerpa wajah dan rambut kami, seolah mencoba menghalangi langkah kami. Namun, semangat kami lebih kuat. Kami tahu, api unggun itu harus ada, dan hanya kami yang bisa mewujudkannya malam ini.
Kami tiba di kaki bukit yang sudah kami kenal baik. Bukit ini tak terlalu tinggi, namun cukup menantang untuk dilalui. Di sisi kiri, jurang terjal menganga, menambah kesan menakutkan di malam yang sudah cukup gelap. Di atas bukit, terlihat jelas cahaya bulan yang memantul di permukaan tanah, seakan memberi petunjuk bahwa kayu damar yang kami cari ada di sana.
“Jadi, kita harus naik ke atas itu?” Kala bertanya sambil melirik jurang yang cukup curam di sebelah kami. “Kalian yakin kita bisa?”
Aku mengangguk mantap. “Kita bisa. Percaya sama aku.”
Amira, yang dari tadi diam, akhirnya berbicara. “Oke. Kita cari kayunya dan cepat kembali. Jangan lama-lama di sini. Siapa tahu ada yang kurang beres.”
Aku mengerti perasaan Amira. Hutan ini memang bisa jadi tempat yang menakutkan kalau kita tidak berhati-hati. Tapi malam ini, kami harus berani, atau perayaan ulang tahun pramuka yang kami tunggu-tunggu akan hancur begitu saja.
Kami mulai mendaki bukit dengan hati-hati. Beberapa kali aku harus memimpin jalan, menghindari akar pohon yang menjalar dan batu besar yang bisa membuat kami terjatuh. Kala di belakangku, diikuti Amira yang lebih berhati-hati. Suara kami hanya terdengar di antara hiruk-pikuk malam hutan yang sangat tenang.
Namun, saat kami hampir mencapai puncak bukit, sesuatu yang tak terduga terjadi. Langkah kaki kami terhenti ketika terdengar suara gemuruh dari jurang. Kami berhenti, saling memandang dengan wajah penuh tanya.
“Dengar itu?” Amira bertanya pelan, namun matanya sudah membesar, waspada.
“Ya, aku dengar,” jawabku, dan kami semua memfokuskan pendengaran.
Suara itu semakin keras, semakin mendekat, hingga akhirnya, dari dalam kegelapan jurang, muncul sosok yang tidak kami duga. Sebuah suara berat menggelegar, seolah datang dari dalam tanah. Tiba-tiba, dari balik pohon-pohon besar di jurang, muncul bayangan gelap yang semakin mendekat.
“Harus lari!” seru Kala, matanya tampak cemas.
Aku menatap sosok itu dengan rasa bingung. “Tunggu dulu, itu bukan manusia. Itu—apa?”
Sosok itu semakin mendekat, dan akhirnya, di bawah cahaya bulan, kami melihatnya lebih jelas. Sebuah makhluk besar, berbulu hitam lebat, dengan mata yang menyala merah di kegelapan. Sesuatu yang seharusnya hanya ada dalam cerita legenda.
“Ini… ini makhluk hutan!” Amira terkejut, hampir berteriak. “Kita harus lari sekarang juga!”
Aku tahu, kami berada di ambang bahaya. Namun, aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kami harus tetap tenang. Kami berada di hutan, jauh dari tenda dan teman-teman. Kalau kami lari, kami bisa terpisah dan akan semakin terjebak dalam kegelapan. Kami harus bertindak cepat dan tepat.
Aku berlari ke sisi kiri bukit, mengarahkan teman-temanku menjauh dari makhluk itu. “Ikut aku! Jangan ragu!” seruku sambil berlari.
Makhluk itu mulai bergerak cepat, mengejar kami, namun bukit ini cukup curam dan berbatu. Aku mencoba memimpin regu, menghindari jurang yang semakin sempit. Kala berlari cepat, diikuti Amira, namun makhluk itu tidak berhenti mengejar.
Kami mendekati sisi bukit yang lebih terjal, dan aku menyadari bahwa jika kami tidak segera bersembunyi, kami akan benar-benar terjebak. “Kalau kita ke sana,” kataku sambil menunjuk sebuah gua kecil di sisi bukit, “kita bisa berlindung sementara. Coba ikuti aku!”
Kami semua berlari menuju gua yang cukup kecil itu, namun aman untuk berlindung. Begitu kami masuk, aku menatap ke luar, mencoba melihat apakah makhluk itu masih mengikuti.
Gua itu terasa lebih dingin daripada yang aku bayangkan. Udara lembap menyusup ke dalam jaket kami. Kami duduk diam, berusaha menenangkan diri, mendengarkan suara berat yang terus menggema di luar gua.
“Gimana, Dragan?” tanya Amira, suaranya bergetar. “Apa kita bisa keluar dari sini?”
Aku berpikir sejenak, berusaha mencari solusi. “Kita harus bertahan di sini dulu sampai situasi aman. Kita nggak bisa lari selamanya.”
Kala yang tampak sangat khawatir menatapku. “Tapi itu… makhluk itu bisa mengendus kita. Apa kita bisa melawan?”
Aku menghela napas, mencerna pertanyaan itu. “Kita akan coba cari jalan keluar begitu ada kesempatan. Jangan panik. Yang penting kita tetap bersama.”
Keheningan menyelimuti kami, kecuali suara napas kami yang berat. Dari luar gua, suara makhluk itu mulai mereda. Namun, kami tahu, bahaya belum selesai. Perjalanan kami masih panjang, dan kami belum menemukan kayu damar yang kami cari.
Dengan hati yang lebih waspada, aku memandang teman-temanku. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tetapi satu hal yang pasti, perjalanan ini menguji kami lebih dari yang pernah kami bayangkan.
Hutan dan Hewan Liar
Waktu di dalam gua terasa begitu panjang. Kegelapan semakin menyelimuti, dan udara dingin semakin menusuk. Kami duduk di sudut gua yang sempit, berusaha saling menjaga agar tetap tenang, meski rasa takut dan ketegangan merayap pelan-pelan.
“Dragan, kita harus keluar sekarang,” Amira berbisik dengan nada cemas. “Kita nggak bisa bersembunyi selamanya di sini. Itu makhluk tadi… siapa tahu bisa datang lagi.”
Aku mengangguk pelan, tapi tetap terdiam. Di luar gua, semuanya sunyi. Tidak ada suara apa pun yang bisa kami dengar kecuali suara napas kami sendiri. Sejenak, aku merasa dunia ini terhenti, seakan segala sesuatu di sekitar kami terhenti.
Kala duduk di sebelahku, matanya penuh kecemasan. “Tapi kita nggak tahu apa yang ada di luar sana. Apa kita benar-benar aman?”
Aku memandang mereka berdua, mencoba menenangkan diri meski dalam hati aku juga khawatir. “Kita nggak bisa terus-terusan bersembunyi di sini. Kalau kita tetap di sini, kita malah jadi sasaran. Kita harus keluar, tapi dengan hati-hati.”
Waktu berlalu perlahan, dan aku akhirnya memutuskan untuk bergerak. “Kita keluar. Tapi hati-hati. Jangan ada yang berisik.”
Kami perlahan keluar dari gua, melangkah pelan-pelan menuju puncak bukit, tempat kami semula hendak mencari kayu damar. Tidak ada jejak makhluk besar itu di sekitar kami, tapi aku tahu, kami belum aman. Sesuatu yang tak terlihat masih mengintai kami di dalam kegelapan hutan ini.
Aku memimpin langkah dengan hati-hati. Melintasi dahan dan ranting yang menutupi jalan. Suara alam hutan kembali terdengar, tapi kali ini berbeda. Semakin dalam kami melangkah, semakin aneh rasanya. Suara serangga yang biasa terdengar jadi tak lagi nyaman. Kami melangkah lebih cepat, merasakan adanya sesuatu yang mengintai. Mata kami terus waspada, tak berani melirik ke kiri atau kanan terlalu lama.
“Tunggu,” aku menghentikan langkah kami.
“Kenapa?” Amira dan Kala ikut berhenti.
“Dengar itu,” aku berbisik, menunjuk ke arah semak-semak yang bergoyang pelan.
Kami semua terdiam, mencoba menangkap suara yang ada. Tiba-tiba, ada suara gemerisik yang mengarah ke belakang kami. Suara kaki besar yang menyentuh tanah dengan berat.
“Lari!” Aku berteriak, dan dalam hitungan detik, kami sudah berlari menuju sisi lain bukit.
Namun, kali ini ada yang berbeda. Kami bukan hanya melarikan diri dari makhluk besar tadi. Ada sesuatu yang lebih menakutkan yang datang dari hutan yang lebih dalam. Dahan pohon patah, dan dari balik pepohonan muncul sosok gelap yang lebih kecil, tapi lebih cepat.
“Ada banyak!” Kala berteriak, wajahnya pucat.
Di depan kami, ada lebih dari satu makhluk. Mereka bergerak cepat, tidak seperti yang pertama kami temui. Ada suara mendesis dari mulut mereka. Matanya merah menyala dalam gelap. Mungkin bukan hanya satu makhluk yang mengincar kami, tapi kelompok besar yang siap menyerang kapan saja.
Kami berlari dengan sekuat tenaga. Di depan kami, ada sebuah tebing rendah yang kami tahu bisa kami manfaatkan untuk melarikan diri. Aku melompat lebih dulu, diikuti Amira dan Kala, dengan tubuh kami yang hampir tersandung batu dan akar pohon yang mencuat.
Ketika kami mendarat, kami tak punya waktu untuk berhenti. Kami harus terus berlari, karena suara langkah-langkah berat dari makhluk-makhluk itu semakin dekat. Hutan ini tak lagi terasa seperti tempat yang mempesona, tetapi menjadi labirin yang penuh dengan bahaya yang siap menerkam kami kapan saja.
Setelah beberapa menit berlari, kami sampai di sebuah clearing, sebuah padang rumput yang cukup terbuka. Kami berhenti sejenak, berusaha mengatur napas yang terengah-engah. Namun, kami belum bisa tenang.
“Di sini, kita harus berpisah,” aku berkata, menatap kedua teman yang tampak kelelahan. “Jika kita bergerak dalam kelompok besar, mereka bisa dengan mudah menemui kita. Kita harus bertahan dengan cara berbeda.”
Amira memandangku dengan ragu, tapi akhirnya dia mengangguk. “Tapi jangan lama-lama, oke? Kita harus tetap bersama.”
Kala yang lebih pendiam kali ini berbicara dengan suara yang penuh tekad. “Apa pun yang terjadi, kita nggak boleh pisah lama-lama. Kita pasti bisa keluar dari hutan ini.”
Kami memutuskan untuk berpisah menjadi dua kelompok kecil. Aku bersama Amira dan Kala, kami akan mencari jalan keluar dari hutan ini, sementara teman-teman lainnya yang berada di kelompok kedua akan berusaha mengalihkan perhatian makhluk-makhluk itu, jika mereka benar-benar mengejar kami.
Namun, setelah kami berpisah, kami menyadari satu hal. Hutan ini tidak hanya dipenuhi oleh makhluk besar yang mengancam kami. Ada hal lain yang jauh lebih menakutkan yang mengintai. Kami tahu, kami tidak hanya harus berhadapan dengan makhluk itu, tetapi juga dengan bahaya yang lebih besar yang tersembunyi dalam hutan ini.
Di tengah kegelapan malam, dengan langkah kami yang lebih hati-hati dan waspada, kami tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Justru, bahaya yang lebih besar akan segera datang. Kami hanya bisa berharap kami cukup berani untuk menghadapinya.
Menghadapi Takdir
Hutan semakin gelap. Cahaya bulan yang seharusnya bisa memberi sedikit petunjuk, kini terhalang oleh rimbunnya pepohonan yang mengancam keheningan malam. Kami melangkah pelan, hati kami penuh dengan kegelisahan. Semua yang kami alami selama ini terasa seperti petualangan yang tak ada habisnya. Namun, dalam perjalanan kami, kami tak hanya menemukan bahaya, tetapi juga kekuatan yang tak terduga.
“Dragan,” suara Amira memecah keheningan, “Apa kita masih bisa keluar dari sini? Semua ini… rasanya seperti mimpi buruk.”
Aku menatapnya, berusaha menenangkan diri dan menyembunyikan rasa cemas di dalam dada. “Kita akan keluar, Amira. Kita hanya butuh waktu. Kita harus tetap bergerak, dan jangan berhenti.”
Kala yang berjalan di sebelah kami tampak diam, terlalu diam. Sejak kami berpisah dari kelompok lain, dia menjadi lebih pendiam, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Aku mencoba untuk tak terlalu mengkhawatirkan hal itu, karena kami masih harus fokus pada misi kami—keluar dari hutan ini hidup-hidup.
Tapi saat aku memandangnya, ada kegelisahan yang jelas tergambar di wajahnya. Dia menggigit bibirnya, tampak ragu. Akhirnya, Kala berbicara, suaranya pelan namun penuh ketegasan. “Ada sesuatu yang aneh di sini. Sesuatu yang nggak bisa kita lihat.”
Aku berhenti sejenak dan menatapnya. “Maksud kamu apa, Kala?”
Dia menghela napas panjang. “Sejak awal kita tiba di sini, aku merasa ada yang mengawasi. Tapi bukan hanya makhluk-makhluk itu. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap. Kita nggak tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan hutan ini.”
Amira yang mendengar itu menggigil, mengeratkan genggaman tangannya pada punggung bajunya. “Apa maksudmu, Kala? Kita nggak pernah diceritakan tentang itu.”
Kala menatap kami dengan tatapan tajam, matanya yang biasa tenang kini dipenuhi dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. “Ini bukan cuma tentang survival. Ini lebih dari itu. Aku merasa seperti kita terperangkap dalam suatu permainan besar. Dan kita bukan hanya sekadar pion.”
Seketika, aku merasakan kengerian yang sama. Semua yang kami hadapi mungkin hanya bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar—sesuatu yang menginginkan kami terperangkap selamanya di dalam hutan ini.
“Jadi kita harus apa sekarang?” tanyaku, berusaha tetap tenang meski perasaan tak pasti semakin mencekam.
Kala mengangguk pelan. “Kita harus cari jawaban. Kita nggak bisa keluar begitu saja. Hutan ini punya aturan sendiri, dan kita harus tahu apa yang mereka inginkan.”
Kami kembali melangkah, kali ini dengan rasa cemas yang semakin menyelimuti. Waktu terasa berjalan sangat lambat, langkah kami berat, namun kami tak punya pilihan selain terus melangkah. Sepertinya setiap suara langkah kaki kami ditanggapi oleh suara-suara aneh dari dalam hutan. Suara daun yang bergesekan, suara gemerisik yang semakin mendekat, seperti ada yang sedang menunggu kami di setiap belokan.
Tiba-tiba, sekelompok makhluk muncul dari balik semak-semak. Mereka bergerak cepat, namun kali ini kami sudah lebih siap. Amira mengeluarkan pisau kecil yang kami temukan di tas kami. Kala memegang batang kayu yang sudah patah menjadi tongkat tajam. Aku sendiri, hanya mengandalkan keberanian dan sedikit insting untuk bertahan hidup.
Makhluk-makhluk itu melompat ke arah kami dengan kecepatan yang luar biasa. Teriakan keras bergema di udara. Tapi kami tidak mundur. Kami bertahan, melawan, meski tenaga kami semakin terkuras. Aku merasa otot-ototku menegang, napasku terengah-engah, tapi aku tak boleh menyerah.
Satu per satu makhluk itu berhasil kami tepis. Aku bisa merasakan tubuhku lelah, tapi aku tahu, ini bukan waktunya untuk berhenti. Setiap serangan yang kami lakukan memberikan kami sedikit harapan—sebuah bukti bahwa kami bisa bertahan.
Setelah beberapa saat, yang terasa seperti berjam-jam, makhluk-makhluk itu akhirnya mundur, melarikan diri ke dalam hutan. Suasana kembali tenang, tapi perasaan kami tidak pernah sama lagi. Kami bertiga berdiri di tengah clearing yang luas, saling memandang dengan napas yang masih terengah-engah.
“Apakah kita berhasil?” tanya Amira, suaranya berat, penuh keletihan.
Kala yang biasanya pendiam mengangguk. “Kita berhasil. Tapi kita belum keluar.”
Aku menatap mereka berdua, lalu ke arah hutan yang lebat di depan kami. “Ini bukan akhir. Hutan ini masih menyembunyikan banyak hal. Kita harus terus maju. Entah itu apa yang mengendalikannya, atau apa yang terjadi selanjutnya, kita harus hadapi bersama.”
Kami berjalan lagi, dan kali ini, rasanya kami semakin mendekati sebuah titik. Tidak tahu apakah itu jalan keluar atau jalan menuju lebih banyak bahaya, tetapi satu hal yang pasti—kami tidak akan menyerah.
Akhirnya, kami sampai di pinggir hutan, tempat kami melihat cahaya dari api unggun yang sangat jauh. Itu adalah tanda bahwa kami sudah dekat dengan tempat perkemahan kami.
Dengan napas yang semakin tenang, kami berlari ke arah cahaya itu. Langkah-langkah kami semakin mantap, yakin bahwa kami hampir sampai. Tidak ada lagi makhluk yang mengincar kami. Tidak ada lagi hutan yang mengerikan. Hanya tinggal satu langkah terakhir menuju keselamatan.
Kami keluar dari hutan dengan tubuh lelah, namun hati yang lebih kuat dari sebelumnya. Kami tidak hanya bertahan hidup, tetapi kami juga menemukan kekuatan yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya.
Hari itu, kami merayakan ulang tahun pramuka, bukan hanya dengan api unggun dan tenda, tetapi dengan kemenangan atas ketakutan, keberanian menghadapi segala hal yang tak terduga, dan semangat persahabatan yang tak pernah padam.
Kami berhasil keluar dari kegelapan hutan. Tapi lebih dari itu, kami berhasil keluar dari ketakutan yang menyelubungi kami. Dan itu, adalah kemenangan terbesar kami.
Jadi, ternyata, petualangan pramuka itu lebih dari sekadar belajar baris-berbaris atau ngadepin cuaca panas di lapangan. Terkadang, yang terpenting itu bukan sekadar sampai di tujuan, tapi gimana kita ngadepin hal-hal nggak terduga bareng teman-teman.
Karena, dalam setiap perjalanan, yang paling berharga adalah apa yang kita pelajari dan siapa yang tetap ada di sisi kita. Dan untuk malam itu, kami nggak cuma keluar dari hutan, tapi juga keluar dengan lebih banyak keberanian dan semangat persahabatan. Ulang tahun pramuka kali ini nggak akan pernah kami lupakan!